Anda di halaman 1dari 14

PERAN BRAIN-GUT AXIS TERHADAP KESEHATAN MENTAL

Disusun oleh :
Rizqy Alyaa Putri Irawan
NIM : 20711204
Tutorial 7

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
7 JULI 2021
PENDAHULUAN

Brain-gut axis melibatkan komunikasi antara sistem saraf pusat (SSP) dan
sistem saraf enterik (SSE). Struktur ini memiliki peran dalam mengintegrasikan dan
memantau fungsi usus dan menghubungkan kognitif otak dan pusat emosional
dengan mekanisme dan fungsi usus perifer seperti pada pengaktifan sistem imun,
permeabilitas usus, refleks enterik, dan juga pensinyalan entero-endokrin. Tubuh
manusia memiliki ekosistem yang kompleks. Bakteri dan mikroorganisme lainnya
dapat menghuni bagian tubuh manusia termasuk usus. Bakteri dan mikroorganisme
ini memiliki peran yang penting dalam menjaga homeostasis tubuh dan juga
mungkin terlibat dalam gangguan metabolisme, sistem imun, dan Kesehatan
mental. Komunikasi antara otak dan mikrobiota yang ada dalam usus dapat melalui
jaringan saraf, sistem endokrin, sistem imun dan regulasi humoral. Dalam praktik
eksperimen dan klinis, bukti komunikasi antara mikrobiota dan otak berasal dari
hubungan disbiosis usus dengan gangguan saraf pusat (misalnya, autisme, perilaku
kecemasan-depresi) dan gangguan gastrointestinal fungsional (FGID).

PEMBAHASAN

Mikrobiota Usus

Mikrobiota diartikan sebagai kelompok ekologis dari mikroorganisme yang


berada di dalam tubuh. Friedrich Escherich merupakan orang yang pertama kali
mengembang biakan Escherichia coli pada tubuh orang sehat dan Joshua Lederberg
merupakan orang yang mengusulkan kata “Mikrobiota” (Permutter et al, 2018).
Jumlah sel mikroba dalam usus lebih banyak jika dibandingkan dengan sel dalam
tubuh manusia. Berat total dari mikroba usus adalah sekitar 1-2 kg setara dengan
berat otak manusia dewasa. Jumlah gen dalam kelompok mikroorganisme yang ada
di dalam usus juga lebih besar dibandingkan yang ada pada genom manusia. Usus
memiliki sekitar 100 triliun mikroba. Kolonisasi dari mikroba usus dimulai sejak
lahir, paparan mikroba pertama manusia adalah pada saat melewati vagina ibu pada
proses persalinan. Faktor-faktor yang menentukan komposisi mikrobiota adalah
cara dalam persalinan, menyusui, antibiotik, diet, infeksi, dan stress (Anadure et
al., 2019; Rege et al, 2017).

Bukti yang paling valid bahwa mikrobiota dalam usus dapat mempengaruhi
manusia adalah pada saat pengamatan yang dilakukan pada tahun 1990 mengenai
peningkatan perilaku dari pasien dengan penyakit ensefalopati hepatik (kelainan
neuropsikiatri sebagai kelanjutan dari penyakit sirosis hati) yang diberikan
antibiotik oral. Pada pengamatan tersebut, mendukung bahwa mikrobiota usus
dapat mempengaruhi peningkatan perilaku seperti kecemasan dan depresi. Ada juga
pengamatan pada autism menunjukan bahwa adanya disbiosis pada komposisi
mikrobiota pada usus sesuai dengan tingkat keparahan penyakit. Pada pasien FGID
juga diamati adanya disbiosis yang berkaitan dengan gangguan suasana hati.
Gangguan fungsional gastrointestinal (FGID) seperti sindrom iritasi usus (IBS)
juga telah diamati dan ditemukan bahwa sebagian besar disebabkan oleh gangguan
pada brain-gut axis (Carabotti et al, 2015; Martin et al, 2018).

