Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala nikmat dan
kesempatan yang diberikan, kami dapat berkumpul dan mengerjakan makalah
yang berjudul “Hukuman dalam Hukum Pidana Islam” dengan tepat waktu dan
sebaik mungkin.

Makalah ini disusun guna menyelesaikan tugas Hukum Pidana Islam yang
akan dikumpulkan dalam waktu dekat ini. Makalah ini juga dikerjakan untuk
memenuhi nilai tugas dan mendapatkan nilai yang sebaik mungkin seperti yang
kami harapkan.

Terima kasih ditujukan kepada bapak Dr. H. Sudirman Suparmin, Lc.,


MA., selaku dosen Hukum Pidana Islam atas waktu yang diberikan kepada kami
untuk menyelesaikan makalah ini. Terima kasih kepada teman-teman kelompok V
yang sudah menyisihkan waktunya untuk mencari bahan sebanyak mungkin dan
bersama-sama mengerjakan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun masih merasa


banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, kami dengan senang
hati menerima saran dan kritik dari para pembaca. Kami berharap agar makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Oktober 2014

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3

A. LATAR BELAKANG..................................................................................3
B. PERMASALAHAN......................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5

A. PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUMAN.............................................5


B. SYARAT-SYARAT HUKUMAN...............................................................8
C. MACAM-MACAM HUKUMAN..............................................................10

BAB III PENUTUP..............................................................................................16

A. KESIMPULAN...........................................................................................16
B. SARAN.......................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada masa kini, berbagai kejahatan marak terjadi dimanapun dan
kapanpun. Jika menilik dari sebab terjadinya kejahatan tersebut, akan timbul
berbagai alasan yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan itu. Akan tetapi
kita harus menyadari bahwa salah satu yang menyebabkan seseorang
berpotensi melakukan kejahatan adalah tidak adanya efek jera yang
masyarakat dapatkan dari hukuman yang telah dijatuhkan. Penjatuhan pidana
yang dianggap terlalu ringan itulah yang menjadi faktor penyebab orang-
orang menjadi tidak takut melakukan kejahatan. Di saat inilah, masyarakat
butuh suatu sistem penanggulangan kejahatan yang benar-benar melindungi
dan memberi rasa aman.1
Penerapan aturan hukum yang lebih tegas lagi sangat dibutuhkan di
Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara
dengan mayoritas penduduk beragama muslim terbesar, namun penerapan
hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia dirasakan belum
sempurna karena hukum Islam yang diterapkan sejauh ini hanyalah masalah-
masalah perdata, seperti sengketa perkawinan, waris, wakaf, dan lain
sebagainya. Namun hukum Islam belum bisa menjamah wilayah pidana di
sistem hukum Indonesia, sehingga hingga kini belum ada konsep hukum
pidana Islam yang diterapkan di Indonesia,
Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat2, akan tetapi
amat disayangkan bahwa wajah hukum pidana Islam yang kerap tergambar

1
Topo Santoso. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam
Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani Press, halaman 9

2
Zainuddin Ali. 2008. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, halaman 102

3
dalam media massa atau buku-buku karya orientalis adalah wajah yang kejam
dan tidak manusiawi. Padahal, studi yang objektif dan mendalam terhadap
hukum ini akan menunjukkan bahwa kesan seperti itu muncul, karena hukum
pidana Islam dilihat secara tidak utuh atau parsial. Seharusnya, hukum pidana
Islam dibaca dalam konteks yang menyeluruh dengan bagian lain dari syariat
Islam. Hukum potong tangan contohnya, sering dituding terlampau kejam dan
tidak adil, padahal hukuman ini baru dijatuhkan ketika sejumlah syarat yang
ketat dipenuhi3, misalnya harus menghadirkan saksi yang dapat dipercaya,
adil dan amanah, serta sudah memenuhi kadar (ukuran) harta yang dicuri.4
Pada dasarnya, hukum pidana Islam menanggulangi kejahatan secara
lebih komprehensif, dari mulai memperkokoh keimanan, memperbaiki akhlak
masyarakat, sampai menghilangkan sebab timbulnya kejahatan seperti
kemiskinan, dan keterbelakangan dan memberikan sanksi yang memiliki daya
preventif dan represif.5 Oleh karena itulah, pemahaman mendalam dan
pandangan secara menyeluruh perlu dilakukan agar tidak terjadi lagi salah
kaprah mengenai penjatuhan hukuman di dalam Islam.

