Anda di halaman 1dari 43

Referat

Gambaran Radiologis COVID-19


Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepanitraan Klinik Madya

Oleh

Nenny Hariyanto
21904101002

Pembimbing
dr. Mochammad Nizam Fahmi, Sp. Rad

KEPANITRAAN KLINIK MADYA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
LABORATURIUM ILMU RADIOLOGI
RSUD BLAMBANGAN BANYUWANGI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Bahwa dengan ini menyatakan:

NAMA : Nenny Hariyanto, S.Ked

NIM : 21904101002

JUDUL : Gambaran Radiologis Covid-19

Telah melaksanakan presentasi di Laboratorium Radiologi pada tanggal 21 April


2021 di Rumah Sakit Umum Daerah Blambangan, Banyuwangi.

Banyuwangi, 18 April 2021

Dosen Pembimbing Klinik Penyusun,

dr. Mochammad Nizam Fahmi, Sp. Rad. Nenny Hariyanto, S.Ked

Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Dokter Dosen Pembimbing Klinik
Fakultas Kedokteran UNISMA, Penanggung Jawab Radiologi,

dr. Diah Andriana, Sp. B. dr. Paulus Tigor Yeheskiel, Sp. Rad.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat-
Nya penulis dapat menyusun referat ini. Referat ini disusun untuk memenuhi
tugas pada kegiatan kepaniteraan klinik madya (KKM). Referat ini berjudul
“Gambaran Radiologis Covid-19”.
Penulis berharap agar referat ini dapat dimanfaatkan dan dipahami baik
oleh penulis maupun pembaca. Segala kritikan dan saran yang membangun sangat
dibutuhkan untuk pengembangan ilmu kedokteran yang dibahas dalam referat ini.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan referat ini. Penyusun menyadari bahwa dalam
penyusunan referat ini masih jauh dari kata sempurna. Dengan segala kerendahan
hati, penyusun mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan referat
berikutnya.

Banyuwangi, 18 April 2021

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
Halaman
Cover................................................................................................................ i
Lembar Pengesahan....................................................................................... ii
Kata Pengantar............................................................................................... iii
Daftar Isi.......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................2
1.4 Manfaat........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................3
2.1 Definisi.........................................................................................................3
2.2 Epidemiologi................................................................................................3
2.3 Virologi........................................................................................................4
2.4 Transmisi......................................................................................................5
2.5 Patogenensis.................................................................................................7
2.6 Faktor Resiko.............................................................................................10
2.7 Manifestasi Klinis......................................................................................11
2.8 Diagnosis....................................................................................................14
2.9 Tatalaksana.................................................................................................24
BAB III PENUTUP..............................................................................................34
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................34
3.2 Saran...........................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 36

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada Desember 2019, kasus pneumonia misterius pertama kali dilaporkan
di Wuhan, Provinsi Hubei. Sumber penularan kasus ini masih belum diketahui
pasti, tetapi kasus pertama dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan
(Rothan,2020). Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat lima
pasien yang dirawat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (Ren
et al,2020). Sejak 31 Desember 2019 hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat
pesat, ditandai dengan dilaporkannya sebanyak 44 kasus. Tidak sampai satu
bulan, penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand,
Jepang, dan Korea Selatan (Huang et al, 2020) Awalnya, penyakit ini
dinamakan sementara sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV), kemudian
WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu Coronavirus
Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) (WHO,2020).
Virus ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia dan telah menyebar
secara luas di China dan lebih dari 190 negara dan teritori lainnya. Hingga
tanggal 29 Maret 2020, terdapat 634.835 kasus dan 33.106 jumlah kematian di
seluruh dunia. Kasus kematian banyak pada orang tua dan dengan penyakit
penyerta. Kasus kematian pertama pasien laki-laki usia 61 tahun dengan
penyakit penyerta tumor intraabdomen dan kelainan di liver . Populasi baru
coronavirus umumnya lebih rentan pada lansia yang memiliki penyakit dasar
seperti diabetes, hipertensi, penyakit kardiovaskuler dan penyakit serebro-
vaskular . Lansia lebih rentan terhadap klinis yang berat dan mendapat
perawatan intensive care unit (ICU) dengan angka mortalitas yang tinggi . Studi
pada 1099 pasien dengan tipe baru coronavirus pneumonia ditemukan 15,1%
dari populasi berusia diatas 60 tahun dan 27,0 % memiliki gejala yang berat
(Kemenkes, 2020). Pada studi analisis lainnya 4021 kasus yang ditemukan
1.052(26,2%) berusia 60 tahun atau lebih yang dimana angka kematian pada
pasien berusia 60 tahun keatas (5,3%) secara signifikan lebih tinggi daripada
pasien dibawah usia 60 tahun (1,4%) (WHO,2020).

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana definisi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan Covid-19?
1.2.2 Bagaimana gambaran radiologis Covid-19?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan Covid-19.
1.3.2 Mengetahui gambaran radiologis Covid-19.

1.4 Manfaat
1.4.1 Menambah wawasan mengenai gambaran radiologis khususnya
Covid-19.
1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang
mengikuti kepaniteraan klinik bagian radiologi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Covid-19 atau penyakit coronavirus 2019 adalah penyakit menular yang


disebabkan oleh coronavirus 2 yang menyebabkan sindrom pernapasan akut
(SARS-CoV-2), yang sebelumnya dikenal sebagai coronavirus novel 2019
(2019-nCoV). Kasus penyakit ini pertama ditemukan di Wuhan, Cina, pada akhir
Desember 2019 sebelum akhirnya menyebar secara global. Penyakit covid-19
saat ini secara resmi diakui sebagai pandemi per tanggal 11 Maret 2020
(Rothan,2020).

World Health Organization (WHO) awalnya menyebut penyakit ini sebagai


"novel coronavirus-infected pneumonia" atau NCIP, dan virus itu sendiri secara
sementara bernama "2019 novel coronavirus" atau 2019-nCov. Per tanggal 11
Februari 2020, WHO secara resmi mengganti penamaan tersebut menjadi
COVID-19 yang merupakan kependekan dari CoronaVirus Disease-19. Secara
kebetulan, pada hari yang sama, Kelompok Studi Coronavirus dari Komite
Internasional tentang Taksonomi Virus mengganti nama virus itu dengan
SARSCoV-2. Penamaan virus ini mirip dengan SARS-CoV, yang merupakan
jenis virus yang menyebabkan epidemi sindrom pernapasan akut (SARS) pada
tahun 2002 (WHO,2020).
2.2 Epidemiologi
Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di
China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari
2020. Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar,
kemudian bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China (Wu et
al, 2019). Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi
COVID-19 di China, dan 86 kasus lain dilaporkan dari berbagai negara seperti
Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang,
Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada,
Finlandia, Prancis, dan Jerman (WHO,2020. COVID-19 pertama dilaporkan di
Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua kasus (WHO,2020). Data 31

3
Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan
136 kasus kematian (Kemenkes, 2020). Tingkat mortalitas COVID-19 di
Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara
(WHO,2020).
Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian di
seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi COVID-
19, dengan kasus dan kematian sudah melampaui China. Amerika Serikat
menduduki peringkat pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan
penambahan kasus baru sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020
disusul oleh Spanyol dengan 6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas
paling tinggi di dunia, yaitu 11,3% (K.Liu, 2020).
2.3 Virologi
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm.
Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar
dan unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang
dapat menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus
NL63, betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute
Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory
Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) (Riedel et al, 2019). Coronavirus yang
menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus betacoronavirus. Hasil
analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang
sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory
Illness (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus (Zhu et al,2020). Atas
dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama
SARS-CoV-2.
Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada
umumnya. Sekuens SARSCoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang
diisolasi pada kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2
berasal dari kelelawar yang kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia
(Zhou et al, 2020). Mamalia dan burung diduga sebagai reservoir perantara.
Pada kasus COVID-19, trenggiling diduga sebagai reservoir perantara. Strain
coronavirus pada trenggiling adalah yang mirip genomnya dengan coronavirus

4
kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV-2 (91%) (Zhang, 2020). Genom SARS-
CoV-2 sendiri memiliki homologi 89% terhadap coronavirus kelelawar ZXC21
dan 82% terhadap SARS-CoV. Pada SARS-CoV-2, data invitro mendukung
kemungkinan virus mampu masuk ke dalam sel menggunakan reseptor ACE2
(Zhou,2020). Studi tersebut juga menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak
menggunakan reseptor coronavirus lainnya seperti Aminopeptidase N (APN)
dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4).
2.4 Tranmisi
Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi
sumber transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi
SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat
batuk atau bersin (Han,2019). Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2
dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3
jam. WHO memperkirakan reproductive number (R0) COVID-19 sebesar 1,4
hingga 2,5. Namun, studi lain memperkirakan R0 sebesar 3,28.

