Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSATAKA

2.1. Tanah

2.1.1. Definisi Tanah

Tanah didefinisikan sebagai agregat yang tidak tersementasi dari mineral-mineral

padat dan bahan organik yang telah melapuk (yang berpatikel padat) disertai

dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-

partikel padat tersebut. Tanah digunakan sebagai material konstruksi diberbagai

proyek teknik sipil, dan mendukung sebagai struktur pondasi. Rekayasa tanah

merupakan aplikasi dari prinsip mekanika tanah untuk melakukan permasalahan

yang ada (Das 2008).

Menurut Verhoef (1994), tanah adalah kumpulan dari bagian-bagian padat yang

tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya mungkin material organik)

dan rongga-rongga diantara bagian-bagian tersebut berisi udara dan air.

Tanah didefinisikan oleh Craig (1987) sebagai akumulasi mineral yang tidak

mempunyai atau lemah ikatan antara partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan

dari batuan.

Tanah terjadi sebagai produk pecahan dari batuann yang mengalami pelapukan

mekanis atau kimiawi. Pelapukan mekanis terjadi apabila batuan berubah menjadi

fragmen yang lebih kecil tanpa terjadinya suatu perubahan kimiawi dengan faktor-

faktor yang memepengaruhi, yaitu pengaruh iklim, eksfoliasi, erosi oleh angin dan

hujan, abrasi, serta kegiatan organik. Sedankan pelapukan kimiawi meliputi

perubahan mineral batuan menjadi senyawa mineral yang baru dengan proses yang

terjadi antara lain seperti oksidasi, larutan (solution), pelarut (leaching).

6
2.1.2. Klasifikasi Tanah

Klasifikasi tanah adalah suatu sisten pengaturan beberapa jenis tanah yang

berbeda-beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok dan

subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klarifikasi ini menjelaskan

secara singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi namun tidak ada

yang benar memberikan penjelasan mengenai kemungkinan pemakainya (Das,

2008).

Sistem klasifikasi tanah dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang

karakteristik dan sifat-sifat fisik tanah serta mengelompokkannya sesuai dengan

perilaku umum dari tanah tersebut. Tanah-tanah yang dikelompokkan dalam

urutan berdasarkan suatu kondisi fiik tertentu. Tujuan klarifkasi tanah adalah

untuk menentukan kesesuaian terhadap pemakaian tertentu, serta untuk

mengkonfirmasi tentang keadaan tanah dari suatu daerah kepada daerah lainnya

dalam bentuk berupa data dasar. Klasifikasi tanah juga berguna untuk studi yang

lebih terperinci mengenai keadaan tanah tersebut serta kebutuhan untuk

menentukan sifat teknis tanah seperti karakteristik pemadatan, kekuatan tanah,

berat isi, dan sebagainya (Bowles, 1991)

Menurut Verhoef (1994), tanah dapat dibagi dalam tiga kelompok

1. Tanah berbutir kasar (pasir, kerikil)

2. Tanah berbutir halus (lanau, lempung)

3. Tanah campuran

Perbedaan antara pasir/kerikil dan lanau/lempung dapar diketahui dari sifat-sifat

material tersebut. Lanau/lempung seringkali terbukti kohesif (saling mengikat)

sedangkan material yang berbutir (psir, kerikil) adalah tidak kohesif (tidak saling

7
mengikat). Struktur dari tanah yang tidak berkohesi ditentukan oleh cara

penumpukan butir (kerangka butiran). Struktur dari tanah yang berkohesi

ditentukan oleh konfigurasi bagian-bagian kecil dan ikatan diantara bagian-bagian

kecil Tanah dapat diklasifikasikan secara umum sebagai tanah tidak kohesif dan

tanah kohesif, atau tanah berbutir kasar dan berbutir halus (Bowles, 1991).

