Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah Indonesia memiliki kondisi geologis, geografis, hidrologis, demografi dan


sosiologis yang menjadikannya rawan terhadap bencana, baik bencana alam, non alam,
maupun bencana social. Data dan informasi bencana Indonesia dari BNPB menunjukkan
bahwa jumlah kejadian bencama dan korban meninggal per jenis kejadian bencana dalam
periode antara tahun 1815-2012 terus meningkat. Bencana secara sederhana didefinisikan
sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga
menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi
atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi
dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya mereka sendiri Masyarakat sebagai objek
utama yang terdampak apabila suatu bencana terjadi, sudah seharusnya mempunyai
kapasitas/kemampuan untuk mengurangi kerentanan yang ada sehingga bisa menjadi
pelaku (subjek) utama dalam usaha-usaha pengurangan resiko bencana sehingga kerugian
baik harta benda maupun korban jiwa bisa diminimalisir, karena masyarakat sudah
mempunyai perencanaan untuk mengurangi resiko bencana, serta mempunyai
pengetahuan dan mengerti apa yang seharusnya dilakukan pada saat bencana belum
terjadi (prabencana), pada saat tanggap darurat, dan pada saat pasca bencana. Untuk itu
kita perlu melakukan pengurangan risiko bencana yang menempatkan masyarakat sebagai
subjek atau pelaku utama kegiatan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengurangan risiko bencana ?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan mitigasi struktural?
3. Bagiamana yang dimaksud dengan mitigasi non struktural?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengurangan Risiko Bencana

Resiko Bencana memiliki pengertian: potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat. Melihat pengertian tersebut, maka kita sebenarnya sedang
hidup bersama risiko bencana. Bencana yang setiap saat bisa mengancam, mungkin tidak
bisa dicegah, tapi kita bisa melakukan upaya pengurangan risiko bencana. Oleh sebab itu,
kita perlu memperkaya wawasan tekait bagaimana konsep dasar dan pengertian
pengurangan risiko bencana. Pengurangan Resiko Bencana adalah konsep dan praktik
mengurangi resiko-resiko bencana melalui upaya-upaya sistematis untuk menganalisis
dan mengelola faktor-faktor penyebab bencana, termasuk melalui pengurangan
keterpaparan terhadap ancaman bahaya, pengurangan kerentaan penduduk dan harta
benda, pengelolaan lahan dan lingkungan secara bijak dan meningkatkan kesiapsiagaan
terhadap peristiwa-peristiwa merugikan (UNISDR, 2009). Pengurangan risiko bencana
(PRB) merupakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana yang dimaksudkan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul.
Secara konseptual, PRB merupakan wujudd dari perubahan paradigm penanggulangan
bencana yakni dari pendekatan konvensional kepada pendekatan holistik. Penanganan
bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat saja, tetapi secara keseluruhan
manajemen risiko. Perlindungan masyarakat dari ancaman bahaya merupakan wujud
perlindungan sebagai hak asasi rakyat dan penanggulangan bencana bukan lagi menjadi
tanggung jawab pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab bersama anatara pemerintah
dan masyarakat (Efendi, Ferry dan Makhfudli, 2009). B. Tujuan PRB PRB bertujuan
untuk mengurangi risiko kerugian yang terjadi akibat bencana. Oleh karena itu langkah-
langkah PRB perlu diintegrasikan ke dalam pembangunan. Sejak akhir dekade 1990-an
banyak kalangan kian menyadari perlunya âmengarusutamakanâ pengurangan risiko
bencana ke dalam pembangunan, yakni memasukkan pertimbangan-pertimbangan risiko
bencana alam ke dalam kerangka strategis jangka menengah dan struktur-struktur
kelembagaan, ke dalam kebijakan dan strategi negara dan sektoral serta ke dalam
perancangan proyek di negara-negara rawan bahaya. Upaya pengarusutamaan risiko