Tabel 1. Sebaran kasus dan case fatality rate COVID-19 berdasarkan usia
dan jenis kelamin (Wu Z et al, 2020)
Usia/jenis Korea Selatan Italia
China (n=72.314)
kelamin (n=8.413) (n=35.731)
kasus
CFR Kasus CFR Kasus CFR
Kasus (%) (%)
(%) (%) (%) (%) (%)
Laki-laki 51,4 2,8 38,5 1,39 57,9 10,3
Perempuan 48,6 1,7 61,5 0,75 42,1 6,2
0-9 0,9 0 1,0 0 0,6 0
10-19 1,2 0,2 5,2 0 0,8 0
20-29 8,1 0,2 27,8 0 3,8 0
30-39 17,0 0,2 10,3 0,1 7,1 0,4
40-49 19,2 0,4 14,0 0,1 12,3 0,6
50-59 22,4 1,3 19,2 0,4 19,1 1,2
60-69 19,2 3,6 12,6 1,5 17,7 4,9
70-79 8,8 8 6,4 5,3 19,9 15,3
>79 3,2 14,8 3,4 10,8 18,1 23,6

SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil


biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di
feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam

5
feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini
menguatkan dugaan kemungkinan transmisi secara fekal-oral (Chen et al, 2020).
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan
SARS-CoV. Eksperimen yang dilakukan van Doremalen, dkk. Menunjukkan
SARSCoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam)
dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam). Studi lain di Singapura
menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar dan toilet pasien
COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan
toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada
sampel udara. Persistensi berbagai jenis coronavirus lainnya dapat dilihat pada
Tabel 2.

Tabel 2. Persistensi berbagai jenis coronavirus pada berbagai permukaan benda


mati

Permukaan Virus Titer virus Temperatur Persistensi

20OC 48 jam
MERS-CoV 105
Besi 30OC 8-24 jam
HCoV 103
21OC 5 hari

Alumunium HCoV 5 x 103 21OC 2-8 jam

Metal SARS-CoV 105 Suhu ruangan 5 hari

Kayu SARS-CoV 105 Suhu ruangan 4 hari

105 4-5 hari


SARS-CoV (Strain P9)
106 Suhu ruangan 24 jam
Kertas SARS-CoV (Strain
105 Suhu ruangan 3 hari
GVU6109)
104 < 5 menit

SARS-CoV 105 Suhu ruangan 4 hari


Kaca
HCoV 103 21OC 5 hari

SARS-CoV (Strain
22-25OC
HKU39849) 105
20OC
MERS-CoV 105 <5 hari
30OC
Plastik SARS-CoV (Strain P9) 105 48 jam
Suhu ruangan
SARS-CoV (Strain 107 8-24 jam
Suhu ruangan
FFM1) 107
Suhu ruangan
HCoV (Strain 229E)

6
PVC HCoV 103 21OC 5 hari

Karet
HCoV 103 21OC 5 hari
silicon

Sarung
tangan
HCoV 5 x 103 21OC <8 jam
bedah
(lateks)

106 2 hari
Gaun bedah SARS-CoV 105 Suhu ruangan 24 jam
104 1 jam

Keramik HCoV 103 21OC 5 hari

Teflon HCoV 103 21OC 5 hari

Keterangan: HCOV: Human Coronavirus; SARS: Severe Acute Respiratory


Syndrome; MERS: Middle East Respiratory Syndrome

2.5 Patogenesis

Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga


tidak jauh berbeda dengan SARSCoV yang sudah lebih banyak diketahui. Pada
manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang
melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan
membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope
spike virus akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-
CoV-2. Di dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan
mensintesis protein-protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru
yang muncul di permukaan sel (Van et al, 2020). Sama dengan SARS-CoV,
pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel, genom RNA virus
akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein
dan protein struktural. Selanjutnya, genom virus akan mulai untuk bereplikasi.
Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam
membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan
nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid. Partikel
virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap

7
akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung dengan
membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru (Geng,2016).

Pada SARS-CoV, Protein S dilaporkan sebagai determinan yang


signifikan dalam masuknya virus ke dalam sel pejamu (Geng,2016). Telah
diketahui bahwa masuknya SARS-CoV ke dalam sel dimulai dengan fusi antara
membran virus dengan plasma membran dari sel (Simmons et al,2004). Pada
proses ini, protein S2’ berperan penting dalam proses pembelahan proteolitik
yang memediasi terjadinya proses fusi membran. Selain fusi membran, terdapat
juga clathrin dependent dan clathrin-independent endocytosis yang memediasi
masuknya SARS-CoV ke dalam sel pejamu (Wang et al,2008). Faktor virus dan
pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Efek sitopatik virus dan
kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan keparahan infeksi.
Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan jaringan pada
infeksi SARS-CoV-2. Respons imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi
virus dan kerusakan jaringan. Di sisi lain, respons imun yang berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. Respons imun yang disebabkan oleh SARS-
CoV-2 juga belum sepenuhnya dapat dipahami, namun dapat dipelajari dari
mekanisme yang ditemukan pada SARS-CoV dan MERS-CoV. Ketika virus
masuk ke dalam sel, antigenvirus akan dip resentasikan ke antigen presentation
cells (APC). Presentasi antigen virus terutama bergantung pada molekul major
histocompatibility complex (MHC) kelas I. Namun, MHC kelas II juga turut
berkontribusi. Presentasi antigen selanjutnya menstimulasi respons imunitas
humoral dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel T dan sel B yang spesifik
terhadap virus. Pada respons imun humoral terbentuk IgM dan IgG terhadap
SARS-CoV. IgM terhadap SAR-CoV hilang pada akhir minggu ke-12 dan IgG
dapat bertahan jangka panjang. Hasil penelitian terhadap pasien yang telah
sembuh dari SARS menujukkan setelah 4 tahun dapat ditemukan sel T CD4+
dan CD8+ memori yang spesifik terhadap SARS-CoV, tetapi jumlahnya
menurun secara bertahap tanpa adanya antigen. Virus memiliki mekanisme
untuk menghindari respons imun pejamu. SARS-CoV dapat menginduksi
produksi vesikel membran ganda yang tidak memiliki pattern recognition
receptors (PRRs) dan bereplikasi dalam vesikel tersebut sehingga tidak dapat

8
dikenali oleh pejamu. Jalur IFN-I juga diinhibisi oleh SARS-CoV dan MERS-
CoV. Presentasi antigen juga terhambat pada infeksi akibat MERS-CoV
(Kampf, 2020).

