Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PEREKONOMIAN INDONESIA SEJAK KEPEMIMPINAN ORDE


LAMA SAMPAI KEPEMIMPINAN PRESIDEN JOKO WIDODO

OLEH :
NAMA : RIYANUAR WIDI PRATAMA
NIM : 206601330

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ENAM-ENAM KENDARI

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menolong
hambanya dalam menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan
dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui mengenai “Perekonomian


indonesia sejak kepemimpinan orde lama sampai kepemimpinan presiden Joko
Widodo” yang saya sajikan berdasarkan pengamatan saya kutip dari berbagai sumber.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca,
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kami juga menerima kritik dan
saran dari teman-teman agar makalah ini menjadi lebih baik. Terima kasih.

Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan yang setimpal atas bimbingan dan
bantuan yang telah di berikan kepada penulis. Akhirnya penulis mengharapakan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB IPENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 5


2.1 Perekonomian Pada Masa Orde Lama................................................................. 5
2.2 Perekomian Pada Masa Orde Baru...................................................................... 7
2.3 Perekomian Pada Masa Reformasi....................................................................... 11
2.4 Jejak Pertumbuhan Ekonomi dari Masa Ke Masa............................................... 17
2.5 Tantangan Pertumbuhan Ekonomi....................................................................... 23

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 25


3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 25
3.2 Saran..................................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setelah berakhirnya Pemerintahan Belanda dan mengakui secara resmi kemerdekaan


Indonesia, selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965 Indonesia dilanda gejolak
politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah seperti di Sumatera
dan Sulawesi. Akibatnya selama Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia
sangat buruk, selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak 1958, dari tahun ke
tahun defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) terus membesar selain itu selama orde lama, kegiatan produksi di sektor
pertanian dan industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena
keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung. Baik nonfisik maupun fisik
seperti pendanaan dari bank.

Dalam era demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno menjalankan Sistem Ekonomi


Terpimpin. Dalam sistem ekonomi ini, Presiden secara langsung terlibat dan mengatur
perekonomian. Seluruh kegiatan perekonomian terpusat pada Pemerintah Pusat. Akibatnya,
kegiatan perekonomian di daerah menjadi terganggu dan menurun. Dalam era ekonomi
terpimpin, Indonesia berulang kali mengganti desain ekonominya seiring dengan bergantinya
kabinet yang sedang berkuasa.

Seperti negara - negara berkembang lain yang baru telepas dari kekuasaan kolonial,
kebijaksanaan - kebijaksanaan ekonomi di Indonesia pada awal tahun 1950-an sebagian besar
dibentuk dengan saling mempengaruhi masalah-masalah sosial dan ekonomi yang objektif
yang menghadapkan negara dan gagasan-gagasan ekonomi dasar dari para perumus
kebijaksanaan ekonomi yang utama. Dihadapkan pada tugas berat mendamaikan kembali
kebutuhan mendesak untuk merehabilitas ekonomi yang mengalami kehancuran secara luas
selama penduduk Jepang dan revolusi, dengan permintaan umum yang kuat untuk mengubah
ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional. Ketika Indonesia menganut ekonomi terpimpin
pemerintah menumpuh kebijaksanaan yang berorientasi ke dalam’ ( Inward-loking police).
Kebijaksanaan ini dicirikan oleh kebijaksanaan “ Berdikari “ ( berdiri di atas kaki sendiri ),
dan kebijaksanaan yang sangat membatasi, dan kemudian menolak sama sekali penanaman
modal asing.
1
Selama kurun waktu ini perdagangan luar negeri banyak di kendalikan oleh
pemerintah Indonesia, baik karena pertimbangan jangka pendek tentang neraca pembayaran
(dengan membatasi impor untuk menekan devisit transaksi berjalan ) maupun karena
pertimbangan non-ekonomi, yaitu pertimbangan nasionalisme ekonomi yang dengan tegas
melanjutkan ’pola ekonomi kolonial sebelum perang ‘ (preware kolonial pattern) yang sangat
mengandalkan diri pada sektor ekspor komoditi - komoditi primer. Oleh karena ini terdapat
aspirasi yang besar di antara para pemimpin nasional Indonesia untuk mendorong
industrialisasi sebagai jalan - jalan terbaik untuk memperluas landasan ekonomi Indonesia
yang pada waktu itu tergantung pada sektor pertanian.

Walaupun pemerintah tidak bersabahat dengan Negara Kapitalis Barat namun


kebijakan pemerintah yang membawa slogan Berdikari justru tetap mengandalkan bantuan
luar negeri, termasuk bantuan Negara Barat. Kebijakan pemerintah tidak bisa dikatakan
sebagai kebijaksanaan berorientasi ke dalam yang murni (pure inward-loking policies).
Bantuan luar negeri yang diperoleh digunakan untuk membiayai proyek - proyek subtitusi
impor yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia. Indonesia menjadi anti negara-negara
barat namun berpaling ke negara - negara Sosialis lainnya di Eropa Timur dan RCC untuk
memperoleh bantuan luar negeri, untuk membeli peralatan perang.

Para perumus kebijaksanaan Indonesia mengambil beberapa langkah untuk


sekurangnya menampung permintaan – permintaan mendesak nasionalisme ekonomi. Sesuai
dengan hasil perjanjian Indonesia – Belanda yang telah disepakati pada Konferensi Meja
Bundar di Deen Hag 1949, kepentingan - kepentingan Ekonomi Belanda terus mendapat
jaminan dari Indonesia, menyusul pengakuan kemerdekaan Indonesia. Dihadapkan pada
situasi seperti ini, Indonesia membuat rumusan kebijaksanaan agar dapat mengambil langkah
- langkah penting untuk mengambil bagian - bagian penting ekonomi di bawah pemilikan dan
kontrol nasional. Tugas yang dihadapi pemerintah baru pada tahun 1950-an adalah untuk
menstabilkan dan mengembangkan perekonomian yang didominasi oleh asing dan memiliki
sebagian besar oleh pihak swasta. Pada tahun 1952 diperkirakan bahwa 50% dari semua
produk konsumsi impor masih dikuasai 4 perusahaan besar Belanda, dan 60 persen ekspor
oleh delapan perusahaan ( Van Zaden ). Selain itu, bank - bank swasta sebagian besar berada
di tangan tujuh bank asing, tiga diantaranya adalah milik Belanda.

Kabinet yang di pimpin Natsir dari Partai Masyumi didedikasikan untuk mengubah
situasi ini. Kabinet ini meraih dapuk kekuasaan ketika sesuatu yang disebut Boom Korea
2
(Korea Boom) tengah kuat-kuatnya berhembus. Perang Korea mengakibatkan munculnya
permintaan ekspor yang meningkat yang menjadikan sumber pendapatan yang baru untuk
pemerintah indonesia. surplus yang diperoleh adalah sepenuhnya merupakan hasil dari
pendapatan ekspor yang tinggi, secara langsung melalui bea cukai ekspor dan secara tidak
langsung melalui efek pendapatan yang meningkat dari pajak penghasilan dan bea impor.

Jadi, surplus yang ada merupakan hasil dari sebuah kejutan luar negeri bukan berasal
dari kebijakan fiskal yang telah di formulasikan. Dalam situasi tersebut kabinet sudah
bereaksi dengan meliberalkan impor sebagai cara untuk menjaga harga-harga domestik tetap
rendah, meningkatkan standar kosumsi, dan mendorong perkembangan perusahaan-
perusahaan bumi putera. Pada surplus kali itu Indonesia mampu mendapatkan surplus
mencapai 1.7 triliun. Surplus ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1952 indonesia kembali
mengalami defisit anggaran mencapai 3 triliun.

Volume ekspor komoditi - komoditi premier Indonesia mengalami pertumbuhan yang


lumayan pada awal tahun 1950-an, bahkan melebihi tingkat volume yang telah dicapai pada
akhir tahun 1930-an, Indonesia hampir tidak berpartisipasi daam ekspansi perdagangan dunia
yang telah terjadi selama tahun 1950-an dan 1960-an. Bahkan selama kurun waktu 1953-
1966 volume ekspor Indonesia hanya bertumbuh dengan rata-rata satu persen dalam satu
tahun. Merosotnya peranan perdagangan luar negeri selama awal tahun 1950-an terutama
disebabkan oleh karena peralatan produksi industri - industri ekspor Indonesia telah
mengalami banyak kerusakan. Ini merupakan akibat dari usaha presiden Soekarno yang tidak
ingin di bantu oleh Negara Barat.

Negara baru seperti Indonesia menghadapi persoalan besar dalam pemeliharaan


infrastruktur, dibutuhkan lebih banyak investasi baru, sementara berambisi besar dalam hal
pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan program reformasi kesejahteraan lainnya. Satu -
satunya item dalam anggaran yang memungkinkan untuk di pangkas adalah pengeluaran
Militer. Seperti negara baru merdeka lainnya setelah melalui perjuangan kemerdekaan,
pengeluaran di bidang militer meningkat luar biasa, namun suasana yang menjadi tenang
kembali pastinya kemungkinan untuk mengurangi pembiyayaan operasi militer. Hal ini
dilakukan pada saat tahun 1951 - 1955, kemudian setelah itu terdapat peningkatan kembali.
Kebijakan-kebijakan untuk menaikkan kembali anggaran militer tersebut tidak membuat
palemen dan partai politik yang berkuasa menjadi sangat populer di kalangan militer, dan
ketegangan antara mereka dan kelompok mapan politis seringkali dipicu oleh Soekarno.
3
Dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin ini perubahan hanya terjadi di kota - kota
besar sehingga mengakibatkan banyaknya urbanisasi yang terjadi. Kota - kota menjadi sangat
padat sedangkan daerah - daerah pingggiran menjadi sepi. Sistem yang dibuat pemerintah
untuk mengatur perdangan luar negeri dibuat pada awal 1950-an dan tarif impor yang tinggi.
Dengan adanya kebijakan - kebijakan baru, membuat aktifitas ekspor - ekspor utama berasal
dari wilayah pinggiran sepeti Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau luar lainnya yang
memiliki pendapatan seperti minyak, karet, kopra, timah, tembakau, yang semuanya menjadi
di terpasung. Hal yang diakibatkan oleh situasi ini adalah maraknya perdagangan ke pasar
gelap. Apalagi jarak dengan Singapura yang sangat dekat membuat para pedagang lebih
mudah menyelundupkan produk – produk mereka keluar Indonesia dan kembali dengan
barang konsumsi impor ilegal. Dengan mejual produk-produk mereka ke luar negeri para
pedagang mendapatkan harga barang 20 kali lipat daripada di jual di Jakarta.

Walaupun dari sudut pandang politik Soekarno berhasil menjaga indonesia tetap
bersatu, “ Demokrasi Terpimpin “ dan prinsip - prinsip yang menyertai Ekonomi Terpimpin
membawa Indonesia pada salah satu krisis ekonomi paling dramatis dalam sejarah.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Orde Lama?


2. Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru?
3. Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Era Reformasi?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Perekonomian Pada Masa Orde Lama

Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, sudah banyak tokok-tokoh negara yang
saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia, baik
secara individu maupun diskusi kelompok. Tetapi pada pemerintah orde lama masih belum
mampu memperbaiki keadaan ekonomi negara Republik Indonesia yang memburuk.

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :

a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche
Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara


lain:

a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh Menteri Keuangan Ir. Surachman


dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera
dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan
yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu :
masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.
d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
e. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948
5
f. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan
perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian
merupakan sumber kekayaan).

Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum
bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem
ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

a. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) pada tanggal 20 Maret
1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b. Program Benteng (Kabinet Natsir)
c. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat
UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo
e. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.

Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
Demokrasi Terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme
(segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada
kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi. Akan tetapi,
kebijakan - kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia

2.2.Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Baru

6
Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih besar daripada
seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit
yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso, 1986:221) merupakan gambaran singkat
betapa hancurnya perekonomian kala itu yang harus dibangun lagi oleh masa orde baru atau
juga bisa dikatakan sebagi titik balik.

Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun
1966 - 1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha
keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi,
stabilitas politik tercapai ayng berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin
dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk
rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
Repelita dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada masa orde
baru diarahkan pada sektor pertanian. Hal itu dikarenakan kurang lebih 55% dari produksi
nasional berasal dari sektor pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia memperoleh
penghidupan dari sektor pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain
bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, rumah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua
macam, yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka
panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita (pembangunan lima
tahun), adapun program pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan jangka
pendek yang saling berkesinabungan. Masa pembangunan jangka oanjang direncanakan
selama 25 tahun. Modernitas memerlukan sarana, salah satunya dengan pengadaan sarana
fisik. Pembangunan yang dilaksanakan di realisasikan dalam system pembangunan nasional
yang dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA).

2.2.1. PELITA I
Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaan Pelita 1 yaitu pada periode 1969 - 1974.
Pada pelita 1 ini, orde baru menyelesaikan fase stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat
menciptakan keadaan yang stabil. Selama beberapa tahun, sebelum orde baru keadaan
ekonomi mengalami kemerosotan. Pada 1955 - 1960 laju inflasi rata - rata 25% per tahun,
dalam periode 1960 - 1965 harga - harga meningkat dengan laju rata - rata 226% per tahun,
dan pada 1966 laju inflasi mencapai puncaknya, yaitu 650% setahun.

7
Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat kepentingan ekonomi
dikorbankan demi kepentingan politik. Pada masa orde baru, kemerosotan ekonomi dapat
dikendalikan. Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan menjadi 120%, atau seperlima dari tahun
sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang
telah dicapai, kemudian dimulailah pelaksanaan pelita 1 pada tahun 1969.
Adapun titik berat pelita 1 adalah pada sektor pertanian dan industri yang mendukung
sektor pertanian. Adapun sasaran pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pelaksanaan pelita 1 termasuk pembiayaannya selalu disetujui DPR dengan membuat undang
- undang sesuai ketentuan UUD 1945.

2.2.2. PELITA II
Pelita 1 berakhir pada 31 Maret 1974, yang telah meletakan dasar-dasar yang kuat
bagi pelaksanaan pelita I. MPR hasil pemilu 1971 secara aklamasi memilih dan mengangkat
kembali Jendral Soeharto sebagai Presiden RI. Selain itu, MPR hasil pemilu 1971 berhasil
pula menyusun GBHN melalui Tap MPR RI No IV/MPRS/1973.
Di dalam GBHN 1973 terdapat rumusan pelita II, yaitu :
1. Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat;
2. Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan
masyarakat;
3. Perbaikan dan peningkatan prasarana;
4. Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
5. Memperluas kesempatan kerja.

Untuk melaksanakan pelita II, Presiden Soeharto kemudian membentuk Kabinet


Pembangunan II. Program kerja Kabinet Pembangunan II, disebut Sapta Krida Kabinet
Pembangunan II, yang meliputi:
1. Meningkatkan stabilitas politik;
2. Meningkatkan stabilitas keamanan;
3. Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
5. Melaksanakan pemilihan umum.

8
2.2.3. PELITA III
Pada 31 Maret 1979, Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat pembangunan pada
pelita III adalah pembangunan sector pertanian menuju swasembada pangan yang mengolah
bahan baku menjadi bahan jadi. Sasaran pokok pelita III diarahkan pada Trilogi
Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.
A. Trilogi pembangunan mencakup:
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan social
bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

B. Delapan jalur pemerataan mencakup:


1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan perumahan
bagi rakyat banyak;
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan;
3. Pemerataan pembagian pendapatan;
4. Pemerataan memperoleh kesempatan kerja;
5. Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi
generasi muda dan kaum wanita;
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Indonesia;
8. Pemerataan memperoleh keadilan.

Terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya MPR hasil pemilu membentuk
cabinet pembangunan III. Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978. Program
Kerja Kabinet Pembangunan III, disebut Sapta Krida Pembangunan III, yang meliputi:
1. Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dnegan memeratakan
hasil pembangunan;
2. Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3. Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;
4. Menciptakan aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
5. Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan dilandasi oleh
penghayatan dan pengamalan pancasila;

9
6. Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;
7. Mengembangkan politik luar negri yang bebas aktif untuk diabdikan kepada
kepentingan nasional.

2.2.4. PELITA IV
Pelita III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan Pelita IV
yang dimulai 1 April 1989. Untuk ketiga kalinya Jenderal Soeharto terpilih dan diangkat
kembali oleh MPR hasil pemilu. Untuk melaksanakan Pelita IV, Presiden Soeharto
membentuk Kabinet Pembangunan IV. Titik berat Pelita IV adalah pembangunan sektor
pertanian untuk melanjutkan usaha - usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin - mesin sendiri, baik untuk mesin - mesin industri
ringan maupun industri berat. Sasaran pokok Pelita IV yaitu sebagai berikut:
a. Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman, Penghayatan, dan
Pengamalan Pancasila).
b. Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan
meningkatkan mutu pendidikan.
c. Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan
penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.

2.2.5. PELITA V
Pelita IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan Pelita V
yang dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan pelita terakhir dari keseluruhan Program
Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PPJP 1). Pelita V merupakan masa tinggal landas
untuk memasuki Program Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PPJP II), yang akan dimulai
pada pelita VI pada April 1999. Titik berat Pelita V adalah meningkatkan sektor pertanian
untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan prduksi hasil pertanian lainnya
serta sektor industri, khususnya industri yang menghasilkan barang untuk ekspor, industri
yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat
menghasilkan mesin - mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang
antara industri dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah maupun dari segi penyeraan
tenaga kerja.

2.2.6. PELITA VI

10
Pelita V berakhir pada 31 Maret 1999yang dilanjutkan oleh pelaksanaan Pelita VI
yang dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir Pelita V diharapkan akan mampu menciptakan
landasan yang kukuh untuk mengawali pelaksanaan Pelita VI dan memasuki proses tinggal
landas menuju pelaksanaan Program Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PPJP II) . Titik
berat Pelita VI diarahkan pada pembangunan sektor - sektor ekonomi dengan keterkaitan
antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Sasaran pembangunan industri dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun VI sebagai bagian dari sasaran bidang ekonomi sesuai amanat GBHN 1993 adalah
tertata dan mantapnya industri nasional yang mengarah pada penguatan, pendalaman,
peningkatan, perluasan, dan penyebaran industri ke seluruh wilayah Indonesia, dan makin
kukuhnya struktur industri dengan peningkatan keterkaitan antara industri hulu, industri
antara, dan industri hilir serta antara industri besar, industri menengah, industri kecil, dan
industri rakyat. Serta keterkaitan antara sektor industri dengan skctor ekonomi lainnya. Pelita
VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia kearah yang lebih baik lagi, malah
menjadi gagal landas, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun
1997. Namun, pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan moneter
melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi menyebabkan terjadinya gejolak
social yang mengarah pada pertentangan terhadap pemerintah orde baru. Kenaikan tariff
BBM pada 1997 merupakan awal gerakan pengkoreksian rakyat dan mahasiswa terhadap
pemerintahan orde baru. Sejak saat itu terjadilah gelombang demonstrasi, kerusuhan,
penjarahan, dan pembakaran di ibu kota Jakarta yag kemudian menyebar ke seluruh wilayah
di tanah air .

2.3. Perekonomian Pada Masa Era Reformasi

Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga
kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa
mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.

2.3.1. Masa Kepemimpinan B.J. Habibie

Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan
11
kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan
menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), supremasi hukum, Hak Asasi Manusia (HAM),
Tragedi Trisakti, peranan ABRI di dalam politik, dan lainnya.

Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana


Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie
juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi. Di bidang
ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp
10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah
pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per
dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya.

Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus
mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi
Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN


(Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
2. Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
3. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
4. Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
5. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
6. Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan yang Tidak Sehat
7. Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum


melakukan manuver - manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan -
kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.

2.3.2. Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
12
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%.
Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang
mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.

Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat


tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-
ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung
bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin
berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa
walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru.
Sikap presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat
Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan
diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan
pada bulan Agustus 2001.

Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri
yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi
dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis
di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan
semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga
pertikaian elite politik semakin besar.

Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid


dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan
daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda
pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan
bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini
sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan
kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus
membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan

13
jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan
menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.

Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan
Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan
memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-
pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau
menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa
pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan,
lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah
buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami
perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya
(seperti Standard & Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke
negatif.

Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi
Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa
kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political
will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all.
Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap
persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia,
desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya
berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea
masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan
pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of
crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.

Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator


ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8
Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode
tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya
kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap
prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.

14
2.3.3. Masa Kepemimpinan Ibu Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004)

Masa kepemimpinan Megawati mengalami masalah - masalah yang mendesak yang


harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan hokum. Kebijakan - kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasai persoalan - persoalan ekonomi antara lain :

a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris
Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun
b. Kebijakan privatisasi BUMN.
Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud
mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar
hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena
pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara menjadi
sangat berkurang.

2.3.4. Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

2.3.4.1. Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I Era SBY - JK 2004 - 2009

Kabinet Indonesia Bersatu adalah kabinet pemerintahan Indonesia diatas


kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf
Kalla.

Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun
2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk
pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya,
Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007. Susunan Kabinet Indonesia
Bersatu pada awal pembentukan (21 Oktober 2004), perombakan pertama (7 Desember
2005), dan perombakan kedua (9 Mei 2007)

Pada periode ini, pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang


dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan Langsung

15
Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program - program ini
berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.

2.3.4.2. Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II era SBY – BOEDIONO 2009 -


2014

Kabinet Indonesia Bersatu II adalah kabinet pemerintahan Indonesia diatas


kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Susunan
kabinet ini berasal dari usulan partai politik pengusul pasangan SBY - Boediono pada Pilpres
2009 yang mendapatkan kursi di DPR (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB)
ditambah Partai Golkar yang bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY - Boediono
pada Pilpres 2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II
diumumkan oleh Presiden SBY pada 21 Oktober 2009 dan dilantik sehari setelahnya. Pada 19
Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri Keuangan.

Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat
kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :

1. BI rate
2. Nilai tukar
3. Operasi moneter
4. Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu
lintas modal.

Dengan kebijakan - kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat


meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kinerja Pemerintahan SBY – Tak terasa sudah 1 tahun pemerintahan SBY jilid II
berjalan, Namun masih saja dianggap gagal serta mendapat rapor merah dari beberapa
kalangan. Perolehan suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat dukungan mayoritas di
parlemen ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono untuk melakukan langkah - langkah yang konkrit dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

2.4 Jejak Pertumbuhan Ekonomi dari Masa Ke Masa


16
Pertumbuhan ekonomi bisa dibilang sebagai indikator berhasil atau tidaknya suatu
pemerintahan dalam menjalankan, mengelola, dan membangun negara. Meskipun, ada
banyak faktor baik di dalam negeri maupun di tataran global yang menjadi faktor penentu.
Menurut ekonom Amerika Serikat, Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah suatu
kenaikan kemampuan jangka panjang dari negara untuk menyediakan berbagai barang
ekonomi kepada penduduknya.
Kemampuan tersebut akan tumbuh seiring dengan adanya perkembangan atau
kemajuan teknologi dan juga penyesuaian kelembagaan serta ideologi.
Menurut salah seorang peraih Nobel Ekonomi ini, pertumbuhan ekonomi dicapai oleh
tiga faktor, yakni peningkatan persedian barang yang stabil, kemajuan teknologi, serta
penggunaan teknologi secara efisien dan efektif.
Pertumbuhan ekonomi dicapai oleh tiga faktor, yakni peningkatan persedian barang
yang stabil, kemajuan teknologi, serta penggunaan teknologi secara efisien dan efektif.
Dalam perjalanannya, Indonesia mencatatkan pasang-surut pertumbuhan ekonomi.
JEO ini merangkum jejak pertumbuhan itu dari masa ke masa pemerintahan tujuh presiden
yang pernah memimpin Indonesia, dari Soekarno sampai Joko Widodo (Jokowi).
Sebagai data awal, per kuartal III-2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 5,17
persen, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 5,06 persen. Secara
tahunan, pertumbuhan ekonomi 2017 mencapai 5,07 persen, angka tertinggi sejak 2014.
Memang, angka itu masih di bawah pertumbuhan ekonomi masa pemerintahan
Soeharto yang sempat menembus 10 persen, sehingga ketika itu Indonesia dipuja-puji sebagai
salah Macan Asia. Bahkan, kinerja ekonomi saat ini masih di bawah capaian pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa di atas 6 persen.
Namun, kondisi perekonomian Indonesia sekarang tetap dinilai sudah mulai stabil,
setelah mengalami kejatuhan pada krisis 1998. Saat itu inflasi meroket drastis 80 persen
dengan pertumbuhan ekonominya minus.
"Sekarang kita jelas tumbuh lebih baik, meski pertumbuhan di bawah zaman Orde
Baru tapi reformasi ekonomi kita menunjukkan perbaikan pesat," ujar Chief Economist
Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih, kepada Kompas.com, Senin (5/11/2018).

A. Soekarno (1945-1967)
Indonesiamengalami tiga fase perekonomian di era Presiden Soekarno. Fase pertama
yakni penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, kemudian fase memperkuat pilar ekonomi,

17
serta fase krisis yang mengakibatkan inflasi. Pada awal pemerintahan Soekarno, PDB per
kapita Indonesia sebesar Rp 5.523.863.
Pada 1961, Badan Pusat Statistik mengukur pertumbuhan ekonomi sebesar 5,74
persen. Setahun berikutnya masih sama, ekonomi Indonesia tumbuh 5,74 persen. Lalu,
pada 1963, pertumbuhannya minus 2,24 persen.
Angka minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi.Angka
minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi. Akibatnya, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit minus Rp 1.565,6 miliar. Inflasi melambung
atau hiperinflasi sampai 600 persen hingga 1965.
Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat kembali ke angka positif
pada 1964, yaitu sebesar 3,53 persen. Setahun kemudian, 1965, angka itu masih positif meski
turun menjadi 1,08 persen. Terakhir di era Presiden Soekarno, 1966, ekonomi Indonesia
tumbuh 2,79 persen.  

B. Soeharto (1967-1998)
Masakekuasaan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan presiden lain
Indonesia hingga saat ini. Pasang surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada
eranya.
Ia menjadi presiden di saat perekonomian Indonesia tak dalam kondisi baik. Pada
1967, ia mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman
Modal Asing. UU ini membuka lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di
Indonesia.
Tahun berikutnya, Soeharto membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
yang mendorong swasembada. Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia
hingga tembus 10,92 persen pada 1970.
Ekonom Lana Soelistianingsih menyebut, iklim ekonomi Indonesia pada saat itu lebih
terarah, dengan sasaran memajukan pertanian dan industri. Hal ini membuat ekonomi
Indonesia tumbuh drastis. Setelah itu, di tahun-tahun berikutnya, hingga sekitar tahun 1997,
pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung tinggi dan terjaga di kisaran 6-7 persen.
Namun, selama Soeharto memerintah, kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan
dan dikuasai kroni-kroni presiden. Kondisinya keropos.
Kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan dan dikuasai kroni-kroni presiden.
Kondisinya keropos.

18
Pelaku ekonomi tak menyebar seperti saat ini, dengan 70 persen perekonomian
dikuasai pemerintah. Begitu dunia mengalami gejolak pada 1998, struktur ekonomi Indonesia
yang keropos itu tak bisa menopang perekonomian nasional.
"Ketika krisis, pemerintah kehilangan pijakan, ya bubarlah perekonomian Indonesia
karena sangat bergantung pada pemerintah," kata Lana.
Posisi Bank Indonesia (BI) pada era Soeharto juga tak independen. BI hanya alat
penutup defisit pemerintah. Begitu BI tak bisa membendung gejolak moneter, maka terjadi
krisis dan inflasi tinggi hingga 80 persen.
Pada 1998, negara bilateral pun menarik diri untuk membantu ekonomi Indonesia,
yaitu saat krisis sudah tak terhindarkan. Pertumbuhan ekonomi pun merosot menjadi minus
13,13 persen.
Pada tahun itu, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Badan Moneter
Internasional (IMF). Gelontoran utang dari lembaga ini mensyaratkan sejumlah perubahan
kebijakan ekonomi di segala lini.
 
C. BJ Habibie (1998-1999)
Pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi.
Salah satu tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi
pertumbuhan minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999. 
Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa
perekonomian Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya
Rp 16.650 per dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November
1998.
Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari
jajaran eksekutif.
D. Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak
pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia tumbuh 4,92
persen pada 2000.
Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah
membagi dana secara berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga
menerapkan pajak dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001
tumbuh melambat menjadi 3,64 persen. 

19
E. Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Pada masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara bertahap
terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5 persen
dari 3,64 persen pada tahun sebelumnya.
Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78 persen. Di akhir pemerintahan
Megawati pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.
Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2 persen pada
2002, 17,4 persen pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004.
"Saat itu mulai ada tanda perbaikan yang lebih konsisten. Kita tak bisa lepaskan
bahwa proses itu juga dipengaruhi politik. Reformasi politik juga mereformasi ekonomi kita,"
kata Lana.
Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor perbankan lebih
ketat hingga menerbitkan surat utang atau obligasi secara langsung.
Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada
lagi repelita seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan
tumbuhnya pelaku-pelaku ekonomi.

F. Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)


Meski naik-turun, pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) relatif stabil. Pertumbuhan Indonesia cukup menggembirakan di
awal pemerintahannya, yakni 5,69 persen pada 2005.
Pada 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat jadi 5,5 persen. Di
tahun berikutnya, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6 persen, tepatnya 6,35 persen.
Lalu, pada 2008, pertumbuhan ekonomi masih di atas 6 persen meski turun tipis ke
angka 6,01 persen. Saat itu, impor Indonesia terbilang tinggi. Namun, angka ekspor juga
tinggi sehingga neraca perdagangan lumayan berimbang.
Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan
SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.
Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan
SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.

20
Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial global yang tak hanya
dirasakan Indonesia tetapi juga ke negara lain. Pada tahun itu, Bank Sentral Amerika Serikat
(The Fed) menaikkan suku bunga yang membuat harga komoditas global naik.
"Saat Bank Sentral AS menarik dana dari publik, tidak injeksi lagi, harga komoditas
melambat lagi. Kita mulai keteteran," kata Lana. "Ekspor kita memang tinggi, tapi impornya
lebih tinggi," tambah dia.
Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi
walaupun melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk tiga terbaik di
dunia.
Lalu, pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22 persen.
Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia
jangka panjang.
Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan pertumbuhan di
atas 6 persen pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan kembali terjadi
setelah itu, dengan capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014. 

G. Joko Widodo (2014-2019)


Pada masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi
merombak struktur APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan infrastruktur,
dan melakukan efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing.
Namun, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat tahun masa
pemerintahan Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan pada era SBY.
Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah terus menerus
melemah terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,88 persen.
"Defisit semakin melebar karena impor kita cenderung naik atau ekspor kita yang
cenderung turun," kata Lana.
Di era Jokowi kata Lana, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya sebagai dokumen tanpa
pengawasan dalam implementasinya. 
Dalam kondisi itu, tak diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak seperti
repelita yang lebih fokus dan pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa dijaga. 
Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen. Dilanjutkan
dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17.

21
Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi
pertumbuhan ekonomis 2018 secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan
ekonomi di kuartal I-2018 ternyata tak cukup menggembirakan, hanya 5,06 persen.
Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode
yang sama tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
kuartal III-2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi dibandingkan kuartal sebelumnya.
Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi diprediksi meleset dari asumsi APBN. Bank
Indonesia, misalnya, memprediksi pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan pada 2018
akan berada di batas bawah 5 persen.
Namun, fakta mendapati, ekonomi Indonesia pada 2018 tumbuh 5,17 persen. Ini
menjadi pertumbuhan ekonomi tertinggi di era Jokowi. Konsumsi rumah tangga masih
menjadi penopang utama dengan porsi 5,08 persen.
Pada 2018, investasi menyumbang porsi 6,01 persen bagi pertumbuhan ekonomi,
ekspor 4,33 persen, konsumsi pemerintahan 4,56 persen, konsumsi lembaga non-rumah
tangga 10,79 persen, dan impor 7,10 persen. Total PDB pada 2018 tercatat Rp 56 juta atau
3.927 dollar AS memakai kurs saat itu. 
Tahun pemilu, 2019, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,02 persen.
Perang dagang AS-China, tensi geopolitik Timur Tengah, dan harga komoditas yang
fluktuatif dituding sebagai penyebab penurunan kinerja ekonomi ini dibanding capaian pada
2018.
Konsumsi rumah tangga memberi andil 2,73 persen pada kinerja ekonomi 2019,
sementara investasi menyumbang 1,47 persen. PDB Indonesia pada 2019 tercatat Rp 59,1
juta atau setara 4.175 dollar AS memakai kurs saat itu. 
 
 
2.5 Tantangan Pertumbuhan Ekonomi
Terkait naik-turun pertumbuhan ekonomi, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
yang saat ini notabene adalah rezim yang sedang berkuasa juga melakukan berbagai upaya
untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia.
alam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali
menyampaikan bahwa kunci pertumbuhan ekonomi adalah pemerataan kesejahteraan. Oleh

22
karena itu, ia ingin memperluas jangkauan untuk pertumbuhan di kawasan timur Indonesia,
kawasan perbatasan, dan daerah-daerah lain yang masih tertinggal.
Selain itu, target pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa dicapai dengan memperkuat
usaha ultra-mikro, usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Pemerintah juga berupaya
menekan ketimpangan antardaerah serta memperkecil kesenjangan antarkelompok
pendapatan.
Dari sisi sektoral, pemerintah mendorong sektor yang punya nilai tambah dan
menciptakan kesempatan kerja lebih luas. Jokowi juga menekankan pentingnya
mengembangkan iklim investasi. Maka, mekanisme untuk mengurus perizinan harus
diperbaiki agar efisien dan terukur.
Salah satu solusi yang diberikan adalah dibentuknya Online Single Submission (OSS)
yang mempermudah investor mengurus perizinan. Penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) dan OSS diyakini akan efektif mengurangi rantai birokrasi dan mempermudah para
pelaku usaha.
Di masa kampanye dan awal pemerintahannya, Jokowi berambisi membawa ekonomi
Indonesia tumbuh hingga 7 persen. Namun, ternyata kondisi ekonomi tak semulus yang
dibayangkan.
Pertumbuhan ekonomi harus bersusah payah merangkak hingga ke posisinya saat ini.
Angka 7 persen masih jauh dari realita. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengakui bahwa
target itu sulit dicapai.
Target 7 persen muncul karena pada 2014 pemerintah melihat potensi pertumbuhan
ekonomi tinggi dari kondisi ekonomi global yang meyakinkan. Lagi pula, target tersebut
merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR.
Pada 2019, asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN adalah 5,3 persen.
Sayangnya, perkembangan ekonomi global belakangan putar arah dan menimbulkan
ketidakpastian. Tak hanya Indonesia yang terdampak, tapi juga negara lain. Sejumlah negara
bahkan tak mampu bertahan sehingga mengalami krisis seperti Venezuela dan Turki.
Melihat realita seperti itu, pemerintah menurunkan target ke angka yang lebih
rasional. Pada 2019, asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN adalah 5,3 persen.
Tantangan perekonomian Indonesia pada 2019 dan tahun-tahun mendatang pun
diperkirakan tidak akan berkurang. Malah, sejak jauh-jauh hari banyak ekonom nasional dan
global yang memperkirakan tantangan lebih berat menanti di masa mendatang.

23
Isu perang dagang yang memanaskan Amerika Serikat dan China pun sudah terbukti
menyeret peta ekonomi politik global. Belum lagi kondisi ekonomi di Amerika Serikat yang
diperkirakan bakal memperketat kebijakan moneternya, ditakar bakal menarik pulang
greenback ke negeri asalnya, yang sudah pasti menekan nilai tukar mata uang negara lain
termasuk rupiah.
Dari dalam negeri, persoalan dasar industrialisasi yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya, juga masih menjadi pekerjaan rumah tiada usai bagi pemerintahan, siapa pun itu
yang berkuasa.
Menjelang tutup tahun 2018, terbukti sejumlah kebijakan yang muncul juga kembali
berkutat pada komoditas mentah, yang pada beberapa tahun sempat diupayakan untuk
dikurangi dengan mengedepankan nilai tambah ketika diekspor, selain relaksasi.
Di luar perdagangan, sektor-sektor ekonomi lain yang diharapkan bisa mendongkrak
pertumbuhan juga belum banyak unjuk gigi. Jasa dan pariwisata masih menjadi tumpuan
bersanding dengan konsumsi.
Karena itu, siapa pun pasangan presiden dan wakil presiden yang akan terpilih pada
Pemilu 2019 masih akan berhadapan dengan tantangan perekonomian yang sama, termasuk
memacu angka pertumbuhan ekonomi ini.
Itu pun, pertumbuhan ekonomi seperti apa yang hendak disasar juga masih dapat terus
menjadi dialektika bangsa, sekadar angka atau memang yang kinerja yang menyejahterakan
warganya.

24
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perekonomian Indonesia sejak pemerintahan masa orde lama hingga masa reformasi
masih mengalami beberapa gejolak. Perekonomian Indonesia masih jatuh bangun. Hal itu
dapat dilihat dari kemiskinan yang masih mengalami peningkata dari tahun ke tahun,
pengangguran berada pada tingkat tinggi dikarenakan jumlah lapangan pekerjaan yang
tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang ada, maraknya para koruptor
karena hukuman yang berlaku di negeri ini kurang tegas, masih terlihatnya kesenjangan
ekonomi antara penduduk yang miskin dan yang kaya, nilai tukar rupiah sudah menembus
angka sekitar Rp 14.000,- , dan masih memiliki hutang ke luar negeri.

3.2 Saran

Penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga masih diperlukan

tambahan perbaikan – perbaikan untuk menghasilkan makalah yang lebih baik lagi dan

lengkap. Adapun saran dari penyusun adalah perlu adanya perbaikan – perbaikan tambahan

dari pembaca untuk kesempurnaan dalam pembuatan makalah ini.

25
DAFTAR PUSTAKA

http://hafizasmenta.blogspot.com/2012/03/perekonomian-indonesia-pada-masa-orde.html

http://devinuroctavia.wordpress.com/2013/03/27/sejarah-ekonomi-indonesia-sejak-orde-
lama-hingga-era-transisi/

http://sejumoffc2011.wordpress.com/2013/12/02/kelompok-9ekonomi-terpimpin/

http://ressa-ressapratama.blogspot.com/2012/04/sejarah-perekonomian-indonesia-orde.html

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/perekonomian-indonesia-di-era-reformasi/

http://selvianadianasari.blogspot.com/2014/04/perkembangan-perekonomian-indonesia.html

http://laendadhikadewi.blogspot.com/2014/03/sejarah-ekonomi-indonesia-sejak-orde.html

26

Anda mungkin juga menyukai