Gambar 1. Komposisi mikrobiota dalam usus (Anadure et al., 2019)


Pensinyalan Brain-Gut-Mikrobiota

Jaras Neural (Nervus Vagus)

Kontrol sistem saraf pusat (SSP) penting dalam respon adaptif usus saat
stres yang dapat mengganggu homeostasis. Neuron sensorik spinal akan membawa
sinyal dari mikrobiota usus seperti Lactobacillus rhamnosus yang dapat mengubah
ekspresi reseptor asam gamma-aminobutirat (GABA). Neuron sensorik akan
menuju ke hipotalamus dan sistem limbik untuk mengatur emosi dan penurunan
stres. Timbal balik dari sistem limbik yang diaktifkan dari stimulus stress akan
mengirimkan sinyal turun ke usus melalui nervus vagus dan mempengaruhi
aktivitas otonom. Walaupun belum diketahui lebih dalam, timbal balik dari sistem
limbik juga mempengaruhi metabolisme bakteri. Hasil dari produksi metabolisme
tersebut salah satunya adalah short-chain fatty acid (SCFAs), molekul yang dapat
mengurangi inflamasi pada usus (Anadure et al., 2019; Habib, 2019; Rege et al,
2017; Schretter, 2018).

Gambar 2. Pensinyalan melalui nervus vagus (Habib, 2019)


Jaras Pensinyalan Neuroendokrin dan Enteroendokrin

Jaras ini melibatkan sel yang membentuk sistem endokrin usus yaitu sel
enteroendokrin (EECs). Mikrobiota usus dan hasil metabolitnya akan mengaktifkan
EECS yang berada diantara sel-sel epitel usus. Molekul pensinyalan EECs berbeda-
beda tetapi dapat diaktifkan dan melepaskan neuropeptida sebagai respon terhadap
stimulus kimiawi atau mekanik secara bersamaan. Neuropeptida yang disekresikan
seperti peptida YY, kolesistokinin (CCK), neuropeptida Y (NPY), substansi P dan
glucagon-like peptide-1 and peptide-2 dapat mempengaruhi secara langsung pada
sistem saraf enterik dengan mengaktifkan terminal vagal aferen dan berdifusi ke
seluruh lamina propria pada epitel usus. Neuropeptida juga dapat memasuki
sirkulasi sistemik dan menuju ke sistem saraf pusat (SSP) untuk berikatan dengan
reseptor yang ada di nucleus traktus solitarius dan hipotalamus. Reseptor
neuropeptida ini juga pada pusat pengaturan lapar dan kenyang yang diaktifkan
oleh produksi metabolit dari mikrobiota seperti asam empedu dan SCFAs (Anadure
et al., 2019; Martin et al, 2018; Rege et al, 2017).

Asam empedu disintesis menggunakan prekursor kolesterol oleh hati.


Komposisi molekul ini sangat dipengaruhi oleh asupan makanan dan metabolisme
mikrobiota usus (de Aguiar, 2013; Wahlstrom, 2016). Neuropeptida Y83 yang ada
pada asam empedu dapat berikatan dengan reseptor farnesoid X (FXR) yang ada di
nukleus arkuata hipotalamus untuk memproduksi faktor pertumbuhan fibroblas 19
(FDF19) dapat masuk ke dalam sawar darah otak. Pengaktifan FXR dapat
meningkatkan regulasi pusat metabolisme energi dan supresi pada aktivitas aksis
adrenal-hipofisis-hipotalamus. Asam empedu juga dapat mengaktifkan reseptor G
protein-coupled bile acid (TGR5) yang ada pada sel L usus untuk mengontrol
homeostasis dari glukosa dengan meningkatkan glucagon-like peptide-1 (GLP-1).
Aktivitas TGR5 juga dipengaruhi oleh aktivitas microbiota yang ada dalam usus.
Sel L pada usus juga dapat mengaktifkan FXR yang mengatur sintesis dari GLP-1
(Martin et al, 2018).
Short chain fatty acid (SCFA) juga terlibat dalam komunikasi otak dan usus
melalui EECs dan ECCs (Enterochromaffin cell) yang berperan sebagai molekul
pensinyalan utama. Molekul ini berasal dari fermentasi mikroba menggunakan pati
resistensi makanan dan polisakarida nonpati yang juga berfungsi dalam penyerapan
cairan dan elektrolit di kolon. Aktivitas mikrobiota yang memproduksi SCFA
menstimulus sel L yang berada di ileum distal untuk mensekresi peptide YY dan
GLP-1. Sekresi neuropeptida tersebut akan menginduksi pusat lapar-kenyang dan
perubahan perilaku (Carabotti et al, 2015; Martin et al, 2018).