A. Respons Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis Ringan


Respons imun yang terjadi pada pasien dengan manifestasi
COVID-19 yang tidak berat tergambar dari sebuah laporan kasus di
Australia. Pada pasien tersebut didapatkan peningkatan sel T CD38+HLA-
DR+ (sel T teraktivasi), terutama sel T CD8 pada hari ke 7-9. Selain itu
didapatkan peningkatan antibody secreting cells (ASCs) dan sel T helper
folikuler di darah pada hari ke-7, tiga hari sebelum resolusi gejala.
Peningkatan IgM/IgG SARS-CoV-2 secara progresif juga ditemukan dari
hari ke-7 hingga hari ke-20. Perubahan imunologi tersebut bertahan hingga
7 hari setelah gejala beresolusi. Ditemukan pula penurunan monosit
CD16+CD14+ dibandingkan kontrol sehat. Sel natural killer (NK) HLA-
DR+CD3-CD56+ yang teraktivasi dan monocyte chemoattractant protein-
1 (MCP-1; CCL2)juga ditemukan menurun, namun kadarnya sama dengan
kontrol sehat. Pada pasien dengan manifestasi COVID-19 yang tidak berat
ini tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin proinflamasi,
meskipun pada saat bergejala (Thevarajan et al, 2020).
B. Respons Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis Berat
Perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan
berat bisa dilihat dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut
mendapatkan hitung limfosit yang lebih rendah, leukosit dan rasio
neutrofil-limfosit yang lebih tinggi, serta persentase monosit, eosinofil,
dan basofil yang lebih rendah pada kasus COVID-19 yang berat. Sitokin
proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-8 dan penanda infeksi
seperti prokalsitonin, ferritin dan C-reactive protein juga didapatkan lebih
tinggi pada kasus dengan klinis berat. Sel T helper, T supresor, dan T
regulator ditemukan menurun pada pasien COVID-19 dengan kadar T
helper dan T regulator yang lebih rendah padakasus berat.36 Laporan
kasus lain pada pasien COVID-19 dengan ARDS juga menunjukkan
penurunan limfosit T CD4 dan CD8. Limfosit CD4 dan CD8 tersebut

9
berada dalam status hiperaktivasi yang ditandai dengan tingginya proporsi
fraksi HLA-DR+CD38+. Limfosit T CD8 didapatkan mengandung
granula sitotoksik dalam konsentrasi tinggi (31,6% positif perforin, 64,2%
positif granulisin, dan 30,5% positif granulisin dan perforin). Selain itu
ditemukan pula peningkatan konsentrasi Th17 CCR6+ yang proinflamasi
(Zumla,2020).
ARDS merupakan penyebab utama kematian pada pasien COVID-
19. Penyebab terjadinya ARDS pada infeksi SARS-CoV-2 adalah badai
sitokin, yaitu respons inflamasi sistemik yang tidak terkontrol akibat
pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar ( IFN-α, IFN-γ, IL-1β,
IL-2, IL-6, IL-7, IL-10 IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, dan TGFβ) serta
kemokin dalam jumlah besar (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, dan
CXCL10) seperti terlihat pada gambar 3. Granulocyte-colony stimulating
factor, interferon-γ- inducible protein 10, monocyte chemoattractant
protein 1, dan macrophage inflammatory protein 1 alpha juga didapatkan
peningkatan. Respons imun yang berlebihan ini dapat menyebabkan
kerusakan paru dan fibrosis sehingga terjadi disabilitas fungsional.
2.6 Faktor Risiko
Pada 56 pasien dengan infeksi 2019-nCoV ditemukan bahwa laki-laki
lebih banyak daripada wanita pada lansia, dan pada MERS-CoV dan SARS-
CoV laki-laki lebih banyak terinfeksi daripada wanita. Selain itu, ada 12 pasien
lansia positif 2019-nCOV dengan penyakit kronis seperti penyakit
kardiovaskular dan serebrovaskular dan diabetes jauh lebih rentan daripada
pasien dewasa muda. 2019-nCoV lebih mungkin menginfeksi usia dewasa pria
yang memiliki komorbiditas kronis akibat kekebalan tubuh yang rendah
(WHO,2020). Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi
dan diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan
faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih
banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang lebih
tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan
ekspresi reseptor ACE2 (Diaz, 2020). Diaz JH menduga pengguna penghambat
ACE (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB) berisiko mengalami

10
COVID-19 yang lebih berat. Terkait dugaan ini, European Society of
Cardiology (ESC) menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan untuk
menyimpulkan manfaat positif atau negatif obat golongan ACE-i atau ARB,
sehingga pengguna kedua jenis obat ini sebaiknya tetap melanjutkan
pengobatannya (Liang, 2020).
Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi
SARS-CoV-2 (Liang,2020). Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif,
sitokin yang berlebihan, supresi induksi agen proinflamasi, dan gangguan
maturase sel dendritik. Pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik juga
mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-
19, dan dapat mengalami luaran yang lebih buruk. Studi Guan, dkk. menemukan
bahwa dari 261 pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, 10 pasien di
antaranya adalah dengan kanker dan 23 pasien dengan hepatitis B (Guan,2020).
Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya
memiliki risiko mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV.
Namun, hingga saat ini belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi
SARS-CoV-2.50 Hubungan infeksi SARS-CoV-2 dengan hipersensitivitas dan
penyakit autoimun juga belum dilaporkan. Belum ada studi yang
menghubungkan riwayat penyakit asma dengan kemungkinan terinfeksi SARS-
CoV-2. Namun, studi meta-analisis yang dilakukan oleh Yang, dkk.
menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem
respirasi akan cenderung memiliki manifestasi klinis yang lebih parah. Beberapa
faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan
pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu
lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai
risiko rendah (Yang,2020). Tenaga medis merupakan salah satu populasi yang
berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga
medis.54 Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan
mortalitas sebesar 0,6%.

2.7 Manifestasi Klinis

11
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia
berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan
atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke
dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi asimtomatik belum
diketahui.21 Viremia dan viral load yang tinggi dari swab nasofaring pada pasien
yang asimptomatik telah dilaporkan (WHO,2020).
Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran
napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan
atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau
sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa
kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah seperti terlihat pada tabel 3.
Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah
salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres
pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada
pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal (WHO,2020).
Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan
gejala-gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak
napas (Rothan,2020). Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah
demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah
batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia,
menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan
kongesti konjungtiva. Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19 memiliki
suhu puncak antara 38,1-39°C sementara 34% mengalami demam suhu lebih
dari 39°C.
Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar
3-14 hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau
sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal),
virus menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang
mengekspresi ACE2 seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada
fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari
setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak,

12
lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat
dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi
makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis,
dan komplikasi lainnya (Gambar 4) Gambar 5 menunjukkan perjalanan penyakit
pada pasien COVID-19 yang berat dan onset terjadinya gejala dari beberapa
laporan (Young, 2019).

Gambar 4. Skema perjalanan penyakit COVID-19, diadaptasi dari berbagai


sumber.

Gambar 5. Perjalanan penyakit pada COVID-19 berat.

Gejala yang ditimbulkan oleh covid-19 dapat beragam, dari tanpa


disertai gejala sampai gejala berat. Gejala klinis yang muncul biasanya demam
dengan suhu >38°C, batuk, serta sulit bernapas. Selain itu, juga dapat disertai

13
dengan sesak yang berat, anoreksia, fatigue, mialgia, diare, nyeri tenggorokan,
menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, kongesti konjungtiva atau nyeri kepala.
Perburukan dapat terjadi secara cepat dan progresif pada kasus yang berat,
seperti ARDS, syok septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi dan
perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi. Namun dalam beberapa kasus
ditemukan sangat ringan bahkan tidak terdapat gejala demam. Berikut gejala
klinis yang muncul pada pasien yang terinfeksi covid-19.
A. Tidak berkomplikasi
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan dengan gejala yang muncul
tidak spesifik terutama pada pasien lanjut usia dan immunocompromises.
Gejala yang muncul biasanya seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan,
kongesti hidung, malaise, nyeri kepala, dan nyeri otot. Pada beberapa
kasus pasien tidak mengalami demam dan gejala relatif ringan
(PDPI,2020).
B. Pneumonia ringan
Kondisi ini pasien mengalami gejala seperti demam, batuk, dan sesak.
Namun tidak ada tanda pneumonia berat (PDPI,2020).
C. Pneumonia berat
Gejala yang muncul pada pasien kondisi ini yaitu demam yang disertai
oleh takipnea (frekuensi napas > 30x/menit) distress pernapasan berat atau
saturasi oksigen pasien < 90% (PDPI,2020).
2.8 Diagnosis
A. Anamnesa
Keluhan utama yang umum ditemukan pada anamnesis yaitu demam,
batuk kering (sebagian kecil dapat disertai berdahak), serta sesak. Namun
biasanya pada pasien geriatri atau imunokompromis tidak ditemukan adanya
demam(PDPI,2020).
Klasifikasi berdasarkan kasus:
a) Pasien dalam pengawasan atau kasus suspek atau possible
Pasien dalam pengawasan yaitu terdapat gejala demam (≥ 38°C),
batuk atau pilek, atau nyeri tenggorokan, gejala pneumonia ringan sampai
berat berdasarkan klinis dan gambaran radiologi. Selian itu juga dijumpai

