Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

APPENDICITIS AKUT

Oleh :
Dr. Fitria Rizki

Pendamping :

Dr. Novia Etty, Sp. PD

Pembimbing :
Dr. Yudha Bayu Pronawan

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD PADANGAN KABUPATEN BOJONEGORO
2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Appendicitis Akut

Diajukan sebagai syarat untuk Program Internsip Dokter Indonesia

Periode Februari 2021 – Februari 2022

RSUD Padangan Kabupaten Bojonegoro

Disusun Oleh :

Dr. Fitria Rizki

Telah disetujui

Pada tanggal 16 Juni 2021

Pembimbing,

Dr. Yudha Bayu Pronawan

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul_______________________________________________________ i
Kata Pengantar_______________________________________________________ ii
Daftar Isi___________________________________________________________ iii

BAB I LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien__________________________________________________ 1

1.2 Anamnesis______________________________________________________ 1

1.3 Pemeriksaan Fisik________________________________________________ 1

1.4 Pemeriksaan Penunjang____________________________________________ 3

1.5 Diagnosis Kerja__________________________________________________ 5

1.6 Diagnosis Banding________________________________________________ 5

1.7 Penatalaksanaan__________________________________________________ 5

1.8 Prognosis_______________________________________________________ 6

1.9 Follow Up______________________________________________________ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi_________________________________________________________ 8

2.2 Anatomi________________________________________________________ 8

2.3 Fungsi Appendix__________________________________________________ 9

2.4 Etiologi________________________________________________________ 11

2.5 Klasifikasi______________________________________________________ 12

2.6 Pathogenesis____________________________________________________ 13

2.7 Gejala Klinis____________________________________________________ 15

2.8 Pemeriksaan Fisik _______________________________________________ 17

2.9 Differential Diagnose_____________________________________________ 21

2.10 Penatalaksanaan_________________________________________________ 22

iii
2.11 Komplikasi__________________________________________________ 28

2.12 Prognosis___________________________________________________ 28

2.13 Daftar Pustaka_______________________________________________ 29

iv
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 19 tahun
Alamat : Tembeling, Kasiman
Status : Belum Menikah
Tanggal masuk : 3 May pk 03.00 a.m

1.2 Anamnesis
 Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah
 Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari yang lalu. Nyeri hilang timbul
(+), mual (+), muntah (+) tiap makan atau minum. Tidak bisa BAB kurang lebih 1 hari
yang lalu.
Riwayat penyakit dahulu: Tidak ada

1.3 Pemeriksaan Fisik


Status generalis
Kesan umum : Tampak sakit sedang, agak gelisah karena nyeri
Tanda-tanda vital
o GCS : 456
o Tekanan darah : 130/80 mmHg
o Nadi : arteri brachialis : 90x/menit, reguler, teraba kuat
Arteri radialis : 90x/ menit reguler, teraba kuat
o Pernafasan : 20x/menit
o Suhu : 36,5˚ C
 Kepala
o Edema palpebra : -/-
o Konjunctiva anemis : (-)
o Sklera ikterik : (-)

1
o Pernafasan cuping hidung : (-)
 Leher
o Trakea : tidak ada deviasi
o Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
o Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
o JVP : tidak meningkat
 Thoraks :
o Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi :
 Batas kiri : sesuai ictus
 Batas kanan : parasternal line dextra
 Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
o Paru
 Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-)
 Palpasi : chest expansion simetris, tidak ada krepitasi
 Perkusi : sonor di semua lapangan paru
 Auskultasi
v/v Rh -/- Wh -/-
v/v -/- -/-
v/v -/- -/-
 Abdomen
o Inspeksi : flat
o Auskultasi : Bising Usus (+) normal
o Palpasi : Soefl, hepar dan Lien tidak teraba besar, nyeri tekan regio kanan
bawah
o Perkusi : Traube space Timpani, Liver spleen ± 8 cm, defans muscular (-)
o Psoas Sign (+)
o Obturator sign (+)
o Rovsing sign (+)

2
 Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
Anemis -/- Ikterik -/- Edema -/-
-/- -/- -/-

1.4 Pemeriksaan Penunjang


 EKG

3
Rontgen Thorax :

USG ABDOMEN

4
Laboratorium 03 May 2021 :
Lab Hasil Nilai normal Lab Hasil Nilai normal
Hemoglobin 16,0 13,5 -16,5 g/dl Creatinin 1,42 0,6-1.1 mg/dl
Hematokrit 49,2 41-50 % SGOT 34 <37 U/L
MCV 86 80 – 100 Fl SGPT 40 <45 U/L
MCH 27,8 26 – 34 pg HBs Ag NON REAKTIF Non Reaktif
MCHC 32,5 31 – 37 % Rapid T
PLT 204 150–450 IgG NON REAKTIF NON REAKTIF
10^3/mm3
WBC 14,8 4,0–10,0 IgM NON REAKTIF NON REAKTIF
10^3/mm3
Diffcount
Segmen 90 54-62 %
Limfosit 6 20-45 %
Monosit 4 2-8 %
GDA 125 <180 mg/dl
Ureum 43 10-50 mg/dl

1.5 Diagnosis Awal


Appendicitis Akut

1.6 Diagnosis Banding


 Pelvic Inflamatort Disease (PID)
 Diverticulitis Meckeli

1.7 Penatalaksanaan
1. Diagnostik
 Laboratorium :
o Darah Lengkap
o Liver Function Test : SGOT, SGPT
o Renal Function Test : Ur, Cr
o GDA
 Rontgen Thorax

5
 EKG

2. Terapi
 IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Inj. Ketorolac 1 amp extra
 Inj. Ranitidine 1 amp / 12 jam
 Inj. Ondansentron 1 amp / 8 jam
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
 Pro Appendictomi

Plan :
 Foto BNO 3 posisi

Edukasi :
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit pasien yaitu appendicitis akut
 Menjelaskan kepada pasien untuk dirawat di bangsal bedah
 Menjelaskan kepada pasien kemungkinan dilakukan operasi

3. Monitoring
 Keluhan Pasien
 Tanda – tanda vital

1.8 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam

6
1.9 Follow Up

Tang Subjektif Objektif Assesment Planning


gal
03/05/ Nyeri GCS 456 Appendicitis 09.00
21 Perut TD : 120/80 Akut  C/ Bedah
Kanan N : 65x/mt o MRS
R: 20x/mt o Operasi Besok
Sat. O2 98% o Inj. Ceftriaxone
o Inj. Ketorolac
o Inj. Ranitidine
 C/Anestesi
o Puasa
o ACC operasi besok

04/05/ Nyeri GCS 456 Post  Inf. RL 20 tpm


21 perut TD : 120/80 apendekto  Inj. Ranitidine 1
kanan N : 69x/mt mi H1 amp/12 jam
bawah R: 20x/mt  Inj. Ketorolac 1 amp/8
berkuran T: 36,7 C jam
g, mual Sat. O2 98%  Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
(+), BAK
(+)
05/05/ Nyeri GCS 456 Post  Inf. RL 20 tpm
21 perut TD : 120/80 apendekto  Inj.Ranitidine1 amp/12
kanan N : 67x/mt mi H2 jam
bawah R: 20x/mt  Inj. Ketorolac 1 amp/8
berkuran T: 36,5 C jam
g, mual Sat. O2 98% Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
(+), BAK
(+), BAB
(+)

7
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Pada masyarakat
umum,sering juga disebut dengan istilah radang usus buntu. Akan tetapi, istilah
usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat,
karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum).
Sedangkan apendiks atau yang sering disebut juga dengan umbai cacing
adalah organ tambahan pada usus buntu. Umbai cacing atau dalam bahasa
Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah ujung buntu tabung
yang menyambung dengan caecum.

