Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
I. BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
I-1
Kesehatan Indonesia pada Tahun 2006, rumah tangga yang tidak memiliki
fasilitas buang air besar sebesar 19,67%. Pada tahun berikutnya, menunjukkan
pula bahwa persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas buang air
besar mengalami peningkatan menjadi sebesar 22,85% (Profil Kesehatan
Indonesia, 2006; 2007). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sanitasi dasar
di tengah masyarakat belum terpenuhi secara keseluruhan. Masalah tersebut
akhirnya dapat memicu perilaku buang air besar sembarangan di kalangan
masyarakat yang belum memiliki fasilitas tempat buang air besar. Menurut
Wardiha (2017:55), “Buang air besar sembarangan (BABS) merupakan suatu
tindakan membuang kotoranf atau tinja di ladang, hutan, semak-semak, sungai,
pantai, atau area terbuka lainnya dan dibiarkan menyebar mengkontaminasi
lingkungan, tanah, udara, dan air.”Studi observasi yang dilakukan oleh
USAID/Indonesia menyatakan bahwa fenomena tersebut secara garis besar
dipengaruhi oleh faktor psiko-sosial, jika dilihat secara kognitif masyarakat yang
buang air besar sembarangan terutama di sungai, beranggapan bahwa dengan
membuang hajat di sungai akan menghemat air dan daya listrik. Selain itu,
masyarakat telah terbiasa melakukan aktivitas tersebut karena sudah menjadi
kebiasaan turun temurun dari leluhur, ditambah lagi lokasi sungai yang dekat
dengan rumah penduduk justru semakin memfasilitasi mereka untuk membuang
air besar di sungai. Sedangkan, secara emosional, masyarakat lebih nyaman
buang air besar di tempat terbuka karena dirasa lebih mudah untuk buang air
besar di sungai ketimbang di toilet (USAID/Indonesia, 2006 : 32).
Berdasarkan hasil riset dari Indonesian Sanitation Sector Development
Program(ISSDP) pada tahun 2006, menyatakan bahwa persentase masyarakat di
Indonesia yang masih buang air besar sembarangan sebesar 47%. Sebagai
pengganti jamban, masyarakat biasanya membuang kotoran tinja di tempat
terbuka seperti sungai, sawah, kebun, dan kolam (Kementerian Kesehatan RI,
2008).Kebiasaan masyarakat yang melakukan tindakan buang air besar
sembarangan, tanpa disadari dapat memicu berkembangbiaknya bibit penyakit
seperti bakteri, virus, maupun cacing. Kondisi ini jika dibiarkan akan
I-2
1
Bahaya Perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) diakses di
https://dinkes.riau.go.id/bahaya-perilaku-buang-air-besar-sembarangan-babs pada tanggal 29
November 2019 pukul 12.36
I-3
sebanyak 277 orang yang meninggal dari jumlah 10.980 kasus. Menurut
Laporan Riskesdas Tahun 2007, diare menempati urutan ke-13 penyebab
kematian untuk golongan semua umur dengan proporsi kematian sebesar 3,5%
(Profil Kesehatan Indonesia, 2007:29). Dari paparan data tersebut, menyatakan
bahwa perilaku buang air besar sembarangan pada masyarakat juga turut
berkontribusi terhadap kasus penyebaran wabah penyakit diare hingga menjadi
penyebab kematian bayi maupun golongan semua umur di Indonesia.
Mengingat bahwa kesehatan masyarakat juga merupakan salah satu
kepentingan publik, pemerintah sendiri telah memberikan jaminan bagi setiap
warga negaranya agar mendapatkan hak untuk memiliki hidup yang layak dan
sehat. Sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat
(1), bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
memperoleh pelayanan kesehatan. 2 Dalam menghadapi isu penting ini,
Pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk mencapai
kepentingan publik tersebut dengan membuat suatu kebijakan melalui program
yang relevan.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah memerlukan pendekatan baru
dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia.
Pendekatan tersebut dituangkan dalam program Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STMB). Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STMB) merupakan
pendekatan yang ditujukan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi dengan
cara pemberdayaan masyarakat melalui penerapan metode pemicuan.
Dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan No.852/Menkes/SK/IX/2008
menjadikan pedoman bagi pelaksanaan strategi nasional terkait Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat. Namun, sejak tahun 2014 pelaksanaan STMB diperkuat
dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014.