14
riwayat perjalanan ke wilayah atau negara yang terjangkit dalam 14 hari
terakhir sebelum timbulnya gejala. Atau petugas keseahatan yang sakit
dengan gejala yang sama setelah merawat pasien ISPA berat yang tidak
diketahui penyebabnya.
b) Pasien dalam pemantuan
Individu yang mengalami demam atau riwayat demam tanpa
pneumonia dan mempunyai riwayat perjalanan ke daerah/ neagara yang
terjangkit. Namun tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien positif
Covid-19, bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan yang berhubungan
dengan pasien konfirmasi Covid-19, maupun kontak dengan hewan
penular yang sudah teridentifikasi di daerah terjangkit Covid-19 sesuai
dengan perkembangan penyakit.
c) Kasus probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk Covid-19
namun hasil konfirmasi positif pan-coronavirus atau beta coronavirus atau
tidak dapat disimpulkan.
d) Kasus terkonfirmasi
Pasien yang telah diperiksakan Covid-19 dan secara laboratorium
dinyatakan positif Covid-19.

B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pelu dilakukan untuk mendiagnosis pasien terinfeksi
Covid-19. Klinis yang dapat ditemukan pada pasien dapat bervariasi
tergantung pada manifestasi klinis (PDPI,2020).
 Tingkat kesadaran, kompos mentis atau penurunan kesadaran
 Tanda vital, dapat ditemukan adanya peningkatan frekuensi nadi, frekuensi
napas, tekanan darah normal atau menurun, suhu tubuh yang meningkat,
serta saturasi oksigen yang normal atau menurun.
 Dapat disertai adanya retraksi otot pernapasan
 Pada pemeriksaan fisik paru dapat diperoleh dada yang tidak simetris statis
dan dinamis, fremitus raba mengeras, redup pada daerah yang mengalami

15
konsolidasi, serta suara napas bronkovesikuler atau bronkial dan ronki
kasar.
C. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan spesimen saluran napas (PDPI,2020)
i. Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring atau orofaring)
ii. Saluran nafas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, atau aspirat
endotrakeal jika menggunakan endotrakeal tube.
b) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kimia darah
Pemeriksaan darah lengkap. Pada pasien lanjut usia yang terinfeksi
Covid-19 sapat mengalami peningkatan jumlah sel darah putih dan
neutrofil. Hal tersebut disebabakan pasien lanjut usia yang terinfeksi
Covid-19 cenderung memiliki infeksi bakteri. Selain itu, juga dapat
terjadi penurunan jumlah limfosit, karena pada lansia terjadi perubahan
anatomi paru-paru dan atrofi otot sehingga terjadi perubahan fungsi
fisiologis sistem pernapasan, pengurangan pembersihan jalan napas,
penurunan fungsi pertahanan. pada kebanyakan pasien mengalami
peningkatan LED dan CRP (PDPI,2020).
Analisis gas darah, fungsi hepar, fungsi ginjal, gula darah sewaktu,
elektrolit, faal hemostasis (PT/APTT, d Dimer) dimana pada kasus berat
d Dimer meningkat, prokalsitonin bila dicurigasi bakterimia, serta laktat
bila dicurigai sepsis.
c) Pemeriksaan radiologi
Modalita radiologi utama yang menjadi pilihan yaitu foto toraks
dan Computed Tomography Scan (CT-Scan) toraks. Pada foto thoraks
pasien Covid-19 biasanya ditemukan gambaran opasifikasi ground-glass,
infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan
atelektasis.

16
Gambar 6. Foto Thorax Pasien Covid-19

 Klasifikasi CO-RADS
Klasifikasi CO-RADS adalah sistem untuk pasien dengan dugaan
terinfeksi COVID-19 yang di bedakan berdasarkan prevalensi sedang
hingga berat.
Berdasarkan temuan CT, tingkat kecurigaan infeksi COVID-19
dinilai dari sangat rendah atau CO-RADS 1 hingga sangat tinggi atau
CO-RADS 5 dan tingkat keparahan serta stadium penyakit ditentukan
dengan keterangan komorbiditas dan perbedaan diagnosa. Pembaruan
rutin akan diberikan CORADS 1 memiliki nilai prediksi negatif yang
tinggi pada pasien dengan keluhan selama empat hari atau lebih.
CORADS 5 memiliki nilai prediksi positif yang sangat tinggi
mengingat peluang apriori yang tinggi dalam epidemi ini. Variasi antar
pengamat dari CORADS 2-4 masih tinggi dan memiliki nilai negatif dan
prediktif yang buruk. Penafsiran temuan CT harus dikombinasikan
dengan gejala klinis dan durasi gejala karena CT dapat negatif dalam
beberapa hari pertama infeksi ringan (Bai et al,2020).

Tabel Klasifikasi

17
 CO-RADS 1
CT-nya normal atau ada temuan yang menunjukkan penyakit tidak
menular seperti gagal jantung kongestif, sarkoid, histoplasmosis,
keganasan, UIP, atau NSIP fibrotik (jika tidak berubah dari
pemeriksaan sebelumnya). Pengecualian harus dilakukan untuk
beberapa hari pertama dari infeksi ringan ketika CT bisa normal.
Gambar CT adalah pasien dengan keluhan selama lima hari. Tidak
ada kelainan dan PCR negatif.

Gambar CO-RADS 1 Normal Chest CT

 CO-RADS 2
Kecurigaan tertular COVID-19 tergolong rendah. Temuan konsisten
dengan infeksi lain seperti bronkiolitis khas dengan dinding bronkus
yang tumbuh di dalam tunas pohon dan menebal, tbc. Tidak ada
tanda-tanda khas COVID-19.

18
Gambar CT menunjukkan bronkiektasis, penebalan dinding bronkial
dan tree-in-bud (panah). Tidak ada kekeruhan kaca tanah.

Gambar CO-RADS 2.1 Non Covid Infection

Gambar CO-RADS 2.2 Gambar menunjukkan penebalan dinding bronkial,


tunas pohon (panah) dan konsolidasi.

Gambar CO-RADS 2.3 Infeksi

19
Wanita 40 tahun dengan demam dan batuk
Temuan CT: konsolidasi lobar dan pohon-di-tunas (panah) konsisten
dengan infeksi bakteri, yaitu CORADS 2.
 CO-RADS 3
COVID-19 tidak pasti atau tidak pasti.

Kelainan CT menunjukkan infeksi, tetapi tidak yakin apakah COVID-19


terlibat, seperti bronkopneumonia yang meluas, pneumonia lobar,
emboli septik dengan kekeruhan kaca tanah.

Gambar CO-RADS 3

20
Gambar CO-RADS 3.2
 Kasus 1
Suatu hari keluhan. CT: GGO (Ground Glass Opacities) Unifocal.

PCR negatif.
 Kasus 2.
CT: Unifocal GGO (lingkaran).
 Kasus 3.
CT: GGO Unifocal (panah).
 Kasus 4.
CT: Unifocal GGO (lingkaran).
 Kasus 5
7 hari pengaduan.
CT: konsolidasi multifokal dengan sekitar GGO. PCR negatif.
 Kasus 6
Influenza A baru-baru ini. Riwayat hipertensi paru. Mulai batuk lagi.
CT: konsolidasi sentral bilateral dengan GGO difus.
Tes ulang: COVID-19 PCR: negatif dan Influenza A: positif.
 CO-RADS 4
- Dalam CO-RADS 4 tingkat kecurigaan tinggi.
- Sebagian besar adalah temuan CT yang mencurigakan tetapi tidak
terlalu khas:
- Kaca ground unilateral
- Konsolidasi multifokal tanpa temuan khas lainnya
- Temuan mencurigakan COVID-19 pada penyakit paru yang mendasari.

21
Gambar CO-RADS 4

Kasus 1
7 hari pengaduan
CT: area unilateral GGO di lobus kiri atas.
PCR: positif.
Kasus 2
CT: GGO bilateral pada pasien dengan emfisema.

 CO-RADS 5

Gambar CO-RADS 5.1


Kasus 1
GGO multifokal dan konsolidasi

22
Kasus 2
10 hari pengaduan.
CT: GGO multifokal bilateral, penebalan vaskular (lingkaran), pita
subpleural (panah). PCR: positif

Gambar 5.2 CO-RADS 5


Kasus 4
Temuan CT: area multifokal groundglass dan konsolidasi
Kasus 5
Temuan CT: area multifokal groundglass dan konsolidasi
 CORADS 6

Pasien dengan PCR positif dan GGO bilateral.

Perhatikan tanda halo (panah).

23
Gambar 6 CO-RADS 6

The Chinese Medical Association Radiology Branch manifestasi CT


pada pasien Covid-19 membagi manifestasi gambaran CT scan berdasarkan
perjalanan klinisnya, yaitu:67

a) Early stage: terdapat gambaran single atau multiple opasitas ground-glass


yang tersebar, predominan terdistribusi pada area perifer dan subpleural
paru, serta ditemukan adanya penebalan septum intralobular.
b) Advanced stage: tampak bertambah luas dan opasitas densiti parenkim
paru bilateral. Terdapat opasitas graund-glass dan konsolidasi pada kedua
paru dan terdapat air brochogram.
c) Severe stage: konsolidasi difus parenkim paru dengan kepadatan tidak
merata, udara bronkus dan dilatasi bronkial, yang mungkin tampak sebagai
”whited out lung”.
d) Dissipation stage: daerah opasitas ground glass dan konsolidasi hampir
seluruhnya mambaik dan hanya meninggalkan beberapa daerah kepadatan
lengkung residu.
2.9 Tatalaksana COVID-19 (WHO, 2020)
A. Tatalaksana COVID-19 ringan : pengobatan gejala dan monitoring
a) Pasien dengan penyakit ringan tidak memerlukan intervensi rumah sakit,
tetapi isolasi diperlukan untuk mencegah penularan virus lebih luas, sesuai
strategi dan sumber daya nasional.
 Sebagian besar pasien yang bergejala ringan tidak memerlukan
perawatan rumah sakit, tetapi perlu diimplementasikan PPI yang sesuai
dengan standard untuk mencegah dan memitigasi penularan. Hal ini
dapat dilakukan di rumah sakit, jika hanya terjadi kasus secara sporadis
atau klaster kecil, atau di tempat nontradisional yang digunakan untuk
tujuan ini; atau di rumah.
b) Beri pasien COVID-19 ringan pengobatan gejala seperti antipiretik untuk
demam.

24
c) Jelaskan kepada pasien COVID-19 ringan tanda-tanda dan gejala-gejala
penyulit. Jika menunjukkan gejala mana pun dari gejala tersebut, pasien
disarankan untuk segera mencari pertolongan melalui sistem rujukan
nasional.
B. Tatalaksana COVID-19 berat : terapi oksigen dan monitoring
a) Segera beri terapi oksigen tambahan kepada pasien infeksi saluran
pernafasan akut berat (SARI) dan gawat pernapasan, hipoksaemia atau
renjatan dan target SpO2 > 94%.
i. Pasien dewasa yang menunjukkan tanda-tanda darurat (pernapasan
terhalang atau apnea, gawat pernapasan, sianosis sentral, renjatan, koma,
atau kejang) perlu menerima tatalaksana saluran pernapasan dan terapi
oksigen untuk mencapai SpO2 ≥ 94%. Mulai berikan terapi oksigen 5
L/menit dan atur titrasi untuk mencapai target SpO2 ≥ 93% selama
resusitasi; atau gunakan sungkup tutup muka dengan kantong reservoir
(dengan tingkat 10-15 L/min) jika pasien dalam kondisi kritis. Setelah
pasien stabil, targetnya adalah > 90% SpO2 pada pasien dewasa tidak
hamil dan ≥ 92-95% pada pasien hamil.73, 74
ii. Semua area di mana perawatan pasien SARI dilakukan harus dilengkapi
oksimeter denyut, sistem oksigen sekali pakai yang berfungsi, antarmuka
pengantaran oksigen sekali pakai (kanula hidung, prong hidung, masker
wajah sederhana, dan sungkup tutup muka dengan kantong reservoir).
b) Pantau dengan teliti tanda-tanda pemburukan klinis pada pasien COVID-19,
seperti kegagalan pernapasan progresif cepat dan sepsis dan segera beri
intervensi perawatan suportif.
i. Tanda-tanda vital pasien COVID-19 di rumah sakit perlu dimonitor
secara berkala dan, jika memungkinkan, perlunya menggunakan skor
peringatan dini medis yang memfasilitasi pengenalan dini dan eskalasi
perawatan pasien yang memburuk perlu diamati.75
ii. Uji laboratorium hematologi dan biokimia dan ECG harus dilakukan saat
pasien masuk rumah sakit dan saat diperlukan menurut indikasi klinis
guna memonitor komplikasi, seperti cedera liver akut, cedera ginjal akut,
cedera jantung akut, atau renjatan. Pelaksanaan terapi suportif yang tepat

25
waktu, efektif, dan aman adalah bagian penting dalam terapi pasien yang
menunjukkan manifestasi berat COVID-19.
iii. Setelah resusitasi dan stabilisasi pasien hamil, kesehatan janin harus
dimonitor.
c) Perhatikan kondisi komorbid pasien untuk menyesuaikan tatalaksana
penyakit kritis.
 Tentukan terapi kronis mana yang perlu dilanjutkan dan terapi mana yang
harus dihentikan sementara. Monitor interaksi obat.
d) Gunakan tatalaksana cairan konservatif pada pasien SARI jika belum ada
bukti renjatan.
 Perawatan pasien SARI dengan cairan intravena harus hati-hati
dilakukan, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk
oksigenasi, terutama di mana ventilasi mekanis terbatas. Hal ini berlaku
untuk perawatan pasien anak dan pasien dewasa.76
C. Tatalaksana COVID-19 berat : pengobatan koinfeksi
a) Beri antimikroba empiris untuk mengobati semua kemungkinan patogen
penyebab SARI dan sepsis sesegera mungkin, dalam waktu 1 jam setelah
penilaian awal untuk pasien sepsis.
i. Meskipun pasien diduga terjangkit COVID-19, berikan
antimikroba empiris yang sesuai dalam waktu 1 jam sejak
identifikasi sepsis.77 Pengobatan antibiotik empiris harus
didasarkan pada diagnosis klinis (pneumonia dapatan masyarakat,
pneumonia terkait perawatan kesehatan jika infeksi terjadi di
tempat perawatan kesehatan] atau sepsis), epidemiologi setempat
dan data kerentanan, dan panduan pengobatan nasional untuk
sepsis.
ii. Jika terjadi penyebaran influenza musiman lokal, terapi empiris
dengan inhibitor neuraminidase perlu dipertimbangkan untuk
merawat pasien influenza atau yang berisiko terkena penyakit
parah.77
b) Terapi empiris sebaiknya diturunkan berdasarkan hasil mikrobiologi dan
penilaian klinis.

