Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

OTITIS MEDIA
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS PRAKTIKUM KEPERAWATAN
MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH 1
Dosen Pembimbing :
Rio Ady Erwansyah, S.Kep,Ns,M.Kep

DIBUAT OLEH :

WAHYU KURNIA DAMAYANTI (A1R19034)

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


STIKes HUTAMA ABDI HUSADA TULUNGAGUNG
TAHUN AJARAN
2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP OTITIS MEDIA.
DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS PRAKTIKUM KEPERAWATAN
MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH

Telah disetujui dan disahkan pada


Hari                
:

Tanggal          
:

Mengetahui

Mahasiswa Dosen Pembimbing

(Wahyu Kurnia Damayanti) (Rio Ady Erwansyah, S.Kep,Ns,M.Kep)


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi waabaaraakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentunya saya tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan laporan dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginnda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur pada Allah SWT atas limpahan nikmat sehatnya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran,sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembutan laporan pendahuluan sebagai tugas individu untuk memenuhi tugas praktikum
keperawatan mata kuliah KMB 1
Penulis tentu menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk laporan pendahuluan ini, supaya nantinya dapat menjadi
laporan pendahuluan yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Dosen
pembimbing saya yang telah membimbing dalam menulis laporan pendahuluan.
Demikian semoga laporan pendahuluan ini dapat bermanfaat, terima kasih.

Tulungagung ,19 Juli 2021

Penulis ,
DAFTAR ISI
COVER ..............................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................
KATA PENGANTAR ......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................
1.1 LATAR BELAKANG...........................................................................................
1.2 RUMUSAN MASALAH......................................................................................
1.3 TUJUAN MASALAH...........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
2.1 DEFINISI OTITIS MEDIA..................................................................................
2.2 ETIOLOGI OTITIS MEDIA................................................................................
2.3 KLASIFIKASI OTITIS MEDIA.............................................................................
2.4 PATOFISIOLOGI OTITIS MEDIA.....................................................................
2.5 PATWAY OTITIS MEDIA..................................................................................
2.6 MANIMFESTASI OTITIS MEDIA....................................................................
2.7 PENATALAKSANAAN MEDIK OTITIS MEDIA............................................
2.8 ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS MEDIA ..................................................

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN............................................................................


BAB IV PENUTUP............................................................................................................
3.1 KESIMPULAN ....................................................................................................
3.2 SARAN DAN KRITIK.........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Otitis media akut (OMA) adalah penyakit telinga tersering pada anak yang ditandai
dengan reaksi peradangan di telinga tengah yang dipicu oleh agen infeksi atau non infeksi
(Paparella et al., 2012). Kejadian otitis media pada anak berkaitan dengan kejadian infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA). ISPA menyebabkan nasopharyngitis, yang mengakibatkan
tekanan negatif dari telinga tengah. Tekanan negatif telinga tengah diakibatkan oleh fungsi
tuba eustachius yang terganggu, sekitar 94% pasien dengan ISPA berkembang menjadi OMA
(Haidar, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Chonmaitree dkk (2009) ISPA berulang
menjadi salah satu faktor resiko terjadinya rekurensi OMA pada anak . Anak penderita OMA
dengan stadium perforasi dapat berkomplikasi menjadi mastoiditis. Mastoiditis yang kronik
dapat mnimbulkan masalah baru berupa penurunan pendengaran (Mattos et al., 2014).

