Patogenesis Klebsiella Pneumoniae B
Patogenesis Klebsiella Pneumoniae B
Cara penularan ( infeksi ) dari Klebsiella pneumonia pada pasien rawat inap
dapat melalui 3 cara, yaitu : Aspirasi cairan gaster atau orofaring yang
mengandung koloni kuman patogen, Penyebaran kuman secara hematogen ke
paru, Penyebaran melalui udara oleh aerosol atau droplet yang mengandung
mikroba. Beberapa jenis Klebsiella pneumonia dapat diobati dengan antibiotik,
khususnya antibiotik yang mengandung cincin beta-laktam. Contoh antibiotik
tersebut adalah ampicillin, carbenicillin, amoxicilline, dll. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa Klebsiella pneumonia memiliki sensitivitas 98,4% terhadap
meropenem, 98,2% terhadap imipenem, 92,5% terhadap kloramfenikol, 80 %
terhadap siprofloksasin, dan 2% terhadap ampisilin. Strain baru dari Klebsiella
pneumonia kebal terhadap berbagai jenis antibiotik dan sampai sekarang masih
dilakukan penelitian untuk menemukan obat yang tepat untuk menghambat
aktivitas atau bahkan membunuh bakteri tersebut.
Klebsiella Pneumonia adalah jenis bakteri patogen nosokomial yang
penting, yang memperlihatkan terutama resistensinya terhadap antibiotika.Infeksi
bakteri ini bukan satu satunya penyebab kematian akan tetapi mempunyai
kontribusi yang besar. Bakteri tersebu juga patogen yang utama pada neonatal,
dengan menyebabkan beberapa infeksi antara lain sepsis, meningitis, dan
necrosis enterocolitis dan infeksi respiratori terutama pada pasien yang
sebelumnya sakir respiratori. Telah dilaporkan bahwa dijumpai Klebsiella
Pneumonia yang membawa plasmid dengan aktifitas β-laktamase tinggi sehingga
resisten terhadap cefoksitin dan 7-α-metoksi-β laktam serta oksimono β-laktam
antibiotika. Bakteri jenis ini telah dijumpai di dalam isolat diberbagai negara.
Penemuan “ESBL” (Extended Spektrum Beta Lactamase) dalam bakteri basil gram
negatif terutama Klebsiella Pneumonia dan E.coli telah mendapatkan perhatian
yang begitu besar, karena bakteri tersebut telah resisten terhadap sefalosforin
terbaru dan monobaktam sehingga menyebabkan banyak problem. Kemudian
dibuat sefalosforin yang membawa substitusi pada 7 α dengan hasil stabilitas
yang lebih besar terhadap β-laktamase bakteri daripada sefalosporin yang tidak di
substitusi. Aktifitas terbesar dari derivat tersebut adalah pada substitusi dengan
7α-formamido sfoperazon atau analognya, yakni sekitar 2-4 kali akan lebih aktif
daripada ureido lain atau derifat asil amino.
http://ariputuamijaya.wordpress.com/2011/12/10/klebsiella-pneumoniae/
Klasifikasi Klebsiella
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Orde : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Klebsiella
Species : Klebsiella pneumonia
Klebsiella ozaenae
Morfologi
6. Membentuk kapsul baik invivo atau invitro, sehingga koloni berlendir (mukoid)
1. Antigen O
Antigen O adalah lipopolisakarida yang terdapat dalam sembilan varietas.
2. Antigen K
Antigen K adalah polisakarida yang dikelilingi oleh kapsula dengan lebih dari 80
varietas.
1. Klebsiella ozaena penyebab penyakit azoena : mukosa hidung menjadi atrpopis
progresif dan berlendir serta berbau amis
2. Klebsiella rhinoscleromatis : penyebab penyakit rhinocleloma yaitu penyakit
menahun berupa granula dengan tanda-tanda sclerosis dan hipertropi jaringan
dan menyebabkan kerusakan hidung dan farings.
3. Klebsiella aerogenes/Aerobacter aerogenes
Kuman ini mempunyai sifat sama dengan E. coli, terdapat di air, tanah, sampah
dan lain sebagainya.
Dibedakan pada tes IMVic
E. coli : ++--
Klebsiella aerogenes : --++
Patogenesitas
2. Galur yang berkapsul lebih virulen daripada galur yang tidak berkapsul (pada
hewan coba)
3. Tidak ada toksin selain endotoksin yang berperan pada infeksi oportunistik
Tidak diketahui untuk infeksi endogen sangat singkat (1-2 hari) untuk
infeksi ditularkan.
d. Imunitas
Ozaena yaitu radang selaput lendir hidung yang berbau. Pada penyakit ini orang
banyak mengeluarkan lendir hijau bercampur darah yang berbau.
Diagnosa
Metode isolasi dan identifikasi organisme ini dari makanan, air dan sampel
diare, didasarkan pada ketepatan media selektif yang digunakan dan hasil analisa
mikrobiologi dan biokimia. Kemampuan untuk menghasilkan enterotoxin dapat
ditentukan oleh analisa biakan sel dan analisa pasa hewan, metode serologis, atau
analisa genetika. Sampel dapat berupa sputum, liquar cerebrospinalis atau urin.
Diperiksa di bawah mikroskop setelah pewarnaan atau ditanam pada
pembenihan.
1. Melihat selaput, maka diambil bahan pemeriksaan dari manusia, binatang dan
perbenihan.
2. Selaput ini terlihat seperti lendir, maka koloni – koloni terlihat basah dan
berlendir.
Kerangka Operasional
Biokimia IMViC
Proses Identifikasi
2.11.1 Kultur media pemupuk
Specimen ditanam pada media Brain Hearth Infusion Broth (BHIB), replikasi
bakteri saluran dari usus normal dan meningkatkan bakteri Klebsiella . Sesudah
inkubasi 18-24 jam, ditanam pada media differensial dan selektif.
Rinoskleroma terbagi menjadi tiga stadium, yaitu stadium I, II, dan III. Pada
stadium I, gejala-gelaja yang dirasakan penderita tidak khas, seperti rinitis biasa.
Dimulai dengan keluarnya cairan hidung encer, sakit kepala, sumbatan hidung
yang berkepanjangan, kemudian diikuti dengan pengeluaran cairan mukopurulen
berbau busuk yang dapat mengakibatkan gangguan penciuman.
Stadium II ditandai dengan hilangnya gejala rinitis. Pada stadium ini terjadi
pertumbuhan yang disebut nodular submucous infiltration di mukosa hidung yang
tampak sebagai bintil di permukaan hidung. Lama-lama, bintil ini bergabung
menjadi satu massa bintil yang sangat besar, mudah berdarah, kemerahan,
tertutup mukosa dengan konsistensi padat seperti tulang rawan. Kemudian
membesar ke arah posterior (belakang) maupun ke depan (anterior). Sedangkan
pada stadium III, massa secara perlahan-lahan membentuk struktur jaringan
lunak. Jaringan ini bisa menyempitkan jalan napas. Proses yang sama seperti di
hidung dapat juga terjadi pada mulut, tenggorokan, dan paru-paru.
Pencegahan
Pengobatan