(Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar)
Dosen Pengampu:
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Bapak Bado Riyono, S.E., M.Si. pada
bidang studi Ilmu sosial dan Budaya di Universitas Indraprasta PGRI. Selain itu, tim
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum.
Tim penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak selaku
dosen mata kuliah Ilmu sosial dan Budaya. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni tim penulis. Tim penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.
Tim penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Hakikat, Fungsi dan Perwujudan Nilai, Moral dan Hukum
2. Keadilan, Ketertiban dan Kesejahteraan
3. Problematika Nilai, Moral dan Hukum dalam Masyarakat dan Negara
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ada dua pendapat mengenai nilai. Pendapat pertama mengatakan bahwa nilai itu
objektif, sedangkan pendapat kedua mengatakan nilai itu subjektif. Menurut aliran
idealisme, nilai itu objektif, ada pada setiap sesuatu. Tidak ada yang diciptakan di dunia
tanpa ada suatu nilai yang melekat di dalamnya. Dengan demikian, segala sesuatu ada
nilainya dan bernilai bagi manusia. Hanya saja manusia tidak atau belum tahu nilai apa dari
objek tersebut. Aliran ini disebut juga aliran objektivisme.
Pendapat lain menyatakan bahwa nilai suatu objek terletak pada subjek yang
menilainya. Misalnya, air menjadi sangat bernilai daripada emas bagi orang kehausan di
tengah padang pasir, tanah memiliki nilai bagi seorang petani, gunung bernilai bagi seorang
pelukis, dan sebagainya. Jadi, nilai itu subjektif. Aliran ini disebut aliran subjektivisme.
Di luar kedua pendapat itu, ada pendapat lain yang menyatakan adanya nilai ditentukan
oleh subjek yang menilai dan objek yang dinilai. Sebelum ada subjek yang menilai maka
barang atau objek itu tidak bernilai. Inilah ajaran yang berusaha menggabungkan antara
aliran subjektivisme dan objektivisme.
a. Suatu realitas yang abstrak (tidak dapat ditangkap melalui indra, tetapi ada).
b. Normatif (yang seharusnya, ideal, sebaiknya, diinginkan).
c. Berfungsi sebagai daya dorong manusia (sebagai motivator).
Nilai itu ada atau riil dalam kehidupan manusia. Misalnya, manusia mengakui ada
keindahan. Akan tetapi, keindahan sebagai nilai adalah abstrak (tidak dapat diindra). Yang
dapat diindra adalah objek yang memiliki nilai keindahan itu. Misalnya, lukisan atau
pemandangan.
Nilai merupakan sesuatu yang diharapkan (das solen) oleh manusia. Nilai merupakan
sesuatu yang baik yang dicitakan manusia. Contohnya, semua manusia mengharapkan
keadilan. Keadilan sebagai nilai adalah normatif. Nilai menjadikan manusia terdorong
untuk melakukan tindakan agar harapan itu terwujud dalam kehidupannya. Nilai
diharapkan manusia sehingga mendorong manusia berbuat. Misalnya, siswa berharap akan
kepandaian. Maka siswa melakukan berbagai kegiatan agar pandai. Kegiatan manusia pada
dasarnya digerakkan atau didorong oleh nilai.
4
Contoh nilai adalah keindahan, keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan, kearifan,
keanggunan, kebersihan, kerapian, keselamatan, dan sebagainya. Dalam kehidupan ini
banyak sekali nilai yang melingkupi kita. Nilai yang beragam dapat diklasifikasikan ke
dalam macam atau jenis nilai. Prof. Drs. Notonegoro, S.H. menyatakan ada tiga macam
nilai, yaitu
Moral berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini
mempunyai sinonim mos, moris, manner mores atau manners, morals.
Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (bahasa Arab) atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing
tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos
yang menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik-buruk, yang
diterima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat di atas, istilah moral dapat dipersamakan dengan istilah etika, etik,
akhlak, kesusilaan, dan budi pekerti. Dalam hubungannya dengan nilai, moral adalah
bagian dari nilai, yaitu nilai moral. Tidak semua nilai adalah nilai moral. Nilai moral
berkaitan dengan perilaku manusia (human) tentang hal baik-buruk.
