Anda di halaman 1dari 5

Bulan masih berada di tempatnya bersama bintang yang masih menemaninya.

Dan
juga Zahra dengan pikirannya. Pikiran yang akhir-akhir ini membuatnya melamun, seseorang
yang dengan lancangnya masuk kedalam hidupnya. Namanya Ali. Ia laki-laki tentunya, baik,
tampan, bijaksana, tegas, sholeh, perhatian, dan pintar. Mereka satu angkatan, hanya saling
mengetahui nama saat kelas VII dan mulai bekerjasama sejak kelas VIII dalam OSIS.
Zahra pun bukan cewek yang mudah akrab dengan lawan jenis. Ia membatasi jarak
dangan kaum Adam. Itu karena ia menginginkan imam yang sholeh.
“Ra, makan dulu.” tegur Ibu mengingatkan sekaligus membuat Zahra terbangun dari
lamunannya.
“Iya, Bu. Sebentar lagi Ra keluar, nyelesain ini sedikit lagi.” jawabnya pelan.
“Jangan kelamaan, nanti magh kamu kambuh.” Ibu memperingatkan.
Zahra tersenyum, “Iya Ibuku...”
Cepat-cepat Zahra menyelesaikan pekerjaanya, mematikan laptop, kemudian keluar
menuju meja makan.
“Skripsi kapan selesai, Ra? Kamu harus cepet-cepet nyari jodoh, Ayah selalu was-was
kalo kamu terus-terusan berkeliaran tanpa mahrom yang mendampingi.”
“Uhuk...” Zahra langsung tersedak saat Ayah menyebut kata ‘jodoh’.
“Ayah, Ra masih muda, masih mau berkarir, masih mau nyenengin Ayah sama Ibu...”
dalihnya.
“Ayah sama Ibu seneng sekali kalo kamu menikah, Ra.” potong Ayah cepat.
Zahra bukan tidak ingin menuruti keinginan orangtuanya, namun ia masih ingin
melakukan apa yang ingin ia lakukan.
Ibu hanya bisa diam ketika Ayah membahas tentang jodoh. Ia tau anak perempuannya
ini memiliki banyak mimpi yang belum tercapai, tapi di lain sisi ia juga adalah seorang istri
yang harus patuh pada suami. Lagipula, permintaan Ayah untuk menikah bukan suatu hal
yang salah.
“Kita makan dulu, ya. Bahas jodohnya nanti lagi. Ayah mau nambah apa? Biar Ibu
ambilin. Ra, ini perkedel kentang kesukaan kamu loh. Nambah, ya?” dan Ibulah yang
menjadi pendingin ketika suasana panas seperti ini.
“Zahra mau nginep di rumah mas Zuhri, mau nanya-nanya tentang skripsi. Ayah sama
Ibu nggak usah khawatir, Ra udah gede bisa jaga diri sendiri. Assalamualaikum.” pamitnya.
“Waalaikumsalam.” jawab Ibu dan Ayah bersamaan.
Setiap hari selalu berakhir dengan seperti ini. Sebenarnya Zahra lelah, namun ini
belum saatnya. Pasti akan ada saat yang tepat untuk seseorang itu datang kedalam hidupnya.
~^~^~^~
“Maksud kamu ini harus dirubah, Ra?” tanya Ali sekali lagi.
Mereka sedang berada di kantin kampus, jadi mereka tidak hanya bertemu berdua
saja.
Zahra mengangguk “Iya, Al. Kalo menurut aku sih ini terlalu rame, dosen yang
matanya kurang sehat bisa pusing liat dekorasi ini. Lebih baik, sih, dibuat lebih sederhana
tapi menarik dan nggak ngebosenin.” usul Zahra.
Ali mengangguk mengerti. Mencoba menelaah kembali saran Zahra. Look Ali sedang
berfikir sangat keren menurut Zahra. Wajah sebik face nya yang lucu membuat Zahra
berusaha untuk tidak tertawa. Jika ia tertawa, Ali akan menanyakan sebabnya tertawa. Dan ia
tidak mungkin mengatakan bahwa wajah Ali lah yang lucu.
Begitu juga bisnis yang sedang berkembang pesat, yang ia rintis sejak MA. Hal yang
patut diteladani para pemuda zaman sekarang.
“Paham, Zahra?” ulang Ali kesekian kalinya.
“Hah?” Zahra gelagapan.
“Kamu ngelamun lagi, Ra?” Zahra tertunduk malu, “Kayaknya kebiasaanmu yang
satu ini harus diubah. Nggak baik nyuekin orang yang lagi ngomong sama kamu.”
“Maaf. Akhir-akhir ini ada sesuatu hal yang aku pikirin.” kata Zahra penuh sesal.
Ali menarik kerudung Zahra pelan “Kalo ada masalah tuh bilang, Ra. Kamu lupa
punya aku?”