2
bencana harus mencakup analisis bagaimana potensi bahaya dapat mempengaruhi kinerja
kebijakan, program dan proyek, dan analisis bagaimana kebijakan, program dan proyek
tersebut berdampak pada kerentanan terhadap bahaya alam. Analisis ini harus
ditindaklanjuti dengan mengambil tindakan yang perlu untuk mengurangi kerentanan,
dengan menempatkan pengurangan risiko sebagai bagian tak terpisahkan dari proses
pembangunan dan bukan sebagai tujuan itu sendiri. Perubahan dari cara pandang lama
yang telah mengakar bahwa bencana adalah sesuatu yang tidak dapat diprediksi
sebelumnya, tak terhindarkan dan harus ditangani oleh para ahli tanggap darurat, sedikit
banyak mencerminkan meningkatnya pemahaman akan bencana sebagai masalah
pembangunan yang masih harus diatasi. Program pembangunan tidak dengan sendirinya
mengurangi kerentanan terhadap bahaya alam. Sebaliknya, program pembangunan tanpa
disadari dapat melahirkan bentuk-bentuk kerentanan baru atau memperburuk kerentanan
yang telah ada, terkadang dengan konsekuensi yang tragis. Peningkatan pemahaman ini
berjalan seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya penanggulangan
kemiskinan. Telah lama diakui umum bahwa salah satu dimensi kemiskinan yang
mendasar adalah keterpaparan terhadap risiko dan kemungkinan hilangnya pendapatan,
termasuk yang diakibatkan oleh bahaya alam. Pemahaman akan hal ini telah mendorong
adanya perhatian yang lebih besar pada analisis bentuk-bentuk dan penyebab mendasar
kerentanan dan kegiatan-kegiatan terkait yang dapat memperkuat ketangguhan dalam
menghadapi bahaya (Benson & Twigg, 2007). C. Landasan Penyelenggaraan PRB
Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia merupakan bagian dari upaya pengurangan
risiko bencana di tingkat internasional yang menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah dengan masyarakat, termasuk masyarakat internasional. Sebagai bagian dari
komitmen Indonesia maka landasan yang mendasari penyusunan RAN-PRB mengacu
pada kesepakatan-kesepakatan internasional dan peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Landasan penyelenggaraan PRB adalah Resolusi PBB Nomor 63 Tahun 1999
tentang International Strategy for Disaster Resuction (ISDR), The Yokohama Strategy
tahun Ak, Hyogo Framework for Action tahun 2005, serta Beijing Action. Sedangkan,
secara nasional telah diterbitkan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana
(RAN PRB) tahun 2006 di samping Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.

1. Prinsip PRB Prinsip dasar PRB mengacu pada The Yokohama Strategy yang meliputi
hal berikut ini.

3
a. Pengkajian risiko bencana merupakan langkah yang diperlukan untuk penerapan
kebijakan dan upaya pengurangan bencana.

b. Pencegahan dan kesiapsiagaan bencana penting dalam pengurangan kebutuhan untuk


pertolongan bencana

c. Pencegahan bencana dan kesiapsiagaan meliputi aspek integral dari kebijakan


pembangunan dan perencanaan di tingkat nasional, bilateral, multilateral, serta
internasional.

d. Pengembangan dan penguatan kemampuan untuk mencegah, mengurangi, dan mitigasi


bencana adalah prioritas utama dalam decade pengurangan bencana alam internasional.

e. Peringatan dini terhadap bencana dan penyebarluasan informasi bencana dilakukan


secara efektif dengan menggunakan sarana telekomunikasi.

f. Upaya pencegahan adalah langkah yang paling efektif bila melibatkan peran serta
masyarakat lokal, nasional, regional, dan internasional.

g. Kerentanan terhadap bencana dapat dikurangi dengan penerapan desain dan pola
pengembangan pembangunan yang difokuskan pada kelompok-kelompok dengan
menggunakan pendidikan dan pelatihan yang tepat bagi masyarakat.

