Anda di halaman 1dari 58

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang

perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa

anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari

bayi (0-1 tahun), usia bermain/toodler (1-3 tahun), pra sekolah (3-6 tahun),

usia sekolah (6-11 tahun), hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini

berbeda antara anak satu dengan anak yang lain mengingat latar belakang

anak berbeda, pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan

perkembangan (Jannah, 2015). Anak prasekolah memiliki masa keemasan

(the golden age) dalam perkembangannya disertai dengan terjadinya

pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon dari

berbagai aktivitas yang terjadi dilingkunganya.

Angka kesakitan anak di Indonesia berdasarkan Survei

Kesehatan Nasional (Susenas) tahun 2012 di daerah perkotaan menurut

kelompok usia 0-4 tahun sebesar 25,8%, usia 5-12 tahun sebanyak

14,91%, usia 13-15 tahun sekitar 9,1%, usia 16-21 tahun sebesar

8,13%. Angka kesakitan anak usia 0-21 tahun apabila dihitung

dari keseluruhan jumlah penduduk adalah 14,44%. Penyakit jantung

bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang paling umum dan

sebagai jenis penyakit jantung terbanyak pada anak. Penyakit jantung

Universitas Binawan
bawaan (PJB) sebagai abnormalitas struktur makroskopis jantung atau

pembuluh darah besar intratoraks yang mempunyai fungsi pasti atau

potensial yang berarti (Mitchell et al., 1971) dalam Jannah, 2015). Insidens

PJB di dunia memiliki angka yang konstan, sekitar 8-10 dari 1000

kelahiran hidup. Malformasi dapat tidak terdeteksi dengan mudah pada

periode neonatal, beberapa di antaranya terjadi modifikasi dan menghilang

selama masa bayi dan anak (Hariyanto, 2016).

Menurut WHO, Diperkirakan 295.000 bayi baru lahir meninggal

dalam waktu 28 hari setelah lahir setiap tahun, di seluruh dunia, karena

kelainan kongenital. Di presentase cacat jantung bawaan berkisar antara

0,8% sampai 1% dari jumlah kelahiran per tahun (WHO, 2020 ). Data dari

WHO juga menyebutkan dua ratus enam puluh studi memenuhi kriteria

inklusi, mencakup 130.758.851 kelahiran hidup. Hasil dari penelitian (Liu

& Sen, 2019) didapatkan prevalensi kelahiran anak dengan penyakit

jantung bawaan dari 1970-2017 meningkat secara progresif menjadi

maksimum pada periode 2010-2017 sebesar 9,410/1000 (95%) CI

(interval kepercayaan) 8,602-10,253. Ini merupakan peningkatan

signifikan selama lima belas tahun sebelumnya. Ada heterogenitas yang

ditandai di antara wilayah geografis, dengan Afrika melaporkan prevalensi

terendah (2,315/1000 kelahiran) dan Asia tertinggi (9,342/1000 kelahiran).

Secara epidemiologi, diIndonesia angka kejadian dari penyakit

jantung bawaan adalah sebanyak 1% dari seluruh kelahiran atau 8 dari

1000 kelahiran hidup. Dengan angka kelahiran di Indonesia sejumlah 4,8

juta kelahiran (2016) maka diperkirakan setiap tahun terdapat sekitar


40.000 anak yang lahir dengan Penyakit jantung bawaan (PJB) di seluruh

pelosok Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sebagian besar dari

penyakit jantung bawaan ini membutuhkan intervensi, baik secara bedah

maupun non bedah (Utomo, 2020). Data dari Pelayanan Jantung Terpadu

RSUPN Dr. Ciptomangunkuso, dalam kurun waktu 2019 - 2020

dilaporkan sebanyak 504 anak yang dirawat dan menjalani bedah jantung

dengan Penyakit jantung bawaan (PJB). Dengan PJB terbanyak pada kasus

Ventricular Septal Defect (VSD) (28,37%) dan Tetralogy of Fallot (TF)

(27,78%).

Anak yang dirawat di rumah sakit akan berpengaruh pada kondisi

fisik dan psikologinya, hal ini disebut dengan hospitalisasi (Apriany,

2013). Pada proses hospitalisasi anak cenderung mengalami kecemasan

karena takut terhadap lingkungan rumah sakit prosedur tindakan,

perpisahan, keterbatasan privasi dan melakukan rutinitas atau bahkan

kematian (Chodidjah & Syahreni, 2015). Menurut (Kasron, 2016) pada

pasien anak dengan penyakit jantung bawaan mengalami susah bernapas

atau bernapas cepat, bibir dan kuku berwarna kebiruan (sianosis),

berkeringat secara berlebihan terutama ketika makan, nafsu makan

berkurang atau susah makan, denyut nadi melemah, mengalami kecemasan

(rewel, menangis dan tidak bisa tidur).

Anak yang menjalani rawatan inap di berbagai pelayanan

kesehatan membuat anak harus diberikan tindakan pemasangan infus.

Sebagian besar anak dengan penyakit jantung bawaan membutuhkan

intervensi, baik secara bedah maupun non bedah. Tindakan pemasangan


infus pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan ditujukan sebagai

premedikasi. Pemberian premedikasi bertujuan untuk memberikan cairan

berupa obat maupun vitamin kepada pasien yang akan menjalani

intervensi baik bedah maupun non bedah. Tindakan pemasangan infus

dapat menimbulkan rasa yang tidak nyaman dan adanya kecemasan saat

sebelum dilakukannya tindakan, terutama bagi anak anak yang akan

menjalani rawatan di rumah sakit (Nurmi, 2016). Selama proses

pemasangan infus anak dapat mengalami pengalaman yang sangat

traumatik dan penuh dengan stress. Selain itu pada saat dilakukan

pemasangan infus, anak akan mengalami berbagai perasaan yang sangat

tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih dan nyeri

(Supartini, 2004) dalam jurnal (Haijah, 2019).

Peran perawat sebagai pemberi asuhan di rumah sakit memegang

peran yang sangat penting salah satunya pelayanan kesehatan baik berupa

tindakan keperawatan langsung maupun pendidikan kesehatan untuk anak.

Perawat harus memperhatikan kehidupan sosial, budaya anak yang dapat

menentukan pola kehidupan anak selanjutnya karena sangat menentukan

perkembangan anak dalam kehidupan yang akhirnya meningkatkan mutu

asuhan keperawatan secara komprehensif melalui aspek bio-psikososial-

spiritual yang ada dalam diri manusia (Irwandi, 2015).

Salah satu tindakan yang diharapkan adalah tenaga perawat dapat

membina hubungan baik dengan pasien yaitu dapat melalui teknik dan

sikap komunikasi serta berperilaku caring selama memberikan asuhan

keperawatan kepada pasien agar kebutuhan pasien dapat terpenuhi. Salah


satu cara mengatasi masalah tersebut yaitu dengan sikap caring. Perilaku

caring merupakan salah satu standar asuhan keperawatan yang wajib

dilaksanakan oleh seorang tenaga perawat (Darmawan & Ngurah, 2018).

Perilaku caring dalam keperawatan dipelajari dari berbagai macam

filosofi artinya bukan hanya perawat saja yang berperilaku caring tetapi

sebagai manusia kita juga bisa memperhatikan sesama. Perilaku caring

dari perawat dan pelayanan secara komprehensif serta holistik, membantu

memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi pasien (Darmawan &

Ngurah, 2018).). Caring merupakan aspek penting yang harus dilakukan

oleh perawat dalam praktik keperawatan. Caring secara umum dapat

diartikan sebagai suatu kemampuan untuk berdedikasi bagi orang lain,

pengawasan dengan waspada, menunjukkan perhatian, perasaan empati

pada orang lain dan perasaan cinta atau menyayangi yang merupakan

kehendak keperawatan (Potter & Griffin, 2012).

Data yang diperoleh DepKes RI tahun 2012 dari beberapa rumah

sakit ditemukan masih ada pasien yang tidak puas terhadap pelayanan

keperawatan yang diberikan, salah satu penyebabnya yaitu perilaku caring

perawat yang masih kurang memuaskan. Hasil penelitian tahun 2012 di

RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang menunjukkan bahwa hampir

separuh perawat yang bertugas dinilai tidak caring (48,5%). Penelitain lain

yang dilakukan Sukesi (2013) di Ruang Rawat Inap Permata Medika

Semarang menyatakan bahwa 55,8% pasien tidak puas dengan pelayanan

yang di berikan oleh perawat (Sukesi, 2013). Penelitian yag dilakukan oleh

Windarni (2014) di ICU Rumah Sakit Soediran Mangun Sumarso


menyatakan bahwa perawat sudah memahami perilaku caring

tetapi tidak diaplikasikan langsung kepada pasien.

Berdasarkan fenomena tersebut diatas pada umumnya

menunjukkan adanya kecenderungan sikap dan perilaku perawat yang

tidak caring terhadap pasien yang mempengaruhi kualitas asuhan

keperawatan, maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai “Hubungan Sikap Caring Perawat Dalam Tindakan

Pemasangan Infus Terhadap Respon Kecemasan Anak Dengan Penyakit

Jantung Bawaan Diruang PJT Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo”.

1.2 Rumusan Masalah

Data yang diperoleh DepKes RI tahun 2012 dari beberapa rumah

sakit ditemukan masih ada pasien yang tidak puas terhadap pelayanan

keperawatan yang diberikan, salah satu penyebabnya yaitu perilaku caring

perawat yang masih kurang memuaskan. Hasil penelitian tahun 2012 di

RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang menunjukkan bahwa hampir

separuh perawat yang bertugas dinilai tidak caring (48,5%). Bertitik tolak

dari pemikiran tersebut diatas sehingga bedasarkan data tersebut maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan sikap

caring perawat dalam tindakan pemasangan infus terhadap respon

kecemasan anak dengan penyakit jantung bawaan diruang PJT Rumah

Sakit Dr Cipto Mangunkusumo?”


1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui Hubungan Sikap

Caring Perawat Dalam Tindakan Pemasangan Infus Terhadap

Respon Kecemasan Anak Dengan Penyakit Jantung Bawaan

Diruang PJT Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui sikap caring perawat dalam tindakan pemasangan

infus pada anak dengan penyakit jantung bawaan di ruang PJT

Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo.

2. Mengetahui respon kecemasan anak dengan Penyakit Jantung

Bawaan dalam tindakan pemasangan infus di ruang PJT Rumah

Sakit Dr Cipto Mangunkusumo.

3. Mengetahui hubungan sikap caring perawat dalam tindakan

pemasangan infus terhadap respon kecemasan anak dengan

Penyakit Jantung Bawaan diRuang PJT Rumah Sakit Dr Cipto

Mangunkusumo.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Responden

Untuk mengetahui, menambah wawasan, memberikan informasi

dan pengetahuan tentang reaksi kecemasan anak saat tindakan

pemasangan infus pada anak.


1.4.2 Bagi Pelayanan Keperawatan

1. Sebagai bahan masukan agar perawat lebih memperhatikan

dan dapat mengidentifikasi masalah yang mempengaruhi

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi respon kecemasan

pada anak prasekolah sehingga pelayanan yang diberikan

semakin berkualitas dan profesional.

2. Untuk menambah wawasan, memberikan informasi dan

pengetahuan tentang manfaat kesehatan di bidang kesehatan

anak, khususnya manfaat tentang cara meminimalkan

kecemasan anak pada saat tindakan pemasangan infus.

