Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Luka pasca bedah pada kulit atau jaringan lunak, sering menimbulkan dan berpotensi
menjadi komplikasi pasca bedah. Beberapa bakteri yang mengkontaminasi daerah operasi
sulit untuk dihindarkan, baik yang berasal dari individu tersebut maupun lingkungannya.
(SIGN,2000)
Banyaknya infeksi yang timbul pasca bedah menyebabkan timbulnya pemakaian
antibiotik yang diberikan sebagai profilaksis untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas dalam pembedahan. Profilaksis dapat meningkatkan mekanisme daya tahan tubuh
pada waktu invasi bakteri. Profilaksis akan menyerang mikroorganisme sebelum mereka
memiliki kesempatan untuk menimbulkan infeksi. Demikian juga pemakaian profilaksis telah
menurunkan insidensi infeksi luka pasca bedah pada daerah kepala dan leher termasuk insisi
dimukosa oral dan pharingeal (Blanchaert, 2001)
Pada awalnya, antibiotik profilaksis digunakan secara serampangan sehingga
menimbulkan banyak masalah. Hingga pada awal tahun1960, John Burke melakukan
penelitian pada binatang yang memperlihatkan hubungan antara waktu pemberian antibiotik
dengan manfaat profilaksis. Didapatkan bahwa bakteri patogen yang potensial seperti
staphilokokus aureus dapat ditekan hingga 90%. Hasil penelitian Rouke dan Folk tahun 1960
juga menunjukan bahwa antibiotik profilaksis mengurangi insidensi terjadinya infeksi pasca
bedah bila diberikan sebelum pembedahan (Felice, 2001)
Meskipun banyak pengalaman klinis dan kepustakaan yang mendukung keberhasilan
profilaksis, tapi penggunaanya masih kontroversi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Prone
dan Altemer tahun 1962 , yang mana pemakaian antibiotik profilaksis tidak memberikan
keuntungan yang berlebih tapi justru menimbulkan resistensi bakteri (Goldman,1994 ;
Katzung, 1997)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Luka Operasi


Infeksi luka operasi adalah infeksi yang terjadi pada daerah pembedahan yang
terjadinya ada kaitannya dengan setelah tindakan pembedahan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya ILO ialah 1) organisme penyebab infeksi ( bakteri), 2) lingkungan
terjadinya infeksi ( respon lokal), dan 3) mekanisme pertahanan tubuh.
1. Bakteri
Tanpa adanya bakteri maka tidak mungkin terjadi infeksi, dan hal tersebut tergantung
pada jumlah dan virulensi bakteri. Bakteri yang sangat patogen pada lapangan operasi
ialah coccus Gram positif ( misal Staphylococcus aureus dan Streptococci ). Bakteri
endogen lebih penting daripada bakteri eksogen, dan bakteri endogen yang paling banyak
ialah dari traktus digestivus. Sumber dari bakteri eksogen ialah tim operasi ( ahli bedah,
asisten, perawat, anestesis) dan kamar operasi meliputi udara, linen, dan peralatan.
Makin lama waktu rawat inap preoperatif maka kuman endogen dan flora komensal dari
penderita diganti oleh flora rumah sakit yang resisten terhadap antibiotik dan hal ini
memudahkan terjadinya ILO.
2. Respon lokal
Tehnik operasi yang bagus dapat memperkecil kemungkinan terjadinya ILO. Prinsip
operasi yang diajarkan Halsted ialah hemostasis, diseksi secara tajam, jahitan yang halus,
diseksi sesuai anatomi, dan penanganan jaringan yang halus. Ligasi jaringan yang besar,
benang non-absorbable yang besar dan polifilamen, jaringan nekrotik, hematoma atau
seroma, dan benda asing harus dihindari karena kondisi tersebut mudah merubah bakteri
inokulum untuk menimbulkan infeksi.
Penggunaan drain Penrose dapat menjadi rute bakteri menuju lapangan operasi.
Dianjurkan untuk menggunakan drain vakum tertutup yang dikeluarkan di luar luka insisi
untuk memperkecil terjadinya ILO. Operasi yang berlangsung lama mengakibatkan luka
tepi insisi mengering atau maserasi sehingga rentan untuk terjadinya ILO.
Penggunaan kauter pada pembedahan dapat meningkatkan terjadinya ILO superfisial.

2
Perfusi yang tidak adekwat mengakibatkan PaO2 menurun dengan akibat kuman dalam
jumlah sedikit mampu untuk menimbulkan infeksi. Perfusi jaringan yang menurun
tersebut dapat mengganggu fungsi barier mukosa saluran cerna. Mukosa saluran cerna
tidak mampu mencegah bakteri, toksin, atau keduanya untuk bergerak dari lumen usus
menembus mukosa.
Penderita usia tua terjadi perubahan struktur histologis dan penurunan fisiologis dari
jaringan, hal tersebut juga mempermudah terjadinya ILO.
3. Mekanisme pertahanan tubuh.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh ialah penyakit
bedah, penyakit penyerta, serta tindakan pembedahan itu sendiri. Diabetes dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya ILO.
Peran ahli bedah untuk menurunkan mekanisme pertahanan tubuh ialah melakukan
operasi dengan prosedur yang benar dengan perdarahan minimal, cegah terjadinya syok,
pertahankan volume darah, normotermia, jaga perfusi dan oksigenasi jaringan.
Usia tua, pemberian transfusi, penggunaan obat steroid atau imunosupresan termasuk
kemoterapi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ILO. Dalam kondisi seperti
tersebut perlu pemberian antibiotik profilaksis pada saat pembedahan.

2.2 Antibiotik Profilaksis


Pemberian antibiotik harus dibedakan antara profilaksis dan terapi. Antibiotik
profilaksis adalah antibiotik yang diberikan untuk mencegah timbulnya infeksi serta
menghambat pertumbuhan bakteri yang masuk kedalam jaringan. Sedangkan antibiotik terapi
adalah antibiotik yang digunakan dengan tujuan untuk melawan infeksi yang sudah ada
(Woods, 1996)
Jadi profilaksis pada dasarnya dilakukan dalam keadaan belum terkena infeksi.
Antibiotik profilaksis sendiri dibedakan sebagai antibiotik profilaksis bedah dan non bedah.
(Katzung, 1997 ; Johnson, 2000)

3
2.2.1 Tujuan Antibiotik Profilaksis
Tujuan pemberian antibiotik sebagai profilaksis pada pasien bedah antara lain
(Setiabudi, 1995 ; SIGN, 2000) :
 Mencegah timbulnya infeksi pada daerah operasi setelah pembedahan
 Mencegah bakterialis endokarditis sebelum mendapat tindakan bedah pada pasien
yang memiliki resiko bakteriemi
 Menghambat pertumbuhan bakteri yang masuk kedalam jaringan pada waktu
pembedahan
 Melindungi orang sehat yang beresiko mendapat invasi bakteri
 Mencegah infeksi sekunder pada pasien yang sedang menderita suatu penyakit
 Penggunaan antibiotik yang lebih efektif

Penting untuk ditegaskan bahwa antibiotik profilaksis pada kasus bedah merupakan
suatu faktor tambahan atau hanya bersifat membantu, bukan mengganti suatu tehnik bedah
yang baik. Antibiotik profilaksis harus dipandang sebagai satu komponen yang efektif untuk
mengontrol infeksi yang diperoleh di rumah sakit (SIGN,2000)

2.2.2 Prinsip Profilaksis Dalam pembedahan


Infeksi luka pasca bedah merupakan sumber utama morbiditas dan mortalitas pada
pasien bedah. Penggunaan antibiotik profilaksis menjadi suatu komponen penting dalam
standar penanganan pasien bedah karena dapat menurunkan resiko infeksi pasca bedah.
Beberapa prinsip dalam pemberian antibiotik sebagai profilaksis (Katzung, 1997; Barnas,
2000 ; SIGN, 2000 ;Topazian, 2002) :
1. Profilaksis diberikan pada prosedur bedah yang memiliki resiko terkontaminasi yang
tinggi oleh bakteri yang akan menimbulkan peningkatan infeksi pasca bedah.
2. Organisme penyebab infeksi harus diketahui atau dapat diduga sebelumnya
3. Antibiotik harus aktif terhadap bakteri penyebab infeksi dan sedapat mungkin
menghindarkan spektrum luas. Antibiotik spektrum luas generasi terbaru, sebaiknya
dicadangkan untuk infeksi yang resisten

4
4. Antibiotik harus berada didalam jaringan dalam konsentrasi yang efektif pada saat
insisi dilakukan atau saat terjadi kontaminasi. Kegagalan pemberian profilaksis sering
disebabkan pemberian antibiotik yang terlambat atau terlalu dini.
5. Aktivitas antibiotik profilaksis yang dipilih harus efektif mencakup sebagian besar
patogen yang sering mengkotaminasi luka insisi atau daerah pembedahan. Bila terdapat
lebih dari 1 obat pilihan yang akan diberikan sebagi profilaksis, obat yang dipilih
berdasarkan mokroorganisme yang paling sering mengkotaminasi dan yang paling
murah.
6. Profilaksis umumnya diberikan pada waktu sebelum pembedahan, biasanya 30 menit
sebelum insisi dilakukan atau pada saat induksi anastesi.
7. Antibiotik profilaksis diberikan dalam dosis tunggal yang dapat menimbulkan
konsentrasi yang efektif dalam jaringan sebelum terjadi kontaminasi bakteri intra
bedah.
8. Dalam tindakan bedah yang membutuhkan waktu 3 jam atau kurang, cukup diberika
dosis tunggal. Bila tindakan bedah membutuhkan waktu lebih dari 3 jam, dibutuhkan
suatu dosis tambahan. Tindakan yang mana terdapat kehilangan darah yang cepat dan
atau pemberian cairan, juga membutuhkan lebih tambahan dosis profilaksis.
Keuntungan yang diperoleh dari pemberian antibiotik profilaksis harus lebih besar
daripada resikonya, seperti antibiotik harus aman dan tidak menyebabkan timbulnya
resistensi bakteri.

2.3 Penggunaan Antibiotik Profilaksis Dalam Pembedahan


Dalam melakukan pemberian antibiotik sebagai prophilakis, perlu diketahui beberapa
ketentuan dasar agar tindakan profilaksis tersebut berjalan dengan baik dan efektif,
diantaranya adalah klasifikasi tindakan bedah, mikrobiologi, antibiotik, faktor resiko dan
lain-lain
a. Klasifikasi tindakan bedah
Pada pasien yang beresiko, walaupun dengan memakai tehnik sterilisasi yang adekuat
dan antibiotik yang poten, luka pasca bedah terjadi sekitar 2-9% dari seluruh tindakan
bedah. Bakteri ditemukan pada 90% daerah bedah walaupun telah dilakukan tindakan
aseptik. National Academy of Science/National Reaserch Council (NAS/NRC)

5
membagi tingkatan resiko infeksi oleh tindakan bedah menjadi 4 katagori berdasarkan
masuknya infeksi atau berpindahnya koloni dari permukaan mukosa, yaitu :sebagai
berikut : (Smouse, 2000 ; Johnson, 2001).

Sumber : Fragiskos D.Fragiskos,2007,Oral Surgery, hal 358

Sedangkan pada daerah kepala leher, Blanchaert (2001) membagi tindakan bedah
yang dapat diberikan antibitotik profilaksis menjadi 2 katagori yaitu :
1. Pembedahan kepala leher non-kontaminasi
Pembedahan non-kontaminasi biasanya berkenaan dengan pembuatan insisi
terbatas pada kulit dan bukan di mukosa. Prosedur ini biasanya tidak terdapat
infeksi dan selama pembedahan sterilitas luka tetap dipertahankan. Pada akhir
pembedahan, luka ditutup dengan rapat sehingga tidak terbuka dan berkontak
dengan bakteri
2. Pembedahan kepala leher yang terkontaminasi
Pembedahan ini umumnya merupakan tindakan transmukosal seperti reseksi,
glosektomi, maksilektomi dan lain-lainnya.
Berdasarkan pembagian tindakan-tindakan diatas, ahli bedah dapat dengan bijaksana
untuk menentukan pemberian antibiotik sebagai profilaksis atau sebagai terapi
dengan telah mempertimbangkan segala resiko dan akibatnya.

6
b. Mikrobiologi
Rongga mulut merupakan tempat yang paling baik untuk hidupnya sejumlah bakteri,
baik yang bersifat aerob maupun anaerob. Biasanya infeksi di rongga mulut berasal
dari flora normal individu tersebut, dan umumnya disebabkan oleh streptokokus,
staphilokokus, batang gram negatif dan anaerob. Dibawah ini terdapat tabel
mikroorganisme yang sering ditemukan pada organ-organ tubuh (Tabel 1) serta yang
sering terdapat pada daerah infeksi pasca pembedahan daerah kepala leher (tabel 2)
(Topazian, 2002 ).

Lokasi Mikroorganisme yang sering ditemukan


Hidung S. aureus, pneumokokus, meningokokus
Kulit S. aureus, S. epidirmidis
Mulut/pharing Streptokokus, pneumokokus,
Fusobakterium, peptostreptokokus
Sumber : Topazian, 2002
Tabel 1. Lokasi dan mikroorganisme yang sering ditemukan didaerah mulut dan sekitarnya

Tipe mikroorganisme Inside


nsi
AEROB
Gram (+) :
- Coagulase-negatif staphilokokus spp 5
- Streptokokus (Non-grup A) 2
Gram (-) :
- Eikenella corrodens 8
- E. colli 5
- Pseudomonas aeroginosa 4
- Klebsiella spp. 3
ANAEROB
Gram (-) :
- Bacteriodes 5
- Fusobakterium 4
- H. Parainfluenza 2
Sumber : Topazian, 2002
Tabel 2. Mikroorganisme yang sering ditemukan pada infeksi luka pasca bedah daerah
kepala dan leher

7
c. Antibiotik
Dalam pemilihan antibiotik untuk digunakan sebagai profilaksis, harus diperhatikan
beberapa faktor yang menentukan keberhasilan pemakaian profilaksis :
1. Waktu pemberian
Mulainya resiko terkena infeksi dimulai bersamaan dengan insisi yang dilakukan.
Antibiotik harus diberikan pada waktu yang tepat agar pada saat insisi dilakukan atau
kontaminasi bakteri, tingkat obat dalam jaringan sudah mencapai tingkatan yang
maksimal. Menurut Burke (1962) pemberian antibiotik profilaksis terdiri atas 3
periode yaitu pre, intra dan pasca bedah. Waktu yang paling tepat diberikannya
adalah pada saat pra bedah, disusul intra dan pasca bedah (SIGN, 2001).
Biasanya antibiotik diberikan dalam waktu 30-60 menit sebelum pembedahan dimulai
atau pada saat induksi anastesi dilakukan. Konsentrasi antibiotik dalam jaringan harus
dipertahankan selama tindakan bedah yang dipengaruhi oleh lamanya prosedur bedah
dan waktu paruh obat tersebut. Umumnya dosis tambahan diberikan jika pembedahan
lebih dari 4 jam atau 2 kali waktu paruh obat (Blanchaert, 2001)
Classen dkk memonitor 2847 pasien yang menjalani operasi bersih atau bersih
terkontaminasi. Pasien dibagi atas 4 katagori berdasarkan waktu pemberian antibiotik
profilaksis dan tingkat infeksi yang terjadi (Tabel3)(Smouse, 2000)
Tabel 3. Hubungan antara waktu pemberian profilaksis dengan tingkat infeksi
Waktu pemberian lamanya pemberian tingkat infeksi

Awal/early 2-24 jam sebelum op 3,8%


Pre op 0-2 jam sebelum op 0,6%
Peri op 0-3 jam setelah op 1,4%
Post op 3-24 jam setelah op 3,3%

Sumber : Smouse 2000

Terdapat kemungkinan 6 kali lebih besar terkenanya infeksi pada pemberian


antibiotik profilaksis antara waktu awal dan pre operasi. Jadi waktu pemberian sangat
penting bagi keberhasilan antibiotik profilaksis.

8
Sekalipun pasien telah diberikan antibiotik secara IV, tak kalah pentingnya adalah
pemberian dosis selanjutnya, waktu tindakan, dosis antibiotik yang sesuai. Tindakan
profilaksis umumnya cukup diberikan dengan dosis tunggal, kecuali daerah operasi
kotor (drainase abses), tindakan yang lama, pasien imunokompromise dan secara
klinis mengalami infeksi. Pada kasus-kasus ini perlindungan antibiotik harus
dilanjutkan. (Smouse, 2000)
Perkembangan terakhir menganjurkan penggunaan antibiotik secara perenteral untuk
profilaksis dan harus diberikan dengan dosis yang cukup, yaitu 30-60 menit sebelum
insisi dilakukan. Hal ini akan menghasilkan tingkat obat pada luka bedah dan jaringan
sekitarnya hampir maksimum selama tindakan pembedahan. Ini dapat diperoleh
dengan pemberian antibiotik oleh ahli anestesi di ruang operasi ketika infus dipasang
sebelum operasi dimulai. Bila persiapan dengan preoperasi peroral obat harus
diberikan selama 24 jam sebelum operasi supaya dicapai kadar obat intraluminal yang
maksimal (Nathwani, 2000)
2. Cara pemberian
Pemberian antibiotik secara IV segera sebelum atau sesudah induksi anastesi
merupakan metoda yang paling dipercaya akan keefektifan konsentrasi semua
antibiotik pada jaringan saat pembedahan dilakukan.
Konsentrasi serum setelah pemberian secara oral atau IM ditentukan oleh tingkat
absorbsi yang bervariasi setiap individunya. Juga terdapat beberapa keadaan yang
mempengaruhi pemberian antibiotik secara intraoral atau IM. Masalahnya antara lain
waktu pemberian yang sulit untuk menjamin konsentrasi obat dalam jaringan yang
maksimal pada saat operasi.(SIGN, 2001)
3. Dosis dan durasi
Umumnya dosis antibiotik yang dibutuhkan untuk profilaksis sama dengan dosis
terapi. Dosis tunggal antibiotik pada konsentrasi terapi cukup untuk profilaksis pada
hampir semua situasi dan penambahan dosis dapat diberikan bila waktu opersi
panjang, perdarahan atau penggantian cairan, paling sedikit 2 kali waktu paruh
(SIGN, 2001 ; Topazian, 2002).
Pada keadaan dimana terdapat kehilangan darah atau penggantian cairan, akan
menyebabkan konsentrasi serum antibiotik akan berkurang. Penambahan dosis

9
profilaksis diindikasikan apabila terdapat kehilangan darah lebih dari 1500 ml selama
operasi atau hemodelusi >15 ml/kg. Pada kehilangan darah yang banyak >1500 ml
dalam operasi, dosis antibiotik profilaksis harus diberikan setelah penggantian cairan.
(SIGN, 2001)
4. Jenis antibiotik
Walaupun organisme dengan spektrum yang luas dapat menyebabkan infeksi pada
pasien bedah, tapi biasanya disebabkan oleh sejumlah kecil patogen yang umum.
Antibiotik yang dipilih untuk profilaksis harus dapat melawan patogen tersebut.
Antibiotik yang dipilih untuk profilaksis dapat juga digunakan untuk terapi aktif pada
infeksi.
Penilaian resiko yang ditimbulkan harus merupakan bagian dari proses pemilihan
antibiotik yang tepat. Hal ini termasuk pertimbangan ekonomi, seperti biaya
tambahan obat-obatan dan kemungkinan kegagalan profilaksis serta kerugiannya.
(SIGN, 2001 ; Blanchaert, 2001)
Pemilihan antibiotik didasarkan pada jenis operasi, mikroorganisme yang terlibat,
sifat obatnya dan sinsitifitas antibiotik yang spesifik khususnya dilingkungan rumah
sakit. Karena itu obat profilaksis harus bersifat nontoksik, bakterisid, tersedia dalam
bentuk perenteral, dapat mencapai level terapi dalam waktu singkat di jaringan, serta
waktu paruh yang panjang (Katzung, 1997 ; Blanchaert, 2001)
Pada pembedahan kepala dan leher, golongan penisillin masih efektif pada hampir
semua kasus. Klindamycin atau sefazolin merupakan pilihan berikut bila terdapat
reaksi alergi (Topazian, 2002)
Karasteristik antibiotik yang optimal untuk profilaksis harus meliputi (Blanchaert,
2001) :
 Harus memakai obat yang efektif melawan organisme patogen yang sering
temukan menyebabkan infeksi (Tabel 5)
 Menghindari antibiotik yang berspektrum luas
 Mencegah timbulnya resistensi bakteri
 Efek samping dan toksisitas obat yang minimal
 Waktu paruh obat yang panjang
 Penetrasi kedalam jaringan dengan baik dan konsentrasinya yang adekuat

10
Table 3 . Antibiotic profilaksis untuk ooperasi kepala dan leher (Topazian,2002,hal.
401)
d. Faktor resiko
Dalam mempertimbangkan resiko terjadinya infeksi perlu juga diketahui faktor-
faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi tersebut (Nathwani, 2000),
yaitu :
1. Yang berhubungan dengan pasien :
 Usia >60 tahun, perempuan, berat badan (obesitas)
 Hadirnya infeksi disekitarnya
 Status penyakit yang diderita : DM, CHF, liver, RF
 Lamanya tinggal di RS sebelum operasi : perawatan di RS >72 jam, ICU
 Immunosupresif
Status fisik pasien berdasarkan ASA (3,4 atau 5), yaitu :
 Pasien dengan kesehatan yang normal
 Penyakit sistemik yang sedang
 Penyakit sistemik yang berat, dan masih mampu
 Penyakit sistemik disertai ketidakmampuan, mengancam jiwa dan sifatnya
menetap
 Diduga tidak dapat bertahan selama 24 jam dengan atau tanpa operasi

11
2. Yang berhubungan dengan pembedahan
 Tipe tindakan, daerah pembedahan, pembedahan emergensi
 Durasi bedah (>60-120 menit)
 Pembedahan sebelumnya dalam 7 hari
 Waktu pemberian antibiotik
 Pemasangan benda asing : katup jantung
 Persiapan pasien : pencukuran daerah bedah, persiapan daerah operasi, pakaian
pasien.
 Persiapan ahli bedah : cuci tangan, antiseptik kulit, sarung tangan

3. Yang berhubungan dengan luka


 Besarnya trauma jaringan dan adanya kematian jaringan
 Kehilangan darah
 Klasifikasi luka, potensi kontaminasi luka
 Adanya drain, pack
 Iskemia

12
BAB III
KESIMPULAN

Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan sebelum pembedahan untuk


mencegah timbulnya infeksi serta menghambat pertumbuhan bakteri yang masuk kedalam
jaringan.
Dalam melakukan pemberian antibiotik sebagai profilaksis pembedahan, perlu
diketahui beberapa prinsip dan ketentuan dasar seperti klasifikasi tindakan bedah,
mikrobiologi, antibiotik dan faktor-faktor resiko yang mempengaruhi keberhasilan suatu
profilaksis.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Barnas GP. 2000. Suggested


Recommendations and Guidelines for Surgical Prophylaxis. Medical College of
Wisconsin. Htpp:/www.intmed.mcw.edu
2. Blanchaert RH. 2001. Antibiotic,
Prophylaxis Use in Head and Nek Surgery. Departement of Oral and Maxillofacial
Surgery, University of Maryland Medical Center. Maryland USA.
3. Felice F. 1998. Antibiotic Prophylaxis in
Surgery. Htpp:/www.cis.um.edu.int
4. Fragiskos D.Fragiskos. 2007. Oral
Surgery, Springler-Verlag. Berlin
5. Glodman DR, et al. 1994. Perioperative
Medicine. 2th edition. McGraw Hill. New York
6. Johnson S. 2000. Surgical Antibiotic
Prophylaxis. Prime Therapeutics Incorporated. Htpp:/ www.course.ahc.umn.edu
7. Katzung,BG et al. 1997. Basic and
Clinical Pharmacology. 6th edition. Aplleton and Lange. Connecticut USA
8. Nathwani D., et al. 2000. Antibiotic
Prohylaxis in Surgery. Scottish Intercollegiate Giudeline Network. Eidenburgh.
Scotland. Htpp:/www/sign.ac.uk.
9. Setiabudi dan Ganiswara. 1995.
Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Bagian farmakologi FKUI. Jakarta.
10. SIGN. 2000. Antibiotic Prophylaxis in
Surgery. A National Clinical Guideline. Scottish Intercollegiate Giudeline Network.
Eidenburgh. Scotland.
11. SIGN.2001. Antibiotic Prophylaxis in
Surgery : Section 4: Indications for Surgical Antibiotic Prophylaxis. Htpp
:/www/sign.ac.uk.
12. Smouse B. 2001. Antibiotic Prophylaxis.
Midwest Institute for Terapi. Peoria. Htpp:/www.miit.com/abx/htm

14
13. Topazian et al. 2002. Oral and
Maxillofacial Infection. 3th edition. WB Saunders Company. Philadelphia .
14. Woods R. 1996. A Guide to The Use of
Drugs in Dentistry. 12th edition. Australian Dental Association Inc. Sidney Australia.

15

Anda mungkin juga menyukai