5
Nilai etik/etika adalah nilai tentang baik-buruk yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Jadi, kalau kita mengatakan etika orang itu buruk, bukan berarti wajahnya buruk, tetapi
menunjuk perilaku orang itu yang buruk Nilai etik adalah nilai moral. Jadi, moral yang
dimaksudkan adalah nilai moral sebagai bagian dari nilai.
Selain etika, kita mengenal pula estetika. Estetika merupakan nilai yang berkaitan dengan
keindahan, penampilan fisik, dan keserasian dalam d hal penampilan. Sebuah lukisan
memiliki nilai estetika, bukan nilai etik. Nilai estetika berkaitan dengan penampilan,
sedangkan nilai etik atau m moral berkaitan dengan perilaku manusia.
Nilai penting bagi kehidupan manusia, sebab nilai bersifat normatif dan menjadi
motivator tindakan manusia. Namun demikian, nilai belum dapat berfungsi secara praktis
sebagai penuntun perilaku manusia itu sendiri. Nilai sendiri masih bersifat abstrak sehingga
butuh konkretisasi atas nilai tersebut. Contohnya, manusia mendambakan keselamatan,
tetapi apa yang harus dilakukan manusia agar terwujud keselamatan? Akhirnya, yang
dibutuhkan manusia adalah semacam aturan atau tuntunan perilaku yang bisa mengarahkan
manusia agar terwujud keselamatan.
Jadi, nilai belum dapat berfungsi praksis bagi manusia. Nilai perlu dikonkretisasikan
atau diwujudkan ke dalam norma. Nilai yang bersifat normatif dan berfungsi sebagai
motivator tindakan manusia itu harus diimplementasikan dalam bentuk norma. Norma
merupakan konkretisasi dari nilai. Norma adalah perwujudan dari nilai. Setiap norma pasti
terkandung nilai di dalamnya. Nilai sekaligus menjadi sumber bagi norma. Tanpa ada nilai
tidak mungkin terwujud norma. Sebaliknya, tanpa dibuatkan norma maka nilai yang
hendak dijalankan itu mustahil terwujudkan.
Contohnya, ada norma yang berbunyi "Dilarang membuang sampah sembarang" atau
"Buanglah sampah pada tempatnya". Norma di atas berusaha mewujudkan nilai
kebersihan. Dengan mengikuti norma tersebut, diharapkan kebersihan sebagai nilai dapat
terwujudkan dalam kehidupan. Ada norma lain, misalnya yang berbunyi "Dilarang
merokok". Norma tersebut dimaksudkan agar terwujud nilai kesehatan. Akhirnya, yang
tampak dalam kehidupan dan melingkupi kehidupan kita bukan nilai, tetapi norma atau
kaidah.
6
Norma atau kaidah adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi pedoman dan panduan
dalam bertingkah laku di kehidupan masyarakat. Norma berisi anjuran untuk berbuat baik
dan larangan untuk berbuat buruk dalam bertindak sehingga kehidupan ini menjadi lebih
baik. Norma adalah kaidah, ketentuan, aturan, kriteria, atau syarat yang mengandung nilai
tertentu yang harus dipatuhi oleh warga masyarakat di dalam berbuat, dan bertingkah laku
sehingga terbentuk masyarakat yang tertib, teratur, dan aman.
Di samping sebagai pedoman atau panduan berbuat atau bertingkah laku, norma juga
dipakai sebagai tolok ukur di dalam mengevaluasi perbuatan seseorang. Norma selalu
berpasangan dengan sanksi, yaitu suatu keadaan yang dikenakan kepada si pelanggar
norma. Si pelanggar norma harus menjalani sanksi sebagai akibat atau tanggung jawabnya
atas perbuatan itu. Adapun wujud, bentuk, atau jenis sanksi itu harus sesuai atau selaras
dengan wujud, bentuk, dan jenis normanya.
Norma-norma yang berlaku di masyarakat ada empat macam, yakni sebagai berikut.
a. Norma agama, yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang
berasal dari Tuhan.
b. Norma moral/kesusilaan, yaitu peraturan/kaidah hidupbersumber dari hati nurani dan
merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia.
c. Norma kesopanan, yaitu peraturan/kaidah yang bersumber dari pergaulan hidup
antarmanusia.
d. Norma hukum, yaitu peraturan/kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan resmi atau
negara yang sifatnya mengikat dan memaksa.
7
Norma agama adalah norma, atau peraturan hidup yang berasal dari Tuhan (Allah) yang
diberlakukan bagi manusia ciptaan-Nya melalui perantara utusan-Nya (para rasul).
Pelanggaran terhadap norma agama berupa sanksi di dunia dan akhirat. Norma agama
dipatuhi tanpa ada pengawasan oleh para penegak hukum. Misalnya, jangan membunuh
atau jangan mencuri. Bagi orang yang melanggarnya, kelak akan memperoleh sanksi pada
kehidupan di akhirat. Meskipun sanksi tersebut juga dirasakan pada kehidupannya di dunia
berupa keguncangan hidup.
Norma moral/kesusilaan adalah norma yang hidup dalam masyarakat yang dianggap
sebagai peraturan dan dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Norma kesusilaan
dipatuhi oleh seseorang agar terbentuk akhlak pribadi yang mulia. Pelanggaran atas norma
moral ada sanksinya yang bersumber dari dalam diri pribadi. Jika ia melanggar, ia merasa
menyesal dan merasa bersalah. Misalnya, anak yang tidak patuh kepada orang muanya
akan menyesal pada kemudian hari. Selain itu, akan menjadi buah bibir di kalangan
masyarakatnya, dan masyarakat sekitarnya akan mencela perbuatan yang melanggar norma
kesusilaan seperti itu.
Norma kesopanan adalah norma yang timbul dari kebiasaan pergaulan sehari-hari
untuk suatu daerah tertentu. Norma kesopanan disebut juga norma adat, karena sesuai
dengan adat yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu. Namun, ada pendapat pula yang
membedakan antara norma kesopanan dengan norma adat istiadat. Apa yang dianggap
sopan di suatu daerah belum tentu dianggap sopan untuk daerah lainnya. Misalnya, kaum
muda harus menghormati yang tua, yang muda harus memberikan tempat duduknya, cara
bertamu, dan cara bersalaman. Pelanggaran atas norma kesopanan adalah sanksi dari
masyarakat, misalnya dikucilkan.
Norma hukum adalah norma atau peraturan yang timbul dari hukum yang berlaku.
Norma hukum perlu ada untuk mengatur kepentingan manusia dalam masyarakat agar
memperoleh kehidupan yang tertib. Jika norma ini dilanggar akan ada sanksi yang bersifat
memaksa. Norma hukum tertuang dalam peraturan perundang-undangan.
8
B. Hukum sebagai Norma
Berdasarkan pada uraian sebelumnya, hukum pada dasarnya adalah bagian dari norma,
yaitu norma hukum. Jadi, jika kita berbicara mengenai hukum yang dimaksudkan adalah
norma hukum. Hukum sebagai norma berbeda dengan ketiga norma sebelumnya (agama,
kesusilaan, dan kesopanan). Perbedaan norma hukum dengan norma lainnya adalah
sebagai berikut.
a. Norma Hukum datangnya dari luar diri kita sendiri, yaitu dari kekuasaan/lembaga yang
resmi dan berwenang.
b. Norma hukum dilekati sanksi pidana atau pemaksa secara fisik, Norma lain tidak
dilekati sanksi pidana secara fisik.
c. Sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh apparat negara.
Bagi orang-orang yang tidak patuh kepada norma kesopanan, norma kesusilaan, dan
norma agama dapat menimbulkan ketidaktertiban dalam kehidupan bersama sehingga
perlu memperoleh sanksi yang bersifat memaksa. Misalnya, orang yang melanggar norma
kesopanan tidak mempunyai rasa malu bila disisihkan dari pergaulan, orang yang
melanggar norma kesusilaan tidak akan merasa menyesal. Orang yang melanggar norma
agama tidak akan takut kepada sanksi di akhirat ataupun akan terguncang kehidupannya.
Bagi orang-orang yang demikian ini dapat menimbulkan kekacauan di masyarakat. Oleh
karena itu, norma hukum perlu dipaksakan agar orang-orang mematuhi peraturan hidup.
Jadi, meskipun telah ada norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, namun dalam
kehidupan bernegara tetap dibutuhkan norma hukum. Norma hukum dibutuhkan karena
dua hal, yaitu
1. Karena bentuk sanksi dari ketiga norma belum cukup memuaskan dan efektif untuk
melindungi keteraturan dan ketertiban masyarakat.