2.2 Anatomi
Apendiks terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Apendiks merupakan
organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm
(kisaran 3-15cm) dan pada orang dewasa umbai cacing berukuran sekitar 10
cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap yaitu berpangkal di sekum, lokasi
ujung umbai cacing bisa berbeda-beda, yaitu di retrocaecal atau di pinggang
(pelvis) yang pasti tetap terletak di peritoneum.
Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada
bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan
sekum. Selama anak-anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam
retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal. Pada apendiks terdapat 3 tanea
coli yang menyatu dipersambungan caecum dan bisa berguna dalam
menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak
adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal(5%),
Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal (1%).
Apendiks dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari
bagian bawah arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk arteri akhir atau

8
ujung. Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks
menuju ke nodus limfe ileocaecal.

2.3 Fungsi Apendiks


Organ apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang
tidak mempunyai fungsi. Tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks
adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi
immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh). Immunoglobulin sekretoal
merupakan zat pelindung yang efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem
imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah
Ig-A. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang
terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada
saluran cerna lain.
Selain itu, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari. Lendir itu
secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum.
Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut merupakan salah satu penyebab
timbulnya appendisitis.
Fungsi appendiks masih mengalami banyak perdebatan, namun para ahli
meyakini antara lain sebagai berikut :
1. Berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh

9
Antara lain menghasilkan Immunoglobulin A (IgA) seperti halnya
bagian lain dari usus. IgA merupakan salah satu immunoglobulin
(antibodi) yang sangat efektif melindungi tubuh dari infeksi kuman
penyakit. Menurut penelitian appendiks memiliki fungsi pada fetus dan
dewasa. Telah ditemukan sel endokrin pada appendiks dari fetus umur 11
minggu yang berperanan dalam mekanisme kontrol biologis (homeostasis).
Pada dewasa, appendiks berperan sebagai organ limfatik. Dalam penelitian
terbukti appendiks kaya akan sel limfoid, yang menunjukkan bahwa
appendiks mungkin memainkan peranan pada sistem imun. Pada dekade
terakhir para ahli bedah berhenti mengangkat appendiks saat melakukan
prosedur pembedahan lainnya sebagai suatu tindakan pencegahan rutin,
pengangkatan appendiks hanya dilakukan dengan indikasi yang kuat, oleh
karena pada kelainan saluran kencing tertentu yang membutuhkan
kemampuan menahan kencing yang baik (kontinen), apendiks telah
terbukti berhasil ditransplantasikan kedalam saluran kencing yang
menghubungkan buli (kandung kencing) dengan perut sehingga
menghasilkan saluran yang kontinen dan dapat mengembalikan fungsional
dari buli.
2. Menurut penelitian yang dilakukan, Appendiks dulunya berguna dalam
mencerna dedaunan seperti halnya pada primata. Sejalan dengan waktu,
kita memakan lebih sedikit sayuran dan mulai mengalami evolusi, selama
ratusan tahun, organ ini menjadi semakin kecil untuk memberi ruang bagi
perkembangan lambung. appendiks kemungkinan merupakan organ
vestigial dari manusia prasejarahyang mengalami degradasi dan hampir
menghilang dalam evolusinya. Bukti dapat ditemukan pada hewan
herbivora seperti halnya Koala. Sekum dari koala melekat pada perbatasan
antara usus besar dan halus seperti halnya manusia, namun sangat panjang,
memungkinkan baginya untuk menjadi tempat bagi bakteria spesifik untuk
pemecahan selulosa. Sejalan dengan manusia yang semakin banyak
memakan makanan yang mudah dicerna, mereka semakin sedikit
memakan tanaman yang tinggi selulosa sebagai energi. Sekum menjadi

10
semakin tidak berguna bagi pencernaan hal ini menyebabkan sebagian dari
sekum semakin mengecil dan terbentuklah appendiks.
Teori evolusi menjelaskan seleksi natural bagi appendiks yang lebih
besar oleh karena appendiks yang lebih kecil dan tipis akan lebih baik bagi
inflamasi dan penyakit.
3. Menjaga Flora Usus
Penelitian yang dilakukan mengajukan teori bahwa appendiks menjadi
surga bagi bakteri yang berguna, saat penyakit menghilangkan semua
bakteria tersebut dari seluruh usus. Teori ini berdasarkan pada pemahaman
baru bagaimana sistem imun mendukung pertumbuhan dari bakteri usus
yang berguna. Terdapat bukti bahwa appendiks sebagai alat yang berfungsi
dalam memulihkan bakteri yang berguna setelah menderita diare.