Prevalensi ISPA di provinsi Jawa Tengah adalah 15,7% masih tergolong tinggi
dibandingkan dengan provinsi lain (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).
Penyebab utama kunjungan pasien dipuskesmas salah satunya adalah ISPA, 15-30 %
berlanjut ,menjadi pasien rawat inap rumah sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Salah
satu komplikasi dari ISPA di bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT) adalah OMA.
Disfungsi tuba eustachii dianggap sebagai etiologi utama dalam perkembangan otitis
media. Tuba eustachii secara alamiah memiliki mekanisme pencegahan penjalaran bakteri
memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus yang dimiliki oleh tuba
eustachii. Bayi dan anak-anak penderita otitis media mengalami disfungsi tuba eustachii atau
memiliki mekanisme pembuangan aktif yang tidak efisien (Wackymer, 2010). Tuba
eustachii pada anak yang lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal
ketimbang orang dewasa mempermudah penjalaran bakteri dan virus (Paparella et al., 2012).
ISPA menjadi faktor resiko yang dominan untuk berkembang menjadi OMA. Otopathogens
bakteri dan virus pernapasan berinteraksi dan bermain peran penting dalam pengembangan
OMA (Hattaka, 2010).
Untuk itu peneliti tertarik untuk mengangkat asuhan keperawatan mengenai otitis
media

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan otitis media ?
1.2.2 Seperti apa etiologi dari otitis media?
1.2.3 Bagaimanakah klasifikasi dari otitis media?
1.2.4 Apa patofisiologi dari otitis media?
1.2.5 Bagaimana patway otitis media?
1.2.6 Apa manimfestasi klinis otitis media?
1.2.7 Apa saja penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan untuk otitis media?
1.2.8 Bagaimana bentuk konsep asuhan keperawatan dari otitis media?

1.3 Tujuan Masalah


1.3.1 Dapat mengerti otitis media
1.3.2 Agar mengerti etiologi dari otitis media
1.3.3 Agar memahami klasifikasi dari otitis media
1.3.4 Dapat paham bagaimana patofisiologi dari otitis media
1.3.5 Untuk mengerti bentuk patway dari otitis media
1.3.6 Dapat memahami manimfestasi klinis dari otitis media
1.3.7 Dapat mengerti apa saja penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan untuk
penyakit otitis media
1.3.8 Dapat mengerti bentuk konsep asuhan keperawatan dari penyakit otitis media
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Otitis media adalah infeksi pada telinga tengah yang menyebabkan peradangan
(kemerahan dan pembengkakan) dan penumpukan cairan di belakang gendang
telinga.Otitis media akut biasanya merupakan komplikasi dari disfungsi tuba eustachian
yang terjadi selama infeksi saluran pernafasan atas virus.Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis adalah organisasi yang paling umum
diisolasi dari cairan telinga bagian tengah (Rudi haryono,2019). Otitis media akut
merupakan penyakit yang umum terjadi pada anak, yang disebabkan oleh infeksi (bakteri
atau virus) cairan di telinga tengah.Peningkatan kerentanan pada bayi dan anak yang
masih kecil sebagian disebabkan oleh tuba eustachius yang pendek dan terletak
horizontal, keterbatasan respons terhadap antigen, dan sebelumnya kurang terpajan
patogen umum (Yoon et al., 2011).

2.2 Etiologi

1. VIRUS

Kebanyakan anak-anak terinfeksi oleh respiratory syncytial virus (RSV) pada awal
tahun kehidupan. Prevalensi virus saluran pernafasan pada cairan pada telinga tengah dari
456 anak berumur tujuh bulan sampai tujuh tahun dengan otitis media akut adalah 41%. RSV
adalah yang paling sering ditemukan, diikuti dengan parainfluenza, influenza, enterovirus
dan adenovirus. Penemuan ini dikonfirmasi dengan penelitian lain dan ditambahkan beberapa
virus ke dalam daftar seperti rhinovirus, coronavirus, metapheumovirus (Corbeel, 2007).

2. BAKTERIA

Sekitar 70% pasien dengan otitis media akut, bakteri ditemukan pada kultur pada
telinga tengah. Spesies yang paling sering adalah haemophilus influenzae dan
streptococcus pneumoniae. Kultur pada nasofaring dapat memberikan informasi berguna
dalam keterlibatan bakteri pada otitis media akut. Heikkinen dkk menemukan pada 25%
dari pasiennya disebabkan oleh steptococcus penumoniae, haemophilus influenzae pada
23%, moraxella catarrhalis sekitar 15%.
Telah didemostrasikan bahwa kekambuhan dari otitis media akut memiliki
hubungan positif dengan hasil kultur bakteri yang positif pada nasofaring (Corbeel,
2007).
Menurut Adams (1997: 96) penyebab otitis media akut antara lain :

1. Faktor pertahanan tubuh terganggu

Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba dinasofaring dan faring.
Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim penghasil mukus (misalnya
muramidase) dan antibodi.
2. Obstruksi tuba eusthachius

Merupakan suatu faktor penyebab dasar pada otitis media akut, karena fungsi tuba
eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke telinga tengah juga terganggu,
sehingga kuman masuk kedalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Pada bayi
terjadinya otitis media akut dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan
agak horisontal letaknya.
3. Infeksi saluran pernafasan atas

Terutama disebabkan oleh virus, pada anak makin sering terserang infeksi saluran
pernafasan atas makin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut.
4. Bakteri piogeik

Bakteri yang umum ditemukan sebagai organisma penyebab adalah streptococcus


pneumoniae, hemophylus influenzae, streptococcus beta-hemolitikus dan moraxella
catarrhalis.

2.3 Klasifikasi

Otetis media terdiri dari :


1. Otitis media akut adalah keadaan dimana terdapatnya cairan di dalam telinga tengah
dengan tanda dan gejala infeksi.
2. Otitis media serosa / efusi adalah keadaan terdapatnya cairan di dalam telinga tengah
tanpa adanya tanda dan gejala infeksi aktif. Secara teori, cairan ini sebagai akibat
tekanan negative dalam telinga tengah yang disebabkan oleh obstruksi tuba
eustachii. Pada penyakit ini, tidak ada agen penyebab definitive yang telah
diidentifikasi, meskipun otitis media dengan efusi lebih banyak terdapat pada anak
yang telah sembuh dari otitis media akut dan biasanya dikenal dengan “glue ear”.
Bila terjadi pada orang dewasa,penyebab lain yang mendasari terjadinya disfungsi
tuba eustachii harus dicari. Efusi telinga tengah sering terlihat pada pasien setelah
mengalami radioterapi dan barotrauma ( eg : penyelam ) dan pada pasien dengan
disfungsi tuba eustachii akibat infeksi atau alergi saluran napas atas yang terjadi.

3. Otitis media kronik sendiri adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi
jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis media
akut yang tak tertangani. Sering berhubungan dengan perforasi menetap membrane
timpani. Infeksi kronik telinga tengah tak hanya mengakibatkan kerusakan
membrane timpani tetapi juga dapat menghancurkan osikulus dan hampir selalu
melibatkan mastoid. Sebelum penemuan antibiotic, infeksi mastoid merupakan
infeksi yang mengancam jiwa. Sekarang, penggunaan antibiotic yang bijaksana pada
otitis media akut telah menyebabkan mastoiditis koalesens akut menjadi jarang.
Kebanyakan kasus mastoiditis akut sekarang ditemukan pada pasien yang tidak
mendapatkan perawatan telinga yang memadai dan mengalami infeksi telinga yang
tak ditangani.

Mastoiditis kronik lebih sering, dan beberapa dari infeksi kronik ini, dapat
mengakibatkan pembentukan kolesteatoma, yang merupakan pertumbuhan kulit ke
dalam ( epitel skuamosa ) dari lapisan luar membrane timpani ke telinga tengah.
Kulit dari membrane timpani lateral membentuk kantong luar, yang akan berisi kulit
yang telah rusak dan bahan sebaseus. Kantong dapat melekat ke struktur telinga
tengah dan mastoid. Bila tidak ditangani, kolesteatoma dapat tumbuh terus dan
menyebabkan paralysis nervus fasialis ( N. Cranial VII ), kehilangan pendengaran
sensorineural dan/ atau gangguan keseimbangan (akibat erosi telinga dalam) dan
abses otak.
2.4 Patofisiologi