Zahra mengerjapkan matanya “Hm?”
Ali menghela nafas pelan “Sebenernya ada yang mau aku omongin.”
“Bilang aja, aku dengerin kok.”jawabnya tanpa ragu. Ia meminum jusnya.
“Ra, maukah kamu menjadi pelengkap imanku?”
Rasanya seperti ada perayaan kembang api di dalam hati Zahra. Tapi ia tak ingin
terburu-buru. Ia harus memikirkan dan mendiskusikannya dengan keluarganya.
“Nggak harus jawab sekarang juga, kamu bisa pikirin dulu. Setelah itu, aku akan
bawa kedua orangtuaku ketemu sama orangtuamu, Ra. Ayo, aku anter pulang.”
Mereka berjalan bersama menuju rumah. Zahra diam-diam tersenyum di belakang
Ali, mengingat kejadian tadi membuatnya sangat bahagia.
Ayah sedang mengobrol bersama seorang pemuda yang kira-kira seusia Zahra saat ia
memasuki rumah. Mereka menjawab salam Zahra bersamaan.
“Nah, ini anaknya datang. Sudah pulang, Ra?” sapa Ayah.
Zahra mengangguk “Iya, Yah. Tadi cuma rapat sama Ali sebentar.”
Ayah mengangguk sama “Kamu masih inget sama Ilham?” tanya Ayah.
Gadis itu terlihat berfikir “Ilham tetangga kita yang pindah waktu kelas tiga bukan?
Temen kecil Ra.” jawabnya.
“Nah, ini Ilham, Ra. Lihat, sekarang sudah lulus S2, mapan, hafidz qur’an lagi.”
Zahra menatap pemuda itu dari atas ke bawah “Padahal dulu nakalnya minta ampun. Ayah
inget banget kalian main ke hutan, pulang-pulang udah belepotan lumpur kali. Kalo keinget
dulu sama liat kamu sekarang, rasanya kayak mimpi, Ham.”
Ilham tersenyum “Ini juga berkat Zahra, Om.” Zahra mengernyitkan dahi “dulu dia
yang sering nasehatin saya untuk berhenti nakal. Dan kata-katanya sebelum saya pindah yang
sering saya pikirin sampai saya kayak gini.”
“Kita harus jadi orang sukses, kalo nggak kita nggak usah temenan lagi.” Tiba-tiba
saja kata-kata itu keluar dari mulut Zahra. Ilham tersenyum.
“Ya sudah, kalian ngobrol-ngobrol dulu. Ayah masih punya kerjaan di dalem.” pamit
Ayah. Ia pun pergi meninggalkan mereka.
“Maaf karna lost contact, Ra. Ada suatu kejadian yang buat aku kehilangan kontak
kamu. Aku udah cari kemana-mana tapi hasilnya nihil. Dan kamu pindah juga. Aku nggak
tau kamu pindah kemana. Maaf.”kata Ilham penuh sesal.
“Nggak papa. Udah bagus silaturahmi kita kesambung lagi. Kamu udah lulus S2,
akselerasi?”
Ilham mengangguk “Aku berusaha sebisaku, dan hasilnya sama seperti kata kamu
dulu. Aku bisa, Ra.”
“Jadi, apa rencana kamu sekarang? Udah lulus S2, mapan, hafidz qur’an lagi.” Zahra
mengulang kalimat Ayah tadi membuat mereka tertawa bersama.
“Rencanaku sekarang adalah khitbah kamu, Ra.”
Seketika tawa Zahra tergantikan wajah kaget bercampur takut. “A-apa?”
“Aku ingin mengkhitbahmu, Ra. Jadilah pelengkap imanku. Aku akan membuat
semua mimpi kita menjadi nyata.”
Redaksinya hampir sama dengan milik Ali tadi.
“Mungkin ini terlalu mendadak setelah kita ketemu lagi. Tapi dari awal inilah
rencanaku, Ra. Lulus lebih awal, kerjaan tetap, nyari keberadaan kamu, dan setelah itu
ngekhitbah kamu bagaimanapun keadaan kamu. Pikirin dulu aja, Ra. Aku siap nunggu kamu
sampe kamu siap.”kata Ilham sarkatis.
“Makasih.”
Ilham pamit setelah mereka bertukar kontak.“Aku pamit dulu, salam buat om sama
tante. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”jawab Zahra lirih.
Zahra mengantar Ilham hingga pintu gerbang dan berakhir dengan Ilham yang
memasuki mobil Alpard nya.
Ia berada pada dua pilihan yang sulit sekarang. Keduanya sama-sama baik, sangat
baik malah. Haruskah ia bertanya kepada-Nya? Atau ini bisa diselesaikan dengan hatinya?
~^~^~^~
“Yah, Ra mau ngomong sesuatu.” Ayah dan Ibu menatap Zahra tanda menyilakan ia
berbicara. “Ada yang mau khitbah Zahra.”
Terlihat wajah sumringah kedua orangtua Zahra.
“Alhamdulillah, kabar baik. Siapa, Ra?” tanya Ibu.
Zahra menghela nafas “Ali…”
“Temen kamu dari MTs?” Ibu terlihat senang sekali, Ibu memang menyukai Ali,
beberapa kali Ali berkunjung ke rumah dan membuat kesan yang baik. Zahra mengangguk.
Namun berbeda dengan Ayah yang kecewa.
“…dan juga Ilham…” lanjut Zahra.
“Ilham? Ayah setuju sama Ilham.” sahut Ayah langsung.
Zahra menatap kedua orangtuanya lelah “Siapa yang harus Ra pilih?” tanyanya.
“Ilham”
“Ali”
Jawab Ibu dan Ayah berbarengan.
“Shalat istikharah aja, sayang. Minta Allah pilihkan yang terbaik.” Saran Ibu
bijaksana.
Malamnya, gadis itu melakukan saran Ibunya. Ia shalat dengan khusyu’ tanpa
menghiraukan sekitarnya.
“Assalamualaikum, Zaujaty.”
Zahra mencoba melihat wajah seseorang yang memberi salam itu. Terlalu banyak
kabut yang menghalangi, namun tiba-tiba laki-laki itu mendekat.
“Kamu siapa?” tanya Zahra dalam kebigungan.
“Aku Ali.”jawab laki-laki itu.
Ali?
~^~^~^~^~^~
Zahra mengajak Ilham bertemu di suatu kafe. Berniat menjawab pertanyaannya bulan
lalu. Karena semenjak pertanyaan itu dilontarkan, Zahra meminta kedua pemuda itu untuk
tidak bertemu dengannya.
Ali yang menghindar saat berpapasan dengan Zahra atau Ilham yang tidak pernah
mengunjungi rumahnya lagi.
“Udah lama, Ra?”tanya Ilham yang baru datang.
“Nggak kok, baru dateng aku juga. Bunda sehat?” tanya Zahra.
“Sehat. Ada apa nanyain bunda? Mau ke rumah?”
Zahra mengangguk, “mau nganterin ini.”
Ilham melihat undangan yang disodorkan Zahra. Di sana tertulis ‘Ali & Zahra’.
Seketika, Ilham tersenyum.
“Maaf, Ham. Pilihanku jatuh sama Ali.”ujar Zahra hati-hati.”Tapi aku masih pengen
temenan sama kamu. Aku nggak mau persahabatan kita putus lagi. Kamu bener-bener temen
yang baik, Ham. Yah, walau sedikit nakal. Dulu.”
Ilham tertawa, “Tenang, Ra. Aku ikhlas kok. Aku cuma takut aja nggak ada yang mau
sama cewek judes kayak kamu. Eh, ternyata ada. Bagus deh.”
Zahra menatap Ilham tajam. Ilham kembali tertawa.
“Becanda, Ra. Siapa sih yang gak suka sama Zahra, udah pinter, baik, sholehah,
nggak pernah aneh-aneh...”
“Cukup-cukup, aku nggak sebagus itu juga, kali. Masih banyak kekurangan.”potong
Zahra.
“...rendah hati. Itu hal yang paling aku suka dari kamu, Ra. Kamu ngak pernah
sombong meskipun sama orang yang jauh di bawah kamu.”lanjut Ilham.”Makasih udah
merubah aku jadi seperti ini, Ra. Kamu sangat berpengaruh buat hidup aku.”
Zahra meringis, ia takut Ilham kembali baper dan tak mau melepaskannya.
“Sama-sama, Ham. Aku seneng bisa bantu kamu. Semoga kita bisa temenan sampe ke
surganya Allah ya?”
Ilham mengangguk, “Amiin.”
Tiba-tiba saja, ponsel Zahra berbunyi, menampilkan foto seorang pemuda tampan.
“Sebentar ya, Ham.” Zahra pamit mengangkat telpon.
“Halo, assalamu’alaikum. Wa’alaikumsalam.”ternyata mereka mengucapkan salam
dan menjawab salam berbarengan.”Kebiasaan, deh Li. Aku aja yang ngucap salam, kamu
yang jawabnya.”
Itulah kebiasaan unik mereka. Mengucap dan menjawab salam bersamaan ketika
salah satunya menelpon. Ali memberi tahu Zahra bahwa ia sudah berada di butik tempat
mereka fitting baju. Dan Zahra menjawab akan berda di sana dalam waktu 15 menit.
“Aku pamit, Ham. Assalamu’alaikum.” Ilham mengangguk mengiyakan.

Anda mungkin juga menyukai