2.4 Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada
beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana,
65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan

11
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi
dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan
tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
5. Faktor infeksi saluran pernapasan setelah mendapat penyakit saluran
pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus
apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit infeksi saluran
pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.

2.5 Klasifikasi Apendisitis


Klasifikasi Apendisitis ada 2, yaitu :
1. Apendisitis Akut, dibagi atas :
a. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan
timbul striktur lokal.
b. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
Appendisitis akut dalam 48 jam dapat menjadi :
a. Sembuh

12
b. Kronik
c. Perforasi
d. Infiltrat
2. Apendisitis Kronis, dibagi atas :
a. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, yaitu setelah sembuh akan
timbul striktur lokal.
b. Apendisitis kronis obliteritiva, yaitu appendiks miring dimana
biasanya ditemukan pada usia tua.

2.6 Pathogenesis
a. Peranan lingkungan (diet dan higiene)
Penelitan epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan
fungsional appendix dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.
Semua ini akan mempermudahkan timbulnya appendicitis. Diet
memainkan peranan utama pada pembentukan sifat feces, yang mana
penting untuk pembentukan fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara
berkembang, di mana diet tinggi serat dan konsistens feces lebih
lembek.Kolitis , diverticulitis, dan karsinoma kolon adalah penyakit yang
sering terjadi di daerah denga diet rendah serat dan menghasilkan feces
dengan konsistensi keras.
b. Obstruksi luman merupakan faktor penyebab dominan dalam appendicitis
akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen appendix
pada 20% anak-anak dengan appendisitis terjadinya fekalit berhubungan
dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat sesuai
denganderajat proses inflammasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus
appendicitis sederhana (simple), sedangkan pada appendicitis akut dengan
gangrene tanpa rupture terdapat 65% dan appendisitis akut dengan
gangrene disertai rupture terdapat 90%.

13
Jaringan lymphoid yang terdapat di submukosa appendix akan
mengalami edema dan hipertropi sebagai respon terhadap infeksi virus di
sistem gasrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan
obstruksi lumen appendix. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada
kolon bagian distal yang diteruskan kedalam lumen appendix dan hal ini
merupakan salah satu alasan terjadinya appendicitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah
erosi mukosa appendix karena parasit seperti Entamuba Hystolitika dan
benda asing mungikn tersangkut di appendix untuk jangka waktu yang
lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko
terjadinya perforasi.
Secara patogenisis faktor terpenting terjadinya appendicitis adalah
adanya obstruksi lumen appendix yang biasanya disebabkan oleh fekalit.
Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen appendix
menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikan tekanan
intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arteri serta iskemia.
Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai
kerusakan seluruh lapsan dinding appendix, lebih lanjut akan terjadi
perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan
adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa
peradangan suppurativa yang menghasilkan pus,keluarnya pus dari
dinding yang masuk kedalam lumen appendix akan mengakibatkan
tekanan inraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada
dinding appendix akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada
sistem vasa dinding appendix.
Mula-mula akan terjad penekanan pada vasa lmfatika, kemudian vena dan
terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari
appendx, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan
terus berlanjut dimana dindng appendix akan mengalami perforas,
sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat
terjadinya peradangan pada peritoneum parietal. Hasil akhir dari proses

14
peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan
omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika nfeksi tersebut tidak bias
diatasi maka akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum
belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk
mengatasi infeksi, hal in akan mengakibatkan appendix cepat mengalami
komplikasi.
c. Peranan flora bakteria
Flora bakteria pada appendix sama dengan di kolon, dengan ditemukan
beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat
dalam appendicitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur
dari cairan peritoneal biasanya negative terhadap appendicitis sederhana.
Pada tahap appendicitis suppurativa, bakteri aerobic terutam Escherichia
Coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organsme,
termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat
ditemukan. Bakteri aerobik yang paling layak dijumpai adalah E.coli.
Sebagian besar penderita appendicitis gangrenosa atau appendisitis atau
appendistis perforasi banyak ditemukan bakteri anerobk terutama
Bacteriodes fragilis.

