Anda di halaman 1dari 4

VIII.

MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN


UMMAT
A. Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat madani secara harfiah berarti masyarakat kota yang sudah tersentuh oleh peradaban
maju atau disebut juga civil society (masyarakat sipil). Pada zaman Yunani terdapat negara-negara
kota seperti Athena dan Sparta disebut Sivitas Dei, suatu kota Ilahi dengan peradaban yang tinggi.
Masyarakat beradab lawan dari pada masyarakat komunitas yang masih liar.
Adapun masyarakat madani berasal dari bahasa Arab zaman Rasulullah saw. yang artinya juga sama
dengan masyarakat kota yang sudah disentuh oleh peradaban baru (maju), lawan dari masyarakat
madani adalah masyarakat atau komunitas yang masih mengembara yang disebut badawah atau
pengembara (badui).
Ada yang menyamakan makna masyarakat madani sama saja dengan Civil Society, tentu saja ada
persamaannya, tetapi juga ada perbedaan, keduanya sama jika dilihat dari sudut maknasivis, manusia
beradab yang menjunjung tinggi azas persamaan setiap warga walaupun warga itu memiliki
perbedaan dalam agama kepercayaan, bahasa dan kebudayaannya. Masyarakat madani zaman rasul
dengan Sivil Society dalam zaman modern keduanya berbeda antara lain dari segi pandangan
dunianya, seperti diperlihatkan sejarah perkembangannya dari Sivitas Dei(kota Ilahi) ke Sivil Society.
Dunia barat mengalami kegagalan dalam menghadapi pemecahan ketegangan antara pusat
keagamaan (gereja) yang sarat dengan perbuatan magis religius, upacara-upacara ritual, takhyul dan
lain-lainnya dengan kaisr yang penuh dengan martabat duniawi (kekuasaan) kekuatan dan benda-
benda kehidupan sekuler, keduanya dengan Herarchi yang sentralistik (gereja dan kerajaan) dengan
arus reformasi di sekitarnya berakhir pada jalan buntu (Teori Dua Pandang) pimpinan gereja dengan
masalah kerohaniannya dan kaisar dengan urusan kekuasaan dunianya, kebuntuan ini melahirkan
Sivil Society yang membebaskan diri dari kekuatan pengaruh gereja dan tidak merasa tertekan oleh
kekuasaan kaisar (Monarki Obsulut). Mereka sebagai warga masyarakat sipil membangun solidaritas
umum yang disepakati bersama dalam kehidupan bersama sebagai warga Civis. Jalan buntu itulah
melahirkan Sivil Society. Di negeri barat sesudah Revolusi Prancis tahun 1784 yang bertumpu dan
bertindak pada sekularisasi (seculerisme) yaitu penduniaan segala masalah kehidupan dan cita-cita
kenasyarakatan dan bersandar pada etika Hedonisme yaitu kewajiban yang bersendi pada benda
keduniaan semata-mata. Jadi secara jelas menunjukkan bahwa Civil Society di negara barat itu
berinduk pada sekularisme dan sekulerisasi segala nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.
Sementara masyarakat Islam memiliki konsep (doktrin) yang konkrit untuk menciptakan kondisi
masyarakat Islami. Islam bukan sekedar agama yang memiliki konsep ajaran spiritualis (individual)
semata, letaknya kemajemukan agama Islam karena menyandang ajaran pada semua aspek
kehidupan manusia baik vertikal maupun horizontal. 

B. Karakteristik Masyarakat Madani


Secara umum masyarakat yang beradab berciri; kemanusiaan, saling menghargai sesama manusia,
sebagai makhluk Ilahi dalam kehidupan bersama dalam masyarakat yang warga (civitasnya)
pluralistik, memiliki berbagai perbedaan, akan tetapi mengembangkan kehidupan individu yang
demokratis, pemimpin yang mengayomi warga, masyarakat merasa dilindungi oleh sesama warga
karena penghargaan hak-hak dan kewajiban masing-masing. 
Masyarakat ideal menurut Islam adalah masyarakat yang taat pada aturan Ilahi yang hidup dengan
damai dan tenteram yang tercukupi kebutuhan hidupnya. Dalam Al-Qur’an kondisi masyarakat
seperti itu digambarkan dengan “baldatun Tayyibatun Warabbun Gafur.” Negara yang baik, yang
berada dalam lindungan ampunan-Nya. Realisasi dari masyarakat ideal tersebut pada masa Nabi
Muhammad saw. dicontohkan pada masa kehidupan rasul di kota Madinah, dimana masyarakatnya
memberikan kepercayaan dan mewujudkan ketaatan pada kepemimpinan Rasulullah saw. Hidup
dalam kebersamaan dan Al-Qur’an sebagai landasan hidupnya.
Masyarakat madani dalam pandangan Islam adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan iptek. Karena itu dalam sejarah filsafat, sejak
filsafat Yunani sampai masa filsafat Islam dikenal istilah Madinah atau polis yang berarti kota yaitu
masyarakat yang berperadaban. Masyarakat madani yang menjadi sentral idealisme yang diharapkan
oleh masyarakat seperti yang tercantum dalam QS. Saba’/34:15. Masyarakat yang sejahtera, bahagia
itulah yang oleh Allah dijadikan negara ideal bagi ummat Islam dimana pun dan yang hidup di abad
mana pun, mempunyai cita-cita untuk hidup dalam negara yang baik dan sejahtera, bertaqwa kepada
Allah swt.
Piagam Madinah sebagai rujukan pembinaan masyarakat madani, yang merupakan perjanjian antara
Rasul beserta ummat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan kaum aus dan
khazraj yang beragama watsani. Perjanjian Madinah ini berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat
untuk saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-
Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan rasul sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusannya dan memberi kebebasan bagi penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya.
Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang paling ideal memiliki identitas khusus yaitu; berTuhan,
damai, tolong menolong, toleran, keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial, berpandangan
tinggi dan berakhlak mulia.

C. Peranan Ummat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani


Dalam kontek masyarakat Indonesia, di mana ummat Islam adalah mayoritas, peranan ummat Islam
untuk mewujudkan masyarakat madani sangat besar. Kondisi masyarakat Indonesia sangat
bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh ummat Islam. Peranan ummat Islam itu dapat
direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi, dan yang lain. Sistem hukum, social-
politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang kepada ummat Islam untuk
menyalurkan aspirasinya secara konstruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi ummat
Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya, untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun ummat Islam secara
kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah, sehingga perlu pemberdayaan secara
sistematis. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari
fenomena-fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka kriminalitas yang
tinggi, korupsi yang terjadi di semua sektor, dan kurangnya rasa aman. Jika ummat Islam Indonesia
benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, psti bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang
kuat dan sejahtera.

D. Etos Kerja Islami


Etos kerja adalah totalitas kepribadian diri dan cara mengekspresika, memandang, meyakini, dan
memberikan makna tentang sesuatu pekerjaan yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih
amal yang optimal (Toto Tasmara: 20). Etos kerja juga berarti percaya, tekun, dan senang pada
pekerjaan yang sedang dihadapi dengan tidak memandang apakah pekerjaan itu sebagai buruh kasar
atau memimpin suatu perusahaan besar (M. Yunan Nasution: 147). Etos kerja mencerminkan nilai
kerohanian yang membentuk kepribadian dan terekpresikan melalui sikap dan perilaku produktif.
Bagi ummat Islam, sifat etos kerjanya adalah etos kerja Islami, yang dilandasi oleh ajaran al-Qur’an
dan al-Sunnah.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa ummat Islam adalah ummat yang terbaik, karena melakukan amar
ma’ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah (QS. Ali-Imran: 110). Nilai kebaikan ummat
Islam tersebut dapat terealisasi apabila keimanannya menghasilkan amal yang shalih. Oleh karena
itu, Allah akan menilai, siapa yang paling baik amalnya (QS. Hud: 7; QS. Mulk: 2). Islam memotivasi
ummatnya untuk berkompetisi dalam kebaikan, memiliki etos kerja yang baik, yang menentukan nilai
hidup di dunia dan konsekuensi di akhirat (QS. al-Baqarah: 148). Hubungan etos kerja dengan
masalah eskatologi, balasan di akhirat memberikan kestabilan (istiqamah) pada setiap pribadi akan
kepastian hasil kebaikan dari amal baik yang dilakukan, yang tidak bergantung pada kerelativan
manusia.
Menurut Toto Tasmara, etos kerja muslim memiliki cirri-ciri (1) mengahrgai waktu; (2) memiliki
moralitas yang ikhlas; (3) memiliki kejujuran; (4) memiliki komitmen; (5) istiqamah, kuat pendirian;
(6) disiplin; (7) konsekuen dan berani menghadapi tantangan; (8) memiliki sikap percaya diri; (9)
kreatif; (10) bertanggung jawab; (11) bahagia karena melayani; (12) memiliki harga diri; (13) memiliki
jiwa kepemimpinan; (14) berorientasi ke masa depan; (15) hidup hemat dan efisien; (16) meiliki jiwa
wiraswasta; (17) memiliki instink berkompetisi; (18) mandiri; (19) berkemauan belajar dan mencari
ilmu; (20) memiliki semangat perantauan; (21) memperhatikan kesehatan dan gizi; (22) tangguh dan
pantang menyerah; (23) berorientasi pada produktivitas; (24) memperkaya jaringan silaturahmi; dan
(25) memiliki semangat perubahan (Toto Tasmara; 73).

E. Filantropi Islam: Zakat dan Wakaf


1. Zakat
Zakat merupakan dasar prinsipiil untuk menegakkan struktur social Islam. Zakat bukanlah derma
atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Dengan terlaksananya lembaga zakat dengan baik dan
benar, diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin dapat berkurang. Di samping tu, dengan
pengelolaan zakat yang professional, berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang ada
hubungannya dengan mustahiq juga dapat dipecahkan.
Zakat ada dua macam, yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal adalah bagian dari harta kekayaan
seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai
jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat
fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan. Hukum zakat fitrah wajib atas
setiap orang Islam, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka (Yusuf al-
Qardhawi; 162).
Zakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan di kalangan ummat Islam sendiri, dari golongan
ummat yang kaya kepada golongan ummat yang msikin, agar tidak terjadi jurang pemisah antara
golongan kaya dan golongan miskin, serta untuk menghindari penumpukan kekayaan pada golongan
kaya saja. Untuk melaksanakan lembaga zakat itu dengan baik dan sesuai dengan fungsi dan
tujuannya, tentu harus ada aturan-aturan yang harus dilakukan dalam pengelolannya. Pengelolaan
zakat yang berdasar pada prinsip-prinsip pengaturan yang baik dan jelas, akan meningkatkan
manfaatnya yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang
kurang optimal, pada tanggal 23 Setember 1999 Presiden RI, B.J. Habibie mengesahkan Undang-
Undang Nomor 38 Thun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang zakat tersebut, Menteri Agama RI menetapkan Keputusan Menteri
Agama RI Nomor 581 Tahun 1999.
Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada banyaknya zakat yang terkumpul, tetapi
sangat tergantung pada dampak dari pengelolaan zakat tersebut dalam masyarakat. Zakat baru dapat
dikatakan berhasil dalam pengelolaannya, apabila zakat tersebut benar-benar dapat mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Keadaan yang demikian sangat tergantung dari
manajemen yang diterapkan oleh ‘amil zakat dan political will dari pemerintah. 

2. Wakaf 
Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat.
Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat
berkembang dengan baik beberapa Negara misalnya Mesir, Yordania, Saudi Arabia dan Bangladesh.
Hal ini barangkali karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik, sehingga
manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha,
yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin.
Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan memang
efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila
peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dapat
dikelola secara produktif, naka wakaf sebagai salah satu sarana untuk wewujudkan kesejahtraan
sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi secara optimal.
Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi ummat, maka perlu dilakukan paradigma
baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini hanya dikelola secara konsumtif dan
tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola secara produktif.
Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, dan Bangladesh, wakaf selain
berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan, juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat,
uang saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian
hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan ummat.
Wakaf uang dan wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi
perekonomian yang kian memburuk. Wakaf tunai mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya
investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Sebagaimana sudah kita ketahui
bersama bahwa lembaga wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi Islam sangat erat kaitannya dengan
masalah sosial ekonomi nasyarakat. Cukup banyak negara yang wakafnya sudah berkembang,
menyelesaikan masalah sosial ekonomi mereka dengan wakaf. Sayangnya pemahaman ummat Islam
di Indonesia terhadap wakaf selama berabad-abad sangat terbatas pada wakaf benda tidak bergerak
khususnya wakaf berupa tanah. Bahkan sebelum tanggal 27 Oktober 2004, benda wakaf yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan hanyalah tanah nilik, yaitu diatur dalam Peraturan
pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Wakaf benda bergerak
khususnya uang baru dibicarakan oleh ummat Islam di Indonesia sekitar akhir tahun 2001.
Alhamdulillah pada tanggal 1 Mei 2002, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan
fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut :
a. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok
orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau
diwariskan.
Dengan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut, maka penerapan wakaf uang di Indonesia sudah tidak
bermasalah lag, apabila dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf uang sudah
diatur tersendiri. Yang menjadi masalah bagaimanakah penerapan wakaf khususnya wakaf uang di
Indonesia, karena wakaf uang ini penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi
perekonomian yang kian memburuk. Wakaf uang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-
masalah sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Begitu pentingnya wakaf untuk memberdayakan masyarakat, maka Undang-undang wakaf yang
mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu, sudah selayaknya
ummat Islam menyambut baik lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Dalam Undang-undang wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di
Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf (mauquf
‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak seperti uang dan
saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain yang menunjang pengelolaan wakaf produktif.
Benda wakaf (mauquf bih) yang diatur dalam Undang-undang Tentang Wakaf itu tidak dibatasi benda
tidak bergerak saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan
syari’at Islam. Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya pembinaan
nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diamantkan perlunya
dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Salah satu tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia adalah
melkukan pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.

Anda mungkin juga menyukai