Tujuan program STMB yaitu untuk memperkuat perilaku higiene dan saniter
2
Undang-Undang Dasar 1945 diakses di http://jkn.jamsosindonesia.com/topik/detail/undang-
undang-dasar-1945--uud-1945-#XXt_ahaySEc pada tanggal 30 November 2019 pukul 16:54
I-4
I-5
Sumber : http://monev.stbm.kemkes.go.id/
Pada Tabel I.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2014, persentase akses jamban
di Kabupaten Bojonegoro sebesar 75,88%. Pada tahun 2015, terjadi peningkatan
sebesar 3,2% dari tahun sebelumnya. Dari tahun 2015 ke 2016, persentase akses
jamban meningkat kembali yaitu sebesar 6,5%. Kemudian, pada tahun 2017,
I-6
Sumber : http://monev.stbm.kemkes.go.id/
Dari tabel di atas, data menunjukkan bahwa pada tahun 2014 jumlah
kasus BABS di Kabupaten Bojonegoro sebanyak 81.774 KK. Pada tahun 2015,
tercatat jumlah kasus BABS berkurang sebanyak 10.463 KK dari tahun
sebelumnya. Pada tahun 2016, jumlah kasus mengalami penurunan sebanyak
12.711 KK. Lalu, dari tahun 2016 ke 2017 jumlah kasus kian berkurang hingga
mencapai 20.151 KK. Berkurangnya kasus BABS juga terlihat pada tahun 2018
yaitu sebanyak 10.333 KK. Hingga pada tahun 2019, total kasus BABS di
Kabupaten Bojonegoro sebanyak 25.697 KK. Melalui program ini menunjukkan
adanya perubahan yang baik perihal kasus BABS di Kabupaten Bojonegoro.
Jika dilihat kembali pada tabel I.3 terdapat perbandingan dari tahun ke tahun
I-7
I-8
Farah Shabrina;
Della Putri Yuva Naelana; S.
Nama Peneliti Hadi Suryono; dan
Arifianty Bekti Istiyanto
Mamik
Peran Pemerintah Pengelolaan Implementasi
Lokal dalam Program Open Program Daerah
Penigkatan Defecation Free Pemberdayaan
Sanitasi (ODF) di Masyarakat
Lingkungan Puskesmas (PDPM) dalam
Masyarakat : Studi Temayang Mewujudkan
Judul Tentang Kabupaten “Kabupaten Tegal
Penelitian Keberhasilan Bojonegoro Tahun Open Defecation
Program Open (2018) Free 2019”
Defecation (2019)
Free(ODF) di
Kabupaten
Bojonegoro
(2017)
Komunikasi
Teori yang
Stakeholder Fungsi Manajemen Pemberdayaan
dipakai
Masyarakat
Metode
Kualitatif Kuantitatif Kualitatif
Penelitian
Deskriptif dengan
Jenis
Deskriptif Pendekatan cross Deskriptif
Penelitian
sectional
Teknik Observasi, Studi Observasi, Survei Studi Dokumen,
Pengumpulan Dokumen, dan dan Wawancara Wawancara
Data Wawancara terhadap responden
Peran pemerintah Berdasarkan hasil Diperlukan
lokal sangat dari penelitian komunikasi yang
dominan dalam yang telah intensif, aktif, dan
Hasil pelaksanaan ODF dilakukan efektif dalam
Penelitian di Bojonegoro penerapan fungsi pelaksanaan
dengan beberapa manajemen program ODF agar
aspek sebagai dilaksanakan dapat berhasil
penentu dengan baik mengubah
keberhasilan dengan porsentase perilaku
I-9
I-10
1. 2 Rumusan Masalah
1. 3 Tujuan Penelitian
1. 4 Manfaat Penelitian
I-11
I-12
1. 5 Kerangka Konseptual
Kolaborasi dapat memberikan arahan bagi organisasi yang terlibat kepada proses
pembelajaran dan berbagi pengalaman bersama. Hal tersebut juga dapat
mengarahkan untuk pengembangan kapasitas baik di dalam maupun di luar
I-13
I-14
I-15
kesehatan, dan pendidikan (Tang & Mazmanian, 2010: 1). Wang (2014)
menjelaskan bahwa inti dari konsep Collaborative Governance adalah
kolaborasi dan kerjasama yang mungkin terjadi diantara pemerintah,
perusahaan, organisasi non-pemerintah, atau dapat dikatakan terjadi diantara
pemerintah dengan dua sektor lainnya. Collaborative Governance berfokus pada
pendekatan dimana lembaga publik memulai proses pengambilan keputusan
bersama dengan aktor-aktor non-pemerintah untuk mencapai solusi dalam
menyelesaikan masalah kebijakan publik yang lebih konkrit (Bartenberger &
Verena, 2014). Argumentasi lain mengenai Collaborative Governance
dikemukakan oleh Freeman dalam Purbani (2017) ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam tata kelola pemerintah yang kolaboratif yaitu dibutuhkan
kegiatan pemecahan masalah, partisipasi luas, hasil atau solusi sementara,
pembagian tanggung jawab antara lembaga publik maupun privat yang terlibat
secara fleksibel.
Kolaborasi sangat bergantung pada partisipasi dari pihak-pihak yang
terlibat, sehingga seringkali kaitannya sangat erat dengan keterlibatan dari
stakeholder. Istilah Stakeholder sendiri pertama kali muncul pada tahun 1963
melalui peristiwa memorandum internal di Stanford Research Institute. Para
ahli dan praktisi kemudian mengembangkan teori manajemen menggunakan
istilah stakeholder untuk menjelaskan permasalahan manajemen (Parmar et.al
2010). Kemudian, awal berkembangnya studi tentang stakeholder berawal dalam
dunia bisnis dikemukakan oleh Freeman melalui perspektifnya yang menyatakan
bahwa organisasi bisnis harus memperhatikan pemangku kepentingan
(stakeholder) lain ketika mengambil keputusan. Konsep ini pun dianggap
penting dan berkembang seiring berjalannya waktu karena menyangkut
kepentingan publik (Mainardes et.al 2011). Menurut Freeman dalam Friedman
dan Miles (2006) menyebutkan secara klasik, stakeholder merupakan tiap
kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
pencapaian tujuan organisasi. Hal serupa juga diungkapkan oleh Gaur (2013),
bahwa stakeholder ialah orang, kelompok atau organisasi yang memiliki
I-16
I-17
5) Akselerator
Stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan program agar berjalan secara
efektif sesuai dengan sasaran dan batas waktu yang ditetapkan.
Lebih lanjut lagi, Ginige et.al (2018) memetakan kategori stakeholder
menjadi beberapa tipe sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing
stakeholder dalam menjawab tantangan global. Penjelasan tentang tipe
stakeholder tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
I-18
I-19
1. Starting Condition
I-20
2. Facilitative Leadership
3. Institutional Design
I-21
I-22
I-23
3
https://www.csreurope.org/strengthen-your-materiality-assessment-stakeholder-
engagement#.XhvWmH8zbMw Diakses pada 13 Januari 2020 10:52
I-24
I-25
Hasil dari proses kolaborasi dianggap sebagai hal yang penting untuk
membangun kondisi ke arah keberhasilan kolaborasi. Keberhasilan tersebut
dapat memberikan umpan balik (feedback) ke dalam proses sehingga mampu
mendorong siklus dari membangun kepercayaan dan komitmen antar
stakeholder. Hasil sementara yang dimaksud dalam konteks ini adalah
representasi dari hasil yang terukur melalui pelaksanaan proses kolaborasi. Hal
tersebut menjadi suatu kebutuhan yang dibangun untuk mencapai kolaborasi
yang berhasil. Maka dari itu, dibutuhkan pembuatan target dalam rencana kerja
untuk mengarahkan kolaborasi pada tujuan yang tepat. Dalam kondisi ini,
kepercayaan (trust) dapat dibangundengan melakukan eksplorasi bersama dari
keseluruhan nilai yang terkandung dalam proses kolaborasi. Hasil sementara
juga mempunyai makna yaitu kondisi di luar proses yang menciptakan hasil
akhir yang diinginkan. Misal, mengubah perilaku manusia (Thomas, 2008: 5).
Dari sekian penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa tata pemerintahan yang kolaboratif merupakan proses yang
memakan waktu, khususnya dalam membangun kesepakatan bersama juga
membutuhkan waktu dan tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa. Ketika
dalam membangun kepercayaan dianggap penting, maka diperlukan waktu yang
signifikan untuk proses tersebut. Sehingga, pada kondisi tersebut para
stakeholder tidak baik untuk membuat keputusan yang terlalu cepat karena harus
melalui beberapa pertimbangan terlebih dahulu. Karena itu, melalui dialog
bersama dengan stakeholder dan pencapaian hasil bersama yang sukses akan
mengarahkan mereka kepada pemahaman yang baru tentang relasi yang mereka
buat.
I-26
atau isu, manajemen konflik yang efektif, peningkatan kepercayaan dan saling
menghormati antar stakeholder, peningkatan operasional dalam pengambilan
keputusan, integrasi pengetahuan yang relevan dalam pertimbangan keputusan,
dan legitimasi yang lebih baik untuk kolaborasi (Emerson et.al 2011: 12-
13).Sehingga, kolaborasi sangat bergantung pada pencapaian dalam siklus
dinamis yang terdiri dari komunikasi, kepercayaan, komitmen, pemahaman, dan
hasil.
Suatu program akan mempunyai potensi keberhasilan yang lebih besar, jika
tujuan dan ruang lingkup program didefinisikan dan diklarifikasi dengan benar.
Hal ini juga dapat mengurangi kemungkinan adanya hambatan dalam
implementasi.
c. Komunikasi
I-27
a) Dukungan administratif
b) Stabilitas Organisasi
I-28
c) Visi Bersama
Melibatkan banyak individu dalam berbagi visi dan sasaran program adalah hal
yang penting karena dapat mengubah ideologi dalam mengatasi suatu masalah.
Maknanya, tiap individu perlu menyatukan visi mereka melalui diskusi untuk
menemukan solusi permasalahan yang dihadapi.
I-29
Selain itu, jamban sehat harus dibangun, dimiliki, dan digunakan oleh
keluarga dengan penempatan mudah dijangkau oleh penghuni
rumah.Selanjutnya, ada beberapa pesan yang disampaikan kepada masyarakat
dalam Program ODF yaitu sebagai berikut:
- Buang air besar sembarangan (BABS) akan mencemari lingkungan dan akan
menjadi sumber penyakit.
- Buang air besar dengan cara yang aman dan sehat berarti menjaga harkat dan
martabat diri dan lingkungan.
- Cara hidup sehat dengan membiasakan keluarga buang air besar yang aman
dan sehat berarti menjaga generasi untuk tetap sehat.
I-30
I-31
I-32
1. 6 Definisi Konsep
Berikut ini adalah definisi dari beberapa konsep yang akan digunakan dalam
penelitian ini di antaranya yaitu:
a. Kolaborasi
I-33
b. Stakeholder
c. Proses Kolaborasi
Proses Kolaborasi adalah proses inti dalam model kolaborasi yang memiliki
beberapa komponen penting berupa dialog, kepercayaan, komitemen,
pemahaman bersama, dan hasil sementara yang dilakukan oleh stakeholder yang
terlibat.
d. Keberhasilan Program
1. 7 Metode Penelitian
I-34
I-35
terjadinya suatu gejala atau fenomena sosial yang menjadi sumber data untuk
ditarik kesimpulan yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian
(Nugrahani, 2014: 112). Sesuai dengan objek penelitian ini, yaitu tentang proses
kolaborasi antar stakeholderdalam mendukung keberhasilan Program Open
Defecation Free (ODF) di Kabupaten Bojonegoro, maka peneliti memilih lokasi
penelitian di Kabupaten Bojonegoro sebagai instrumen untuk mendukung dalam
memperoleh data dan informasi mengenai objek penelitian yang dibahas. Untuk
mendapatkan data yang lebih konkrit, peneliti juga mempertimbangkan beberapa
lokasi penelitian yang relevan dengan ruang lingkup para stakeholder yang
terlibat dalam proses kolaborasi bagi keberhasilan Program ODF di Bojonegoro.
I-36
6. Puskesmas Bojonegoro
1. Ketua RT
2. Karang Taruna
3. Warga desa/dusun
I-37
penelitian tidak berupa dalam bentuk angka dan tidak menggunakan rumus dalam
mengolah dan menganalisis data.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
sumber data yang diperlukan berupa data primer dan data sekunder. Lebih lanjut
lagi, data primer dapat diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan
beberapa informan. Sedangkan, data sekunder dapat diperoleh dengan cara studi
dokumentasi yang dapat berupa dokumen literatur, dokumen resmi pemerintah,
referensi internet, dll. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pengumpulan data
primer dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Wawancara
I-38
2. Dokumentasi
1. Studi Dokumenter
I-39
I-40
I-41