Otitis media awalnya dimulai sebagai proses peradangan setelah infeksi saluran
pernafasan atas virus yang melibatkan mukosa hidung, nasofaring, dan tuba eusthacia.
Ruang anatomi yang sempit membuat edema yang disebabkan oleh proses inflamasi
menghalangi bagian eustachia dan mengakibatkan penurunan ventilasi. Hal ini
menyebabkan kaskade kejadian seperti peningkatan tekanan negatif di telinga tengah dan
penumpukan sekresi mukosa yang meningkatkan kolonisasi organisme bakteri dan virus
di telinga tengah. Pertumbuhan mikroba di telinga tengah ini kemudian membentuk nanah
yang di tunjukan sebagai tanda-tanda klinis Otitis Media Akut (OMA) (Danishyar &
Ashurst, 2017)

2.5 Pathway
2.6 Manifestasi Klinis

Otitis Media Akut

Gejala otitis media dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan bisa sangat ringan dan
sementara atau sangat berat. Keadaan ini biasanya unilateral pada orang dewasa.
 Membrane tymphani merah, sering menggelembung tanpa tonjolan tulang yang dapat
dilihat, tidak bergerak pada otoskopi pneumatic ( pemberian tekanan positif atau
negative pada telinga tengah dengan insulator balon yang dikaitkan ke otoskop ),
dapat mengalami perforasi.
 Otorrhea, bila terjadi rupture membrane tymphani

 Keluhan nyeri telinga ( otalgia )

 Demam

 Anoreksia

 Limfadenopati servikal anterior

Otitis Media Serosa

Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh atau gatal dalam telinga
atau perasaan bendungan, atau bahkan suara letup atau berderik, yang terjadi ketika tuba
eustachii berusaha membuka. Membrane tymphani tampak kusam (warna kuning redup
sampai abu-abu pada otoskopi pneumatik, dan dapat terlihat gelembung udara dalam telinga
tengah. Audiogram biasanya menunjukkan adanya kehilangan pendengaran konduktif.

Otitis Media Kronik

Gejala dapat minimal, dengan berbagai derajat kehilangan pendengaran dan terdapat
otorrhea intermitten atau persisten yang berbau busuk. Biasanya tidak ada nyeri kecuali
pada kasus mastoiditis akut, dimana daerah post aurikuler menjadi nyeri tekan dan bahkan

merah dan edema. Kolesteatoma, sendiri biasanya tidak menyebabkan nyeri. Evaluasi
otoskopik membrane timpani memperlihatkan adanya perforasi, dan kolesteatoma dapat
terlihat sebagai masa putih di belakang membrane timpani atau keluar ke kanalis eksterna
melalui lubang perforasi. Kolesteatoma dapat juga tidak terlihat pada pemeriksaan oleh ahli
otoskopi. Hasil audiometric pada kasus kolesteatoma sering memperlihatkan kehilangan
pendengaran konduktif atau campuran.
2.7 Penatalaksanaan medik

Hasil penatalaksanaan otitis media bergantung pada efektifitas terapi ( e.g :dosis
antibiotika oral yang diresepkan dan durasi terapi ), virulensi bakteri, dan status fisik klien.
Antibiotik dapat digunakan untuk otitis media akut. Pilihan pertama adalah Amoksisilin;
pilihan kedua – digunakan bila diperkirakan organismenya resisten terhadap amoksisilin –
adalah amoksisilin dengan klavulanat(Augmentin ; sefalosporin generasi kedua), atau
trimetoprin sulfametoksazol. Pada klien yang alergi penisilin, dapat diberikan eritronmisin
dan sulfonamide atau trimetoprim – sulfa.
Untuk otitis media serosa ( otitis media dengan efusi ), terapi yang umum dilakukan
adalah menunggu. Keadaan ini umumnya sembuh sendiri dalam 2 bulan. Untuk otitis media
serosa yang persisten, dianjurkan untuk melakukanmiringotomi. Miringotomi adalah
prosedur bedah dengan memasukkan selang penyeimbang tekanan ke dalam membrane
timpani. Hal ini memungkinkan ventilasi dari telinga tengah, mengurangi tekanan negative
dan memungkinkan drainase cairan. Selang itu umumnya lepas sendiri setelah 6 sampai 12
bulan. Kemungkinan komplikasinya adala atrofi membrane timpani, timpanosklerosis (parut
pada membrane timpani), perforasi kronik, dan kolesteatoma.

Berdasarkan AAP dan AAFP clinical practice guideline pada otitis media akut, apakah
pasien harus diobservasi atau diberi terapi antibakteri pada otitis media akut dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Anak-anak kurang dari enam bulan harus menerima terapi antibakteri, tanpa
memperhatikan tingkat kepastian dari diagnosis otitis media akut.
2. Terapi antibakteri untuk anak-anak umur enam bulan sampai dua tahun
direkomendasikan saat diagnosis otitis media akut sudah pasti, atau saat penyakitnya
parah meski diagnosis belum pasti. Penyakit parah jika terjadi otalgia sedang sampai berat
atau suhu tubuh > 39°C dalam 24 jam terakhir. Observasi adalah pilihan pada grup usia
ini saat diagnosis belum pasti dan penyakitnya tidak parah.
3. Terapi antibakteri untuk anak-anak lebih dari dua tahun direkomendasikan saat
diagnosis dari otitis media akut sudah pasti dan penyakitnya parah. Observasi adalah
pilihan saat diagnosis pasti atau tidak pasti tapi penyakitnya ringan.

4. Observasi hanya dianggap sebagai pilihan yang cocok saat pasien dapat dimonitor
perkembangannya dan terapi antibakteri dapat dimulai saat gejala tetap atau memburuk.
Pemilihan antibiotik yang tepat untuk pengobatan otitis media akut sangat penting untuk
pemberantasan bakteri pada telinga tengah. Kegagalan dan kesuksesan pemberantasan
infeksi bakteri berhubungan dengan kegagalan pengobatan dan otitis media akut yang
menetap dan berulang (Cunningham dkk., 2012). Beberapa antibiotik yang dapat diberikan
seperti:
1. Amoksisilin, pada dosis tinggi (80-90mg/kg/hari) efektif melawan kelompok dari

S. Pneumoniae yang rentan, setengah resisten, dan beberapa yang sangat resisten. Harga
yang murah dan efek samping yang rendah membuat amoksisilin menjadi pilihan yang
menarik sebagai terapi garis pertama pada anak-anak dengan otitis media akut.
Amoksisilin sebaiknya tidak menjadi pilihan terapi pada anak-anak yang baru saja
mendapat antibiotik beta laktam. Kegagalan pengobatan dengan amoksisilin dosis tinggi
paling sering disebabkan oleh organisme beta laktamase positif dan S. Pneumoniae yang
tidak rentan penisilin dengan menggangu protein yang mengikat penisilin (Cunningham
dkk., 2012).
2. Makrolida (Azitromisin dan Klaritromisin) adalah pilihan untuk terapi awal untuk
pasien dengan penyakit ringan dan riwayat alergi penisilin. Obat ini tidak
direkomendasikan untuk pasien yang sensitif pada penisilin atau pasien yang mengalami
kegagalan terapi dengan amoksisilin. Makrolida memiliki aktivitas yang terbatas
melawan nontipe H. Influenzae dan hanya efektif melawan S. Pneumoniae yang rentan
penisilin (Cunningham dkk., 2012).

3. Cephalosporin, cefdinir, cefpodoxime dan cefuxime direkomendasikan sebagai


pengobatan oral garis pertama pada pasien dengan alergi penisilin yang bukan tipe satu
dan penyakit yang ringan. Karena tingginya kemungkinan untuk resisten, efektivitas
yang rendah, rasa yang tidak enak. Cephalosprin yang diminum secara oral sebaiknya
tidak dijadikan garis pertama untuk otitis media akut, kecuali pasien memiliki gejala
yang ringan dengan riwayat alergi penisilin yang bukan tipe satu (Cunningham dkk.,
2012).
4. Cefriaxone secara intramuskular dosis tunggal adalah pilihan terapi pada pasien
dengan gejala yang berat dengan alergi penisilin, dan pada pasien yang menunjukan
kegagalan terapi dengan antibiotik lain. Jika gejala tidak membaik, dosis kedua dan
ketiga dapat dilakukan (Cunningham dkk., 2012).
5. Clindamycin direkomendasikan untuk pasien dengan kegagalan terapi otitis
media akut dengan alergi penisilin dan gejala yang ringan. Clindamycin hanya efektif
melawan 60-80% dari S. Pneumoniae dan tidak memberi pertahanan melawan bakteri
gram negatif seperti H. influenzae dan M. catarrhalis (Cunningham dkk., 2012).

2.8 Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
 Identitas Pasien
Nama, Umur, Alamat, Tempat Tgl. Lahir, Jenis Kelamin, Agama, Suku Bangsa,
Pekerjaan, Pendidikan, Status Perkawinan, Tanggal Masuk dan Nomor Identitas.
 Riwayat Keperawatan / Kesehatan

- Keluhan Utama

Biasanya klien mengeluh nyeri di dalam telinga.

- Riwayat Kesehatan / Keperawatan Sekarang

Biasanya klien merasa nyeri didalam telinga, gangguan pendengaran berupa rasa penuh
ditelinga dan suhu tubuh tinggi.
- Riwayat Kesehatan / Keperawatan Yang Lalu

Biasanya klien mengalami mengalami penyakit pilek dan batuk. v Pola Kebiasaan

- Pola Nutrisi

Biasanya klien mengalami penurunan nafsu makan

- Pola Istirahat dan Tidur.

Biasanya istirahat dan tidur klien terganggu karena merasakan nyeri.

- Pola Aktivitas

Biasanya pola aktivitas klien terganggu karena merasakan nyeri. v


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum

- Keadaan umum lemah

Tingkat Kesadaran pasien sadar.


 Tanda-Tanda Vital

TD : Biasanya menurun
Suhu : Biasanya meningkat

RR : Biasanya normal
Nadi : -

 Pemeriksaan Khusus

- Inspeksi : K/U lemah, suhu demam

- Palpasi : terdapat nyeri tekan pada area telinga

- Perkusi : Biasanya ketukan pada telinga nyeri

- Auskultasi : -

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik d/d mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur,
diaforesis. (D.0077)
2. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan pendengaran d/d merasakan sesuatu melalui
indra peerabaan, penciuman, atau pengecapan, respons tidak sesuai, konsentrasi buruk.
( D.0085)
3. Risiko Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif. (D.0142)

C. Intervensi keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik d/d mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur,
diaforesis. (D.0077)

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 kali 24 jam, maka diharapkan
tingkat nyeri menurun

Kriteria Hasil :

1. Keluhan nyeri menurun


2. Meringis menurun
3. Gelisah menurun
4. Kesulitan tidur menurun
5. Diaforesis menurun
interverensi : Manajemen Nyeri (I.08238)
Observasi
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respons nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur

Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik

2. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan pendengaran d/d mendengar suara bisikan ,
respons tidak sesuai, konsentrasi buruk.( D.0085)

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 kali 24 jam, maka


diharapkan persepsi sensori membaik
Kriteria hasil :
1. Verbalisasi mendengar bisikan menurun
2. Respon sesuai stimulus membaik
3. Konsentrasi membaik
Interverensi : Edukasi Perawatan Diri (I.12420)
Observasi :
 Identifikasi pengetahuan tentang perawatan diri
 Identifikasi kemampuan mambaca, status kognitif, psikologi, tingkat
kecemasan, dan budaya
 Identifikasi metode pembelajaran yang sesuai(mis. Diskusi, Tanya
jawab, penggunaan alat bantu audio atau visual, lisan, tulisan)
Terapeutik :
 Rencanakan strategi edukasi, termasuk tujuan yag realistis
 Jadwalkan waktu dan intensitas pembelajaran sesuai penyakit
 Sediakan lingkungan yang kondusif pembelajaran optimal (mis. Di
ruang kelas atau ruang terapi yang kosong)
 Ciptakan edukasi intraktif yang memicu partisipasi aktif selama
edukasi
 Berikan penguatan positif terhadap kemampuan yang didapat
Edukasi :
 Anjurkan perawatan diri, praktik perawatan diri, dan aktivitas
kehidupan sehari-hari
 Anjurkan mendemonstrasikan praktik perawatan diri sesuai
kemampuan
 Anjurkan mengulang kembali informasi edukasi tentang perawatan
mandiri