2. Masih ada perilaku lain yang perlu diatur di luar ketiga norma di atas, misalnya
perilaku di jalan raya.
9
Norma hukum berasal dari norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Isi ketiga norma
tersebut dapat diangkat sebagai norma hukum. Di samping tu. norma hukum dapat
menciptakan sendiri isi norma tersebut. Contohnya, norma hukum berlalu lintas yang
memang tidak ada di ketiga norma sebelumnya.
a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keadilan berarti (sifat perbuatan,
perlakuan) yang adil. Keadilan berarti perilakmatan perbuatan yang dalam
pelaksanaannya memberikan kepada pihak lain sesuatu yang semestinya harus diterima
oleh pihak lain.
b. Menurut W.J.S. Poerwodarminto, keadilan berarti tidak berat sebelah. sepatutnya, tidak
sewenang-wenang. Jadi, dalam pengertian aid termasuk di dalamnya tidak terdapatnya
kesewenang-wenangan. Orang yang bertindak sewenang-wenang berarti bertindak
tidak adil.
c. Menurut Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Poilitik menyatakan bahwa
keadilan sebagai suatu keadaan di mantene orang dalam situasi yang sama diperlakukan
secara sama.
a. Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama
banyaknya, tanpa mengingat berapa besar jasa-jasa yang telah diberikan (dari kata
commute= mengganti, menukarkan, memindahkan).
b. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan hak atau jatah kepada setiap
orang menurut jasa-jasa yang telah diberikan (pembagian menurut haknya masing-
10
masing pihak). Di sini keadilan tidak menuntut pembagian yang sama bagi setiap
orang, tetapi pembagian yang sama berdasarkan perbandingan.
c. Keadilan legal atau keadilan moral adalah keadilan yang mengikuti penyesuaian atau
pemberian tempat seseorang dalam masyarakat sesuai dengan kemampuannya, dan
yang dianggap sesuai dengan kemampuan yang bersangkutan.
Keadilan merupakan hal penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Charles E.
Merriam dalam Miriam Boediardjo (1982) meletakkan keadilan ini sebagai salah satu prinsip
dalam tujuan suatu negara, yaitu keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan, kesejah
teraan umum, dan kebebasan.
Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 maka negara yang hendak didirikan adalah negara
Indonesia yang adil dan bertujuan menciptakan keadilan sosial. Pesan yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945 itu hendaknya menjadi pedoman dan semangat bagi para
penyelenggara negara bahwa tugas utama pemerintah adalah menciptakan keadilan.
Berdasarkan pada Pancasila sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab maka adil
yang dimaksud adalah perlakuan secara adil kepada warga negara tanpa pandang bulu.
Manusia pada hakikatnya sama harkat dan martabatnya, termasuk pula manusia sebagai
warga negara. Karena itu, hendaknya penyelenggara negara menjamin perlakuan yang adil
terhadap warganya. Hal ini tercermin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung makna adil
dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Hasil pembangunan dan kekayaan
bangsa hendaknya dapat dinikmati secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat. "Kue"
pembangunan dan kekayaan alam tidak boleh dinikmati segelintir orang sebab hal tersebut
akan menimbulkan perasaan iri, kesenjangan, dan kemiskinan. Tugas penyelenggara negara
adalah mengusahakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
11
Sesuai dengan sila kelima tersebut maka keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan
bangsa ialah:
a. Keadilan distributif, yaitu hubungan yang adil antara negara dengan warganya. Dalam
arti, negara wajib memberi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, keadilan dalam
bentuk kesejahteraan, subsidi. bantuan, serta kesempatan hidup bersama berdasarkan
hak dan kewajiban.
b. Keadilan legal (bertaat), yaitu hubungan yang adil antara negara dengan warganya.
Dalam arti, warga negara wajib menaati peraturan perundangan yang berlaku.
c. Keadilan komutatif, yaitu hubungan yang adil dan sama antarwarganegara secara
timbal balik.