2.7 Gejala klinis


 Nyeri/Sakit perut
Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan
terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan
pada seluruh lapangan perut ( tidak pin-point). Mula-mula daerah
epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apabila telah terjadi
inflammasi Apabila telah terjadi inflamasi (>6jam) penderita dapat
menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatic. Perasaan nyeri
pada appendicitis biasanya datang secara perlahan dan makin lama
makin hebat.
Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi
appendix, distensi dari lumen appendix ataupun karena tarikan

15
dinding appendx yang mengalami peradangan. Pada mulanya terjadi
nyeri visceral, yaitu nyeri yang bersifat hilang timbul seperti kolik
yang dirasakan didaerah umbilicus dengan sifat nyeri ringan sampai
berat.
Hal tersebut timbul oleh karena appendix dan usus halus
mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan mula-
mula dirasai di daerah epigastrium dan periumbilikal. Secara klasik,
nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6jam)
seterusnya akan menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan
tersebut sudah terjadi nyeri somatk yang berarti sudah terjadi
rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih
tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun
berjalan kaki.
 Muntah (rangsangan visceral), akibat aktivasi nervus vagus
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam
sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat
permulaan. Keadaan anoreksia hamper selalu ada pada setiap
penderita appendicitis akut, Bila hal in tidak ada maka diagnosis
appendicitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai
dengan vomtus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga
timbul apabila peradangan appendix dekat dengan vesika urinaria.
 Obstipasi
Penderita appendicitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum
datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal
tersebut timbul biasanya pada letak appendix pelvikal yang
merangsang daerah rektum.
 Demam(infeksi akut)
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara
37,5-38,50C.Tetapi bla suhu lebih tnggi, diduga telah terjadi perforasi.

16
Variasi lokasi anatomi appendix akan menjelaskan keluhan nyeri
somatic yang beragam. Sebagai contoh appendix yang panjang
dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan
menyebabkan nyeri didaerah tersebut, appendix retrosekal akan
menyebabkan nyeri flank atau punggung, appendix pelvikal akan
menyebabkan nyeri pada supra pubik dan appendix retroileal bias
menyebabkan nyeri testicular, mungkin karena iritasi pada arter
spermatika dan ureter.

2.8 Pemeriksaan fisik


Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau appendix terletak pada
tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. Kadang-
kadang diagnosis salah [ada anak prasekolah, karena anak dengan anamnesis
yang tidak karekteristik dan sekaligus sulit diperiksa. Anak akan menangis
terus-menerus dan tidak kooperatif.
a. Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegang perut yang sakit,
kembung(+) bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat
pada appendikuler abses.
Pemeriksaan pada anak, perhatikan posisi anak yang terbaring pada meja
periksa. Anak menunjukkan ekspresi muka yang tdak gembira. Anak tidur
miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena
setiap ektensi meningkatkan nyeri.
b. Palpasi
 Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc
Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat
(dapat dengan melhat mimic wajah) di abdomen kanan bawah saat

17
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney.
 Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis
Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapanagn abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.
 Rovsing sign
Penekanan perut sebelah kiri terjadi nyer sebelah kanan, karema
tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga
menggerakkan peritoneum sekitar appendix yang meradang (somatic
pain).
Rovsing sign adalah nyeri abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang djalarkan karena ritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
 Psoas sign
Pada appendix letak retroceacal, karena rangsangan peritoneum Psoas
sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada appendix.
Ada 2 cara memeriksa:
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien memfleksikan articulation coxae kanan atau nyeri perut
kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, nyeri perut kanan bawah.
 Obturator sign
Dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulation coxae pada posis
terlentang terjad nyeri (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang
terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah
dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan
appendix terletak pada daerah hipogastrium.
c. Perkusi,nyeri ketuk (+)
d. Auskultasi