2.1.3. Jenis Tanah

Tanah berupa material yang terdiri atas agregat (butiran) dan mineral-mineral yang

padat yang tidak terikat secara kimia satu sama lain dari bahan-bahan organik yang

telah melapuk yang disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang

kosong diantara partikel-partikel padat tersebut. Butiran-butiran mineral yang

membentuk bagian padat dari tanah merupakan hasil pelapukan dari batuan.

Ukuran setiap butiran padat tersebut sangat bervariasi dan sifat-sifat tanah banyak

tergantung dari faktor-faktor ukuran, bentuk, komposisi kimia dari butiran.

Umumnya partikel tanah sangat beragam dengan variasi yang cukup besar. Tanah

umumnya disebut sebagai :

a. Kerikil (gravel), yaitu kepingin-kepingin batuan yang kadang juga partikel

mineral quartz dan felsdpar, jenis tanah ini memiliki ukuran butir >2.00 mm;

b. Pasir (sand), yaitu sebagian besar mineral quartz dan feldspar, jenis tanah ini

memiliki ukuran butir 2.00 – 0.06 mm;

c. Lanau (silt), yaitu sebagian besar fraksi mikroskopis (yang berukuran sangat

kecil) dari tanah yang terdiri dari butiran-butiran quartz yang sangat halus dan

dari pecahan-pecahan mika, jenis tanah ini memiliki ukuran butir 0.06 – 0.002

mm;

8
d. Lempung (clay), yaitu sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis

(berukuran sangat kecil) dan sub-mikroskopis (tak dapat dilihat, hanya dengan

mikroskop). Berukuran lebih kecil dari 0,002 mm (2 micron). (Santosa, 2012)

Tanah dapat mempunyai sifat-sifat yang berbeda pada jarak yang berbeda.

Setiap tanah memiliki parameter tanah yang berbeda yang dapat ditentukan

menggunakan uji laboratorium, uji lapangan, maupun berdasarkan korelasi

parametrik tanah. Tabel-tabel berikut menunjukkan korelasi parametrik tanah

berdasarkan jenis tanah.

Tabel 2.1 Nilai Tipikal Berat Jenis Tanah

X
Soil Type 𝛄sat (kN/m3) 𝛄d (kN/m3)
Gravel 20–22 15–17
Sand 18–20 13–16
Silt 18–20 14–18
Clay 16–22 14–21
Sumber :

Tabel 2.2 Deskripsi Butiran Tanah Berdasarkan Relative Densisty & Porosity

X
Dr (%) Porosity, n (%) Description
0–20 100–80 Very loose
20–40 80–60 Loose
40–70 60–30 Medium dense or firm
70–85 30–15 Dense
85–100 <15 Very dense

Sumber : Budhu, 2010

9
Tabel 2.4 Konduktivitas Hidraulik untuk Jenis Tanah Umum

Soil type kz (cm/s) Description Drainage


Very
Clean gravel (GW, GP) >1.0 High
Good
Clean sands, clean sand and
1.0 to 10-3 Medium Good
gravel mixtures (SW, SP)
Fine sands, silts, mixtures
comprising sands, silts, and 10-3 to 10-5 Low Poor
clays (SM-SC)
Weathered and fissured clays
10-5 to 10-7 Very Low Poor
Silt, silty clay (MH, ML)
Practically
Homogeneous clays (CL, CH) <10-7 Very Poor
impervious

Sumber : Budhu, 2010

Tabel 2.5 Tipikal Nilai dari Poisson’s Ratio

Soil Type Description v'


Soft 0.35 - 0.40
Clay Medium 0.30 - 0.35
Stiff 0.20 - 0.30
Loose 0.15 - 0.25
Sand Medium 0.25 - 0.30
Dense 0.25 - 0.35
Sumber : Budhu, 2010

Tabel 2.6 Tipikal Nilai dari E dan G

Soil Type Description E* (Mpa) G* (Mpa)


Soft 1-15 0.15-5
Clay
Medium 15-30 5-15

10
Stiff 30-100 15-40
Loose 10-20 5-10
Sand Medium 20-40 10-15
Dense 40-80 15-35
Sumber : Budhu, 2010

2.2. Mekanisme Keruntuhan Timbunan

Mekanisme keruntuhan timbunan di atas tanah lunak dengan berbagai jenis perlakuan

terhadap tanah dasar ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Apabila tanah dasar tidak

diberikan perkuatan, maka keruntuhan yang terjadi adalah keruntuhan dalam dengan

bidang keruntuhan memotong timbunan dan melewati tanah dasar, seperti ditunjukkan

dalam (Gambar 2.1(a)). Penggunaan perkuatan geotextile dapat meningkatkan angka

keamanan stabilitas timbunan dibandingkan tanah dasar tanpa perkuatan karena kuat

tarik geotextile tersebut dapat memberi tahanan momen tambahan pada bidang

keruntuhannya (Gambar 2.1(b)). Perkuatan dengan pile dapat meningkatkan stabilitas

timbunan lebih tinggi dibandingkan penggunaan geotextile. Penambahan pile dengan

geotekstile dapat menambah daya dukung tanah dasar karena pile mentransfer beban

timbunan ke lapisan tanah yang lebih dalam (Gambar 2.1(c)).

(c) Pola Keruntuhan timbunan tanpa perkuatan (b) Pola Keruntuhan timbunan dengan
tanah dasar perkuatan geotextile

(a) Pola Keruntuhan timbunan dengan sistem


perkuatan tanah dasar menggunakan pile

11
Gambar 2.1 Pola keruntuhan timbunan dengan berbagai jenis perlakuan

terhadap tanah dasar

2.3. Piled Embankment

Piled embankment merupakan gabungan dari beberapa tiang yang digunakan untuk

menahan timbunan dan beban diatasnya. Pada umumnya penggunaan piled embankment

ini menggunakan pelat beton sebagai pile cap tiang kelompok. Namun penggunaan pelat

beton dapat digantikan dengan menggunakan geosintetik.

2.3.1. Geogrid Sebagai Perkuatan

Geogrid termasuk dalam salah satu jenis geosintetik. Istilah geosintetik sendiri

sebenarnya meliputi geotextile (filter fabrics), geomembrane, geowebs (confinement

& strength), geogrid (reinforcement), geonet (drainage) dan geocomposite (Koerner,

1990). Geosintetik merupakan bahan tiruan (sintetis) yang berasal dari polimerisasi

hasil – hasil industri kimia (minyak bumi) atau dari bahan baja, semen, serat – serat

sintetis, kain dan lain – lain. Bahan ini memiliki polimer utama penyusun bahan

berupa polyester (PS), polyamide (PM), polypropylene (PP) dan polyethylene (PE)

(Suryolelono, 2000).

Geosintetik tipe grid (geogrid) yang memiliki bentuk menyerupai ribs (tulang – tulang

iga) sering digunakan sebagai perkuatan misalnya sebagai perkuatan dinding penahan

tanah, perkuatan lapis perkerasan, perkuatan timbunan atau sebagai perkuatan tanah

akibat bencana tanah longsor (Permathene, 2002). Geogrid memiliki kuat tarik yang

tinggi dan terbuat dari lembaran polimer yang dilubangi dengan pola yang sama

12
kemudian ditegangkan pada arah tertentu. Karakteristik dan penggunaan geogrid

sangat ditentukan dari tipenya (Permathene, 2002)

2.3.2. Floating Piles

Floating piles termasuk jenis fondasi tiang. Pemilihan fondasi tiang sebagai fondasi

pendukung beban didasarkan pada beberapa pertimbangan terhadap kemampuan

fondasi tiang tersebut, beberapa di antaranya adalah (Hardiyatmo, 2001):

1. Sebagai penahan gaya horisontal dan gaya yang arahnya miring,

2. Sebagai penerus beban ke tanah yang relatif lunak sampai kedalaman tertentu,

sehingga fondasi bangunan mampu memberikan dukungan yang cukup untuk

mendukung beban tersebut oleh gesekan dinding tiang dengan tanah di sekitarnya,

3. Sebagai penerus beban bangunan yang terletak di atas air atau tanah lunak, ke tanah

pendukung yang kuat.

Berdasarkan material pembentuknya, fondasi tiang dapat dikelompokan dalam empat

tipe sebagai berikut (Das, 1990) ini.

1. Tiang baja (steel piles),

2. Tiang kayu (wooden / timber piles),

3. Tiang beton (concrete piles),

4. Tiang komposit (composite piles)

Floating piles merupakan jenis fondasi tiang yang dipancang secara keseluruhan di

dalam tanah lempung lunak, sehingga sebagian besar beban ditahan oleh tahanan gesek

13
dinding tiang. Fondasi ini umumnya dipancang secara berkelompok ke dalam tanah

lunak dan kapasitasnya dipengaruhi oleh salah satu factor (Hardiyatmo, 2001) dari :

1. Jumlah kapasitas tiang tunggal dalam kelompok tiang, bila jarak tiang lebar,

2. Tahanan gesek tiang yang dikembangkan oleh gesekan antara bagian luar

kelompok tiang dengan tanah di sekelilingnya, jika jarak tiang terlalu dekat

Menurut De Mello (1960) (dalam Poulos dan Davis, 1980) pemancangan tiang ke

dalam tanah lempung memberikan akibat antara lain terjadi :

1. Perubahan pada sruktur tanah (remolding) di sekeliling tiang,

2. Perubahan kondisi tegangan (stress state) di dalam tanah di sekeliling tiang,

3. Disipasi dari tekanan air pori berlebih (excess pore water pressure) pada tanah di

sekeliling tiang,

4. Fenomena jangka panjang yang merupakan kembalinya kekuatan tanah (strength

regain).

2.3.3. Embankment dengan Perkuatan Geogrid dan Floating Piles

Menurut Rankilor (1992) konsep dasar dalam memberi perkuatan sebuah embankment

adalah mencegah terjadinya bidang gelincir potensial (potential slip circles) yang

terjadi dan menyediakan tahanan geser (shear resistance), saat mulai terjadi gerakan

tanah. Embankment dengan perkuatan tiang ini dapat dibedakan menjadi 2 kelompok

besar (Hans dan Akins, 2002) sebagai berikut :

1. Conventional Pile Supported (CPS) Embankments (Gambar 2.2);

2. Geosynthetic-Reinforced dan Pile Supported (GRPS) Embankments (Gambar

2.2).

14
Gambar 2.2 Conventional pile supported (CPS) embankment
(Sumber : Hans dan Akins, 2002)

Gambar 2.3 Geosynthetic – Reinforced and Pile Supported (GRPS)


Embankments
(Sumber : Hans dan Akins, 2002)

Mekanisme penyaluran beban dari embankment ke tiang (pile) dan tanah melibatkan

beberapa komponen. Ada 3 komponen utama dalam mekanisme penyaluran beban

dalam sistem GRPS (Geosynthetic-Reinforced and Pile Supported Embankment)

tersebut (Hans dan Akins, 2002).

1. Soil Arching

Terjadi akibat adanya differential settlement antara pile cap, sehingga terbentuk soil

arching di atas platform yang diperkuat oleh geosintetik (geosynthetic reinforced fill

15
platform), hal ini mengakibatkan berkurangnya tekanan yang bekerja pada fill

platform.

Gambar 2.4 Soil Arching


(Sumber : cited in Li et al., 2002)

Gambar 2.5 Membran action of Geosynthetic


(Sumber : Russel & Pierpoint, 1997)

2. Efek Membran

Adalah suatu efek ketika fill platform (yang memiliki geosintetik di dalamnya baik

single layer maupun multiple layer) dikenai tekanan, maka fill platform akan

mengalami deformasi seperti plat / membran.

3. Konsentrasi Tegangan

Terjadi akibat adanya perbedaan kekakuan antara tiang dan tanah lunak, soil arching

dan deformasi dari soil platform, maka sebagian besar beban disalurkan ke tiang,

sedangkan tanah lunak hanya menerima sebagian kecil beban. Hal ini mengakibatkan

16
ada perbedaan tegangan yang signifikan antara tiang dan tanah lunak. Fenomena ini

disebut stress concentration pada kepala tiang (pile cap).

2.3.4. Metode Perhitungan BS 8006:1995

Dalam perhitungan, beban yang digunakan adalah beban yang sudah didistribusi.

Metode yang digunakan sangat konservatif. Rumus beban distribusi berbeda

tergantung dari dimensi dan jarak antar tiang. Sebelum menghitung tegangan total

pada perkerasan, perlu dihitung beban total pada dasar timbunan. Beban total pada

dasar timbunan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut.

σ 'v =f fs . γ . H + f q . ws ………………..(2.1)

Cc . a 2
p'c =σ 'v ( )
H
………………..(2.2)

Untuk nilai Cc dapat dihitung menggunakan rumus :

H
Untuk end-bearing piles C c =1.95 . −0.18 ………………..(2.3)
a

H
Untuk friction piles C c =1.5 . −0.7 ………………..…..(2.4)
a

Untuk H >1.4 (s−a)

1,4 . s . f fs . γ .(s−a) p 'c


WT= 2
s −a
2
( ( ))
2
x s −a . 2

σv
' ………………..(2.5)

Untuk 0.7 ( s−a ) < H <1.4 (s−a)

s ( f fs . γ . H +f q . w s ) p 'c
WT= 2
s −a
2
( ( ))
x s 2−a2 .
σv
' ………………..(2.6)

s2 p c
Tetapi, apabila ≤ , maka W T =0
a2 σ v

Keterangan :

WT : beban total pada perkerasan

17
s : jarak antar tiang

a : ukuran pile cap

ws : distribusi pembebanan tambahan

p’c : tegangan vertical pada pile cap

σ’v : tegangan vertikal pada dasar timbunan

ffs :faktor parsial pada berat unit tanah

fq : faktor parsial untuk beban eksternal

γ : masa jenis tanah

H : tinggi timbunan tanah

Cc : koefisien lengkung

Setelah memperoleh nilai beban total pada dasar timbunan, dapat dihitung faktor

reduksi tegangan dan tegangan yang terjadi pada dasar timbunan. Faktor reduksi

tegangan dan tegangan yang terjadi pada dasar timbunan dapat dihitung

menggunakan rumus berikut.

Untuk 0.7 ( s−a ) < H <1.4 (s−a)

2s pc
S ЗD= 2 2
(s+a)( s −a ) (
x s 2−a 2 . ( )) ………………..(2.7)
γ .H

Untuk H >1.4 (s−a)(full arching)

2,8. s pc
S ЗD= 2
( s+a) . H (
x s 2−a2 . ( ))
γ.H
………………..(2.8)

W T (s−a) 1
T rp=
2a √
x 1+

………………..(2.9)

18
Gambar 2.6 Variables used in determination of Trp
(Sumber : BS8006,1995)

Keterangan :

SЗD : factor reduksi tegangan

Trp : tegangan pada perkerasan

ε : regangan pada perkerasan

Setelah menghitung tegangan pada perkerasan berdasarkan regangan maksimum yang

diijinkan pada perkerasan, perlu dilakukan tegangan pada perkerasan untuk menahan gaya

horizontal yang bekerja pada dasar timbunan. Tegangan ini disebabkan oleh tekanan tanah

aktif dari timbunan. Tegangan untuk menahan gaya horizontal dapat dicari menggunakan

rumus berikut.

T ds=0,5 . k a . ( f fs . γ . H +2. f q . w s ) . H ………………..(2.10)

Keterangan :

Tds : tegangan untuk menahan gaya horizontal

Ka : koefisien tekanan tanah aktif


(
2
: tan 45−
2 )
………………..(2.11)

19
Gambar 2.7 Stabilitas geser lateral anatara timbunan dan perkerasan
(Sumber : BS8006,1995)

2.4. Analisis Kestabilan Lereng

Pada permukaan tanah yang tidak horizontal, komponen gravitasi cenderung untuk

menggerakkan tanah ke bawah. Jika komponen gravitasi sedemikian besar sehingga

perlawanan terhadap geseran yang dapat dikerahkan oleh tanah pada bidang

longsornya terlampaui, maka akan terjadi kelongsoran lereng. Analisis stabilitas pada

permukaan tanah yang miring ini disebut analisis stabilitas lereng (Hardiyatmo

H.C.,2007).

Umumnya, analisis stabilitas dilakukan untuk mengecek keamanan dari lereng alam,

lereng galian, dan lereng urugan tanah (Hariyatmo 2003:326). Indrawahjuni (2011:93)

menambahkan apabila komponen gravitasi sedemikian besar sehingga perlawanan

terhadap geseran yang dapat dikembangkan oleh tanah pada bidang longsornya

terlampaui, maka akan terjadi kelongsoran. Dengan kata lain, suatu lereng akan

longsor apabila keseimbangan gaya yang bekerja terganggu yaitu gaya pendorong

melampaui gaya penahan.

Analisis stabilitas lereng tidak mudah, karena terdapat banyak faktor yang sangat

mempengaruhi hasil hitungan. Faktor-faktor tersebut misalnya kondisi tanah yang

berlapis-lapis, kuat geser tanah yang anisotropis, aliran rembesan air dalam tanah dan

lain-lainnya. Terzaghi (1950) membagi penyebab longsoran lereng terdiri dari akibat

pengaruh dalam (Internal Effect) dan pengaruh luar (External Effect). Pengaruh luar

20
yaitu pengaruh yang menyebabkan bertambahnya gaya geser dengan tanpa adanya

perubahan kuat geser tanah (Hardiyatmo H.C.,2007).

Tujuan dari analisis stabilitas lereng adalah untuk menentukan angka keamanan dari

suatu lereng. Angka keamanan didapatkan dari perbandingan gaya penahan dan gaya

yang menggerakkan, yaitu

τf
FK = ………………..(2.12)
τd

dengan :

τf : kekuatan geser maksimum yang dapat dikerahkan oleh tanah

τd : tegangan geser yang terjadi akibat gaya berat tanah yang akan longsor

FK : faktor aman

Faktor keamanan (Safety factor) didefinisikan dengan memperhatikan tegangan geser

rata-rata sepanjang bidang longsor potensial dan kuat geser tanah rata-rata sepanjang

permukaan longsoran. Jadi, kuat geser tanah mungkin terlampaui di titik-titik tertentu

pada bidang longsornya, padahal faktor keamanan hasil hitungan lebih besar 1(satu).

Secara umum, semakin kecil kualitas dari investigasi lapangan, maka semakin tinggi

angka keamanan yang harus diberikan, terutama bila seorang perencana memiliki

pengalaman yang terbatas.

Fungsi utama faktor keamanan adalah memperhitungkan faktor ketidakpastian dalam

desain dan untuk memberikan jaminan keamanan terhadap semua parameter yang

digunakan dalam perhitungan. Berikut dalam Tabel 2.7 adalah kriteria kondisi lereng

berdasarkan angka faktor yang sesaui SNI 8460:2017

Tabel 2.7 Nilai faktor keamanan untuk lereng tanah

21
Tingkat ketidakpastian
Biaya dan konsekuensi dari kegagalan lereng kondisi analisis

Rendaha Tinggi b
Biaya perbaikan sebanding dengan biaya
tambahan untuk merancang lereng yang lebih 1,25 1,5
konservatif
biaya perbaikan lebih besar dari biaya
tambahan untuk merancang lereng yang lebih 1,5 2,0 atau lebih
konservatif
a
Tingkat ketidakpastian kondisi analisis dikategorikan rendah, jika kondisi
geologi dapat dipahami, kondisi tanah seragam, penyelidikan tanah
konsisten, lengkap dan logis terhadap kondisi di lapangan.
b
Tingkat ketidakpastian kondisi analisis dikategorikan tinggi, jika kondisi
geologi sangant kompleks, kondisi tanah bervariasi, dan penyelidikan
tanah tidak konsisiten dan tidak dapat diandalkan.

(Sumber : SNI Geoteknik 8460:2017)

FK = 1, maka lereng adalah dalam keadaan akan longsor. Umumnya, harga 1,5 untuk

angka keamanan terhadap kekuatan geser dapat diterima untuk merencanakan

stabilitas lereng (Das, 1995).

22
2.5. Studi Literatur Penelitian Terdahulu

Tabel 2.8 Studi Literatur Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil


1. Mahsyur Irsyam. Pengujian Skala Penuh Melakukan pengujian trial Pengujian di lapangan yang Dari hasil trial embankment

Sugeng Krisnanto dan Analisis Perkuatan embankment dengan sistem mencakup kontruksi trial dengan menggunakan sistem

(2008) Cerucuk Matras Bambu perkuatan tanah dasar embankment dan cerucuk matras bambu dapat

untuk Timbunan Badan menggunakan cerucuk matras pengamatan stabilitas trial meningkatkan daya dukung

Jalan di atas Tanah bambu, dan dibandingkan embankment dan penurunan tanah dasar, memiliki stabilitas

Lunak di lokasi Tambak dengan prediksi penurunan tanah dasar selama rentang lereng yang cukup, penuruan

Oso, Surabaya yang akan terjadi pada akhir waktu tertentu yang terjadi relative seragam,

konsolidasi untuk mengetahui konsolidasi yang terjadi

derajat konsolidasi yang mencapai 30%.

terjadi.

2. Edwindhi Analisis Stabilitas Mengetahui penyebab Analisa kerusakan dinding 1. Dari hasil analisis dengan

22
Nurmanza, Lereng dengan Perkuatan kerusakan dinding penahan penahan existing melalui menggunakan SLOPE/W

Widodo Suyadi, Tiang (Pile) dengan tanah eksisting melalui pengamatan lapangan dan diperoleh desain tersebut

Suroso (-) Batuan Perangkat Lunak pengamatan di lapangan, perencanaan perkuatan mampu menahan

(Studi Kasus pada Sungai mengetahui kondisi stabilitas lereng dan pengaturan kelongsoran dengan angka

Pirit Raya) lereng eksisting dan stabilitas geometri lereng dengan keamanan yang mulanya

lereng dengan perkuatan perangkat lunak SLOPE/W hanya 0,306 (sebelum

lereng yang baru memakai diperkuat), kemudian naik

perangkat lunak atau menjadi 1,554 (setelah

software SLOPE/W serta diperkuat).

menghitung reencana 2. Semakin besar nilai rasio

anggaran biaya dan jarak antar pile, maka

menyusun tahapan metode semakin kecil nilai angka

pelaksanaan untuk pekerjaan keamanannya (SF), dan

di lokasi tersebut sebaliknya.

3. A. Adhe Noor Pengaruh Beban Masalah tanah lunak seperti Pemodelan geometri plane Permodelan beban kendaraan

23
PSH (2012) Kendaraan sebagai lempung dapat menjadikan strain dalam software Plaxis sebagai beban titik merupakan

Beban Titik terhadap lereng tidak stabil. Drainase versi 7.2 meliputi kondisi salah satu cara mentransformasi

Deoformasi Geogrid vertical atau dengan perlapisan embankment dan bebandinamis kendaraan ke

sebagai Perkuatan ,enggunakan bahan perlapisan tanah dasar. dalam bentuk beban statis.

Embankment di atas geosintetik seperti geogrid Validasi dilakukan terhadap Pertambahan perpindahan

Tanah Lunak dan geotekstil yang dapat perpindahan horizontal dan vertikal akibat beban kendaraan

dikombinasikan dengan vertical pada kondisi sebagai beban titik terjadi pula

floating pile mejadikan embankment tanpa pada geogrid sebagai perkuatan

merode untuk mengatasi perkauatan. pada dasar embankment.

masalah ini. Setelah validasi tercapai lalu Perpindahan vertikal geogrid

diaplikasikan perkuatan pada tipe rigid embankment

berupa floating piles dan akibat beban kendaraan adalah

geogrid di bawah sebesar

embankment dan dilakukan - 0,35418 m (untuk beban 20

analisis menggunakan kN/m); -0,42908 m (untuk beban

Plaxis versi 7.2. 40 kN/m); dan -0,50623 m

24
Setelah itu aplikasi beban (untuk beban 60 kN/m).

kendaraan berupa beban Sedangkan untuk interface

titik dilakukan. embankment sebesar -0,39812 m

Pengamatan dilakukan (beban 20 kPa); -0,51882 m

terhadap deformasi (beban 40 kPa); dan -0,65675 m

(perpindahan vertikal) (beban 60 kPa).

geogrid.
4. Ferra Fahriani Analisa Pengaruh Adanya pekerjaan timbuanan Analisis stabilitas tanah 1. Dari hasil analisis didapatkan

(2016) Ketinggian Timbunan membentuk suatu lereng timbunan pada software bahwa meningkatnya

Terhadap Kestabilan baru, sehingga perlu PLAXIS sebanyak 5 ketinggian tanah timbunan

Lereng dianalisis kestabilan lereng permodelan dengan variasi mengakibatkan menurunnya

tersebut. Kestabilan lereng ketinggian timbunan mulai angka keamanan lereng yang

ditunjukkan dari angka dari 1 m hingga 5 m. menunjukkan penurunan

keamananlereng. Pada kestablian tanah

pekerjaan konstruksi 2. Persentase penurunan angka

ketinggian timbunan pada keamanan lereng tiap 1 meter

25
suatu pekerjaan akan semakin menurun, sampai

berbeda-beda sesuai dengan ketinggian 5 meter dengan

kondisi permukaan dan persentase penurunan angka

kekerasan tanah pada suatu kemanan lereng sebesar 2,47%

wilayah. terhadap ketinggian 4 m.


5. Ferra Fahriani Analisa Stabilitas Tanah Salah satu usaha peningkatan Analisis stabilitas tanah 1. Penambahan sabut kelapa pada

(2016) Timbunan dengan stabilitas tanah adalah dengan dengan timbunan yang tanah mengakibatkan

Perkuatan Sabut Kelapa cara penimbunan tanah. diberikan tambahan sabut peningkatan kestabilan lereng

Apabila suatu tanah diberikan kelapa dengan variasi pada timbunan, hal ini

tambahan beban berupa persentase sabut kelapa 0 ditunjukkan dari meningkatnya

timbunan maka akan sampai 5% terhadap berat angka keamanan lereng tiap

terbentuk lereng baru yang kering tanah ada penambahan sabut kelapa pada

menyebabkan terjadi menggunakan Program tanah.

perubahan tegangan pada PLAXIS 2. Peningkatan angka keamanan

tanah yang berdampak pada lereng pada timbunan dengan

perubahan stabilitas pada penambahan sampai 5% sabut

26
tanah. Tanah timbunan dapat kelapa pada tanah hanya

berupa tanah tanpa bahan mencapai 11,90%, dan rata-

tambahan maupun tanah rata peningkatan angka

dengan bahan tambahan. keamanan lereng setiap

Dengan memberikan bahan penambahan 1% sabut kelapa

tambahan diharapkan pada tanah timbunan sebesar

kekuatan tanah semakin 2,27%. Sehingga tidak ada

meningkat pengaruh yang besar terhadap

kestabilan lereng timbunan

akibat adanya penambahan

sabut kelapa.

27

Anda mungkin juga menyukai