B. PERMASALAHAN
1. Bagaimana pengertian dan tujuan penjatuhan hukuman di dalam Islam?
2. Bagaimana sebenarnya syarat-syarat penjatuhan hukuman dalam
pandangan Islam?
3. Bagaimana macam-macam hukuman menurut Islam?

3
Topo Santoso. Op. Cit., halaman 7

4
Mardani. 2010. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, halaman 220-221

5
H. A. Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam
(Edisi Revisi). Jakarta: Prenada Media Group, halaman 195

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUMAN


- PENGERTIAN HUKUMAN
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah
menurut bahasa berasal dari kata ‘aqaba yang sinonimnya khalafahu
wajaa’a bi’aqabihi, yaitu mengiringnya dan datang di belakangnya.
Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah,
barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz ‘aaqaba yang
sinonimnya jadzaa husawaa ‘anbimaa fa’ala, yang artinya
membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu
disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan
sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua
dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan
balasan terhadap perbuatan yang telah dilakukannya.6

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hukuman berarti


siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa).7 Sedangkan
menurut Abdul Qadir Audah, hukuman adalah pembalasan yang
ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya
pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’. Dari definisi tersebut
dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang
diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang
melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban

6
Ahmad Wardi Muslich. 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah.
Jakarta: Sinar Grafika, halaman 136

7
Rahmat Hakim. 2000. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung: Pustaka Setia,
halaman 59

5
dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi
kepentingan individu.8

- TUJUAN HUKUMAN
Segala sesuatu yang tercipta di dunia ini memiliki tujuan masing-
masing. Begitu juga dengan hukuman, penjatuhan hukuman bagi orang
yang telah melakukan kejahatan memiliki tujuan tertentu. Esensi dari
pemberian hukuman bagi pelaku pidana menurut Islam adalah:
a. Pembalasan;

Pelaku kejahatan akan mendapatkan balasan atas perbuatan yang


dilakukannya. Pada dasarnya, sudah menjadi suatu sepantasnya
setiap perbuatan dibalas dengan perbuatan yang sepadan, baik
yang dibalas dengan perbuatan baik dan jahat dibalas dengan
kejahatan pula, dan itu adalah sesuatu yang adil.9

b. Preventif (pencegahan), yang terdiri dari preventif umum dan


preventif khusus;
 Preventif umum
Hukuman itu pada hakikatnya adalah obat untuk
menyembuhkan penyakit yang diderita si pelaku kejahatan
agar masyarakat terhindar dari penyebarannya, atau dengan
kata lain hukuman bertujuan untuk pencegahan yang
ditujukan pada khalayak ramai (semua orang), agar tidak
melakukan pelanggaran terhadap kepentingan umum.
Tujuan ini dimaksudkan agar pelaku menjadi jera dan takut.
Oleh karena itu, pelaksanaannya dilakukan di hadapan
umum agar berdampak sugestif pada orang lain.
 Preventif khusus

8
Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit., halaman 137

9
Rahmat Hakim. Op. Cit., halaman 65

6
Preventif khusus merupakan upaya pencegahan bagi pelaku.
Apabila seseorang melakukan tindak pidana, dia akan
menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya.
Dengan balasan tersebut, pelaku diharapkan menjadi jera
karena balasan yang ia terima, sehingga ia tidak akan
mengulangi perbuatan yang sama di masa yang akan
datang.10

c. Perbaikan dan Pendidikan;

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik


pelaku jarimah agar dia menjadi orang yang baik dan menyadari
kesalahannya.11 Ketika ia telah menyadari kesalahannya, maka dia
juga akan sadar bahwa perbuatan yang dia lakukan bertentangan
dengan syariat dan hanya membawa dosa. Kesadaran yang
demikian tentu saja merupakan alat yang sangat ampuh untuk
memberantas kejahatan, karena seseorang sebelum melakukan
suatu kejahatan, dia akan berpikir bahwa Tuhan pasti mengetahui
perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik
perbuatannya itu diketahui oleh orang lain atau tidak.12

Dari kesemua tujuan di atas, tujuan pokok dari hukuman adalah


menyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik dan
menjauhi perbuatan jelek, mengetahui kewajiban dirinya, dan
menghargai hak orang lain sehingga apa yang diperbuatnya di
kemudian hari berdasarkan kesadaran tadi, tidak selalu dikaitkan
dengan ancaman hukuman. Dalam ungkapan lain, perbuatan baiknya
semata-mata karena kesadaran hukumnya yang meningkat, bukan
karena takut hukum.13
10
Ibid., halaman 64-65

11
Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit., halaman 138

12
Ibid., halaman 138-139
13
Rahmat Hakim. Op. Cit., halaman 66

7
B. SYARAT-SYARAT HUKUMAN
Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus dipenuhi tiga syarat.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukuman Harus Ada Dasarnya dari Syara’ (sesuai dengan asas
legalitas)
Hukum dianggap punya dasar (syari’iyah) apabila ia didasarkan
kepada sumber-sumber syara seperti Algur’an, As-Sunah, Ijma,
atau undang-undang yang diterapkan oleh lembaga yang
berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir (Hukuman
yang bersifat pendidikan).14 Dalam hal hukuman ditetapkan oleh
ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syara’. Apabila bertentangan maka ketentuan
hukuman tersebut menjadi batal.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak
boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikiranya sendiri
walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan
lebih utama dari pada hukuman yang telah ditetapkan oleh syara.15

2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (sesuai dengan asas personalitas)


Dalam hal ini berarti hukuman harus bersifat perorangan. Ini
mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang
yang telah melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain
yang tidak bersalah.16

14
Abdul Muqtadir Al-Haq, “Hukuman dalam Hukum Pidana Islam”,
http://pembelajaranhukumindonesia.blogspot.com/2011/10/hukuman-dalam-hukum-pidana-
islam.html, diakses tanggal 16 September 2014, tanggal 19:55 WIB

15
Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit., halaman 141

16
Abdul Muqtadir Al-Haq. Loc. Cit.

8
3. Hukuman Harus Berlaku Umum
Selain dua syarat yang telah disebutkan di atas, hukuman juga
disyaratkan harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus
berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apa pun
pangkat, jabatan, status, dan kedudukannya. Di depan hukum
semua orang statusnya sama, tidak ada perbedaan antara yang kaya
dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa, antara bangsawan
dengan rakyat jelata.17

17
Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit., halaman 142

9
C. MACAM-MACAM HUKUMAN
Hukuman dalam hukum pidana Islam terbagi-bagi ke dalam beberapa
kelompok. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman,
hukuman dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh syara’
dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
b. Hukuman qishash dan diyat, yaitu hukuman yang telah ditentukan
oleh syara’, dimana qishash adalah hukuman pembalasan dan diyat
adalah hukuman pembayaran sejumlah denda.
c. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang bentuknya adalah denda
berupa perbuatan tertentu yang wajib ditunaikan.

d. Hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang penentuannya diserahkan


kepada ulil amri.18

2. Ditinjau dari segi ada dan tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan
Hadist, hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qisas, diyat, dan kifarat.
Misalnya, hukuman bagi pezina, penuduh zina, pencuri, perampok,
pemberontak, pembunuh, dan lain-lain19;
- Hukuman bagi pezina:
Syariat Islam telah menetapkan jenis hukuman untuk jarimah
zina yaitu:
 Hukuman dera (jilid) seratus kali dan pengasingan untuk
pelaku zina yang keduanya ghoir muhshan (belum
menikah);

18
Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit., halaman 17-20

19
Muhammad Shobri. 2014. Fiqh Jinayah: Ruang Lingkup Hukuman dan Jarimah dalam
Hukum Pidana Islam. Makalah yang dipublikasikan melalui https://academia.edu, halaman 1

10
 Hukuman jilid seratus kali dan rajam bagi pelaku zina yang
keduanya muhshan (telah menikah);
 Kalau pelakunya yang satu ghoir muhshan dan satunya
muhshan maka yang muhshan dirajam dan yang ghoir
muhshan di dera (jilid) dan diasingkan.
Dasarnya:
 QS. An-Nuur: 2

‫ ُك َّل‬ ‫اح ٍد‬
ِ ‫ ِمْنهما و‬ َ‫ِمائَة‬
Azzaaniyatu
wazzaanii
faajliduu kulla َ َُ
ُ‫الزانِيَة‬ َّ ‫ َو‬ ‫اجلِ ُدوا‬
َّ   ‫الزايِن‬ ْ َ‫ف‬
waahidin
minhumaa
mii-ata
jaldatin walaa
ta'khudzkum ‫تَأْ ُخ ْذ ُك ْم َوال‬ ‫هِبِ َما‬ ٌ‫يِف َرأْفَة‬ ‫اللَّ ِه ِدي ِن‬
bihimaa
ra'fatun fii
diinillahi in ‫ج ْل َد ٍة‬ 
َ
QS. An-Nuur: 2

 ‫ ُت ْؤ ِمنُو َن‬ ‫ بِاللَّ ِه‬ ‫ َوالَْي ْوِم‬ ‫اآلخ ِر‬


ِ  ‫ولْي ْشه ْد‬
kuntum
tu'minuuna
billahi wal َ ََ
‫إِ ْن‬ ‫ ُكْنتُ ْم‬ 
yaumi-aakhiri
walyasyhad
'adzaabahuma

‫طَائَِفةٌ َع َذ َاب ُه َما‬  ‫ني ِم َن‬ ِِ


a thaa-ifatun
minal
mu'miniin(a) َ ‫الْ ُم ْؤمن‬ 
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya, mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada
Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang
beriman." – (QS.24:2)

 H.R. Jam’ah kecuali Al Bukhari dan An-Nasa’i.

11
“Jejeka dan gadis hukumannya jilid seratus kali dan
pengasingan selama satu tahun. Dan janda dengan duda
hukumannya jilid seratus kali dan rajam.”20

- Hukuman bagi penuduh zina (qadzaf): dera (jilid) sebanyak 80


kali (QS. An-Nur: 4), dicabut haknya sebagai saksi (diragukan
kejujurannya).

- Hukuman bagi pencuri: potong tangan;


Unsur pencurian: dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bukan
haknya, harta tersebut berharga, dan nisab harta curian yang
dapat mengakibatkan hukuman potong tangan ialah seperempat
dinar (kurang lebih seharga 1,62 gram emas).
Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw.
memotong tangan pencuri dalam (pencurian) sebanyak
seperempat dinar ke atas. (HR.Muslim No. 3189);
Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Pada zaman Rasulullah
saw. tangan seorang pencuri tidak dipotong pada (pencurian)
yang kurang dari harga sebuah perisai kulit atau besi
(seperempat dinar) yang keduanya berharga. (HR.Muslim
No. 3193).

Jika tidak mencapai nisab maka dikenakan hukuman ta’zir.21

- Hukuman bagi perampok:


Syariat Islam menetapkan empat macam hukuman untuk tindak
pidana perampokan (hirabah) yaitu:
 Hukuman mati; dijatuhkan kepada perampok apabila
disertai dengan pembunuhan.

20
Fiqi Rathomy, “Macam-Macam Hukuman dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Positif”, diakses melalui http://blog-fiqi.blogspot.com/, tanggal 17 September 2014, jam 19:52
WIB

21
A. Mukarom. 2012. Tindak Pidana Pencurian (Al – Sariqah) Dalam Fiqh Jinayah.
Makalah mahasiswa IAIN Walisongo, Semarang, halaman 27

12
 Hukuman mati salib; dijatuhkan kepada perampok yang
membunuh serta merampas harta bendanya, dijatuhkan atas
pembunuhan dan percurian harta.
 Hukuman potong tangan dan kaki; dijatuhkan kepada
perampok yang hanya mengambil hartanya saja tanpa
melakukan pembunuhan.
 Hukuman pengasingan; dilakukan kepada perampok
(pengganggu keamanan) yang tidak mengambil harta dan
tidak membunuh tetapi hanya menakut-nakuti saja.
Dasarnya QS. Al-Maidah: 33:

‫ين حُيَا ِربُو َن اللَّهَ َو َر ُسولَهُ َويَ ْس َع ْو َن‬ ِ َّ‫إِمَّنَا جزاء ال‬
‫ذ‬
َ ُ ََ
‫يِف‬ ‫ض‬ ْ  ‫فَ َس ًادا‬ ‫أَ ْن‬ ‫يُ َقَّتلُوا‬ ‫أ َْو‬ ‫صلَّبُوا‬
ِ ‫األر‬ َ ُ‫ي‬ ‫أ َْو‬ ‫ُت َقطَّ َع‬
‫أَيْ ِدي‬ ‫ َوأ َْر ُجلُ ُه ْم‬ ‫ ِم ْن‬ ‫الف‬
ٍ ‫ ِخ‬ ‫أَو‬ ‫يْن َفوا‬ ‫ ِمن‬ ‫ض‬
ْ ْ ُ َ ِ ‫األر‬
Innamaa jazaa-ul-
ladziina
yuhaaribuunallaha ْ
warasuulahu
wayas'auna fiil ardhi ‫ِه ْم‬
QS. Al-Maa-idah: 33

fasaadan an
yuqattaluu au ِ‫ َذل‬ ‫هَل م‬ ‫ ِخزي‬  ‫يِف‬ ‫الد ْنيا‬ ُّ  ‫م‬ ‫هَل‬‫و‬   ‫يِف‬  ِ
‫ة‬ ‫ر‬ ِ  ‫ع َذاب‬
‫اآلخ‬
yushallabuu au
tuqath-tha'a aidiihim
ُْ ٌ ْ َ ُْ َ َ ٌ َ
wa-arjuluhum min
khilaafin au yunfau ‫ك‬َ
ِ‫ع‬
minal ardhi dzalika
lahum khizyun
fiiddunyaa walahum
‫يم‬
ٌ َ ‫ظ‬
fii-aakhirati
'adzaabun 'azhiimun "Sesungguhnya, pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal-balik atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar," – (QS.5:33)

- Hukuman bagi pemberontak: hukuman mati;

13
HR. Muslim:

”Dari Arfajah bin Syuraih ia berkata: Saya mendengar


Rasulullah SAW bersabda: ‘Barang siapa yang datang kepada
kamu sekalian, sedangkan kalian telah sepakat kepada seorang
pemimpin, untuk memecah belah belah kelompok kalian, maka
bunuhlah dia’”

- Hukuman bagi pembunuh: qishas (pembalasan), diyat


(pembayaran sejumlah harta), dan kifarat (denda berupa
perbuatan tertentu yang wajib ditunaikan), dan hukuman
tambahan lainnya seperti hilangnya hak waris. 22

b. Hukuman yang tidak ada nashnya, yang disebut hukuman ta’zir,


seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan
amanah, bersaksi palsu dan lainnya.23

3. Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang
lain. Dalam hal ini hukuman dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Hukuman Pokok (Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan
untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli.
Contohnya: hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan,
hukuman dera 100 kali untuk jarimah zina, atau hukuman potong
tangan untuk jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti (Uqubah Badaliyah), Yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat
dilaksanakan karena alasanyang sah.
Contohnya: Hukuman diyat sebagai hukuman pengganti hukuman
qishash, atau hukuman ta’zir sebagai pengganti hukuman had atau
hukuman qishas yang tidak bisa dilaksanakan.

22
Fiqi Rathomy. Loc. Cit.

23
Muhammad Shobri.. Loc. Cit.

14
c. Hukuman Tambahan (Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan hakim
secara tersendiri.

Contohnya: Hukuman pencabutan hak menjadi saksi bagi orang


yang melakukan jarimah qadzaf (menuduh orang berzina),
disamping hukuman pokoknya yaitu dera delapan puluh kali.
d. Hukuman Pelengkap (Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan syarat harus mendapat keputusan
tersendiri dari hakim. Syarat inilah yang membedakan dengan
hukuman tambahan.

Contohnya seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah


dipotong dilehernya.

4. Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya


hukuman, maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas
tertinggi dan batas terendah,
Contohnya: hukuman dera sebagai hukuman had (delapan puluh
kali atau seratus kali) dalam hal ini hakim tidak berwenang untuk
menambah atau mengurangi karena hukuman itu hanya satu macam
saja.
b. Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas
terendah. Dalam hal ini hakim diberi kewenangan dan kebebasan
untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut,

Contohnya: seperti hukuman penjara atau dera pada jarimah-


jarimah ta’zir.

5. Ditinjau dari segi tempat dilakukanya hukuman maka hukuman dapat


dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

15
a. Hukuman badan (Uqubah Badanyah), yaitu hukuman yang
dikenakan atas badan manusia, seperti hukuman mati, jilid (dera) dan
penjara.

b. Hukuman jiwa (Uqubah Nafsiyah) yaitu hukuman yang dikenakan


atas jiwa manusia, bukannya atas badannya, seperti ancaman,
peringatan, atau teguran.24

24
Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit., halaman 143-144

16
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai
pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan
tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat,
sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
2. Adapun syarat-syarat hukuman adalah sebagai berikut:
- Hukuman Harus Ada Dasarnya dari Syara’ (sesuai dengan asas
legalitas);
- Hukuman Harus Bersifat Pribadi (sesuai dengan asas personalitas);
- Hukuman Harus Berlaku Umum.
3. Macam-macam hukuman dikelompokkan menjadi beberapa bagian,
yaitu: dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, ada
tidaknya nash dalam Al-Qur’an dan Hadist, pertalian hukuman yang satu
dengan yang lain, kekuasaan hakim dalam menentukan hukuman, dan
tempat dilakukannya hukuman.

17
B. SARAN
1. Menurut kami, masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya
muslim harus memahami lebih mendalam mengenai apa itu esensi
hukuman dalam ajaran Islam.
2. Seharusnya para aktivis muslim lebih mensosialisasikan kepada
masyarakat muslim Indonesia bahwa orang muslim harusnya
berpedoman pada hukuman-hukuman yang ada di dalam syariat Islam.
3. Sebaiknya pemerintah mulai mengintegrasikan hukum-hukum pidana
Islam ke dalam hukum nasional Indonesia untuk memperkecil tingkat
kriminalitas di Indonesia, melihat bahwa hukuman dalam Islam adalah
sekumpulan aturan hukum Tuhan yang tegas.

18
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Ali, Z., 2008. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika

Djazuli, H. A., 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan


Hukum Islam (Edisi Revisi). Jakarta: Prenada Media Group

Hakim, R., 2000. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung: Pustaka Setia

Mardani, 2010. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Muslich, A. W., 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah.
Jakarta: Sinar Grafika

Santoso, T., 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam
Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani Press

B. Lain-lain

A. Mukarom. 2012. Tindak Pidana Pencurian (Al – Sariqah) Dalam Fiqh


Jinayah. Makalah mahasiswa IAIN Walisongo, Semarang

Abdul Muqtadir Al-Haq, “Hukuman dalam Hukum Pidana Islam”,


http://pembelajaranhukumindonesia.blogspot.com/, diakses tanggal 16
September 2014, tanggal 19:55 WIB

Fiqi Rathomy, “Macam-Macam Hukuman dalam Hukum Pidana Islam dan


Hukum Positif”, diakses melalui http://blog-fiqi.blogspot.com/, tanggal 17
September 2014, jam 19:52 WIB

Muhammad Shobri. 2014. Fiqh Jinayah: Ruang Lingkup Hukuman dan Jarimah
dalam Hukum Pidana Islam. Makalah yang dipublikasikan melalui
https://academia.edu, halaman 1

19

Anda mungkin juga menyukai