Gambar 3. Pensinyalan jaras brain-gut axis (Anadure et al., 2019)

Jaras Pensinyalan Sel Enterokromafin (ECCs)

Serotonin (5-HT) diproduksi oleh sel enterokromafin yang ada di mukosa


usus. 95% serotonin yang ada dalam tubuh berada dalam sistem saraf enterik (SSE)
dan berfungsi untuk motilitas yang melibatkan kontraksi dan relaksasi dari otot
polos yang berada di usus, sebagai regulasi sekresi gastrointestinal (GI), dan juga
sebagai persepsi nyeri. 5% serotonin berada di sistem saraf pusat (SSP) berfungsi
dalam pengaturan suasana hari dan kognisi. Mikrobiota usus berkontribusi dalam
pengaturan ketersediaan triptofan yang merupakan prekursor dari serotonin
(Anadure et al., 2019; Martin et al, 2018; Rege et al, 2017; Schretter, 2018).

Gambar 4. Jaras pensinyalan sel enterokromafin (Carabotti et al, 2015)

Jaras pensinyalan Sistem Imun

Sebesar 70% dari total sistem imun tubuh terbentuk pada jaringan limfoid
yang terletak di usus. Dengan ini, saluran GI mempunyai penghalang yang penting
untuk melawan patogen yang berasal dari eksternal maupun internal.
Mikroorganisme yang bersifat menular dapat menyebabkan masalah perilaku
melalui aktivitas sistem imun pada usus. Telah dilakukan sebuah eksperimen
dengan memberikan bakteri Campylobacter jejuni kepada tikus dengan dosis
berlebih berakibat masalah perilaku seperti kecemasan. Metabolit mikrobiota
meningkatkan regulasi dari sintesis sel T dan sekresi anti-inflamasi (IL-10). Pada
manusia juga dilakukan pengamatan dengan konsumsi oral Bifidobacterium infatis.
Hasil yang didapatkan adalah meningkatnya ekspresi IL-10 pada sirkulasi darah.
Oleh karena itu, keseimbangan mikroba pada usus dapat mengatur respon inflamasi
(Anadure et al., 2019; Habib, 2019; Permutter et al, 2018; Suryawan et al, 2021).
Tabel 1. Prinsip mekanisme brain-gut-mikrobiota (Carabotti et al, 2015)

Peran Brain-Gut Axis pada Kesehatan

Kolonisasi mikrobiota dalam usus merupakan tanda kelancaran pada


komunikasi SSP dan SSE. Jika tidak ada kolonisasi mikrobiota, dapat merubah
ekspresi gen dan sekresi neurotransmitter. Oleh karena itu, fungsi saraf sensorik
dan motorik usus terganggu serta pengosongan lambung dapat tertunda.
Lactobacilli dapat menghasilkan oksida nitrat dan hidrogen sulfida yang
memodulasi motilitas usus jika berikatan dengan reseptor vanilloid yang terletak di
mukosa usus. Mikrobiota juga dapat mempengaruhi motilitas usus dengan menjaga
lapisan mukosa dan biofilm melalui sekresi asam bikarbonat dan musin / mukus.
Substansi tersebut membantu dalam pengaturan cairan dalam usus dan respon imun
(Hyland, 2016; Sobin, 2019).
Hubungan Klinis Brain-Gut Axis