3. Risiko Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif. (D.0142)


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tingkat infeksi
menurun
kriteria hasil:
1. Demam menurun
2. Kemerahan menurun
3. Nyeri menurun
4. Bengkak menurun
Interverensi : Perawatan Area Insisi (I.14558)
Observasi :
 Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda dehisen atau
eviserasi.

 Monitor proses penyembuhan area insisi.


 Monitor tanda dan gejala infeksi.

Terapeutik :
 Ganti balutan luka sesuai jadwal.

Edukasi :
 Jelaskan prosedur kepada pasien, dengan menggunakan alat bantu.
 Ajarkan meminimalkan tekanan pada tempat insisi.
 Ajarkan cara merawat area insisi.

D. Implementasi keperawatan

Tindakan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan


yang telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat yang akan
memberikan perawatan kepada pasien dan sebaiknya tidak bekerja sendiri tetapi juga
melibatkan tenaga medis yang lain untuk memenuhi kebutuhan pasien (Ida, 2016).

E. Evaluasi keperawatan

Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana
tentang kesehatan pasien dengan tujuan/kriteria hasil yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan tenaga medis yang lain agar
mencapai tujuan/kriteria hasil yang telah ditetapkan (Ida, 2016).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Otitis media adalah infeksi pada telinga tengah yang menyebabkan peradangan
(kemerahan dan pembengkakan) dan penumpukan cairan di belakang gendang telinga. Otitis
media awalnya dimulai sebagai proses peradangan setelah infeksi saluran pernafasan atas
virus yang melibatkan mukosa hidung, nasofaring, dan tuba eusthacia.
Gejala otitis media bervariasi tergantung dari tingkat keparahan infeksi. Kondisi
tersebut biasanya unilateral pada orang dewasa dan dapat disertai oleh otalgia. Hasil
penatalaksanaan otitis media bergantung pada efektifitas terapi ( e.g :dosis antibiotika oral
yang diresepkan dan durasi terapi ), virulensi bakteri, dan status fisik klien. Antibiotik dapat
digunakan untuk otitis media akut. Pilihan pertama adalah Amoksisilin; pilihan kedua –
digunakan bila diperkirakan organismenya resisten terhadap amoksisilin – adalah amoksisilin
dengan klavulanat

3.2 Saran

Dengan dilaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan OTITIS MEDIA yang dapat
diberikan yaitu:
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapakan dapat memberikan kemudahan dalam penggunaan perpustakaan yang
menjadifasilitas bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
keterampilannya dalam menjalani pratek dan pembuatan asuhan keperawatan.
2. Bagi Rumah Sakit
supaya keluarga dapat merawat pasien saat pasien sudah pulang seperti menasehati
pasien untuk kurangi mengkonsumsi makanaan yang dapat menyebabkan otitis media
3. Bagi pasien
Diharapkan agar dapat di jadikan sebagai pedoman untuk mengetahui lebih lanjut
penyakit yang di alami.
4. Bagi penulis
Hasil penelitian membuat pengalaman belajar dalam meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan berkaitan dengan pasien otitis media.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham F.G., 2012. Obstetri Williams. Cetakan 23, EGC, Jakarta. pp.774-797.
Danishyar A, Ashurst JV. Otitis, Media, Acute. Kingman Regional Medical Center.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470332/. 2018 7. 
Haryono, R. (2019). Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogjakarta: Pustaka Baru Press.
Paparella, M. M., Adams, G. L. and Samuel C, L. (2012) ‘Penyakit Telinga Tengah dan
Mastoid’, in boies buku ajar penyakit THT. 6th edn. jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai