Anda di halaman 1dari 16

PAPER

Adaptasi strategi pembelajaran di Era revolusi industry 4.0 dan Era society 5.0”
DISUSUN
O
L
E
H
MUZAKIR KIILO
(532420005)

Disusun oleh

KELAS: PTI A
SEMESTER 3

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT., Karena kehadiran buku
Bank dan lembaga keuangan lainnya sampai saat ini masih dapat membantu
mahasiswa dan masyarakat dalam rangka mempelajari serta menggali ilmu
pengetahuan. Kehadiran ini tentu saja tidak terlepas dari besarnya peranan rekan-
rekan dosen, para praktisi,mahasiswa dan masyarakat luas yang telah menjadikan
buku ini sebagai salah satu sumber acuan untuk mengenal seluk beluk lembaga
keuangan, baik Lembaga Keuangan Bank maupun Lembaga Keuangan Lainnya.
Selama ini penulis banyak menerima masukan, baik berupa kritikan maupun saran
dari rekan-rekan dosen dan rekan-rekan praktisi. Masukan ini merupakan salah
satu yang besar guna menambah dan lebih menyempurnakan lebih lanjut isi yang
sudah ada sebelumnya. Bagi penulis semua masukan, baik berupa kritikan
maupun saran merupakan anugrah yang sangat besar nilainya guna melengkapi
dan memperbaiki kualitas buku ini secara keseluruhan..
Slah satu saran yang sangat positif adalah kurangnya pembahasan tentang bank
syariah.

Gorontalo, november2021

Penulis
BAB 1

A. Latar belakang
Era super smart society (society 5.0) sendiri diperkenalkan oleh Pemerintah
Jepang pada tahun 2019, yang dibuat sebagai antisipasi dari gejolak disrupsi
akibat revolusi industri 4.0, yang menyebabkan ketidakpastian yang kompleks dan
ambigu (VUCA). Dikhawatirkan invansi tersebut dapat menggerus nilai-nilai
karakter kemanusiaan yang dipertahankan selama ini. Dalam menghadapi era
society 5.0, dunia pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas
SDM. Selain pendidikan beberapa elemen dan pemangku kepentingan seperti
pemerintah, Organisasi Masyarakat (Ormas) dan seluruh masyarakat juga turut
andil dalam menyambut era society 5.0 mendatang. Untuk menghadapi era
society 5.0 ini satuan pendidikan pun dibutuhkan adanya perubahan paradigma
pendidikan. Diantaranya pendidik meminimalkan peran sebagai learning material
provider, pendidik menjadi penginspirasi bagi tumbuhnya kreativitas peserta
didik. Pendidik berperan sebagai fasilitator, tutor, penginspirasi dan pembelajar
sejati yang memotivasi peserta didik untuk “Merdeka Belajar,” papar Dwi Nurani,
S.KM, M.Si, Analis Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Direktorat Sekolah Dasar
pada saat mengisi seminar nasional “Menyiapkan Pendidikan Profesional Di Era
Society” pada Rabu, 03 Februari 2021. Dwi Nurani menyampaikan merdeka
belajar akan menciptakan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melalui peningkatan layanan dan akses pendidikan dasar salah satunya adalah
upaya pemenuhan maupun perbaikan infrastruktur dan platform teknologi di
sekolah dasar. Pendidikan nasional berbasis teknologi dan infrastruktur yang
memadai diharapkan dapat menciptakan sekolah dan ataupun kelas masa depan.
Merdeka belajar juga dapat dimaknai dengan kebijakan strategis baik pemerintah
maupun swasta dalam mendukung implementasi merdeka belajar, prosedur
akreditasi yang dapat beradaptasi, sesuai kebutuhan oraganisasi/lembaga/sekolah,
serta pendanaan pendidikan yang efektif dan akuntabel salahsatunya ditandai
dengan otonomi satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan.“Selain itu
dalam melaksanakan merdeka belajar diperlukan manajemen tata kelola dari
semua unsur, baik pemerintah daerah, swasta (industri dll), kepala sekolah, guru
dan masyarakat. Melalui manajemen berbasis sekolah diperlukan jiwa
kepemimpinan seorang kepala sekolah yang berkolaborasi dengan pemerintah
daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolahnya. Untuk
peningkatan sumber daya manusia, baik guru maupun kepala sekolah, diperlukan
pembinaan baik lokal maupun internasional yang berkelanjutan sehingga mampu
menjawab tantangan dunia industry atau menghadapi era revolusi industry 4.0 dan
society 5.0,” ujarnya. Dalam menghadapi era society ada dua hal yang harus
dilakukan yaitu adaptasi dan kompetensi. Beradaptasi dengan Society 5.0, Dwi
Nurani menegaskan kita perlu mengetahui perkembangan generasi (mengenal
generasi). Istilah baby boomers yang dimaksud adalah tinggi tingkat kelahiran
dari beberapa generasi mulai dari generasi x sampai dengan generasi ⍺ dimana
terjadi transformasi peradaban manusia.
“Untuk menjawab tantangan Revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 dalam dunia
pendidikan diperlukan kecakapan hidup abad 21 atau lebih dikenal dengan istilah
4C (Creativity, Critical Thingking, Communication, Collaboration). Diharapkan
guru menjadi pribadi yang kreatif, mampu mengajar, mendidik, menginspirasi
serta menjadi suri teladan,” imbuh Dwi Nurani. Sementara itu di abad 21
kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh siswa ini adalah memiliki kemampuan
6 Literasi Dasar (literasi numerasi, literasi sains, literasi informasi, literasi
finansial, literasi budaya dan kewarganegaraan). Tidak hanya literasi dasar namun
juga memiliki kompetensi lainnya yaitu mampu berpikir kritis, bernalar, kretatif,
berkomunikasi, kolaborasi serta memiliki kemampuan problem solving. Dan yang
terpenting memiliki perilaku (karakter) yang mencerminkan profil pelajar
pancasila seperti rasa ingin tahu, inisiatif, kegigihan, mudah beradaptasi memiliki
jiwa kepemimpinan, memiliki kepedulian sosial dan budaya. Menghasilkan SDM
unggul dengan beradaptasi di era society 5.0. Dwi Nurani mengingatkan, peserta
diidk harus diimbangi dengan penguatan profil pelajar pancasila. Dimana
penguatan nilai pancasila terhadap peserta didik ini dapat dilakukan melalui
kegiatan intrakurikuler, kegiatan ko kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan
lingkungan sekolah, pemberdayaan budaya masyarakat. Pendidik Profesional Era
Society Society 5.0 adalah masyarakat yang dapat menyelesaikan berbagai
tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang
lahir di era Revolusi industri 4.0 seperti Internet on Things (internet untuk segala
sesuatu), Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah
besar), dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Society 5.0 juga
dapat diartikan sebagai sebuah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia
dan berbasis teknologi. Terjadi perubahan pendidikan di abad 20 dan 21. Pada
20th Century Education pendidikan fokus pada anak informasi yang bersumber
dari buku. Serta cenderung berfokus pada wilayah lokal dan nasional. Sementara
era 21th Century Education, fokus pada segala usia, setiap anak merupakan di
komunitas pembelajar, pembelajaran diperoleh dari berbagai macam sumber
bukan hanya dari buku saja, tetapi bias dari internet, bernagai macam platform
teknologi & informasi serta perkembangan kurikulum secara global, DIindonesia
dimaknai dengan merdeka belajar. Menghadapi era society 5.0 ini dibutuhkan
kemampuan 6 literasi dasar seperti literasi data yaitu kemampuan untuk membaca,
analisis, dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital. Kemudian literasi
teknologi, memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (coding, artificial
intelligence, machine learning, engineering principles, biotech). Dan terakhir
adalah literasi manusia yaitu humanities, komunikasi, & desain,” kata Dwi
Nurani. Peran Pendidik Era Society 5.0 Sebagai Pendidik di era society 5.0, para
guru harus memiliki keterampilan dibidang digital dan berpikir kreatif. Menurut
Zulfikar Alimuddin, Director of Hafecs (Highly Functioning Education
Consulting Services) menilai di era masyarakat 5.0 (society 5.0) guru dituntut
untuk lebih inovatif dan dinamis dalam mengajar di kelas (Alimuddin, 2019).
Oleh karena itu ada tiga hal yang harus dimanfaatkan pendidik di era society 5.0.
diantaranya Internet of things pada dunia Pendidikan (IoT), Virtual/Augmented
reality dalam dunia pendidikan, Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) dalam
dunia pendidikan untuk mengetahui serta mengidentifikasi kebutuhan
pembelajaran yang dibutuhkan oleh pelajar. Pendidik juga harus memiliki
kecakapan hidup abad 21 yaitu memiliki kemampuan leadership, digital literacy,
communication, emotional intelligence, entrepreneurship, global citizenship, team
working dan problem solving. Fokus keahlian bidang pendidikan abad 21 saat ini
dikenal dengan 4C (Risdianto, 2019) yang meliputi creativity, critical thinking,
communication dan collaboration,” tambahnya.Tenaga pendidik di abad society
5.0 ini harus menjadi guru penggerak yang mengutamakan murid dibandingkan
dirinya, inisiatif untuk melakukan perubahan pada muridnya, mengambil tindakan
tanpa disuruh, terus berinovasi serta keberpihakan kepada murid. Akan tetapi
dengan adanya perubahan ini banyak yang mempertanyakan apakah peran guru
dapat tergantikan oleh teknologi? Namun ada peran guru yang tidak ada di
teknologi diantaranya interaksi secara langsung di kelas, ikatan emosional guru
dan siswa, penanaman karakter dan modeling/ teladan guru,” pungkasnya.

B. Rumusan masalah

• Apakah yang dimaksud dengan era Revolusi Industri 4.0 dan era Society
5.0?
• Berikan gambaran tantangan kehidupan manusia di era RI 4.0 dan era
Society 5.0?
• Apakah perbedaan mendasar kedua era dimaksud?
• Berikancontoh Bagaimanavisiera 4.0 dan society 5.0?
• Dalam perspektif matakuliah: “Strategi Pembelajaran” menurut Anda,
bagaimanamengembangkan strategi yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan pembelajaran,sebagaimana karakteristik kebutuhan belajar
untuk era RI 4.0 dan era society 5.0?
• Berikan contoh...!
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
• Revolusi 4.0
Menurut Kanselir Jerman, Angela Merkel (2014) revolusi industri 4.0 adalah
transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui
penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional.
Kemudian, menurut Schlechtendahl dkk (2015) pengertian revolusi industri
menekankan kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yakni
lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu
berbagi informasi satu dengan yang lain. Sehingga, revolusi industri 4.0 adalah
era industri di mana seluruh entitas yang ada di dalamnya dapat saling
berkomunikasi secara real time kapan saja dengan berlandaskan pemanfaatan
teknologi internet dan CPS guna mencapai tujuan tercapainya kreasi nilai baru.
Revolusi Industri 4.0 pertama kali dikenalkan oleh Prof Klaus Schwab dan Ketua
Eksekutif World Economic Forum (WEF). Dijelaskan bahwa revolusi industri 4.0
mengubah hidup dan kerja manusia secara fundamental. Revolusi industri ini
merupakan generasi ke-4 yang memiliki skala, ruang lingkup, dan kompleksitas
yang lebih luas dibanding sebelumnya. Revolusi industri sendiri dimulai sejak
abad ke-18 untuk mengembangkan industri kreatif. Adapun, bidang-bidang yang
mengalami terobosan dengan munculnya teknologi baru, adalah (1) robot
kecerdasan buatan, (2) teknologi nano, (3) bioteknologi, dan (4) teknologi
komputer kuantum, (5) blockchain (seperti bitcoin), (6) teknologi berbasis
internet, dan (7) printer 3D.

• Society 5.0
Dilansir dari laman ditpsd.kemdikbud.go.id, era super smart society (society 5.0)
sendiri diperkenalkan oleh Pemerintah Jepang pada tahun 2019, yang dibuat
sebagai antisipasi dari gejolak disrupsi akibat revolusi industri 4.0, yang
menyebabkan ketidakpastian yang kompleks dan ambigu (VUCA). Dikhawatirkan
invansi tersebut dapat menggerus nilai-nilai karakter kemanusiaan yang
dipertahankan selama ini. alam menghadapi era society 5.0, dunia pendidikan
berperan penting dalam meningkatkan kualitas SDM. Selain pendidikan beberapa
elemen dan pemangku kepentingan seperti pemerintah, Organisasi Masyarakat
(Ormas) dan seluruh masyarakat juga turut andil dalam menyambut era society
5.0 mendatang.
Society 5.0 adalah masyarakat yang dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan
permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era
Revolusi industri 4.0 seperti Internet on Things (internet untuk segala sesuatu),
Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah besar),
dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Society 5.0 juga dapat
diartikan sebagai sebuah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia dan
berbasis teknologi. Terjadi perubahan pendidikan di abad 20 dan 21. Pada 20th
Century Education pendidikan fokus pada anak informasi yang bersumber dari
buku. Serta cenderung berfokus pada wilayah lokal dan nasional. Sementara era
21th Century Education, fokus pada segala usia, setiap anak merupakan di
komunitas pembelajar, pembelajaran diperoleh dari berbagai macam sumber
bukan hanya dari buku saja, tetapi bias dari internet, berbagai macam platform
teknologi & informasi serta perkembangan kurikulum secara global, Di indonesia
dimaknai dengan merdeka belajar.

B. gambaran tantangan kehidupan manusia di era RI 4.0 dan era Society 5.0
Perkembangan dunia pendidikan tengah memasuki masa yang sangat penting.
Tidak saja dalam upaya memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan
optimal. Tetapi juga masa penting yang akan menentukan kelanjutan pendidikan
itu sendiri.

Saat ini, tantangan dunia pendidikan semakin kompleks dan menuntut persiapan
dan pemikiran yang sangat serius. Kita dihadapkan pada suatu perubahan yang
cepat dan non-linear. Ini sebagai akibat bergulirnya era Revolusi Industri 4.0.
Kemajuan teknologi ini memungkinkan otomatisasi di hampir semua bidang.
Sebagaimana kita tahu revolusi industri generasi pertama ditandai oleh
penggunaan mesin uap untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan. Generasi
kedua, melalui penerapan konsep produksi massal dan mulai dimanfaatkannya
tenaga listrik. Generasi ketiga, ditandai dengan penggunaan teknologi otomasi
dalam kegiatan industri. Pada revolusi industri keempat, menjadi lompatan besar
bagi sektor industri, di mana teknologi informasi dan komunikasi dimanfaatkan
sepenuhnya.

Belum usai hiruk-pikuk akibat Revolusi Industri 4.0, yang dibarengi


berkembangan era disrupsi, tiba-tiba kita dikejutkan dengan munculnya Society
5.0 (masyarakat 5.0). Konsep Society 5.0 sebenarnya sudah bergulir cukup lama.
Konsep ini muncul dalam “Basic Policy on Economic and Fiscal Management
and Reform 2016” yang merupakan bagian inti dari rencana strategis yang
diadopsi Kabinet Jepang, Januari 2016.
Konsep Society 5.0 diadopsi Pemerintah Jepang sebagai antisipasi terhadap tren
global sebagai akibat dari munculnya Revolusi Industri 4.0. Society 5.0 adalah hal
alami yang pasti terjadi akibat munculnya Revolusi Industri 4.0. Revolusi Industri
4.0 telah melahirkan berbagai inovasi dalam dunia industri dan juga masyarakat
secara umum. Society 5.0 merupakan jawaban atas tantangan yang muncul akibat
era Revolusi Industri 4.0 yang dibarengi disrupsi yang ditandai dunia yang penuh
gejolak, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas.

Society 5.0 adalah masyarakat yang dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan
permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era
Revolusi industri 4.0 seperti Internet on Things (internet untuk segala
sesuatu), Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah
besar), dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Society 5.0, sebuah masa di mana masyarakat berpusat pada manusia yang
menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial oleh
sistem yang mengintegrasikan ruang dunia maya dan ruang fisik. Society 5.0 akan
menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan menyelesaikan masalah sosial.

C. Perbedaan 4.0 dan society 0.5

Belakangan ini istilah Industri 4.0 santer menghiasi media massa maupun
media sosial. Ada yang menyebut dengan era disrupsi. Atau situasi dimana
pergerakan dunia industri tidak lagi linier. Bahkan berlangsung sangat cepat dan
cenderung mengacak-acak pola tatanan lama, dan cenderung membentuk pola
tatanan baru. Sebagai catatan, revolusi industri telah terjadi empat kali. Pertama
dengan penemuan mesin uap, kedua elektrifikasi. Ketiga penggunaan komputer,
dan keempat revolusi era digital ini. Kondisi yang saling mendisrupsi ini bisa
terjadi karena pesatnya perkembangan teknologi digital. Seperti kecerdasan
buatan (artificialintelligent). Yang jika dipadukan dengan internetofthing (IoT)
akan mampu mengolah jutaan data (bigdata) menjadi suatu keputusan atau
kesimpulan. Jadi jangan heran jika salah satu media sosial diprotes banyak pihak
saat pelaksanaan pemilu di AS beberapa waktu yang lalu. Karena disinyalir
memberikan data ke salah satu kontestan. Dan dengan teknologi digital, data
tersebut akan dianalisis dan hasilnya dipakai untuk mengatur strategi
pemenangan. Istilah Revolusi Industri 4.0 pertama kali diperkenalkan oleh
Profesor Klaus Schwab. Seorang ekonom terkenal asal Jerman yang menulis
dalam bukunya: The Fourth Industrial Revolution. Sebenarnya beberapa negara
juga mempunyai roadmap digitalisasi industri yang serupa. Seperti, China dengan
Made in China 2025, Asia dengan SmartCities. Dan Kementerian Perindustrian
juga mengenalkan MakingIndonesia 4.0, yang pada bulan April 2018 dicanangkan
oleh Presiden Joko Widodo. Sebagai masyarakat awam, efek kondisi Industri 4.0
telah kita lihat dan rasakan. Belakangan, muncul model-model bisnis baru dengan
strategi yang lebih inovatif. Ambil contoh, GO-JEK sebuah perusahaan yang tidak
mempunyai armada, namun mempunyai nilai valuasi 12 kali dibanding Garuda.
Fenomena serupa juga terjadi di dunia perbankan. Beberapa profesi seperti teller
bank, analis kredit, agen asuransi, kasir, resepsionis akan hilang dan digantikan
oleh ponsel pintar. Akibatnya, berimbas pula pada tatanan sosial masyarakat. Pada
tanggal 21 Januari 2019, secara mengejutkan Kantor PM Jepang meluncurkan
roadmap yang lebih humanis, dikenal dengan super–smartsociety atau Society5.0.
Yang merupakan tatanan masyarakat yang berpusat pada manusia (human–
centered) dan berbasis teknologi (technologybased). Sebagai catatan, Society5.0
didahului dengan era berburu (Society 1.0), pertanian (Society 2.0), industri
(Society 3.0), dan teknologi informasi (Society 4.0).
Melalui Society 5.0, kecerdasan buatan yang memperhatikan sisi kemanusiaan
akan mentransformasi jutaan data yang dikumpulkan melalui internet pada segala
bidang kehidupan. Tentu saja diharapkan, akan menjadi suatu kearifan baru dalam
tatanan bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri, transformasi ini akan membantu
manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Dalam Society 5.0,
juga ditekankan perlunya keseimbangan pencapaian ekonomi dengan
penyelesaian problem sosial.
Dalam Industri 4.0, dikenal adanya cyber–physicalsystem (CPS) yang
merupakan integrasi antara physicalsystem, komputasi dan juga
network/komunikasi. Dan Society 5.0 merupakan penyempurnaan dari CPS
menjadi cyber–physical–humansystems. Dimana human (manusia) tidak hanya
dijadikan obyek (passiveelement), tetapi berperan aktif sebagai subyek
(activeplayer) yang bekerja bersama physicalsystem dalam mencapai tujuan
(goal). Jadi interaksi antara mesin (physicalsystem) dan manusia masih tetap
diperlukan. Walaupun Society 5.0 hanya untuk masyarakat dan industri di Jepang,
namun patut kita cermati Dalam Making Indonesia 4.0, dielaborasi 10 langkah
prioritas dalam menghadapi era disrupsi. Diawali dengan perbaikan alur produksi
material sektor hulu, desain ulang zona industri, akomodasi standar sustainability
untuk memperkuat daya saing global. Kemudian, peningkatan kualitas SDM,
pembentukan ekosistem inovasi, penerapan insentif investasi teknologi,
harmonisasi aturan dan kebijakan. Dilanjutkan dengan, pemberdayaan UMKM,
pembangunan infrastruktur digital dan menarik investasi asing. Namun pertanyaan
yang muncul adalah akankah semua itu akan bisa menjadikan SDM Indonesia
berperan aktif. Dengan kata lain, dapatkah roadmap tersebut menahan laju
pengangguran? Hanya waktu yang bisa menjawab.

D. contoh visi era 4.0 dan society 5.0

Era super smart society (society 5.0) sendiri diperkenalkan oleh Pemerintah
Jepang pada tahun 2019, yang dibuat sebagai antisipasi dari gejolak disrupsi
akibat revolusi industri 4.0, yang menyebabkan ketidakpastian yang kompleks dan
ambigu (VUCA). Dikhawatirkan invansi tersebut dapat menggerus nilai-nilai
karakter kemanusiaan yang dipertahankan selama ini.

Dalam menghadapi era society 5.0, dunia pendidikan berperan penting dalam
meningkatkan kualitas SDM. Selain pendidikan beberapa elemen dan pemangku
kepentingan seperti pemerintah, Organisasi Masyarakat (Ormas) dan seluruh
masyarakat juga turut andil dalam menyambut era society 5.0 mendatang.
“Untuk menghadapi era society 5.0 ini satuan pendidikan pun dibutuhkan
adanya perubahan paradigma pendidikan. Diantaranya pendidik meminimalkan
peran sebagai learning material provider, pendidik menjadi penginspirasi bagi
tumbuhnya kreativitas peserta didik. Pendidik berperan sebagai fasilitator, tutor,
penginspirasi dan pembelajar sejati yang memotivasi peserta didik untuk
“Merdeka Belajar,” papar Dwi Nurani, S.KM, M.Si, Analis Pelaksanaan
Kurikulum Pendidikan Direktorat Sekolah Dasar pada saat mengisi seminar
nasional “Menyiapkan Pendidikan Profesional Di Era Society” pada Rabu, 03
Februari 2021.

Dwi Nurani menyampaikan merdeka belajar akan menciptakan pendidikan


berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui peningkatan layanan dan akses
pendidikan dasar salah satunya adalah upaya pemenuhan maupun perbaikan
infrastruktur dan platform teknologi di sekolah dasar. Pendidikan nasional
berbasis teknologi dan infrastruktur yang memadai diharapkan dapat menciptakan
sekolah dan ataupun kelas masa depan.

Merdeka belajar juga dapat dimaknai dengan kebijakan strategis baik pemerintah
maupun swasta dalam mendukung implementasi merdeka belajar, prosedur
akreditasi yang dapat beradaptasi, sesuai kebutuhan oraganisasi/lembaga/sekolah,
serta pendanaan pendidikan yang efektif dan akuntabel salahsatunya ditandai
dengan otonomi satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan.

“Selain itu dalam melaksanakan merdeka belajar diperlukan manajemen tata


kelola dari semua unsur, baik pemerintah daerah, swasta (industri dll), kepala
sekolah, guru dan masyarakat. Melalui manajemen berbasis sekolah diperlukan
jiwa kepemimpinan seorang kepala sekolah yang berkolaborasi dengan
pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolahnya. Untuk peningkatan sumber daya manusia, baik guru maupun kepala
sekolah, diperlukan pembinaan baik lokal maupun internasional yang
berkelanjutan sehingga mampu menjawab tantangan dunia industry atau
menghadapi era revolusi industry 4.0 dan society 5.0,” ujarnya.

Dalam menghadapi era society ada dua hal yang harus dilakukan yaitu adaptasi
dan kompetensi. Beradaptasi dengan Society 5.0, Dwi Nurani menegaskan kita
perlu mengetahui perkembangan generasi (mengenal generasi). Istilah baby
boomers yang dimaksud adalah tinggi tingkat kelahiran dari beberapa generasi
mulai dari generasi x sampai dengan generasi ⍺ dimana terjadi transformasi
peradaban manusia.

“Untuk menjawab tantangan Revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 dalam dunia
pendidikan diperlukan kecakapan hidup abad 21 atau lebih dikenal dengan istilah
4C (Creativity, Critical Thingking, Communication, Collaboration). Diharapkan
guru menjadi pribadi yang kreatif, mampu mengajar, mendidik, menginspirasi
serta menjadi suri teladan,” imbuh Dwi Nurani.
Sementara itu di abad 21 kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh siswa ini
adalah memiliki kemampuan 6 Literasi Dasar (literasi numerasi, literasi sains,
literasi informasi, literasi finansial, literasi budaya dan kewarganegaraan). Tidak
hanya literasi dasar namun juga memiliki kompetensi lainnya yaitu mampu
berpikir kritis, bernalar, kretatif, berkomunikasi, kolaborasi serta memiliki
kemampuan problem solving. Dan yang terpenting memiliki perilaku (karakter)
yang mencerminkan profil pelajar pancasila seperti rasa ingin tahu, inisiatif,
kegigihan, mudah beradaptasi memiliki jiwa kepemimpinan, memiliki kepedulian
sosial dan budaya.

Menghasilkan SDM unggul dengan beradaptasi di era society 5.0. Dwi Nurani
mengingatkan, peserta diidk harus diimbangi dengan penguatan profil pelajar
pancasila. Dimana penguatan nilai pancasila terhadap peserta didik ini dapat
dilakukan melalui kegiatan intrakurikuler, kegiatan ko kurikuler, kegiatan
ekstrakurikuler, kegiatan lingkungan sekolah, pemberdayaan budaya masyarakat.

Pendidik Profesional Era Society

Society 5.0 adalah masyarakat yang dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan
permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era
Revolusi industri 4.0 seperti Internet on Things (internet untuk segala
sesuatu), Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah
besar), dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Society 5.0 juga
dapat diartikan sebagai sebuah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia
dan berbasis teknologi.

Terjadi perubahan pendidikan di abad 20 dan 21. Pada 20th Century Education
pendidikan fokus pada anak informasi yang bersumber dari buku. Serta cenderung
berfokus pada wilayah lokal dan nasional. Sementara era 21th Century
Education, fokus pada segala usia, setiap anak merupakan di komunitas
pembelajar, pembelajaran diperoleh dari berbagai macam sumber bukan hanya
dari buku saja, tetapi bias dari internet, bernagai macam platform teknologi &
informasi serta perkembangan kurikulum secara global, DIindonesia dimaknai
dengan merdeka belajar.

“Menghadapi era society 5.0 ini dibutuhkan kemampuan 6 literasi dasar seperti
literasi data yaitu kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan
informasi (big data) di dunia digital. Kemudian literasi teknologi, memahami cara
kerja mesin, aplikasi teknologi (coding, artificial intelligence, machine learning,
engineering principles, biotech). Dan terakhir adalah literasi manusia
yaitu humanities, komunikasi, & desain,” kata Dwi Nurani.

Peran Pendidik Era Society 5.0

Sebagai Pendidik di era society 5.0, para guru harus memiliki keterampilan
dibidang digital dan berpikir kreatif. Menurut Zulfikar Alimuddin, Director of
Hafecs (Highly Functioning Education Consulting Services) menilai di era
masyarakat 5.0 (society 5.0) guru dituntut untuk lebih inovatif dan dinamis dalam
mengajar di kelas (Alimuddin, 2019).

Oleh karena itu ada tiga hal yang harus dimanfaatkan pendidik di era society 5.0.
diantaranya Internet of things pada dunia Pendidikan (IoT), Virtual/Augmented
reality dalam dunia pendidikan, Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) dalam
dunia pendidikan untuk mengetahui serta mengidentifikasi kebutuhan
pembelajaran yang dibutuhkan oleh pelajar.

“Pendidik juga harus memiliki kecakapan hidup abad 21 yaitu memiliki


kemampuan leadership, digital literacy, communication, emotional intelligence,
entrepreneurship, global citizenship, team working dan problem solving. Fokus
keahlian bidang pendidikan abad 21 saat ini dikenal dengan 4C (Risdianto, 2019)
yang meliputi creativity, critical thinking, communication dan
collaboration,” tambahnya.

Tenaga pendidik di abad society 5.0 ini harus menjadi guru penggerak yang
mengutamakan murid dibandingkan dirinya, inisiatif untuk melakukan perubahan
pada muridnya, mengambil tindakan tanpa disuruh, terus berinovasi serta
keberpihakan kepada murid.

E. Strategi pembelajaran menurut saya

Pendidikan merupakan suatu sistem fungsional yang saling berkaitan. Empat komponen yang
saling berkaitan itu, adalah: pendidik/ tenaga kependidikan, anggaran dana, sarana-prasarana,
dan kebijakan pemerintah. Dan komponen yang paling utama dan strategis untuk tercapainya
tujuan pendidikan yang berkualitas adalah komponen SDM (pendidik/ tenaga
kependidikan, karena dengan SDM berkualitas dapat mendayagunakan komponen
lainnya, sehingga tercapai efektivitas dan efisiensi pendidikan.11
Perencanaan pengembangan pendidik/ tenaga kependidikan sangat diperlukan untuk
mewujudkan terselenggaranya kegiatan- kegiatan yang berkualitas dengan mengacu pada
Rencana Strategis, Rencana Operasional, dan program tahunan.12Kegiatan-kegiatan
tersebut mengacu juga pada Standar Nasional Pendidikan yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah No.19 Tahun 2005, teru- tama berkaitan dengan penjaminan mutu pendidikan
yang secara bertahap, sistematis dan terencana dengan target dan kerangka waktu yang
jelas.13
Selain itu substansi kurikulum tidak hanya mengurusi aspek pengetahuan semata, namun
harus berisi tentang 1) pendidikan karakter; 2) kemampuan berpikir secara kritis, kreatif, dan
inovatif;
3) kemampuan dalam mengaplikasikan teknologi.14
Dalam hal manajemen pendidikan juga harus memberikan kajian tentang tiga tingkatan
perilaku manusia, yaitu perilaku individu, perilaku kelompok, dan perilaku organisasi. Ketiga
tingkatan perilaku itu dikelola agar manusia terarah pada situasi efisien dan efktif dalam
bertindak.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa yang akan dibahas dalam artikel ini adalah
kebijakan pemerintah tentang pengem- bangan guru di era society 5.0 yang berkaitan dengan
1) standarisasi kualifikasi akademik guru minimal D4/S1 yang harus sesuai antara disiplin ilmu
guru dengan mata pelajaran yang diampunya, 2) pengembangan diri guru agar menjadi
kompeten, profesional dan berkualitas melalui berbagai pelatihan yang disesuaikan dengan
kebutuhan pendidikan saat ini, 3) pengangkatan guru untuk memenuhi kekurangan
jumlah guru terutama di daerah-daerah terpencil, dan 5) upah guru yang harus sesuai agar
kebutuhan hidup guru terpenuhi dan dapat fokus dengan pekerjaan profesionalnya.

Kebijakan Pengembangan Guru


Dalam bahasa Inggris kebijakan berarti policy. Kebijakan dimaksud berbeda dengan
kebijaksanaan (wisdom) atau kebajikan (virtues). Kebijakan adalah prinsip atau cara
bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.16
Menurut Inu Kencana Syafie dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pemerintahan
yang mengutip pendapat Harold Laswell mengatakan bahwa kebijakan adalah tugas
intelektual pembuatan keputusan meliputi penjelasan tujuan, penguraian kecenderungan,
penganalisaan keadaan, proyeksi pengembangan masa depan dan penelitian, penilaian dan
penelitian, serta penilaian dan pemilihan kemungkinan Kebijakan SDM pada ranah
pendidikan di Indonesia dapat dikatakan mulai pada saat Undang-undang Guru dan Dosen
nomor 14 tahun 2005 diundangkan pada tanggal 30 Desember 2005 pada masa presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono. Namun sebenarnya sejak orde reformasi, Pemerintah
Republik Indonesia di era Megawati Soekarnoputri, sudah ada upaya untuk
memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia yaitu dengan mengeluarkan UU Nomor 20
Tahun 2003.Kedua Undang-Undang di atas merupakan bentuk kebijakan pemerintah
untuk membangkitkan kembali Pendidikan Indonesia serta mengembalikan eksistensi
guru agar menjadi lebih professional dan sejahtera.
Sebagaimana data dari Direktorat Tenaga Kependidikan sebelum Undang-undang Guru
dan Dosen diundangkan adalah pada tingkat taman kanak-kanak, pendidik yang sudah
memenuhi kualifikasi sekitar 21.9% atau sekitar 33.592 orang dan sebanyak 78.1% atau
sekitar 119.470 orang yang belum memenuhi kualifikasi. Pada tingkat Sekolah Dasar,
pendidik yang sudah memenuhi kualifikasi sudah mencapai 66% atau sekitar 758.947 dan
34% atau sekitar 391.507 orang yang belum memenuhi kualifikasi. Pada tingkat
Sekolah Menengah Pertama sekitar 71,2% pendidik belum memenuhi kualifikasi dan
hanya 28.8% sudah memenuhi kualifikasi. Pada Tingkat Sekolah Menengah Atas
sekitar 53,4% telah memenuhi kualifikasi dan 46,6% belum memenuhi
kualifikasi.18
Setelah munculnya kedua undang-undang tersebut, pemerintah kemudian
melahirkan banyak sekali peraturan perundang-undangan yang khusus tentang guru,
mulai dari Permendiknas No. 16 Tahun 2005 tentang Standar Kualifikasi dan
Kompetensi Pendidik, Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam
Jabatan (diperbarui dengan Permendiknas No. 10 tahun 2009) hingga Peraturan
Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2008, yang semuanya telah mengatur segala hal tentang masa depan guru
yang cukup menjanjikan.
Peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang dikeluar- kan oleh pemerintah itu pada
dasarnya adalah mengatur tentang tugas pokok dan fungsi guru yang semestinya
terimplementasikan dengan baik yang disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuh- an
pendidikan saat ini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa
konsekuensi logis terhadap orientasi pengem- bangan profesionalitas Guru yang diarahkan
untuk mengem- bangkan kompetensinya. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor
14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa Guru harus memiliki
kompetensi pedagogik, kompetensi kepriba- dian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional.

StandarKualifikasiAkademikGuru
Kualifikasi akademik guru yang dimaksud adalah pendidikan terakhir guru minimal D4/ S1 dari
program studi yang terakreditasi dengan kompetensi yang sesuai dengan mata pelajaran
yang diajarkan/ diampu, sebagai mana tertuang dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 14
Tahun 2005.
Kualifikasi Akademik merupakan salah satu faktor untuk menentukan keahlian seseorang
dalam bidang tertentu. Begitu pula dengan linieritas menjadi tolok ukur akan pengetahuan
mendalam maupun karir. Kebijakan tentang linieritas ijazah sudah sangat baik, hanya saja
kebijakan tersebut mesti di kaji ulang dan dijelaskan kembali kepada para pendidik baik
guru maupun dosen.19
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2012) dalam Hanif Cahyo Adi, bahwa linieritas atau
kesamaan latar belakang pendidikan dengan mata pelajaran yang diampu mempunyai
pengaruh yang besar terhadap keberhasilan prestasi siswa sedangkan perbedaan latar belakang
pendidikan akan mempengaruhi kegiatan guru dalam melaksanakan kegiatan interaksi belajar
mengajar.Bila profesi keguruan yang sesuai dengan disiplin keilmuan ini ditukar dengan yang
bukan ahlinya, maka akan merugikan kegiatan pengajaran, sebab mereka kurang mampu
melaksanakan kegiatan pengajaran dengan baik. Jangankan untuk memberikan ilmu
pengetahuan kepada para siswa, mereka sendiri tidak menguasai bahan pelajaran tersebut
dengan baik.20
Bagi guru-guru ASN yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik, pemerintah wajib
memfasilitasi dan menyekolahkan dengan bantuan biaya secukupnyamelalui tugas belajar
maupun izin belajar pada program studi yang sesuai dengan kebutuhan tidak asal sekolah dan
mendapatkan gelar. Pengawasan harus terintegrasi dengan baik agar kebijakan tersebut cepat
tercapai.
Sedangkan bagi guru-guru swasta yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik adalah
menjadi kewajiban dari sekolah yang bersangkutan untuk memfasilitasi dan menyekolahkan
dengan bantuan biaya yang disesuaikan dengan kondisi masing- masing.

Pengembangan Kompetensi Guru


Jika dahulu, guru yang mengajar itu harus mempunyai akta IV, maka kebijakan pemerintah
tentang pengembangan kompetensi guru saat ini adalah program sertifikasi guru yang
menjadikan guru sebagai pekerjaan profesional. Profesionalisme guru mengandung pengertian
yang meliputi unsur kepribadian, keilmuan, dan keterampilan, yang diwujudkan dalam bentuk
kompetensi guru serta sikap atau tindakan yang terlihat dalam melaksanakan tugas
pembelajaran. Keteladanan guru merupakan kompetensi kepribadian sebagaimana
amanat yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005. Makna
keteladanan-keteladanan tersebut tercantum dalam Al-Qur’an dengan berbagai penyebutan,
yaitu: Ulul Albab terdapat dalam Q.S. Ali Imran [3]: 104, Al Ulama terdapat dalam
Q.S. Fathir [35]: 27-28, Al Muzakki terdapat dalam Q.S. Al Baqarah [2]: 129, Ahl Al Dzikr
terdapat dalam Q.S. Al Anbiya [21]: 7, Al Rasyihuna fi Al'ilmi terdapat dalam Q.S. An-
Nisa [4] 7.21Guru adalah cermin kepribadian peserta didik, dan guru juga sangat
berpengaruh dalam perilaku anak didiknya. Artinya dengan perintah dan nasihat guru yang baik
maka siswa akan mengikutinya dengan baik pula.22 Sebagai evaluator, seorang guru harus
dapat menetapkan dan menentukan tujuan pembelajaran yang diharapkan, tidak hanya
mengevaluasi data dan informasi tentang keberhasilan siswa dalam menyelesaikan
pembelajaran. Selain itu, guru juga harus dapat mengevaluasi dirinya sendiri dalam
melaksanakan seluruh kegiatan yang telah diprogramkan. Untuk menjadi seorang guru yang
inspirator atau pemberi inspirasi bagi peserta didik diperlukan pengalaman dan pema- haman
yang mendalam tentang materi yang diajarkannya bukan hanya pada sisi kognitifnya saja akan
tetapi harus lebih menekan- kan pada aspek afektif (sikap). Guru memiliki tugas dan fungsi
untuk membangun siswa menjadi manusia pembangunan, manusia yang mampu membuat
perbaikan dan perdamaian, tidak sebaliknya justru membuat kerusakan pada peserta didiknya.
Guru harus mampu menebarkan jiwa-jiwa sosial yang terwujud dalam dunia sosial yang
lebih luas. Selain itu dalam menjalankan tugasnya guru harus mampu memberikan
sesuatu yang dapat membangkitkan semangat siswa dalam mengembangkan diri melalui
belajar yang giat. Guru yang mampu memberikan gairah siswa untuk belajar dan
meniti kehidupan yang lebih baik sesungguhnya guru tersebut sudah menjadi inspiratif
bagi siswanya.23
Dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi, seorang guru harus mampu bersikap dinamis
dalam proses pembelajarannya, baik dalam menetapkan strategi, model, metode, dan media
yang digunakan dalam pembelajaran. Seorang guru harus selalu meng-upgrade pengetahuan
agar selalu bersikap dinamis pada setiap perubahan, baik yang menyangkut kebijakan, ataupun
tatanan kehidupan.
Teknik-teknik motivasi yang digunakan guru akan menimbulkan minat yang baik dan gairah
belajar yang tinggi bagi siswa, sehingga akan terjadi proses belajar yang efektif dan tujuan
belajar akan tercapai. Sebaliknya kurang atau tidak memahami makna dan pentingnya motivasi
dalam belajar akan mengakibatkan kegelisahan, ketegangan, kejenuhan, kemalasan. keributan
dan lain sebagainya.24

Rekrutmen Guru
Pengangkatan guru honoren menjadi Guru PPPK dianggap sebagai kebijakan yang paling
sesuai dengan kebutuhan pendidikan saat ini. Namun yang harus jadi perhatian adalah
rekrutmen yang transparan, agar guru yang diangkat mempunyai kualifikasi dan kompetensi
yang sudah sesuai dengan kebutuhan, sebab jika rekrutmen tersebut asal-asalan maka akan
menjadi beban pemerintah berikutnya dalam mengelola guru-guru tersebut.
Bagi sekolah swasta, proses rekrutmen guru harus mengacu pada aturan yang ditetapkan oleh
pemerintah, misalnya kualifikasi akademik yang sesuai dengan mata pelajaran yang akan
diampunya dan bukan semata-mata siap mengajar tanpa mempedulikan kualitas pendidikan.

Peningkatan Upah dan Kesejahteraan Guru


Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang dikeluarkan pemerintah saat ini, bukanlah kebijakan yang
bersifat permanen. Oleh karena itu, seharusnya berkaitan dengan upah guru, pemerintah harus
segera membuat kebijakan yang khusus untuk guru terutama guru- guru honorer. Pemerintah
membuat regulasi yang jelas tentang upah guru-guru honorer yang selama ini hanya menerima
upah seadanya tanpa ada aturan baku yang jelas.
Baik di sekolah negeri ataupun swasta, aturan upah untuk guru honorer masih mengacu
dan mendasarkan pada subyektifitas dan selera kepala sekolah masing-masing, walaupun
sekarang berdasarkan Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan
Atas Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler,
disebutkan bahwa ketentuan pembayaran honor paling banyak 50 persen tidak berlaku
selama masa penetapan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 oleh Pemerintah
Pusat. Kini pembayaran gaji guru honorer bisa menggunakan dana BOS lebih dari 50
persen sesuai dengan kebutuhan sekolah.

Anda mungkin juga menyukai