Gangguan Depresi dan Kecemasan

Komposisi mikrobiota dapat memodulasi perilaku emosional dan


mempengaruhi parameter terhadap pathogenesis dan keparahan depresi. Disbiosis
pada populasi Acinetobacter dan Bacteroides merupakan hal utama yang dapat
menyebabkan depresi. Pasien yang memiliki gangguan depresi dan kecemasan,
cenderung mengalami penurunan sistem imun dan anomali otak. Hal ini dapat
menyebabkan turunnya kadar serotonin dan neurotropik. Metabolit mikrobiota
seperti asetat dapat mengaktifkan saraf parasimpatis. Hal ini menyebabkan
peningkatan insulin yang distimulus oleh glukosa dan sekresi ghrelin. Analisis MRI
fungsional menunjukan bahwa pada kasus depresi juga diikuti adanya kondisi
inflamasi yang disebabkan oleh masalah pada permeabilitas usus. Pada kasus
wabah E. coli yang terjadi di Jerman dan Kanada mengakibatkan peningkatan pada
depresi dan kecemasan populasi yang terjangkit. Pengobatan yang dilakukan adalah
dengan memberikan prebiotic dan probiotik untuk memanipulasi mikrobiota dalam
usus (ditinjau oleh Kelly et al dalam Martin et al, 2018).

Gangguan Spektrum Autisme (ASD)

Gangguan Spektrum Autisme (ASD) adalah gangguan pada perkembangan


saraf yang ditandai dengan kesulitan untuk berinteraksi dan keterampilan
berkomunikasi yang terbatas. Selain faktor genetik dan lingkungan, ASD juga
dipengaruhi oleh disbiosis mikrobiota usus dan stress oksidatif dalam tubuh. Pada
pasien ASD, adanya peningkatan kadar Ruminococcus dan Bacteroides serta
penurunan Firmicutes. Telah dilakukan pengamatan pada sampel tinja anak-anak
yang mengalami ASD menunjukan penurunan kadar SCFA, asam propionate dan
asam butirat yang disebabkan disbiosis mikrobiota usus. Dalam pengamatan
tersebut juga diamati bahwa bakteri seperti Clostridium tetani dan Desulfovibrio
dapat memperburuk ASD. Pemberian probiotik dan diet bebas gluten pada anak-
anak dengan ASD dapat memodulasi komposisi mikrobiota dan meningkatkan
sistem imun pada usus (Hyland, 2016; Schretter, 2018; Suryawan et al, 2021).
Sindrom Iritasi Usus (IBS)

Sindrom iritasi usus (IBS) merupakan gangguan GI yang ditandai dengan


diare atau konstipasi secara regular serta nyeri pada abdomen. Faktor utama dalam
patogenik IBS yaitu antara lain disbiosis mikrobiota usus, hipersensitivitas dari
organ visceral, perubahan motilitas usus, malabsorbsi karbohidrat dan gangguan
peradangan usus serta disfungsi dari saraf parasimpatis. Analisis MRI fungsional
menyatakan bahwa pada pasien IBS terjadi peningkatan metabolisme pada korteks
cingulate anterior (korteks prefrontal) yang terletak di lobus frontalis otak (Anadure
et al., 2019; Hyland, 2016; Sobin, 2019).