26
D. Tatalaksana COVID-19 kritis: sindrom gawat pernapasan akut (ARDS)
a) Kenali kegagalan pernapasan hipoksemik berat jika tidak ada tanggapan
dari pasien gawat pernapasan terhadap terapi oksigen standar dan
persiapkan dukungan oksigen/ventilasi lanjutan.
 Pasien dapat tetap mengalami peningkatan kerja pernapasan atau
hipoksemia walaupun sudah diberi oksigen melalui sungkup tutup muka
dengan kantong reservoir (aliran 10-15 L/menit, yang biasanya adalah
aliran minimal yang diperlukan agar kantong tetap mengembang; FiO2
antara 0,60 dan 0,95). Kegagalan napas hipoksemia pada ARDS
biasanya terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau
pirau/pintasan intrapulmoner dan biasanya memerlukan ventilasi
mekanis.77
b) Intubasi endotrakea harus dijalankan oleh petugas terlatih dan
berpengalaman dengan menerapkan kewaspadaan airborne.
 Pasien ARDS, terutama pasien anak kecil atau pasien dengan kondisi
obesitas atau hamil, dapat dengan cepat mengalami desaturasi selama
intubasi. Berikan preoksigenasi dengan 100% FiO2 selama 5 menit,
melalui sungkup wajah dengan kantong reservoir, sungkup berkatup
pembatas kantong, oksigen high-flow nasal oxygen (HFNO) atau NIV.
Intubasi urutan cepat (rapid-sequence intubation) dapat dilakukan setelah
penilaian saluran pernapasan tidak menemukan tanda kesulitan
intubasi.78, 79, 80
c) Jalankan ventilasi mekanis dengan volume alun rendah (4-8 mL/kg
prediksi berat badan (PBW) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan plato <
30 cmH2O).77, 81
 Tindakan ini sangat dianjurkan oleh sebuah panduan klinis untuk pasien
ARDS (5), dan disarankan bagi pasien kegagalan napas karena sepsis
yang tidak memenuhi kriteria ARDS (5). Volume tidal awal adalah 6
mL/kg PBW; volume tidal hingga 8mL/kg PBW dapat diberikan jika
terjadi efek samping yang tidak diinginkan (mis., dissinkroni, pH <
7,15). Terjadinya hiperakapnia permisif diperbolehkan. Protokol

27
ventilator dapat dijalankan. Penggunaan sedasi dalam mungkin
diperlukan untuk mengendalikan pemacu pernapasan (respiratory drive)
dan mencapai target volume tidal.
d) Pada pasien dewasa ARDS berat, dianjurkan ventilasi posisi telungkup
selama 12-16 jam per hari. 77, 81
 Pelaksanaan ventilasi posisi telungkup (prone) sangat dianjurkan untuk
pasien dewasa, dan boleh dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien
anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan sumber daya manusia
serta keahlian yang cukup agar dapat dilakkan dengan aman; protokol
(termasuk video) ada di
https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoal1214103.82, 83
e) Gunakan strategi tatalaksana cairan konservatif untuk pasie nARDs tanpa
hipoperfusi jaringan.
 Anjuran ini adalah sangat direkomendasikan77; efek utamanya adalah
memperpendek durasi ventilasi.84
f) Pada pasien ARDS sedang atau berat, disarankan PEEP tinggi dan PEEP
rendah tidak disarankan.
i. Manfaat titrasi PEEP (mengurangi atelektrauma dan meningkatakan
rekrutmen alveoral) dan risiko titrasi PEEP (distensi alveolar berlebih
pada akhir inspirasi yang menyebabkan cedera paru dan resistensi
vaskuler pulmoner yang lebih tinggi) perlu dipertimbankgan. Ada tabel-
tabel panduan titrasi PEEP berdasarkan FiO2 yang dibutuhkan untuk
menjaga SpO2.85 Pada anak kecil, tingkat PEEP maksimal adalah 15
cmH2O. Meskipun tekanan pemacu (driving) yang tinggi (tekanan plato
– PEEP) dapat lebih akurat memprediksi peningkatan kematian pada
ARDS dibandingkan volume alun tinggi atau tekanan plato, belum
tersedia data dari uji acak terkendali (RCT) strategi ventilasi yang
menyasar tekanan pemacu.86
ii. Intervensi terkait manuver rekrutmen (RM) diberikan saat terjadi CPAP
tinggi (30-40 cmH2O) periodik, peningkatan PEEP perlahan progresif
dengan tekanan pemacu yang konstan, atau tekanan pemacu yang
tinggi; pertimbangan manfaat dan risikonya juga serupa. Di dalam

28
panduan praktik klinis, PEEP lebih tinggi dan RM dianjurkan dengan
melihat kondisi. Untuk PEEP, panduan mempertimbangkan
metaanalisis data pasien individual dari tiga RCT.87 Namun, RCT
berikutnya atas PEEP tinggi dan RM tekanan tinggi berpanjangan
menunjukkan adanya kerugian, yang mengindikasikan bahwa protokol
dalam RCT ini sebaiknya dihindari.88 Disarankan untuk dilakukan
monitoring guna mengidentifikasi pasien yang merespons penerapan
awal PEEP tinggi atau RM protokol lain dan menghentikan intervensi
ini pada pasien tidak merespons.89
g) Pada pasien ARDS sedang-berat (PaO2/FiO2 < 150), tidak dianjurkan
penggunaan rutin blok neuromuskular melalui infus bersinambung.
 Sebuah uji menemukan bahwa strategi ini meningkatkan sintasan pada
pasien dewasa ARDS berat (PaO2/FiO2 < 150) tanpa menyebabkan
lemas berlebihan,90 tetapi hasil uji baru yang lebih besar menunjukkan
bahwa blok neuromuskular dengan strategi PEEP tidak dikaitkan
dengan manfaat sintasan dibandingkan strategi sedasi ringan tanpa blok
neuromuskular.91 Blok neuromuskular bersinambung masih dapat
dipertimbangkan bagi pasien ARDS, baik pasien dewasa maupun
pasien anak, pada situasi-situasi tertentu: disinkroni ventilator meski
dilakukan sedasi, sehingga pembatasan volume tidal tidak dapat
tercapai dengan pasti; atau hipoksemia refraktori atau hiperkapnia.
h) Hindari pelepasan ventilator dari pasien, yang menyebabkan kehilangan
PEEP dan atelektasis.
i) Gunakan kateter tertutup (in-line) untuk hisap saluran napas dan tutup
rapat tabung endotrakeal saat harus dilepaskan (misal, pemindahan ke
ventilator transpor).
j) HFNO (High Flow Nasal Oxygen) sebaiknya hanya digunakan pada
pasien tertentu dengan kegagalan pernapasan hipoksemia.
k) NIV (Non-invasive ventilation) sebaiknya hanya digunakan pada pasien
tertentu dengan kegagalan pernapasan hipoksemia.
l) Pasien yang diberi HFNO atau NIV sebaiknya diawasi dengan baik untuk
mengetahui jika ada pemburukan klinis.