2. Fungsi dan Tujuan Hukum dalam Masyarakat ada empat fungsi hukum dalam
masyarakat, yaitu
a. Sebagai berikut. Sebagai Alat Pengatur Tertib Hubungan Masyarakat
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan. Hukum
menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum juga memberi
petunjuk apa yang harus diperbuat dan mana yang tidak boleh, sehingga segala
sesuatunya dapat berjalan tertib dan teratur. Kesemuanya itu dapat dimungkinkan
karena hukum mempunyai sifat mengatur tingkah laku manusia serta mempunyai
ciri memerintah dan melarang. Begitu pula hukum mempunyai sifat memaksa agar
hukum ditaati oleh anggota masyarakat.
b. Sebagai Sarana untuk Mewujudkan Keadilan Sosial
1) Hukum mempunyai ciri memerintah dan melarang.
2) Hukum mempunyai sifat memaksa.
3) Hukum mempunyai daya yang mengikat secara psikis dan fisik.
Karena hukum mempunyai sifat, ciri, dan daya mengikat tersebut, maka hukum
dapat memberi keadilan, yaitu menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar.
Hukum dapat menghukum siapa yang salah, hukum dapat memaksa agar peraturan
ditaati dan siapa yang melanggar diberi sanksi hukuman.
Contohnya, siapa yang berutang harus membayar adalah perwujudan dari keadilan.
12
c. Sebagai Penggerak Pembangunan
Daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk
menggerakkan pembangunan. Hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke
arah yang lebih maju dan lebih sejahtera.
d. Fungsi Kritis Hukum Dewasa ini, sering berkembang suatu pandangan bahwa hukum
mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan
pengawasan pada aparatur pengawasan (petugas) saja, tetapi aparatur penegak
hukum termasuk di dalamnya.
Hukum bertujuan menjamin kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus
bersendikan pada rasa keadilan di masyarakat. Dalam literatur ilmu hukum, dikenal ada
dua teori tentang tujuan hukum, yaitu teori etis dan utilities. Teori etis mendasarkan pada
etika, hukum bertujuan untuk semata-mata mencapai keadilan, memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya. Hukum tidak identik dengan keadilan. Peraturan hukum
tidaklah selalu untuk mewujudkan keadilan. Contohnya, peraturan berlalu lintas.
Mengendarai mobil di sebelah kiri tidak bisa dikatakan adil karena sesuai aturan.
Sedangkan berjalan di sebelah kanan dikatakan tidak adil karena bertentangan dengan
aturan. Jadi, teori ini tidak sepenuhnya benar.
Menurut teori utilities, hukum bertujuan untuk memberikan faedah bagi sebanyak-
banyaknya orang dalam masyarakat. Pada hakikatnya, tujuan hukum adalah memberikan
kebahagiaan atau kenikmatan besar bagi jumlah yang terbesar. Teori ini juga tidak selalu
benar.
Selanjutnya, muncul teori campuran. Menurut teori ini, tujuan pokok hukum adalah
ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban adalah syarat mutlak bagi masyarakat yang teratur.
Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang isi dan
ukurannya berbeda menurut masyarakat dan zamannya.
Agar tujuan kaidah hukum itu dapat terwujud dengan semestinya, atau sesuai dengan
harapan seluruh anggota masyarakat/negara maka harus ada kepatuhan kepada kaidah
hukum tersebut. Masyarakat perlu patuh dan menerima secara positif adanya kaidah
hukum. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan manusia tanpa adanya kaidah
hukum.
13
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H. dalam buku Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi
Kalangan Hukum menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab para anggota masyarakat
mematuhi hukum adalah:
Sikap positif terhadap hukum menunjukkan kesadaran hukum yang tinggi dari warga
negara. Kesadaran hukum merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang
apa itu hukum. Adanya kesadaran hukum menyebabkan orang bisa memisahkan antara
yang sesuai dengan hukum (perilaku benar) dengan yang tidak sesuai dengan hukum
(perilaku menyimpang). Orang yang tidak memiliki kesadaran hukum adalah orang yang
tidak mau atau tidak bisa membedakan antara yang benar secara hukum dan salah secara
hukum. Orang yang memiliki kesadaran hukum akan tergerak untuk berupaya agar
perilakunya sesuai dengan hukum dan mencegah perbuatan melanggar hukum.