Manipulasi Mikrobiota Usus

Mikrobiota usus dapat dimanipulasi untuk membantu menjaga kesehatan


dan mencegah penyakit. Pengobatan probiotik dapat mengurangi gejala
neuropsikiatri. Pengobatan dengan pemberian Lactobacillus rhamnosus dapat
menginduksi area yang bergantung pada reseptor GABA yang berada di korteks
prefrontal, hipokampus, amigdala dan sistem limbik. Dengan pengobatan ini dapat
mengurangi sekresi kortisol dan mengurangi stres. Pemberian antibiotic juga dapat
memodulasi metabolisme triptofan prekursor serotonin sehingga terjadi penaikan
suasana hati pada orang dewasa. Memanipulasi mikrobiota usus juga dapat
dilakukan dengan kontrol diet dan gaya hidup. Dengan ini dapat meningkatkan
sistem imun serta penurunan depresi (Hyland, 2016; Sobin, 2019).
KESIMPULAN

Simbiosis mutualisme antara mikrobiota dengan manusia merupakan suatu


hubungan yang penting dalam tubuh manusia. Hal ini dinamakan brain-gut axis
yang membutuhkan komunikasi dua arah antara SSP dan SSE. Mekanisme yang
dilakukan sangat penting dalam menjaga Kesehatan dan mencegah penyakit.
Penelitian yang dilakukan pada 10 tahun terakhir ini telah meningkatkan
pengetahuan mengenai pensinyalan mikrobiota ke otak dan sebaliknya serta
implikasinya terhadap psikiatri. Pemberian antibiotik, dan gaya hidup sehat akan
membantu mekanisme brain-gut axis. Manipulasi mikrobiota usus perlu penelitian
lebih lanjut karena solusinya dapat mengatasi beberapa gangguan seperti IBS, ASD
dan juga kondisi yang melibatkan gangguan pada otak.

DAFTAR PUSTAKA

Anadure, R. K., Shankar, S., Prasad, A.S., 2019. The Gut-brain Axis, Neurology,
139B (5) : 1-5

Carabotti, M., Scirocco, A., Maselli, M., A., Severia C., 2015. The gut-brain axis:
interactions between enteric microbiota, central and enteric nervous
systems, Annals of Gastroenterology, 28(2) : 203-209

de Aguiar, V.T.Q., Tarling, E.J., Edwards, P.A., 2013. Pleiotropic roles of bile acids
in metabolism, Cell Metabolism, 17:657–669

Habib, N., 2019. Activate Your Vagus Nerve. Berkeley : Ulysses Press

Hyland, N., 2016. The Gut-Brain Axis Dietary, Probiotic, and Prebiotic
Interventions on the Microbiota. London : Elsevier

Kelly, J.R., Clarke, G., Cryan, J.F., Dinan, T.G.,2016. Brain-gut-microbiota axis:
challenges for translation in psychiatry, Ann Epidemio, . 26:366–372

Martin,C., R., Osadchiy, V., Kalani, A., Mayer, E., A., 2018. The Brain-Gut-
Microbiome Axis, Cell Mol Gastroenterol Hepatol., 6(2): 133–148
Permutter, D., Loberg, K., 2015. BRAIN MAKER : The Power of Gut Microbes to
Heal and Protect Your Brain for Life. London : Yellow Kite

Rege, S., Graham, J., 2017. The Simplified Guide to the Gut Brain Axis – How the
Gut and The Brain Talk to Each Other, psych scene hub, 19(5) : 1-10

Schretter, C. E., 2018, A gut microbial factor modulates locomotor behaviour,


Drosophila Nature, 563 : 402–406

Sobin, W. H., 2019. Using Central Neuromodulators and Psychological Therapies


to Manage Patients with Disorders of Gut-Brain Interaction.
Gewerbestrasse : Springter

Suryawan, A., Sekartini, R., 2021. Peran Bifidobacterium dalam Perkembangan


Otak dan Tumbuh Kembang Anak, Sari Pediatri, 22(5):325-30

Wahlstrom, A., Sayin, S.I., Marschall, H.U., Backhed, F., 2016. Intestinal crosstalk
between bile acids and microbiota and its impact on host metabolism, Cell
Metabolism, 24:41–50.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai