Kata filsafat (φιλοσοφία, philosophia) merupakan rangkaian dari dua kata
φιλεῖν, philein yang berarti cinta; dan σοφία, sophia yang berarti kebijaksanaan atau pengetahuan. Dari situ kata filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan, cinta kepada pengetahuan. Kecintaan di sini diwujudkan dalam pencarian terus menerus terhadap pengetahuan itu dengan selalu mempertanyakan. Yang dipertanyakan bukan hanya obyek yang menjadi perhatian, melainkan juga jawaban yang diperoleh dari pertanyaan pertama. Jawaban itu dipertanyakan ketepatannya, kebenarannya dan sebagainya. Jawaban yang diperoleh tidak pernah menghentikan usaha untuk mengajukan pertanyaan lagi. Meskipun demikian, dengan bertanya-mencari jawaban-mempertanyakan hasilnya secara terus menerus itu orang menjadi lebih mengenali obyek yang menjadi obyek pertanyaan. Jawaban memang tidak pernah dianggap sebagai hasil yang tidak dipertanyakan lagi dan pertanyaan tidak pernah berhenti diajukan, namun dengan aktivitas bertanya dan mencari jawaban itu pengetahuan menjadi berkembang. Banyak hal tersembunyi yang kemudian tersingkap. Pengetahuan dengan demikian merupakan sesuatu yang terbuka untuk diperbaiki dan dilengkapi. Ilmu sering disebut ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan diperoleh dengan metode yang terpercaya. Pengetahuan adalah hasil dari kerja tahu yang berarti penangkapan terhadap sesuatu sesuai dengan kenyataannya. Dengan demikian, filsafat ilmu memberikan pengertian pengajuan pertanyaan mendalam terhadap ilmu. Pertanyaan itu mengenai: (1) hakekat atau ontologi ilmu dan segala hal yang berkaitan dengan hubungan antara ilmu dengan obyek kajiannya, (2) cara kerja atau epistemologi ilmu, dan (3) kegunaan ilmu.
Pembagian ilmu sehubungan dengan obyeknya
Sehubungan dengan obyeknya, ilmu dibagi menjadi tiga: (1) ilmu-ilmu alam atau natural sciences, obyeknya alam kodrat, (2) ilmu-ilmu kebudayaan atau cultural sciences, obyeknya perbuatan dan buatan manusia, dan (3) ilmu-ilmu kemasyarakatan atau social sciences, obyeknya manusia dalam hubungannya dengan manusia lain. Di mana letak ilmu agama di dalam ketiga bagian itu? Kalau agama dianggap sebagai ‘buatan’ manusia, maka ilmu agama ada di dalam ilmu-ilmu kebudayaan. Kalau agama dianggap ciptaan Tuhan yang diturunkan kepada umat manusia melalui para Utusan Allah, maka letak ilmu agama ada pada ilmu-ilmu kealaman. Akan tetapi, benarkah agama diturunkan dari langit atau dibuat oleh manusia? Bukankah di dalam agama terdapat hal-hal yang diyakini berasal dari Tuhan, namun juga terkandung di dalamnya hal-hal yang dihasilkan manusia? Wahyu memang dari Allah, namun pemahaman terhadap wahyu dilakukan oleh manusia dan karenanya hasil pemahaman itu adalah karya manusia. Memang telah banyak dilakukan penyelidikan ilmiah terhadap agama sebagai fenomena kemanusiaan atau fenomena budaya. Berbagai teori ilmu sosial dan ilmu budaya dipakai untuk menjelaskan fenomena agama. Akan tetapi, ada beberapa ahli agama yang merasa bahwa dengan pendekatan dan metode kedua ilmu itu ada suatu unsur penting agama yang luput dari pengamatan, yakni yang disebut roh atau Geist. Karena itu diusulkan pembentukan ilmu yang disebut Geisteswissenschaft (ilmu seluk beluk roh). Roh yang dimaksudkan di sini bukanlah hantu atau makhluk berdimensi lain dari dimensi alam kodrat, melainkan wujud kodrati yang mendasari keberagamaan tetapi tidak dapat ditangkap dengan penangkapan yang biasa dipakai untuk menangkap alam kodrat. Spirit, semangat dan sebagainya tidak cukup untuk menunjukkan wujud ini. Selain itu juga terdapat ilmu agama sebagai bagian dari agama tertentu. Di dalam agama Islam terdapat ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu usul fiqih, ilmu tafsir dan ilmu akhlaq serta ilmu tasawuf. Ilmu-ilmu ini berangkat dari keinginan atau kebutuhan untuk memahami perintah dan larangan atau petunjuk Allah sehubungan dengan orang-orang yang beriman menurut ajaran agama Islam. Berbeda dengan ilmu-ilmu di atas yang bertumpu pada data dan analisisnya serta kesimpulan yang masuk akal, ilmu-ilmu ini bertumpu pada teks. Analisis dan penyimpulan logis memang dilakukan di situ, namun kepastian kebenarannya tidak diukur dengan logika semata, melainkan ada hal-hal lain yang masuk di dalam pertimbangan atau mekanisme lain. Karena itu ilmu-ilmu ini bersifat ẓannīyāt, didasarkan atas dugaan. Akan tetapi, dugaan di sini didasari kesungguhan di dalam menyelidiki teks dan kaitannya dengan berbagai hal di sekitarnya. Pemakaian kata ẓann terjadi karena kepastian bahwa maksud Tuhan yang terbungkus di dalam teks itu tidak dapat dipastikan oleh peneliti. Penulis kitab-kitab besar keislaman hampir selalu mengakhiri tulisan mereka dengan “Wallahu aʻlam” atau Allah yang lebih tahu, atas dasar kerendahan hati atau pengakuan bahwa maksud Allah tidak dapat dipastikan, melainkan hanya diperkirakan sebatas kemampuan manusia untuk menangkapnya.