Anda di halaman 1dari 9

Instrumen Hukum Nasional dan Internasional Terkait Perlindungan Perempuan

Hak Asasi Perempuan, yaitu hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia
seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi
manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi
manusia.

Beberapa konvensi internasional yang melindungi hak perempuan diantaranya adalah:

1) Konvensi Internasional Hak Politik Wanita (Convention on the Political Right of


Women) tahun 1952
2) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against
Woman: CEDAW) tahun 1979 diratifikasi dengan UU nomor 7 tahun 1984.
3) Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Espacially Women and
Children, Sipplementing the United Nations Convention Againt Transnational Organized
Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang,
terutama Perempuan dan Anak-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
menentang Tindak Pidana Transnasional yang terorganisasi)
4)

UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan. UU tersebut secara jelas mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan CEDAW (Convention On The Elimination of All
Forms Of Discrimination Against Women)

Jenis – jenis Hak – hak perempuan yang dilindungi antara lain:3 • Perempuan dan
Kemiskinan; • Pendidikan dan Pelatihan Perempuan; • Perempuan dan Kesehatan; • Tindakan
Kekerasan Terhadap Perempuan; • Perempuan dan Konflik Bersenjata; • Perempuan dan
Ekonomi; • Perempuan dalam kekuasaan dan Pengambilan keputusan; • Mekanisme
kelembagaan bagi kemajuan perempuan; • Hak Asasi Perempuan; • Perempuan dan Media
Massa; • Perempuan dan Lingkungan hidup; • Anak Perempuan

Prinsip-prinsip dalam CEDAW

1. Prinsip Non Diskriminatif


prinsip ini secara tegas dapat dilihat dalam Pasal 1 dan Pasal 4 Konvensi CEDAW,
dimana Pasal 1 Konvensi CEDAW dengan tegas menyebutkan apa yang disebut dengan
Diskriminasi terhadap perempuan, selain itu dalam Pasal 4 (ayat 2) lebih menegaskan
dengan yang dimaksud diskriminasi. Perumusan prinsip ini sesungguhnya telah
dinyatakan pada berbagai instrument internasional, namun tidak pernah diberikan
definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan diskriminasi, konvensi CEDAW
ini memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai apa yang dimaksud dengan
diskriminasi, khususnya diskriminasi terhadap perempuan, dimana pengertian
diskriminasi terdadap perempuan dapat dilihat dalam Pasal 1 Konvensi ini. Dalam
konvensi CEDAW juga dijelaskan faktor-faktor yang sangat berpengaruh didalam
munculnya diskriminasi, yaitu karena adanya prasangka-prasangka dan
kebiasaankebiasaan yang berdasarkan peran steriotip terhadap laki-laki dan perempuan
yang dimuat dalam Pasal 5 Konvensi CEDAW. Faktor tersebut yang menghalangi
perempuan mencapai hak yang sama dengan laki-laki.
2. Prinsip Persamaan (Keadilan Substantive)
Persamaan dalam konteks konvensi CEDAW merupakan sebuah pendekatan yang
mendasarkan pada hasil akhir dari sebuah proses, yaitu keadilan. Dalam mencapai tujuan
akhir tersebut maka seringkali prosesnya tidak harus sama antara laki-laki dan
perempuan mengingat situasi antara laki-laki dan perempuan berbeda akibat adanya
diskriminasi terhadap perempuan yang berlangsung sejak lama. Sebab jika prosesnya
sama, sementara situasinya berbeda maka hasilnya tetap akan ada kesenjangan, maka
diperlukan upaya untuk menyamakan situasi yang berbeda perlu ada tindakan atau
kebijakan atau perlakuan khusus. Perlakuan khusus tersebut ditujukan untuk
mempercepat proses penghapusan kesenjangan sehingga situasi menjadi sama. Dalam
UDHR dan 2 Kovenan Utama tentang Hak Sipil dan Politik, dan Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya telah dicantumkan mengenai kesempatan yang sama, namun kesempatan
yang sama akan sulit dicapai tanpa adanya upaya yang khusus agar situasi sama.
Penegasan tentang adanya proses yang berbeda, atau sering disebut perlakuan khusus
dapat dilihat dalam Pasal 4 CEDAW.
3. Prinsip Kewajiban Negara Prinsip Kewajiban Negara secara jelas ditemukan dalam
berbagai pasal dari Konvensi. Terdapat sekitar 37 kewajiban negara yang dicantum oleh
Konvensi CEDAW agar hakhak perempuan dapat dinikmati oleh kaum perempuan
meliputi kewajiban didalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan budaya, ini
dapat dilihat dalam Pasal 2, 3, 4, 5, 6 yang secara eksplisit menekankan kewajiban
negara untuk menjamin perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam
bidang hukum, politik, social dan budaya. Dalam ketiga prinsip tersebut terletak 'prisma'
hak asasi perempuan, yang menjadi lensa untuk memeriksa dan mengoreksi segala
bentuk diskriminasi gender, dimana kerangka tujuan, kewajiban, hak, pengaturan dan
akuntabilitas hanya dapat dibangun melalui pemahaman konsep-konsep dasar ini.
Walaupun masing-masing konsep berbeda dan memiliki nuansa tersendiri, masing-
masing saling berhubungan dan saling memperkuat dan menjadi inti CEDAW

1. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM


Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”.
a. Pasal 46 : Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif,
dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin
keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
b. Pasal 47 : Seorang wanita yang menikah dengan seseorang pria berkewarganegaraan
asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi
mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status
kewarganegaraannya.
c. Pasal 48 : Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua
jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
d. Pasal 49 : (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan,
jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan
pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan
atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang
melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi
oleh hukum.
e. Hak perempuan dalam bidang ekonomi dan pekerjaan, diatur dalam Pasal 49 ayat 2
dan 3 yang pada intinya mengatur bahwa perempuan berhak mendapatkan pp.
37. 36 Departemen Hukum Dan HAM, Laporan Akhir Kompendium Tentang Hak-
Hak Perempuan (Jakarta, 2006). Hlm. 27. perlindungan dalam melakukan
pekerjaan yang mengancam keselamatan dan kesehatan reproduksi nya, dijamin
oleh hukum.
f. Pasal 50 : Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.
g. Pasal 51 : (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan
kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta
pengelolaan harta bersama. (2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua
hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak. (3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak
dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT


Asas PKDRT sendiri seperti dijelaskan dalam Pasal 3 adalah untuk: (1)
penghormatan hak asasi manusia; (2) keadilan dan kesetaraan gender; (3)
nondiskriminasi; dan (4) perlindungan korban. Adapun tujuan PKDRT sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 4 adalah untuk: (1) mencegah segala bentuk kekerasan
dalam rumah tangga; (2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (3)
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; (5) memelihara keutuhan rumah
tangga yang harmonis dan sejahtera.
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Di antara asas khusus yang menjadi dasar berlakunya UU Kewaganegaraan adalah asas
non diskriminatif, yaitu berupa tidak membedakan perlakuan dalam segala hal
ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama,
golongan, jenis kelamin, dan gender. Asas lainnya adalah asas pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam segal hal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak
asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya Pengaturan
yang menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin diantaranya adalah
dibolehkannya seorang isteri, yang melakukan perkawinan campuran berbeda
kewarganegaraan, untuk memilih kewarganegaraannya sendiri. Isteri diperbolehkan
memilih untuk tetap dalam kewarganegaraan Indonesia atau pindah
kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan suaminya, sekalipun hukum negara
asal suaminya, menuntut kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami
sebagai akibat perkawinan tersebut (Pasal 26 ayat (1) dan (3)). Aturan dalam UU
Kewarganegaraan sebelumnya (UU 62/1958) mengakibatkan seorang isteri
kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila menikah dengan laki-laki WNA,
karena harus mengikuti kewarganegaraan suaminya.
4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang terakhir telah
diubah dengan Undang-Undang 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang terakhir diganti dengan Undang-Undang No. 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, kedua
Undang-undang ini merumuskan aturan tentang bentuk diskriminasi positif
(affirmative action) berupa kuota 30% bagi perempuan di ranah politik Indonesia
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO)
6. UU Ketenagakerjaan
1. Hak cuti menstruasi Pasal 81 (1) UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003
menyatakan “Pekerja/pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua
pada waktu haid.”
2. 2. Hak cuti hamil dan melahirkan Pasal 82 (1) UU Ketenagakerjaan No.13 tahun
2003 menyatakan “Pekerja/pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama
1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah)
bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.”
3. 3. Hak perlindungan selama hamil Pasal 76 (2) UU Ketenagakerjaan No.13 tahun
2003 menyatakan “Pengusaha dilarang mempekerjakan perempuan hamil yang bisa
berbahaya bagi kandungannya dan dirinya sendiri”.
4. Hak biaya persalinan UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan
PP No.14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja mengatur kewajiban perusahaan yang memiliki lebih dari 10 tenaga kerja atau
membayar upah sedikitnya Rp1.000.000 untuk mengikutsertakan seluruh tenaga
kerjanya dalam program BPJS Kesehatan.
5. Hak cuti keguguran Pasal 82 (2) UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 menyatakan
“Apabila keguguran kandungan dialami karyawan perempuan, karyawan tersebut
berhak untuk beristirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan
dokter kandungan/ bidan.”
6. Hak menyusui atau memerah ASI Pasal 83 UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003
menyatakan “Pekerja/pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama
waktu kerja.”
7. Hak fasilitas khusus pada jam kerja tertentu Pasal 76 UU Ketenagakerjaan No.13
tahun 2003 menyatakan, “Pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Perusahaan
juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00. Selain itu, pihak perusahaan wajib menyediakan angkutan
antarjemput bagi pegawai wanita baik yang sedang hamil ataupun tidak yang
memiliki kerja shift berangkat dan pulang antara pukul 23.00 sampai dengan pukul
05.00.”
8. Larangan PHK karena menikah, hamil dan melahirkan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No.Permen 03/Men/1989, mengatur larangan PHK terhadap pekerja wanita
dengan alasan menikah, hamil, atau melahirkan. Hal senada juga dinyatakan dalam
konvensi ILO No.183 tahun 2000 pasal 8, “Sekembalinya ke tempat kerja,
perusahaan dilarang mendiskriminasi pekerja wanita yang baru saja kembali setelah
cuti melahirkan. Mereka berhak menduduki kembali posisinya serta mendapatkan
gaji yang sama dengan gaji yang diterima sebelum cuti melahirkan.”
7. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG)
Dalam konsideran Inpres ini disebutkan dua hal, yaitu: a. Bahwa dalam rangka
meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, dipandang perlu melakukan strategi pengarusutamaan
gender ke dalam seluruh proses pembangunan nasional; b. Bahwa pengarusutamaan
gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat
dan Daerah; Inpres ini menjadi dasar adanya berperspektif gender bagi seluruh
kebijakan dan program pembangunan nasional, tanpa kecuali. Baik kebijakan di pusat
maupun di daerah haruslah berperspektif gender, apabila tidak maka kebijakan tersebut
harus diganti
8. Kepres nomor 181 Tahun 1998 Tentang Pembentukan Komisi Pembentukan
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan
yang dirubah menjadi Pepres Nomor 65 Tahun 2005
Adapun tujuan dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 2 adalah untuk:
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di
Indonesia
b. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan.
9. Keppres nomor 88 tahun 2002 bertujuan Untuk menjamin peningkatan dan kemajuan
dalam upaya merlindungi para korban perdagangan orang, khususnya perempuan dan
anak-anak.
10. Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2014 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial bab. 1 pasal 1 ayat 3
pemberdayaan perempuan dan anak adalah upaya penguatan hak asasi, peningkatan
kualitas hidup, dan peningkatan partisipasi perempuan dan anak dalam membangun
perdamaian
11. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent,
Suppress and Punish Trafficking in Persons, Espacially Women and Children,
Sipplementing the United Nations Convention Againt Transnational Organized
Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang,
terutama Perempuan dan Anak-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
menentang Tindak Pidana Transnasional yang terorganisasi)
12. Pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 dan Signifikansinya dalam Perlindungan
Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Pedoman meliputi penanganan perkara pidana yang melibatkan perempuan dan akan
yang berhadapan engan hukum [ada tahap penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperloeh kekuatan hukum tetap.
13. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Tujuan dari adanya pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum
adalah agar hakim:
a. memahami dan menerapkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non
diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum;
b. mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan
diskriminasi terhadap perempuan;
c. dan menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh
keadilan.

Dalam pemeriksaan perkara, hakim diminta untuk mempertimbangkan kesetaraan gender


dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan sebagai berikut: (Pasal
4 Perma No. 3/2017)

a. ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara;


b. ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan;
c. diskriminasi;
d. dampak psikis yang dialami korban;
e. ketidakberdayaan fisik dan psikis korban;
f. relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan
g. riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.

 
Pedoman dan Larangan
Pasal 5 PERMA 3/2017 menegaskan bahwa dalam pemeriksaan perempuan berhadapan
dengan hukum, hakim tidak boleh:

a. menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan,


menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum;
b. membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan
kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan
penafsiran ahli yang bias gender;
c. mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar
belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau
meringankan hukuman pelaku; dan
d. mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.

 
Lebih lanjut, dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum hakim
harus memperhatikan hal-hal berikuti ini: (Pasal 6 Perma No. 3/2017)

a. mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotip gender dalam peraturan


perundang-undangan dan hukum tidak tertulis;
b. melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak
tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender;
c. menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang
setara dan non diskriminasi; dan
d. mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional
terkait kesetaraan gender yang telah diratifikasi.

Adapun tugas dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 4 Perpres Nomor 65 Tahun
2005 adalah:

a. menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan


Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
b. melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional yang
relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan;
c. m e l a k s a n a k a n p e m a n t a u a n , t e r m a s u k p e n c a r i a n f a k t a d a
n pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil
d. pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong
pertanggungjawaban dan penanganan;
e. memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan
yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan
dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia
perempuan;
f. mengembangkan kerja sama regional dan intemasional guna meningkatkan upaya-
upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak
asasi manusia perempuan.
UU No.39 Tahun 1999 (UU HAM), yaitu :

Hak-hak perempuan dalam CEDAW

1) Hak dalam ketenagakerjaan Setiap perempuan berhak untuk memiliki kesempatan kerja
yang sama dengan laki-laki.Hak ini meliputi kesempatan yang sama dari proses seleksi,
fasilitas kerja, tunjangan, dan hingga hak untuk menerima upah yang setara.Selain itu,
perempuan berhak untuk mendapatkan masa cuti yang dibayar, termasuk saat cuti
melahirkan. Perempuan tidak bisa diberhentikan oleh pihak pemberi tenaga kerja dengan
alasan kehamilan maupun status pernikahan.
2) Hak dalam bidang kesehatan Perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas
dari kematian pada saat melahirkan, dan hak tersebut harus diupayakan oleh
negara.Negara juga berkewajiban menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan,
khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan.
3) Hak yang sama dalam pendidikan Seperti salah satu poin perjuangan RA Kartini, setiap
perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan, dari tingkat
dasar hingga universitas.Harus ada penghapusan pemikiran stereotip mengenai peranan
laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan dan bentuk pendidikan, termasuk
kesempatan yang sama untuk mendapatkan beasiswa.
4) Hak dalam perkawinan dan keluarga Perempuan harus ingat bahwa ia punya hak yang
sama dengan laki-laki dalam perkawinan.Perempuan punya hak untuk memilih suaminya
secara bebas, dan tidak boleh ada perkawinan paksa. Perkawinan yang dilakukan
haruslah berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihakDalam keluarga, perempuan
juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, baik sebagai orang tua terhadap
anaknya, maupun pasangan suami-istri.
5) Hak dalam kehidupan publik dan politik Dalam kehidupan publik dan politik, setiap
perempuan berhak untuk memilih dan dipilih.Setelah berhasil terpilih lewat proses yang
demokratis, perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah hingga implementasinya

Instrumen Hukum Internasional Terkait Perlindungan Perempuan

Pertama, Convention on The Political Rights of Women (UN 1952) yang telah diratifikasi
oleh RI dengan UU No.68 Tahun 1958 tentang : Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik
Kaum Wanita (Memori Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 1653), dan
disetujui DPR dalam rapat pleno terbuka ke-82 tanggal 30 Juni 1958, hari Senin P 336/1958.
Di dalam pasal 2 UU No.68/1958 tersebut berbunyi : “Kalimat terakhir Pasal VII dan Pasal X
seluruhnya konsepsi hak-hak politik kaum wanita dianggap sebagai tidak berlaku bagi
Indonesia dan direservasi oleh Indonesia”. Kedua, Convention on The Elimination of
Discrimination of All Forms of Discrimination Against Women (UN 1979) - Konvensi
CEDAW, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Dengan
disahkannya Konvensi CEDAW, pada tanggal 24 Juli 1984 dengan UU No.7 Tahun 1984,
maka Indonesia sebagai negara peserta berkewajiban untuk mengimplementasikannya dalam
perundang-undangan nasional. Dalam UU No.7 Tahun 1984, Indonesia mereservasi pasal 29
ayat 1 tentang : Penyelesaian Perselisihan mengenai Penafsiran atau Penerapan Konvensi.
Dalam salah satu pertimbangan pada pembentukan Konvensi CEDAW bahwa :
memperhatikan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), HAM
menegaskan asas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa
semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang
berhak atas semua hak dan kebebasan, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan
berdasarkan jenis kelamin.

Anda mungkin juga menyukai