29
i. : Sistem HFNO dewasa dapat mengantarkan 60 L/menit aliran gas
dan FiO2 hingga 1.0. Sirkuit pediatrik biasanya hanya
mengantarkan 25 L/menit, dan banyak anak akan memerlukan
sirkuit dewasa untuk mendapatkan aliran yang cukup.
ii. Karena masih ada ketidakpastian tentang kemungkinan
aerosolisasi, HFNO, NIV, termasuk CPAP gelembung, harus
digunakan dengan kewaspadaan airborne sampai selesainya
evaluasi keamanan lanjutan.
iii. Dibandingkan terapi oksigen standar, HFNO mengurangi
kebutuhan akan intubasi.92 Pasien dengan hiperkapnia
(memburuknya penyakit hambatan paru, edema kardiogenik
pulmoner), instabilitas hemodinamis, gagal multiorgan, atau status
mental abnormal secara umum sebaiknya tidak diberi HFNO,
meskipun data baru menunjukkan HFNO mungkin aman bagi
pasien hiperkapnia ringan-sedang yang tidak memburuk.92, 93, 94

Pasien yang diberi HFNO harus ditempatkan di tempat yang


dimonitor dan dirawat oleh petugas berpengalaman yang dapat
melakukan intubasi endotrakeal jika pasien mengalami
pemburukan akut atau tidak membaik setelah uji singkat (sekitar 1
jam). Panduan berbasis bukti tentang HFNO belum ada. Laporan
tentang HFNO pada pasien terinfeksi jenis coronavirus lain juga
masih terbatas.94
iv. Panduan NIV tidak merekomendasikan penggunaan NIV saat
terjadi gagal pernapasan hipoksemia (selain edema kardiogenik
pulmoner dan gagal pernapasan pascaoperasi) atau penyakit virus
pandemik (berdasarkan penelitian tentang SARS dan influenza
pandemik).77 Risiko yang ada meliputi intubasi tertunda, volume
alun tinggi, dan tekanan transpulmoner yang mencederai. Data
yang masih terbatas menunjukkan adanya tingkat kegagalan yang
tinggi pada pasien infeksi virus lain seperti MERS-CoV yang
diberi NIV.95

30
v. Pasien yang diberi uji NIV harus ditempatkan di tempat yang
dimonitor dan dirawat oleh petugas berpengalaman yang dapat
melakukan intubasi endotrakeal jika pasien mengalami
pemburukan akut atau tidak membaik setelah uji singkat (sekitar 1
jam). Pasien dengan instabilitas hemodinamis, gagal multiorgan,
atau status mental abnormal kemungkinan sebaiknya tidak diberi
NIV untuk menggantikan opsi lain seperti ventilasi invasif.
vi. Dalam situasi di mana ventilasi mekanis tidak tersedia, CPAP
hidung gelembung dapat digunakan untuk bayi baru lahir dan
pasien hipoksemia berat anak, dan mungkin menjadi alternatif
yang lebih memungkinkan di tempat-tempat dengan sumber daya
terbatas.96
m) Di tempat di mana tersedia tenaga ahli oksigenasi membran
ekstrakorporeum (ECMO), pertimbangkan merujuk pasien dengan
hipoksemia refraktori meskipun sudah dilakukan ventilasi pelindung paru.
 Sebuah RCT atas ECMO untuk pasien ARDS dewasa dihentikan
lebih awal. Dalam RCT ini, tidak ditemukan perbedaan signifikan
statistis pada hasil primer kematian 60 hari antara ECMO dan
tatalaksana medis standar (termasuk posisi telungkup dan blok
neuromuskular).97 Namun demikian, ECMO dikaitkan dengan
penurunan risiko hasil gabungan kematian dan pemindahan ke
ECMO,97 dan analisis Bayes post hoc RCT ini menunjukkan bahwa
ECMO sangat mungkin menurunkan kematian pada serangkaian
asumsi sebelumnya.98 ECMO sebaiknya hanya diberikan di fasilitas-
fasilitas bertenaga ahliyang jumlah kasusnya cukup untuk memelihara
kemampuan ahli dan yang dapat menerapkan langkah-langkah PPI
yang diperlukan untuk pasien COVID-19 dewasa dan anak.99, 100
E. Tatalaksana penyakit dan COVID-19 kritis : pencegahan komplikasi
a) Terapkan intervensi-intervensi pada table berikut untuk mencegah
komplikasi terkait penyakit kritis. Intervensiintervensi ini didasarkan pada
panduan Surviving Sepsis atau panduan lainnya, dan secara umum dibatasi

31
hanya untuk rekomendasi yang dapat dilakukan berdasarkan bukti yang
meyakinkan. 101, 102, 103, 104,

Tabel 3. Pencegahan Komplikasi

Hasil yang
Intervensi
diharapkan
 Menggunakan protokol sapih termasuk penilaian harian
Mengurangi lama atas kesiapan bernapas spontan
ventilasi mekanis  Meminimalisasi sedasi bersinambung atau berjeda, yang
invasif (hitungan menyasar titik akhir titrasi (titration endpoints) (sedasi
hari) ringan kecuali jika ada kontraindikasi) atau interupsi
harian untuk infusi sedasi bersinambung
 Intubasi oral lebih disarankan dibandingkan intuasi hidung
pada pasien remaja dan dewasa
 Pasien tetap pada posisi semi-berbaring (kepala tempat
Mengurangi
tidur miring 30-45°)
insidensi
 Gunakan sistem hisap tertutup; secara berkala keringkan
pneumonia terkait
dan buang kondensasi pada selang
ventilator
 Gunakan sirkuit ventilator baru untuk setiap pasien;
setelah pasien diventilasi, ganti sirkuit jika kotor atau
rusak, bukan secara rutin
 Ganti pengubah panas dan kelembapan jika terjadi
malfungsi, kotor, atau setiap 5-7 hari
Mengurangi  Gunakan profilaksis farmakologis (heparin bobot molekul
insidensi rendah [disarankan jika tersedia] atau heparin 5000 unit
tromboembolism secara subkutan dua kali sehari) pada pasien remaja dan
e pasien dewasa yang tidak ada kontraindikasi. Bagi pasien
dengan kontraindikasi, gunakan profilaksis mekanis (alat
kompresi pneumatis berjeda)
Mengurangi  Guanakan daftar pengingat yang diperiksa oleh pengamat
insidensi infeksi yang turut hadir untuk mengingatkan setiap langkah yang
aliran darah diperlukan agar insersi dapat dilakukan secara steril dan
terkait kateter sebagai pengingat harian untuk melepaskan kateter jika

32
tidak lagi dibutuhkan
Mengurangi
insidensi ulkus  Miringkan pasien setiap 2 jam
tekan
 Beri nutrisi enteral awal (dalam waktu 24-48 jam setelah
Mengurangi pasien masuk rumah sakit)
insidensi ulkus  Beri penghambat reseptor histamin-2 atau inhibitor pompa
stres dan proton pada pasien berfaktor risiko perdarahan GI. Faktor
perdarahan risiko perdarahan GI meliputi ventilasi mekanis selama ≥
gastrointestinal 48 jam, koagulopati, terapi ganti ginjal, penyakit liver,
(GI) komorbiditas berganda, dan skor kegagalan organ lebih
tinggi
Mengurangi
 Segera aktif dorong pasien bergerak pada tahap awal sakit
insidensi lemah
saat pasien dapat bergerak dengan aman
terkait ICU

Algoritma Tatalaksana Covid-19 (Papdi,2020)

33
Rangkuman Alur Tatalaksana Covid-19 Berdasarkan Beratnya Kasus
(Papdi,2020)

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Novel coronavirus (2019-nCoV) pertama kali di konfirmasi pada
tanggal 11 Februari 2020 dan pada saat itu juga WHO mengganti namanya
menjadi Coronavirus Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Coronavirus
adalah virus RNA, biasanya virus ini menyerang hewan. Pada kenyataannya
virus ini dapat menyerang manusia dan yang menjadi etiologi pada COVID-19
ini adalah Coronavirus yang termasuk dalam genus betacoronavirus. Awalnya
virus ini di temukan pada kelelawar, akhirnya bermutasi dan dapat menyerang
manusia. Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi
sumber transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif dan

