Anda di halaman 1dari 12

Makalah Kelompok 7

SYARAT-SYARAT RAWI DAN PROSES TRANSFORMASI HADIS


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadis
Dosen : Munib, M.Ag.

Disusun oleh

DEBAGUS
NIM. 21121410195
MUHAMMAD ARIEF TAOPAN
NIM. 2112140194
TRI YANI OKTAVIA
NIM. 2112140537

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
TAHUN 2021 M / 1442
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, kepada-Nya kita memuji dan
bersyukur, memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya pula kita memohon
perlindungan dari keburukan diri dan syaiton yang selalu menghembuskan
kebatilan. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT, maka tak seorang
pun dapat menyesatkannya dan barangsiapa disesatkan oleh-Nya maka tak
seorang pun dapat memberi petunjuk kepadanya. Shalawat serta salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, juga pada orang-
orang yang senantiasa mengikuti sunnah-sunnahnya.
Dengan rahmat dan pertolongan-Nya Alhamdulillah makalah yang
berjudul “Syarat-syarat Rawi Dan Proses Transformasi Hadis” ini dapat
diselesaikan dengan baik. Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Ulumul
Hadis. Banyak sekali kekurangan penulis sebagai penyusun makalah ini, baik
menyangkut isi atau yang lainnya. Semoga semua itu dapat menjadikan cambuk
bagi penulis agar lebih meningkatkan kualitas makalah ini di masa yang akan
datang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat, menambah wawasan bagi pembaca, serta dapat dijadikan referensi
khususnya bagi yang sedang mempelajari perihal seberapa pentingnya pengaruh
teknologi terhadap pemasaran.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Palangka Raya, September 2021

Tim penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
A. Syarat-syarat Seorang Perawi...................................................................2
B. Tahammul Wal – Ad dan Shighat – Shigatnya.........................................4
BAB III....................................................................................................................7
PENUTUP................................................................................................................7
A. KESIMPULAN.........................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik
itu perkataan, ataupun pengakuan beliau.Hadis merupakan sumber hukum Islam
yang kedua setelah Al-Qur’an[ ]. Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab
hadis, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-
hadis atau ar-riwayah,sedangkan yang meriwayatkan di namakan Rowi.
Rawi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits
(berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi
Muhammad saw. Yang mana seorang rawi itu mempunyai tanggung jawab yang
sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rawi itu
tidak memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama’ hadits, maka
hadits yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak.
At tahammul wal al adaa merupakan dua istilah yang tidak asing lagi
dalam ilmu hadits karena keduanya merupakan hal yang sangat penting dalam
perkembangan hadits, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis memilih judul
yang berkaitan dengan at tahammul wal al adaa supaya penulis bisa lebih
mengetahui mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui
atau l ebih akrab lagi dengan istilah-istilah dalam ilmu hadits yang belum kita
ketahui, dengan memahami istilah-istilah dalam periwayatan hadits maka kita
akan lebih mudah dalam memahami ulumul hadits.
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yakni sebagai berikut:

1. Apakah Syarat-syarat Seorang Perawi?


2. Apakah yang dimaksud dengan Tahammul wal adha dan Sigot-sighatnya?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yakni sebagai berikut:

1. Untuk memahami tentang rawi


2. Untuk mengetahui syarat-syarat rawi
3. Untuk mengetahui Tahammul wal adha dan sighot-sighotnya

1
2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syarat-syarat Seorang Perawi


Rawi menurut bahasa berasal dari kata riwaayah yang merupakan
bentuk masdar dari kata kerja raawa yarwii, yang berarti memindahkan
atau meriwayatkan.Rawii adalah orang yang meriwayatkan atau
menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan
diterimanya dari seseorang.Seorang perawi mempunyai peran yang sangat
penting dan sudah barang tentu menurut pertanggung jawaban yang cukup
berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga tergantung
padanya.Mengenai hal-hal yang seperti itu, jumhur ahli hadits, ahli ushul
dan ahli fiqh.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak
diterimanya suatu hadits ialah kualitas rawi.Tinggi rendahnya sifat adil
dan dhabit para perawi mwnyebabkan kuat lemahnya martabat suatu
hadits. Perbedaan cara para perawi menerima hadits dari guru mereka
masing-masing mengakibatkan munculnya peerbedaan lafadz-lafadz yang
dipakai dalam periwayatan hadits. Karena perbedaan lafadz yang di pakai
dalam penyampaian hadits menyebabkan perbedaan nilai dari suatu hadits.
Sehubungan dengan itu, penelitian di bidan rawi sangat penting dalam
upaya menentukan kualitas suatu hadits.Suatu berita di anggap kuat
keasliannya kalau pembawa berita memiliki persyaratan kejujuran dan
kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Karena perawi harus
dapat sorotan tajam sehingga lahirlah sebuah cabang ilmu hadits yang
terkenal, yaitu ilmu jarh wa al ta’dil. Untuk melihat sejauh mana kualitas
rawi. Adapun beberapa persyaratan tertentu bagi seorang perawi dalam
upaya meriwayatkan hadits menurut jumhur ahli hadits, ahli ushul dan fiqh
menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, yaitu sebagai
berikut:
1. Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus
muslim, dan menurut ijma’, periwayatan kafir tidak sah. Seandainnya
perawinya seorang fasik saja kita disuruh ber tawaqquf, maka lebih-lebih
perawi kafir. Seorang rawi haruslah meyakini dan mengerti agama Islam,
karena dia meriwayatkan hadits atau khabar yang berkaitan dengan
hokum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban
tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya

12
kepada manusia. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan
dengan firman Allah sebagai berikut:1

‫ياايها الذين امنوا ان جاءكم فاسق بنباء فتبينوا ان تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا عال ما فعلتم نادمين‬

“hai orang-orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang=orang fasik


membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan
sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat (49): 6)
2. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadits, walau menerimanya sebelum baligh. Hal ini di
dasarkanpada hadits Rasul:
‫رفع القلم عن ثالثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه‬
)‫ابو داود‬

“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari t iga golongan, yaitu orang
gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai
ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
3. ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada
jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut,
tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa-dosa besar dan sebagian dosa
kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong
kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
4. Dhabit
Dhabit ialah:
‫تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت التحمل الى وقت الال داء‬

Teringat kembali perawi saat penerimaan atau pemahaman suatu hadits yang ia
dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahui ke-dhabitan seorang rawi dengan jalan i’tibar
terhadap berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada yang

1
Alindah,/Tahammul wal adha dan Sigot-sighatnya/,
https://alindah41.wordpress.com/2016/09/14/67/. Diakses Pada 29 september 2021
Lailatul qomariah,/Ulumul Hadits_Persyaratan Perawi dan Proses Transformasi/,
http://ilalailaqiqim.blogspot.com/2016/03/makalah-ulumul-haditspersyaratan-perawi.html
Diakses pada 29 september 2021

4
mengatakan, bahwa di samping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas,
antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang di
sampaikan itu tidak syad, tidak ganjil, dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits
yang lebih kuat ayat –ayat Al-Quran.

B. Tahammul Wal – Ad dan Shighat – Shigatnya


Tahammul (‫ )تَ َح ُّمل‬dalam bahasa artinya “menerima” dan ada’ ( ‫)اَد َْأ‬
artinya “menyampaikan”[ ]. Jika digabungkan dengan kata al-hadits, maka
tahammul hadits (‫ث‬ ِ ‫ ِد ْي‬ŠŠ‫“ )ت ََح ُّم ُل ْال َح‬merupakan kegiatan menerima riwayat
hadits”, sedangkan ada’ul hadits (‫ث‬ ِ ‫ ِد ْي‬ŠŠŠŠŠ‫“)أَ َد ُء ْال َح‬merupakan kegiatan
menyampaikan riwayat hadits”.
Dengan demikian, tahammul wa Ada’ al-hadits adalah suatu kegiatan
menerima dan menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baik
berkenaan dengan matarantai sanad maupun matan, sebab matarantai
sanad selain memuat nama-nama para perawi, memuat lafal-lafal yang
memberikan petunjuk tentang metode periwayatan hadits yang digunakan
oleh masing-masing perawi yang bersangkutan, sehingga dari lafal-lafal
tersebut dapat diteliti sejauh mana tingkat akurasi metode periwayatan
hadits yang digunakan oleh para perawi yang nama-namanya termuat di
dalam matarantai sanad[ ].
Tahammul wal – ad adalah “mengambil atau menerima “hadits dari
salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses
mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada
muridnya. Cara menerima hadits ada delapan cara:
1. Mendengar (Al Sama’)
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’ mencakup imlak (pendekatan) dan
tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits[ ]. Simak merupakan
shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Sorang rawi di perbolehkan
untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru meriwayatkan hadits ini
kepada kami).
2. Membaca (Al Qira’ah)
Yaitu sipembaca menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya dalam
periwayatannya, bisa kita sendiri yang membacakan haditsnya pada seorang guru
atau orang lain membacakan dan kita mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di
2
perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya. (aku bacakan hadits ini
kepada fulan)[ ].
2
Alindah,/Tahammul wal adha dan Sigot-sighatnya/,
https://alindah41.wordpress.com/2016/09/14/67/. Diakses Pada 29 september 2021

5
3. Ijazah (Al Ijazah)
Yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang lain. Pemberian izin oleh
seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca
hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga
dengan cara tertulis “aku berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan
seluruh hadits yang terdapat dalam kitab shahih Al Bukhari”[ ].

4. Memberi (Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah terbagi dua :
“pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak
disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”.

5. Menulis (Al Kitabah)


Yaitu guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits
kepada orang di tempat lain. Kata – kata yang di pakai “seseorang telah bercerita
kepadaku dengan surat menyurat”.

6. Pemberitahuan (I’lam)
Yaitu seorang guru hadits menerima hadits tersebut dari guru hadits sebelum
tanpa ada perkataan atau suruhan untuk meriwayatkan, kemudian ini ia sampaikan
kepada muridnya. “seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya telah
berkata kepadaku”[ ].

7. Wasiat (Al Wasiyah)


Yaitu periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkan kepada orang
lain[ ]. Waktu berlakunya di tentukan oleh orang yang memberi wasiat. Demikian
pula dengan bimbingan dan kewenangannya. “seseorang telah berwasiat kepadaku
dengan sebuah kitab yang berkata dalam kitab itu “telah bercerita kepadamu
sifulan”.

Lailatul qomariah,/Ulumul Hadits_Persyaratan Perawi dan Proses Transformasi/,


http://ilalailaqiqim.blogspot.com/2016/03/makalah-ulumul-haditspersyaratan-perawi.html
Diakses pada 29 september 2021

6
8. Penentuan (Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan . Cara ini
biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid menemukan buku hadits
orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan
dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab seseorang”.
Dari delapan model dan cara transmisi hadits yang telah dijelaskan
di atas, yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat
adalah: Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap
efektif dan valid. Selebihnya di persilahkan perbedaan dalam menanggapi
model periwayatan ini terjadi lebih disebabkan karena mereka sangat
berhati – hati dalam meriwayatkan hadits.
Periwayatan hadits dengan makna dapat ditujukan sebagai
penyampaian hadits dengan menggunakan rumusan kalimat sendiri yang
dapat memelihara substansi pesan dan tujuan semula. Dapat pula
dirumuskan sebagai periwayatan hadits yang menggunakan lapadz –
lapadz yang berbeda dengan teks asli tetapi kandungan isinya tetap
terjamin sesuai dengan maksud awal hadits.3

3
Alindah,/Tahammul wal adha dan Sigot-sighatnya/,
https://alindah41.wordpress.com/2016/09/14/67/. Diakses Pada 29 september 2021
Lailatul qomariah,/Ulumul Hadits_Persyaratan Perawi dan Proses Transformasi/,
http://ilalailaqiqim.blogspot.com/2016/03/makalah-ulumul-haditspersyaratan-perawi.html
Diakses pada 29 september 2021

7
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Seorang perawi benar – benar mengetahui / memiliki pengetahuan bahasa arab
yang mendalam dan mengerti lapadz dan maksudnya dan mampu menyampaikan
hadits dengan tepat. Perawi harus menyertakan kalimat yang menunjukan bahwa
hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan sehingga terpelihara kesalahan
dari periwayatnya.
2. Para perawi dalam kondisi lupa susunan harpiahnya, sedangkan kandungan
hadits tersebut sangat di perlukan hal ini dianggap baik dari pada tidak
meriwayatkan suatu hadits dengan alasan lupa susunan harpiah dan lapadznya.
Sementara nilai pokok (hukum) yang terkandung dalam hadits tersebut sangat
diperlukan umat islam.
3. Kebolehan periwayatan hadits dengan makna terbatas pada masa di bukukan
hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits, harus dengan
lapadz periwayatan hadits dengan makna terbatas. Oleh karenanya, boleh tidaknya
meriwayatkan hadits dengan makna, sejak jaman nabi pun sudah controversial.
Namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum al-Hadist.

Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa


Cendekia.

Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah.

Anwar Bc, Moh. 1981. Ilmu Mustalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.

Ismail, M. Syuhudi.1991. Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.

Mahmud Thahhan. 2007. Intisari Ilmu Hadits.Malang:UIN-Malang Press.

Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121.

Rahman, Fathur.1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT. Al-Ma’arif.

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor :Ghalia Indonesia.

Salah Muhammad Muhammad Uwayd. 1989. TaqribAl-tadrib.Beirut: Dar al-


Kutub al-Imliyyah.

Sholeh Al-Utsaimi, Muhammad. 2002. Ilmu Musthalah Hadits. Mesir: Dar Al-
Atsar.

Sulaiman, M. Noor. 2009.Antologi Ilmu Hadits.Jakarta: GP Press.

Sumarna, Cecep. 2004. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Suparta, Munzeir. 2001. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Zainimal.2005. Ulumul Hadis.Padang: The Minangkabau Foundation.

Zein, Muhamad, Ma’shum. 2008. Mustholah Hadits. Jawa Timur: Darul Hikmah.

Anda mungkin juga menyukai