18
Peristaltik normal, peristaltic (-) pada ileus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat appendicitis perforate. Auskultasi tidak banyak
membantu dalam menegakkan diagnosis appendicitis, tetapi kalau sudah
terjadi peritonitis maka tdak terdengar bunyi peristaltik usus.
e. Rectal toucher, nyeri tekan pada jam 9-12
Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
appendicitis pada anak kecil karena biasanya menangis terus menerus.
Pada anak kecil atau anak yang irritable sangat sult untuk diperiksa, maka
anak dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedative non narkotik
ringan, seperti pentobarbital (2,5mg/kgBB) secara suppositoria rectal.
Setelah anak tenang, biasanya setelah satujam dilakukan pemeriksaan
abdomen kembali. Sedatif sangat membantu untuk melemaskan otot
dinding abdomen sehingga memudahkan penilaian keadaan
intraperitoneal.

Diagnosis klinis apendisitis akut masih bisa salah 15%-20% walaupun telah
dilakukan pemeriksaan dilakukan dengan teliti dam cermat. Angka ini tinggi
untuk pasien perempuan dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan yang
masih muda sering memiliki gejala yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu
biasanya berasal dari genetalia internal oleh karena ovulasi, radang perlvis dan
lain-lain.
Untuk lebih memudahkan diagnosis klinis apendisitis, para klinisi telah
berhasil mengembangkan berbagai metode diagnosis. Salah satunya adalah
dengan menggunakan indeks alvarado, berikut adalah indeks alvarado:

19
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan dengan menjumlah setiap skor,
kemudian kemungkinan diagnosis apendisitis adalah berdasarkan pembagian
interval nilai yang diperoleh tersebut.

1. Skor >8 : Berkemungkinan besar menderita apendisitis. Pasien ini dapat


langsung diambil tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian
perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan patologi anatomi.

2. Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk terjadinya apendisitis. Pasien


ini sbaiknya dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen
ataupun CT scan.

3. Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini menderita apendisitis. Pasien ini
tidak perlu untuk di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat dipulangkan dengan
catatan tetap dilakukan follow up pada pasien ini.

20
2.9 Differensial Diagnosa

Diagnosis appendisitis memiliki kemiripan dengan diagnosa penyakit lainnya,


karena itulah pada sekitar 15-20% kasus terjadi kesalahan diagnosis klinis.
Penyakit yang memiliki gejala mirip antara lain:
a) Gastroenteritis
Terjadi mual, muntah, diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan
terbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukosit kurang
menonjol dibandingkan apendisitis akut. laboratorium biasanya normal karena
hitung normal.
b) Limfedenitis Mesenterika
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan sakit perut,
terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan, perut samar terutama
kanan.
c) Demam Dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil positif
untuk Rumple Leed, trombositopeni, hematokrit yang meningkat.
d) Infeksi Panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi
panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada gadis
dapat dilakukan pemeriksaan melalui dubur jika perlu untuk diagnosis banding.
Rasa nyeri pada pemeriksaan melalui vagina jika uterus diayunkan.
e) Gangguan alat kelamin perempuan
Folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada
pertengahan siklus menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang
dalam waktu dalam 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari,
pada anamnesis nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu.
f) Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan tidak yang tidak
menentu Ruptur tuba, abortus kehamilan di luar rahim disertai pendarahan maka