34
penyebarannya secara droplet (percikan air yang dikeluarkan melalui saluran
pernafasan atas). Manusia yang terinfeksi oleh virus ini memiliki gejala ringan
dan berat. Dengan ciri gejala ringan seperti infeksi akut saluran napas atas
tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau
tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit
kepala. Sedangkan pada gejala berat pasien akan menunjukkan gejala pada
sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas. Untuk
menentukan seorang pasien terkena COVID-19 atau tidak dapat dilakukan
dengan langkah awal anamnesa untuk membedakan pasien dalam pengawasan
dan pasien dalam pemantauan. Setelah itu baru melakukan pemeriksaan fisik
dan penunjang untuk mengkonfirmasi kepastian status pasien.
Untuk pengobatan pasien yang terkena COVID-19 dibagi berdasarkan
beberapa keadaan, yaitu : ringan dengan tujuan pengobatan gejala dan
monitoring, berat dengan tujuan terapi oksigen dan monitoring, berat dengan
tujuan pengobatan koinfeksi, kritis dengan tujuan pengobatan sindrom gawat
pernafasan akut (ARDS), kritis dengan tujuan pencegahan komplikasi, kritis
dengan tujuan pengobatan septic shock dan terapi-terapi penunjang dengan
menggunakan kortikosteroid. Hal ini diperlukan karena pada dasarnya COVID-
19 adalah self-limited disease yang mana akan sembuh sendiri dengan catatan
daya tahan tubuh pasien dalam keadaan yang baik dan tidak terdapat penyakit
lain yang memperparah keadaan pasien atau keadaan dimana pasien menjadi
lebih rentan terkena penyakit lainnya. Maka dari itu perlunya monitoring
sangat di tekankan pada pengobatan COVID-19.
3.2 SARAN
Penulisan makalah ini didasari dengan tujuan untuk mempelajari dan
juga memberikan informasi mengenai wabah yang sedang terjadi sekarang.
Penulis tentunya menyadari masih terdapat banyak kesalahan dan
ketidakpastian yang jauh dari kesempurnaan. Penulis dengan sangat
menyarankan agar selalu banyak membaca mengenai artikel COVID-19
lainnya dengan tujuan mendapatkan ilmu yang lebih banyak lagi agar pembaca
bisa mengetahui lebih baik dan dapat melakukan tindakan pencegahan dengan
lebih baik untuk diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar.

35
DAFTAR PUSTAKA
Bai et al. Radiology. Performance of radiologists in differentiating COVID 19
from viral pneumonia on chest CT. Published Online: March 10,2020.
Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, et al. Clinical characteristics
and intrauterine vertical transmission potential of COVID-19 infection in nine
pregnant women: a retrospective review of medical records. Lancet.
2020;395(10226):809-15.
Diaz JH. Hypothesis: angiotensin-converting enzyme inhibitors and
angiotensin receptor blockers may increase the risk of severe COVID-19. J Travel
Med. 2020; published online March 18. DOI: 10.1093/jtm/taaa041
Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, Liang WH, Ou CQ, He JX, et al. Clinical
Characteristics of Coronavirus Disease 2019 in China. New Engl J Med. 2020;
published online February 28. DOI: 10.1056/NEJMoa2002032.

36
Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical features of
patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet.
2020;395(10223):497-506.
K. Liu, Y. Chen and R. Lin et al., Clinical feature of COVID-19 in elderly
patients: A comparison with young and middle-aged patients, Journal of Infection,
https://doi.org/10.1016/j.jinf.2020.03.005
Kampf G, Todt D, Pfaender S, Steinmann E. Persistence of coronaviruses on
inanimate surfaces and their inactivation with biocidal agents. J Hosp Infect.
2020;104(3):246-51.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Info Infeksi Emerging
Kementerian Kesehatan RI [Internet]. 2020 [updated 2020 March 30; cited 2020
March 31]. Available from: https:// infeksiemerging.kemkes.go.id/.
Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, Lu S. Molecular immune pathogenesis and
diagnosis of COVID-19. J Pharm Anal. 2020; published online March 5. DOI:
10.1016/j.jpha.2020.03.001 31. de Wit E, van Doremalen N, Falzarano D,
Munster VJ. SARS and MERS: recent insights into emerging coronaviruses. Nat
Rev Microbiol. 2016;14(8):523-34.
Liang W, Guan W, Chen R, Wang W, Li J, Xu K, et al. Cancer patients in
SARS-CoV-2 infection: a nationwide analysis in China. Lancet Oncol.
2020;21(3):335-7.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pneumonia COVID-19:
Diagnosis dan Tatalaksana di Indonesia. Jakarta. PDPI. 2020
Ren L-L, Wang Y-M, Wu Z-Q, Xiang Z-C, Guo L, Xu T, et al. Identification
of a novel coronavirus causing severe pneumonia in human: a descriptive study.
Chin Med J. 2020; published online February 11. DOI:
10.1097/CM9.0000000000000722.
Riedel S, Morse S, Mietzner T, Miller S. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s
Medical Microbiology. 28th ed. New York: McGrawHill Education/Medical;
2019. p.617-22.
Rothan HA, Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of
coronavirus disease (COVID-19) outbreak. J Autoimmun. 2020; published online
March 3. DOI: 10.1016/j.jaut.2020.102433.

37
Simmons G, Reeves JD, Rennekamp AJ, Amberg SM, Piefer AJ, Bates P.
Characterization of severe acute respiratory syndromeassociated coronavirus
(SARS-CoV) spike glycoprotein-mediated viral entry. Proc Natl Acad Sci U S A.
2004;101(12):4240-5.
Thevarajan I, Nguyen THO, Koutsakos M, Druce J, Caly L, van de Sandt CE,
et al. Breadth of concomitant immune responses prior to patient recovery: a case
report of non-severe COVID-19. Nat Med. 2020; published online March 16.
DOI: 10.1038/s41591- 020-0819-2.
Van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A,
Williamson BN, et al. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as
Compared with SARS-CoV-1. N Engl J Med. 2020;published onl ine March 17.
DOI: 10.1056/NEJMc2004973
Wang H, Yang P, Liu K, Guo F, Zhang Y, Zhang G, et al. SARS coronavirus
entry into host cells through a novel clathrinand caveolae-independent endocytic
pathway. Cell Res. 2008;18(2):290-301.
Wang D, Hu B, Hu C, Zhu F, Liu X, Zhang J, et al. Clinical Characteristics of
138 Hospitalized Patients With 2019 Novel Coronavirus-Infected Pneumonia in
Wuhan, China. JAMA. 2020; published online February 7. DOI:
10.1001/jama.2020.1585.
World Health Organization. Clinical management of severe acute respiratory
infection when novel coronavirus (nCoV) infection is suspected. Geneva: World
Health Organization; 2020.
World Health Organization. Naming the coronavirus disease (COVID-19) and
the virus that causes it [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2020 [cited
April2021].Availablefrom:https://www.who.int/emergencies/diseases/novelcoron
avirus-2019/technical- uidance/naming-the-coronavirusdisease-(covid-2019)-and-
the-virus-that-causes-it.
Yang J, Zheng Y, Gou X, Pu K, Chen Z, Guo Q, et al. Prevalence of
comorbidities in the novel Wuhan coronavirus (COVID-19) infection: a
systematic review and meta-analysis. Int J Infect Dis. 2020; published online
March 12. DOI: 10.1016/j.ijid.2020.03.017.

38
Young BE, Ong SWX, Kalimuddin S, Low JG, Tan SY, Loh J, et al. Features
and Clinical Course of Patients Infected With SARS-CoV-2 in Singapore. JAMA.
2020; published online March 3. DOI: 10.1001/jama.2020.3204. 60.
Zhang T, Wu Q, Zhang Z. Probable Pangolin Origin of SARSCoV-2
Associated with the COVID-19 Outbreak. Curr Biol. 2020; published online
March 13. DOI: 10.1016/j.cub.2020.03.022
Zhou P, Yang X-L, Wang X-G, Hu B, Zhang L, Zhang W, et al. A pneumonia
outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature.
2020;579(7798):270-3.
Zhu N, Zhang D, Wang W, Li X, Yang B, Song J, et al. A Novel Coronavirus
from Patients with Pneumonia in China, 2019. N Engl J Med. 2020;382(8):727-
33.
Zumla A, Hui DS, Azhar EI, Memish ZA, Maeurer M. Reducing mortality
from 2019-nCoV: host-directed therapies should be an option. Lancet.
2020;395(10224):e35-e6.

39

Anda mungkin juga menyukai