Makalah Ulumul Hadis Kel 7
Makalah Ulumul Hadis Kel 7
Disusun oleh
DEBAGUS
NIM. 21121410195
MUHAMMAD ARIEF TAOPAN
NIM. 2112140194
TRI YANI OKTAVIA
NIM. 2112140537
Tim penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik
itu perkataan, ataupun pengakuan beliau.Hadis merupakan sumber hukum Islam
yang kedua setelah Al-Qur’an[ ]. Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab
hadis, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-
hadis atau ar-riwayah,sedangkan yang meriwayatkan di namakan Rowi.
Rawi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits
(berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi
Muhammad saw. Yang mana seorang rawi itu mempunyai tanggung jawab yang
sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rawi itu
tidak memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama’ hadits, maka
hadits yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak.
At tahammul wal al adaa merupakan dua istilah yang tidak asing lagi dalam
ilmu hadits karena keduanya merupakan hal yang sangat penting dalam
perkembangan hadits, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis memilih judul
yang berkaitan dengan at tahammul wal al adaa supaya penulis bisa lebih
mengetahui mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui
atau l ebih akrab lagi dengan istilah-istilah dalam ilmu hadits yang belum kita
ketahui, dengan memahami istilah-istilah dalam periwayatan hadits maka kita akan
lebih mudah dalam memahami ulumul hadits.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yakni sebagai berikut:
1. Apakah Syarat-syarat Seorang Perawi?
2. Apakah yang dimaksud dengan Tahammul wal adha dan Sigot-sighatnya?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yakni sebagai berikut:
1. Untuk memahami tentang rawi
2. Untuk mengetahui syarat-syarat rawi
3. Untuk mengetahui Tahammul wal adha dan sighot-sighotnya
1
BAB II
PEMBAHASAN
12
semuanya kepada manusia. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan
dengan firman Allah sebagai berikut:1
نادمين فعلتم ما عال فتصبحوا بجهالة قوما تصيبوا ان فتبينوا بنباء فاسق جاءكم ان امنوا الذين ياايها
“hai orang-orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang=orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu
akan menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat (49): 6)
2. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadits, walau menerimanya sebelum baligh. Hal ini di dasarkanpada
hadits Rasul:
حتى الصبي وعن يستيقظ حتى النائم وعن يفيق حتى عقله على المغلوب المجنون عن ثالثة عن القلم رفع
)داود ابو رواه( يحتلم
“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari t iga golongan, yaitu orang gila,
sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia
mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
3. ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa,
menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya,
menjauhkan diri dari dosa-dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri
dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga
kepribadian.
4. Dhabit
Dhabit ialah:
داء الال وقت الى التحمل وقت من لذالك وحفظه سمعه لما وفهمه تحمله حين الراوي تيقظ
Teringat kembali perawi saat penerimaan atau pemahaman suatu hadits yang ia
dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
1
Alindah,/Tahammul wal adha dan Sigot-sighatnya/,
https://alindah41.wordpress.com/2016/09/14/67/. Diakses Pada 29 september 2021
Lailatul qomariah,/Ulumul Hadits_Persyaratan Perawi dan Proses Transformasi/,
http://ilalailaqiqim.blogspot.com/2016/03/makalah-ulumul-haditspersyaratan-perawi.html
Diakses pada 29 september 2021
3
Jalannya mengetahui ke-dhabitan seorang rawi dengan jalan i’tibar terhadap
berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa
di samping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara satu perawi dengan
perawi lain harus bersambung, hadits yang di sampaikan itu tidak syad, tidak ganjil,
dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat ayat –ayat Al-Quran.
2
Alindah,/Tahammul wal adha dan Sigot-sighatnya/,
https://alindah41.wordpress.com/2016/09/14/67/. Diakses Pada 29 september 2021
4
3. Ijazah (Al Ijazah)
Yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang lain. Pemberian izin oleh
seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca
hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga
dengan cara tertulis “aku berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan
seluruh hadits yang terdapat dalam kitab shahih Al Bukhari”[ ].
4. Memberi (Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah terbagi dua :
“pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak
disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”.
6. Pemberitahuan (I’lam)
Yaitu seorang guru hadits menerima hadits tersebut dari guru hadits sebelum tanpa
ada perkataan atau suruhan untuk meriwayatkan, kemudian ini ia sampaikan kepada
muridnya. “seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya telah berkata
kepadaku”[ ].
5
8. Penentuan (Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan . Cara ini
biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid menemukan buku hadits
orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan
dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab seseorang”.
Dari delapan model dan cara transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas,
yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah: Al-Sama,
Al-Qira’ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif dan valid.
Selebihnya di persilahkan perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini
terjadi lebih disebabkan karena mereka sangat berhati – hati dalam meriwayatkan
hadits.
Periwayatan hadits dengan makna dapat ditujukan sebagai penyampaian
hadits dengan menggunakan rumusan kalimat sendiri yang dapat memelihara
substansi pesan dan tujuan semula. Dapat pula dirumuskan sebagai periwayatan
hadits yang menggunakan lapadz – lapadz yang berbeda dengan teks asli tetapi
kandungan isinya tetap terjamin sesuai dengan maksud awal hadits. 3
3
Alindah,/Tahammul wal adha dan Sigot-sighatnya/,
https://alindah41.wordpress.com/2016/09/14/67/. Diakses Pada 29 september 2021
Lailatul qomariah,/Ulumul Hadits_Persyaratan Perawi dan Proses Transformasi/,
http://ilalailaqiqim.blogspot.com/2016/03/makalah-ulumul-haditspersyaratan-perawi.html
Diakses pada 29 september 2021
6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Seorang perawi benar – benar mengetahui / memiliki pengetahuan bahasa arab
yang mendalam dan mengerti lapadz dan maksudnya dan mampu menyampaikan
hadits dengan tepat. Perawi harus menyertakan kalimat yang menunjukan bahwa
hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan sehingga terpelihara kesalahan
dari periwayatnya.
2. Para perawi dalam kondisi lupa susunan harpiahnya, sedangkan kandungan
hadits tersebut sangat di perlukan hal ini dianggap baik dari pada tidak
meriwayatkan suatu hadits dengan alasan lupa susunan harpiah dan lapadznya.
Sementara nilai pokok (hukum) yang terkandung dalam hadits tersebut sangat
diperlukan umat islam.
3. Kebolehan periwayatan hadits dengan makna terbatas pada masa di bukukan
hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits, harus dengan
lapadz periwayatan hadits dengan makna terbatas. Oleh karenanya, boleh tidaknya
meriwayatkan hadits dengan makna, sejak jaman nabi pun sudah controversial.
Namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya.
7
DAFTAR PUSTAKA
Sholeh Al-Utsaimi, Muhammad. 2002. Ilmu Musthalah Hadits. Mesir: Dar Al-
Atsar.
Sumarna, Cecep. 2004. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Zein, Muhamad, Ma’shum. 2008. Mustholah Hadits. Jawa Timur: Darul Hikmah.