14
2.3 Problematika Nilai, Moral dan Hukum dalam Mayarakat dan Negara
Moral adalah salah satu bagian dari nilai, yaitu nilai moral. Moral berkaitan dengan nilai
baik-buruk perbuatan manusia. Pada dasarnya, manusia yang bermoral tindakannya
senantiasa didasari oleh nilai-nilai moral. Manusia tersebut melakukan perbuatan atau
tindakan moral. Tindakan yang bermoral adalah tindakan manusia yang dilakukan secara
sadar, mau, dan tahu serta tindakan itu berkenaan dengan nilai-nilai moral. Tindakan
bermoral adalah tindakan yang menjunjung tinggi nilai pribadi manusia, barkat dan
martabat manusia.
Nilai moral diwujudkan dalam norma moral. Norma moral, norma kesusilaan, atau
disebut juga norma etik adalah peraturan/kaidah hidup yang bersumber dari hati nurani dan
merupakan perwujudan nilai-nilai moral yang mengikat manusia. Norma moral menjadi
acuan perilaku baik buruknya manusia. Perilaku yang baik adalah perilaku yang sesuai
dengan norma-norma moral. Sebaliknya, perilaku buruk adalah perilaku yang bertentangan
dengan norma-norma moral. Selain norma moral, ada pula hukum. Pada dasarnya hukum
adalah norma yang merupakan perwujudan dari nilai, termasuk nilai moral.
Terdapat perbedaan antara norma moral dengan norma hukum. Pertama, norma hukum
berdasarkan yuridis dan konsensus, sedangkan norma moral berdasarkan hukum alam.
Kedua, norma hukum bersifat heteronomi, yaitu datang dari luar diri; sedangkan moral
berasal dari dalam diri. Ketiga, dari sisi pelaksanaan, hukum dilaksanakan secara paksaan
dan lahiriah; sedangkan moral tidak dapat dipaksakan. Keempat, dari sanksinya, sanksi
hukum bersifat lahiriah; sedangkan moral bersifat batiniah. Kelima, dilihat dari tujuannya,
hukum mengatur tertib hidup masyarakat bernegara; sedangkan moral mengatur perilaku
manusia sebagai manusia. Keenam, hukum bergantung pada tempat dan waktu; sedangkan
moral secara relative tidak bergantung tempat dan waktu.
Antara hukum dan moral berkaitan. Hukum harus merupakan perwujudan dari moralitas
Hukum sebagai norma harus berdasarkan pada nilai moral. Apa artinya undang-undang
jika tidak disertai moralitas. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong dan hampa. Norma
moral adalah norma yang paling dasar. Norma moral menentukan bagaimana kita menilai
seseorang. Suatu hukum yang bertentangan dengan norma moral kehilangan kekuatannya,
demikian kata Thomas Aquinas.
15
Perilaku atau perbuatan manusia, baik secara pribadi maupun hidup bernegara terikat
pada norma moral dan norma hukum. Secara ideal. seharusnya manusia taat pada norma
moral dan norma hukum yang tumbuh dan tercipta dalam hidup sebagai upaya
mewujudkan kehidupan yang damai, tertib, aman, dan sejahter Namun, dalam kenyataan
terjadi pelanggaran, baik terhadap norma moral maupun norma hukum. Pelanggaran norma
moral merupakan suatu pelanggaran etik, sedangkan pelanggaran terhadap norma hukum
merupakan pelanggaran hukum.
1. Pelanggaran Etik
Kebutuhan akan norma etik oleh manusia diwujudkan dengan membuat serangkaian
norma etik untuk suatu kegiatan atau profesi. Rangkaian norma moral yang terhimpun ini
biasa disebut kode etik. Kode etik merupakan bentuk aturan (code) tertulis yang secara
sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada. Masyarakat profesi
secara berkelompok membentuk kode etik profesi. Contohnya, kode etik guru, kode etik
insinyur, kode etik wartawan, dan sebagainya.
Kode etik profesi berisi ketentuan-ketentuan normatif etik yang seharusnya dilakukan
oleh anggota profesi. Kode etik profesi diperlukan untuk menjaga martabat serta
kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk
penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian. Tanpa etika profesi, apa yang semula
dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi
sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikit pun tidak diwarnai dengan
nilai-nilai idealisme, dan ujungnya akan berakhir dengan tidak adanya lagi respek maupun
kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional tersebut.
Meskipun telah memiliki kode etik, masih terjadi seseorang melanggar kode etik
profesinya sendiri. Contohnya, seorang dokter melanggar kode etik dokter. Pelanggaran
kode etik tidak akan mendapat sanksi lahiriah atau yang bersifat memaksa. Pelanggaran
etik biasanya mendapat sanksi etik, seperti menyesal, rasa bersalah, dan malu. Bila seorang
profesi melanggar kode etik profesinya maka ia akan mendapat sanksi etik dari lembaga
profesi, seperti teguran, dicabut keanggotaannya, atau tidak diperbolehkan lagi menjalani
profesi tersebut.
16
2. Pelanggaran Hukum
Kesadaran hukum adalah kesadaran diri sendiri tanpa tekanan, paksaan atau perintah
dari luar untuk tunduk pada hukum yang berlaku. Dengan berjalannya kesadaran hukum di
masyarakat maka hukum tidak perlu menjatuhkan sanksi. Sanksi hanya dijatuhkan pada
warga yang benar benar terbukti melanggar hukum. Hukum berisi perintah dan larangan.
Hukum memberitahukan kepada kita mana perbuatan yang bertentangan dengan hukum
yang bila dilakukan akan mendapat ancaman berupa sanksi hukum. Terhadap perbuatan
yang bertentangan dengan hukum tentu saja dianggap melanggar hukum sehingga
mendapat ancaman hukuman.
Problema hukum yang berlaku dewasa ini adalah masih rendahnya kesadaran hukum
masyarakat. Akibatnya, banyak terjadi pelanggaran hukum. Bahkan, pada hal-hal kecil
yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Pelanggaran hukum dalam arti sempit berarti
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara, karena hukum oleh negara
dimuatkan dalam peraturan perundangan. Kasus tidak membawa SIM berarti melanggar
peraturan, yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas.
Pelanggaran hukum berbeda dengan pelanggaran etik. Sanksi atas pelanggaran hukum
adalah sanksi pidana dari negara yang bersifat lahiriah dan memaksa. Masyarakat secara
resmi (negara) berhak memberi sanksi bagi warga negara yang melanggar hukum. Negara
tidak berwenang menjatuhi hukuman pada pelaku pelanggaran etik, kecuali pelanggaran
itu sudah merupakan pelanggaran hukum. Problema hukum yang lain adalah hukum dapat
digunakan sebagai lat kekuasaan. Dalam negara, sesungguhnya hukumlah yang menjadi
panglima. Semua institusi dan lembaga negara tunduk pada hukum yang berlaku. Namun,
dapat terjadi hukum dibuat justru untuk melayani kekuasaan dalam negara. Dengan alih-
alih telah berdasarkan hukum, tetapi peraturan yang dibuat justru menyengsarakan rakyat,
menciptakan ketidakadilan dan menumbuhsuburkan KKN. Contohnya, Keppres Keppres
yang dibuat pada masa lalu. Oleh karena itu, dalam membuat hukum harus memenuhi
kaidah hukum. Gustav Radbruch (ahli filsafat Jerman) menyampaikan adanya tiga kaidah
(ide dasar) hukum yang harus dipenuhi dalam membuat norma hukum. Ketiga kaidah itu
adalah gerechtigheit (unsur keadilan), zeckmaessigkeit (unsur kemanfaatan), dan sicherheit
(unsur kepastian). Hukum yang berlaku di suatu negara haruslah mampu memenuhi tiga
kriteria itu.
17
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Manusia, nilai, moral, dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling
menunjang. Sebagai warga Negara kita perlu mempelajari, menghayati, dan melaksanakan
dengan ikhlas mengenai nilai, moral, dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni
kehidupan. Manusia adalah individu yang terdiri dari jasad dan ruh serta makhluk yang
paling sempurna, paling tinggi derajatnya dan menjadi khalifah di permukaan bumi. Nilai
adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicit-citakan, dan dianggap penting oleh
seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu,
menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu
berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.
B. Saran
Penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antarakeadilan dan kepastian
hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan
(justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan hukum(equality before
the law).Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yangbaik dengan
penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, janganlagi ada penegakan hukum yang bersifat
diskriminatif,menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender. Penegakanhukum
18
Daftar Pustaka
19