21
akan timbul nyeri mendadak difus di pelvis dan bisa terjadi syok hipovolemik.
Nyeri dan penonjolan rongga Douglas didapatkan pada pemeriksaan vaginal dan
didapatkan pada kuldosintesis.
g) Divertikulosis Meckel
Gambaran klinisnya hampir serupa dengan apendisitis akut. Pembedaan sebelum
operasi hanya teoritis dan tidak perlu, sejak diverticulosis Meckel dihubungkan
dengan komplikasi yang rnirip pada apendisitis akut dan diperlukan pengobatan
serta tindakan bedah yang sama.
h) Intussusception
Ini harus dibedakan dengan apendisitis akut karena pengobatan berbeda umur
pasien sangat penting, apendisitis jarang pada umur di bawah 2 tahun sedangkan
hampir seluruh Intususception idiopatik terjadi di bawah umur 2 tahun.
i) Ulkus Peptikum yang Perforasi
Ini sangat mirip dengan apendisitis jika isi gastroduodenum terbalik mengendap
turun ke daerah usus bagian kanan (Saekum).
j) Batu Ureter
Jika diperkirakan mengendap dekat apendiks, ini menyerupai apendisitis
retrocecal. Nyeri menjalar ke labia, scrotum, atau penis, hematuria dan / atau
demam atau leukosotosis membatu. Pielography biasanya untuk mengkofirmasi
diagnosa.

2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi
bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses
ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah
penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam
beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu
terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi
yang tinggi.

22
Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi
awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical
Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum
pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam
untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.

Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah


pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis
dengan perforasi.

1. Cairan intravena
cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan
cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan
yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus
diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk
mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran
urin
pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan
perdarahan secara bersamaan.

2. Antibiotik
Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen,
antibiotik initial diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins, ampicillin–
sulbaktam, dll, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob.
Pemberian antibiotik postops harus di ubeah berdasarkan kulture dan sensitivitas.
Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit.
Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan
pipa nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari
appendisitis perforasi.

Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian rongga

23
peritonium untuk mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi dari
bakteria. Pencucian cukup dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat,
penambahan antiseptik dan antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna
bahkan malah berbahaya karena menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau
provine iodine), anti biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai
rongga peritonium dalam kadar bakterisid.

Ada juga ahli yang berpendapat bahwa dengan penambahan tetrasiklin 1 mg


dalam 1 ml larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan bisul residual, pada
kadar ini antibiotik bersifat bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun
sedikit membuat kerusakan pada permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti
bahwa menimbulkan resiko perlengketan. Tapi zat lain seperti iodine tidak
populer. Setelah pencucian seluruh cairan di rongga peritonium seluruh cairan
harus diaspirasi.

a) Appendektomi
Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks.
Mencakup Mc Burney, Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi
melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu
muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks
dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang
terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi
pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
appendektomi sambil memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses
perforasi. Insidens appendix normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada appendicitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.

Konservatif kemudian operasi elektif


- Bed rest total posisi Fowler (anti Tredelenburg)

24
- Diet rendah serat
- Antibiotika spectrum luas
- Metronidazole
- Monitor: Tanda-tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED bila
baik disuruh mobilisasi dan selanjutnya dipulangkan.
Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengkoreksi
dehhidrasi ringan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan
lambung dan untuk mengurangi bahaya muntah pada waktu induksi
anestesi. Pada appendicitis akut dengan komplkasi berupa peritonitis
karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena
biasanya keadaan anak sudah sakit berat.
Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan
dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan
intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan.
Pipa nasogastrik dpasang untuk mengosongkan lambung agar
mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah. Kalau anak dalm
keadaan syok hipovolemik maka diberikan cairan Ringer Laktat
20ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena, kemudian
diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indkasi. Setelah
pemberian cairan intravena sebaknya devalues kembali kebutuhan dan
kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urine
output sebanyak 1ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam diberikan
acetaminophen suppository (60mg/ tahun umur). Jika suhu diatas 38%
pada saat masuk rumah sakit,kompres alcohol dan sedasi diindikasikan
untuk mengontrol demam.
Antibiotika sebelum pembedahan dberikan pada semua anak
dengan appendists, antibotika profilaksis mengurangi insidensi
komplikasi infeksi appendicitis. Pemberian antibiotika dihentikan
setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas
diberikan secepatnya sebelum ada pembakan kuaman. Pemberian
antibiotika untuk infeksi anearob sangat berguna untuk kasus-kasus

25
perforasi appendicitis. Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah
pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi
antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spectrum
luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin
(100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam
dosis terbag selama 24jam ukup efektif untuk mengontrol sepsis dan
menghilangkan komplikasi appendicitis perforas. Metronidazole aktif
terhadap bakteri gram negative dan didistribusikan dangen baik ka
cairan tubuh dan jaraingan. Obat ini lebh murah dan dapat dijadikan
pengganti klindamisin.

b) Laparoskopik apendiktomi mulai diperkenalkan pada tahun 1987, dan


telah sukses dilakukan pada 90-94% kasus apendisitis dan 90% kasus
apendisitis perforasi. Saat ini laparoskopik apendiktomi lebih disukai.
Prosedurnya, port placement terdiri dari pertama menempatkan port
kamera di daerah umbilikus, kemudian melihat langsung ke dalam melalui
2 buah port yang berukuran 5 mm. Ada beberapa pilihan operasi, pertama
apakah 1 port diletakkan di kuadran kanan bawah dan yang lainnya di
kuadran kiri bawah atau keduanya diletakkan di kuadran kiri bawah.
Sekum dan apendiks kemudian dipindahkan dari lateral ke medial.
Berbagai macam metode tersedia untuk pengangkatan apendiks, seperti
dectrocauter, endoloops, stapling devices. Laparoskopi

26
Laparoskopi merupakan teknik terbaru dalam operasi untuk mengeluarkan
appendix. Dengan teknik resiko pembedahan seperti perdarahan dapat
dminimalkan. Selain itu, laparotomi merupakan salah satu langkah
diagnostik dalam menegakkan diagnose appendicitis.

Mengenai pemilihan metode tergantung pada ahli bedahnya. Apendiks


kemudian diangkat dari abdomen menggunakan sebuah endobag. Laparoskopik
apendiktomi mempunyai beberapa keuntungan antara lain bekas operasinya lebih
bagus dari segi kosmetik dan mengurangi infeksi pascabedah. Beberapa penelitian
juga menemukan bahwa laparoskopik apendiktomi juga mempersingkat masa
rawatan di rumah sakit. Kerugian laparoskopik apendiktomi antara lain mahal dari
segi biaya dan juga pengerjaannya yang lebih lama, sekitar 20 menit lebih lama
dari apendiktomi terbuka. Namun lama pengerjaanya dapat dipersingkat dengan
peningkatan pengalaman. Kontraindikasi laparoskopik apendiktomi adalah pada
pasien dengan perlengketan intra-abdomen yang signifikan.

27
2.11 Komplikasi

Komplikasi yang sering ditemukan adalah infeksi, perforasi, abses intra


abdominal/pelvi, sepsis,syok,dehidrasi. Perforasi yang ditemukan baik
perforasi bebas maupun perforasi pada appendix yang telah mengalami
pendinginan, sehingga membentuk massa yang terdiri dari kumpulan
appendix, sekum dan keluk usus.

2.12 Prognosis
Bila ditangani dengan baik, prognosis appendix adalah baik. Secara umum
angka kematian pasien appendix akut adalah 0,2-0,8% yang lebih
berhubungan dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat tindakan
intervensi.

28
.

DAFTAR PUSTAKA

Erik, Prabowo. 2009. http://www.bedah.info/bedah_digestif/usus_buntu_


_apendiks_tercipta_bagi_ahli_bedah/

Guyton, Arthur C. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit.


Jakarta:EGC (Penerbit Buku Kedokteran).

Syamsuri, Istamar. 2004. Biologi Jilid 2A Untuk SMA kelas XI. Jakarta:Erlangga.

Universitas Sumatera Utara.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19162/4/Chapter%20II.pdf

Craig Sandy, Lober Williams. Appendicitis, Acute. Diakses dari


www.emedicine.com,
Katz S Michael, Tucker Jeffry. Appendicitis. Diakses dari: www.emedicine.com,

29
30

Anda mungkin juga menyukai