h. Masyarakat internasional perlu berbagi teknologi untuk mencegah, mengurangi, dan


memitigasi bencana yang dilaksanakan secara bebas dan tepat waktu sebagai satu
kesatuan dari kerja sama teknis.

i. Perlindungan lingkungan merupakan salah satu komponen pembangunan berkelanjutan


yang sejalan dengan pengentasan kemiskinan.

j. Setiap Negara memiliki tangguang jawab untuk melindungi rakyat, infrastruktur, dan
asset nasional dari damapak bencana, Sedangkan masyarakat internasional harus
menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk mengerahkan sumber daya yang ada
secara memadai dan efisien. Sedangkan, substansi manajerial dasar yang perlu dilakukan
pemerintah dan masyarakat dalam PRB mengacu pada Hyogo Framework for Action Plan
2005-2015 yaitu sebagai berikut:

1. Meletakkan PRB sebagai prioritas nasional daerah yang implementasinya dilakukan


oleh institusi yang kuat

4
2. Mengidentifikasi, mengkaji, dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem
peringatan dini.

3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangunkan kesadaran


tentang keselamatan dini dan ketahanan terhadap bencana bagi semua tingkatan
masyarakat.

4. Mengurangi cakupan risiko bencana.

5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkat masyarakat agar


mendapatkan respon yang efektif.

E. Langkah-Langkah PRB

Secara umum, pemerintah bersama masyarakat berkewajiban untuk melakukan langkah-


langkah PRB melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana. Fokus kegiatan ini adalah mengenali
bahaya (utama dan ikutan), mengenali kelompok rentan untuk masing-masing bahaya
yang potensial, dan mengenali kemampuan masyarakat (communities capacity) dalam hal
bencana sekaligus menganalisis probabilitas kejadian bencana dan risiko bencana di suatu
wilayah pada periode tertentu.

2. Perencanaan dan partisipatif penanggulangan bencana. Fokus kegiatan ini adalah


penyadaran masyarakat akan hak dan kewajiban serta keberadaannya dalam
penanggulangan bencana, peningkatan kapasitas (capacity building) dan pendayagunaan
(empowerment) tentang kemampuan, kekuasaan otoritas, atau peluang dalam penyusunan
rencana, terlibat dalam penatapan rencana dan pelaksanaan tertentu.

3. Pengembangan budaya sadar bencana. Fokus kegiatan ini adalah kesadaran public
(public awereness), pengembangan institusi, pelestarian kearifan local (local wisdom),
serta pemberdayaan masyarakat agar dapat melakukan upaya pencegahan (mitigation),
kesiapsiagaan (preoaredness), tanggap darurat (emergency), sampai dengan pemulihan
(relief).

4. Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana dan didukung dengan


sumber daya ideal.

5. Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana. Fokus


kegiatan ini adalah pada penerbitan tata peraturan perundangan (undang-undang,

5
peraturan pemerintah, peraturan daerah), standar, norma, mekanisme, prosedur dengan
penegakan hukumnya, serta upaya-upaya kegiatan fisik seperti pembuatan tanggul, sabo,
tempat pengungsian, dan lain sebagainya.

Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif attas sistem penyesuaian
dalam merespon ancaman (Paripurno, 2002). Renspon itu bersifat jangka pendek yang
disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih jangka panjang yang
dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam menghadapi
perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar:
keamanan, sandang, pangan, sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-
sumber kehidupannya (Paripurno, 2002).

Bahaya (hazard) adalah suatu fenomena fisik, fenomena, atau aktivitas manusia yang
berpotensi merusak, yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa atau cidera, kerusakan harta-
benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan (ISDR, 2004 dalam MPBI,
2007) atau peristiwa kejadian potensial yang merupakan ancaman terhadap kesehatan,
keamanan, atau kesejahteraan masyarakat atau fungsi ekonomi masyarakat atau kesatuan
organisasi pemerintah yang selalu luas (Lundgreen, 1986).

Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau


proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang meningkatkan kecenderungan
(susceptibility) sebuah komunitas terhadap dampak bahaya (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).
Kerentanan lebih menekankan aspek manusia di tingkat komunitas yang langsung
berhadapan dengan ancaman (bahaya) sehingga kerentanan menjadi faktor utama dalam suatu
tatanan sosial yang memiliki risiko bencana lebih tinggi apabila tidak di dukung oleh
kemampuan (capacity) seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan, kemiskinan, kondisi
sosial, dan kelompok rentan yang meliputi lansia, balita, ibu hamil dan cacat fisik atau
mental. Kapasitas (capacity) adalah suatu kombinasi semua kekuatan dan sumberdaya yang
tersedia di dalam sebuah komunitas, masyarakat atau lembaga yang dapat mengurangi tingkat
risiko atau dampak suatu bencana (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).

Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu komunitas
atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi, atau lingkungan
yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak
untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri (ISDR, 2004 dalam

6
MPBI, 2007). Bencana dapat dibedakan menjadi dua yaitu bencana oleh faktor alam (natural
disaster) seperti letusan gunungapi, banjir, gempa, tsunami, badai, longsor, dan bencana oleh
faktor non alam ataupun faktor manusia (man-made disaster) seperti konflik sosial dan
kegagalan teknologi.

Risiko (risk) adalah probabilitas timbulnya konsekuensi yang merusak atau kerugian yang
sudah diperkirakan (hilangnya nyawa, cederanya orang-orang, terganggunya harta benda,
penghidupan dan aktivitas ekonomi, atau rusaknya lingkungan) yang diakibatkan oleh adanya
interaksi antara bahaya yang ditimbulkan alam atau diakibatkan manusia serta kondisi yang
rentan (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). Pengkajian/analisis risiko (risk assessment/analysis)
adalah suatu metodologi untuk menentukan sifat dan cakupan risiko dengan melakukan
analisis terhadap potensi bahaya dan mengevaluasi kondisi-kondisi kerentanan yang ada dan
dapat menimbulkan suatu ancaman atau kerugian bagi penduduk, harta benda, penghidupan,
dan lingkungan tempat tinggal (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).

Dalam kajian risiko bencana ada faktor kerentanan (vulnerability) rendahnya daya tangkal
masyarakat dalam menerima ancaman, yang mempengaruhi tingkat risiko bencana,
kerentanan dapat dilihat dari faktor lingkungan, sosial budaya, kondisi sosial seperti
kemiskinan, tekanan sosial dan lingkungan yang tidak strategis, yang menurunkan daya
tangkal masyarakat dalam menerima ancaman. Besarnya resiko dapat dikurangi oleh adanya
kemampuan (capacity) adalah kondisi masyarakat yang memiliki kekuatan dan kemampuan
dalam mengkaji dan menilai ancaman serta bagaimana masyarakat dapat mengelola
lingkungan dan sumberdaya yang ada, dimana dalam kondisi ini masyarakat sebagai
penerima manfaat dan penerima risiko bencana menjadi bagian penting dan sebagai aktor
kunci dalam pengelolaan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana dan ini menjadi suatu
kajian dalam melakukan manajemen bencana berbasis masyarakat (Comunity Base Disaster
Risk Management). Pengelolaan lingkungan harus bersumber pada 3 aspek penting yaitu
Biotik (makluk hidup dalam suatu ruang), Abiotik (sumberdaya alam) dan Culture
(Kebudayaan).

Capacity (kemampuan)

7
Daya tahan/berdaya tahan (resilience/resilient) adalah kapasitas sebuah sistem, komunitas
atau masyarakat yang memiliki potensi terpapar pada bencana untuk beradaptasi, dengan cara
bertahan atau berubah sedemikian rupa sehingga mencapai dan mempertahankan suatu
tingkat fungsi dan struktur tyang dapat diterima. Hal ini ditentukan oleh tingkat kemampuan
sistem sosial dalam mengorganisasi diri dalam meningkatkan kapasitasnya untuk belajar dari
bencana di masa lalu, perlindungan yang lebih baik di masa mendatang, dan meningkatkan
upaya-upaya pengurangan risiko bencana (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).

Pengelolaan risiko bencana (disaster risk management) adalah suatu proses yang sistematis
dalam menggunakan keputusan-keputusan administratif, lembaga, keterampilan operasional,
dan kapasitas penyesuaian masyarakat dan komunitas untuk mengurangi dampak bahaya
alam dan bencana-bencan lingkungan dan teknologi terkait (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).

Kemampuan penyesuaian (coping capabilities) adalah cara orang-orang atau lembaga-


lembaga baik lokal maupun luar untuk menggunakan sumberdaya dan kemampuan yang ada
untuk menghadapi akibat-akibat yang merugikan yang dapat mengarah kepada suatu
bencana. Secara umum, ini mencakup peng merugikan. pelolaan sumberdaya baik di waktu-
waktu normal serta selama krisis atau kondisi merugikan. Penguatan kapasitas penyesuaian
biasanya memperkuat ketahanan untuk menghadapi dampak-dampak bahaya alam dan yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) adalah suatu kerangka kerja konseptual

8
yang terdiri dari elemen-elemen yang dipandang mempunyai kemungkinan untuk
meminimalkan kerentanan dan risiko bencan di seluruh masyarakat, untuk menghindari
(pencegahan) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak merugikan yang
ditimbulkan bahaya, dalam kontek luas pembangunan berkelanjuatan (ISDR, 2004 dalam
MPBI, 2007). Dalam pengurangan risiko bencana perlu dilakukan upaya-upaya, baik yang
dilakukan sebelum bencana, saat bencana dan setelah bencana, namun untuk mengurangi
risiko bencana penanggulangan bencana lebih ditekankan pada upaya-upaya pada saat
sebelum terjadi bencana antara lain:

1. Pencegahan (prevention) adalah aktivitas untuk secara total menghindari dampak


merugikan yang ditimbulkan bahaya dan cara-cara untuk meminimalkan bencana-bencana
lingkungan, teknologi dan biologi terkait (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).
2. Mitigasi (mitigation) adalah langkah-langkah struktural dan non struktural yang
diambil untuk membatasi dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya alam, kerusakan
lingkungan dan bahaya teknologi (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). Mitigasi dapat
dilakukan secara struktural yaitu pembangunan infrastruktur sabo, tanggul, alat pendeteksi
atau peringatan dini, dan dapat dilakukan secara non struktural seperti pelatihan dan
peningkatan kapasitas di masyarakat.
3. Kesiapsiagaan (preparedness) adalah aktivitas-aktivitas dan langkah-langkah yang
diambil sebelumnya untuk memastikan respons yang efektif terhadap dampak bahaya,
termasuk dengan mengeluarkan peringatan dini yang tepat dan efektif dan dengan
memindahkan penduduk dan harta benda untuk sementara dari lokasi yang terancam
(ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007) dalam hal ini bisa diimplementasikan dengan adanya tim
siaga, standar operasional tetap yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana dan
rencana aksi komunitas yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pengurangan risiko
bencana.

B. Mitgasi dan structural dan non struktural


a) Mitigasi Struktural

Mitigasi strukural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan melalui
pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti
pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi,
bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System yang digunakan untuk
memprediksi terjadinya gelombang tsunami.

9
Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap
bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Bangunan tahan bencana
adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa sehingga bangunan
tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak membahayakan apabila
bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur perancangan struktur
bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari bencana.

Mitigsasi struktural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan melalui
pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti
pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi,
bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System yang digunakan untuk
memprediksi terjadinya gelombang tsunami.

Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap


bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Bangunan tahan bencana
adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa sehingga bangunan
tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak membahayakan apabila
bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur perancangan struktur
bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari bencana.

Mitigasi struktural:

 Pemilihan lokasi yang tepat untuk bangunan;


 Penilaian gaya yang diakibatkan fenomena alam seperti gempa bumi, badai dan banjir;
 perencanaan dan analisis bangunan yang disesuaikan dengan gaya fenomena alam;
 perencanaan bangunan yang sesuai kondisi lokal;
 material bahan bangunan yang sesuai;
 tidak membangun pada daerah yang rawan longsor, banjir, gempa bumi tsunami dan
rawan terhadap letusan gunung api.
b) Mitigasi non struktural

Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya
tersebut di atas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu
peraturan. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB) adalah upaya non-struktural
di bidang kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota,

10
capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagaia aktivitas lain yang
berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga bagian ari mitigasi ini. Ini semua
dilakukan untuk, oleh dan di masyarakat yang hidup di sekitar daerah rawan bencana.

Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi. Kebijakan
non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari risiko
yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan identifikasi risiko terlebih
dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan
terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya.

Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural harus
saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk
memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana harus
diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang memadai yang
didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa banjir dan tanah
longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia pada musim
kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan pemanfaatan tata
ruang wilayah yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang
digunakan untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu
bencana pun harus diusahakan agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan di masa
depan.

Mitigasi non struktural:

 peraturan pemerintah: tataguna lahan dan tataguna bangunan; 


 insentif memberikan dorongan untuk melakukan mitigasi;
 pelatihan dan pendidikan;
 untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat: pengetahuan dan pemahaman bahaya dan
kerawanan, partisipasi masyarakat
 pemberdayaan institusi
 sistem peringatan;
 usaha mitigasi pertanian.

1. Upaya mitigasi non Struktural


Indonesia merupakan Negara yang tidak dapat lepas dari ancaman bencana. Hal tersebut
dipengaruhi oleh posisi Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng-lempeng tektonik.

11
Lempeng tersebut antara lain lempeng Eurasia, , Indo-Australia, dan lempeng Pasifik.
Lempeng Indo-Australia menabrak lempeng Eurasia di lepas pantai sumatera, jawa dan Nusa
tenggara, sementara itu lempeng pasifik bertabrakan dengan lempeng Indo-Asutralia di utara
irian dan Maluku utara. Terjsdinys tumbukan tersebut, sehingga Negara ini rawan sekali oleh
bencana gempa bumi. Selain itu akibat dari tumbukan antar lempeng menghasilkan bentukan
berupa gunungapi. Jumlah gunungapiu yanbg aktif sekitar 140 buah.Bahaya letusan
gunungapi juga sangat berpotensi terjadi di Indonesia. Kemudian bahaya longsor juga
mengancam. Besarnya curah hujan dapat menyebabkan terjadinya longsor di beberaopa
tempat. Besarnya potensi bencana yang terjadi memaksa kita Sebagai warga Negara yang
tinggal di daerah rawan bencana, kita harus mengenal alam kita ini.Ketika bencana terjadi
ada upaya dari kita untuk mengurangi suatu dampak bahaya yang terjadi. Hal tersebut dikenal
sebagai mitigasi.
Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana,baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan mengatasi anczman
bencana. Ancaman bencana dapat terjadi sewaktu-waktu, namun bukan berarti kita tidak
mempu untuk mengurangi dampak bencana. Upaya mitigasi melalui pembangunan fisik
dikenal sebagai mitigasi structural, sedangkan upaya berupa penyadaran kepada masyarakat
tentang risiko bencana dikenal sebagai mitigasi non structural.
Pentingnya mitigasi non struktural
Mitigasi non structural menurut saya lebih efektif, walaupun perlu pula dikombinasikan
dengan mitigasi struktural. Berbagai upaya mitigasi non structural antara lain melakukan
pelatihan, pendidikan, penyuluhan/sosialisasi, penataan ruang dan relokasi. Ketika
masyarakat telah mengetahui resiko bencana melalui usaha-usaha tersebut, maka dampak
korban jiwa, minimal dapat dikurangi. Masyarakat akan tau apa yang harus dilakukan ketika
gempa bum, banr, tsunamii terjadi dan sebagainya. Masayarakat tidak akan terpengaruh oleh
isu-isu tertentu yang membuat panic ketika terjadi bencana. Namun usaha mitigasi non
structural tersebut seringkali tidak mudah dilakukan, terutama kepada masyarakt usia
tua/lansia. Sehingga ketika bencana terjadi, masyarakat harus bersama-sama saling
membantu untuk mengurangi dampak bencana.
Langkah - langkah yang harus dilakukan dalam pengurangan risiko bencana non-struktural
1. Memberikan pendidikan dan pelatihan kebencanaan
Langkah tersebut dilakukan oleh masyarakat dibantu oleh pemerintah daerah terkait, peneliti,
dosen maupun lembaga tertentu dengan memberikan suatu pendidikan tentang bencana yang
terjadi. Pendidikan tersebut dapat berupa pengenalan karakteristik bencana, tipe bencana,

12
bagaimana dan apa yang harus dilakukan jika bencana datang. Masyarakat diberikan langkah
cepat yang harus dilakukan jika bencana datang tiba-tiba.
2. Memberikan sosialisasi
Sosialisasi juga penting untuk dilakukan. Biasanya sosialisasi dilakukan oleh pemerintah
daerah melalui BPBD Badan Nasional Bencana Daerah). Masyarakat sebagai target
sosialisasi diberikan pengetahuan tentang bencana yang sering terjadi di daerah tersebut dan
memberikan langkah-langkah cepat yang harus dilakukan.
3. Penataan Ruang
Penataan ruang dan relokasi sangat penting dilakukan agar resiko bencana dan korban tidak
terjadi lagi. Permukiman yang terkena bencana sebelumnya dipindahkan ke daerah lain yang
lebih aman. Daerah yang memiliki potensi terhadap bencana diatur kembali untuk
dipindahkan menjauhi daerah dengan resiko bencana lebih besar.
4. Membentuk organisasi penanggulangan bencana tingkat kampong/Desa
Masyarakat dapat saling membantu ketika terjadi bencana maupun ketika sebelum bencana
dalam organisasi tersebut. Adanya organisasi tingkat lingkup kecil tersebut tentunya akan
lebih dapat mengkoordinir warganya. Organisasi tersebut dapat bersama dengan pemerintah
daerah memberikan pelatihan, simulasi bhencana, memberikan papan-papan jalur evakuasi,
menyiapkan tanah lapang yang aman dari bencana untuk membangun barak pengungsian dan
sebagainya. Bahkan ketika bencana terjadi, dalam lingkup kecil tersebut lebih mudah untuk
memberikan bantuan, terutama makanan.

13
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif attas sistem penyesuaian
dalam merespon ancaman (Paripurno, 2002). Renspon itu bersifat jangka pendek yang
disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih jangka panjang yang
dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam menghadapi
perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar:
keamanan, sandang, pangan, sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-
sumber kehidupannya (Paripurno, 2002).

Bencana secara sederhana didefinisikan sebagai suatu gangguan serius terhadap


keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada
kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui
kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya-
sumberdaya mereka sendiri Masyarakat sebagai objek utama yang terdampak apabila suatu

14
bencana terjadi, sudah seharusnya mempunyai kapasitas/kemampuan untuk mengurangi
kerentanan yang ada sehingga bisa menjadi pelaku (subjek) utama dalam usaha-usaha
pengurangan resiko bencana sehingga kerugian baik harta benda maupun korban jiwa bisa
diminimalisir, karena masyarakat sudah mempunyai perencanaan untuk mengurangi resiko
bencana, serta mempunyai pengetahuan dan mengerti apa yang seharusnya dilakukan pada
saat bencana belum terjadi (prabencana), pada saat tanggap darurat, dan pada saat pasca
bencana.

15

Anda mungkin juga menyukai