1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam

melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik

permasalahan yang sama.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Konsep Caring

2.1.1.1 Pengertian Caring

Caring merupakan sikap peduli yang memudahkan pasien untuk

mencapai peningkatan kesehatan dan pemulihan. Perilaku caring sebagai

bentuk peduli, memberikan perhatian kepada orang lain, berpusat pada

orang, menghormati harga diri, dan kemanusiaan, komitmen untuk

mencegah terjadinya status kesehatan yang memburuk, memberi perhatian

dan menghormati orang lain (Nursalam, 2014 dalam Kusmiran 2015).

Perilaku caring adalah esensi dari keperawatan yang membedakan

perawat dengan profesi lain dan mendominasi serta mempersatukan

tindakan-tindakan keperawatan (Kusmiran 2015). Perilaku Caring

merupakan kunci sukses bagi perawat dalam menjalankan profesinya yaitu

apabila mempunyai ilmu untuk mensintesa semua kejadian yang

berhubungan dengan klien, mampu menganalisa, mengintepretasikan,

mempunyai kata hati, dan mengerti apa yang terjadi terhadap masalah

yang dihadapi klien (Rinawati, 2012).

Beberapa pengertian tentang Caring di atas, dapat disimpulkan

bahwa Caring adalah sikap kepeduliaan perawat terhadap klien dalam

pemberian asuhan keperawatan dengan cara merawat klien dengan

kesungguhan hati, keikhlasan, penuh kasih sayang, baik melalui


komunikasi, pemberian dukungan, maupun tindakan secara langsung.

Caring merupakan ideal moral keperawatan yang dalam penerapannya

pada klien diperlukan pengembangan pengetahuan, ketrampilan, keahlian,

empati, komunikasi, kompetensi klinik, keahlian teknik dan ketrampilan

interpersonal perawat, serta rasa tanggung jawab. Caring juga merupakan

dasar dalam melaksanakan praktek keperawatan profesional untuk

meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang dapat memberikan

kepuasan pada klien dan keluarga.

2.1.1.2 Aspek-Aspek Perilaku Caring

Sikap caring ini harus tercermin sepuluh faktor caratif yang berasal

dari perpaduan nilai-nilai humanistik dengan ilmu pengetahuan dasar

dalam memberikan asuhan. Oleh karena itu, perawat perlu

mengembangkan filosofi humanistik dan nilai serta seni yang kuat, faktor

caratif membantu perawat untuk menghargai manusia dari dimensi

pekerjaan perawat, kehidupan, dan dari pengalaman nyata berinteraksi

dengan orang lain sehingga tercapai kepuasan dalam melayani dan

membantu klien. Dasar dalam praktek keperawatan dibangun dari sepuluh

faktor caratif menurut Watson (1979) dalam Priyoto (2015) tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Pembentukan faktor nilai humanistik dan alturistik.

Watson mengemukakan bahwa asuhan keperawatan didasarkan pada

nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) dan perilaku mementingkan

kepentingan orang lain diatas kepentingan sendiri (alturistik). Hal ini dapat

dikembangkan melalui pemahaman nilai yang ada pada diri seseorang,


keyakinan, interaksi, dan kultur serta pengalaman pribadi. Hal ini perlu

untuk mematangkan pribadi perawat agar dapat bersikap alturistikterhadap

orang lain.

2. Menanamkan keyakinan dan harapan.

Faktor ini menjelaskan tentang peran perawat dalam

mengembangkan hubungan timbal balik perawat-klien yang efektif dan

meningkatkan kesejahteraan dengan membantu klien mengadopsi prilaku

hidup sehat. Perawat mendorong penerimaan klien terhadap pengobatan

yang dilakukan kepadanya dan membantunya memahami alternatif terapi

yang diberikan, memberikan keyakinan akan adanya kekuatan

penyembuhan atau kekuatan spiritual dan penuh pengharapan. Dengan

mengembangkan hubungan perawat-klien yang efektif, perawat

memfasilitasi perasaan optimis, harapan, dan rasa percaya.

3. Menanamkan sensitifitas terhadap diri sendiri dan orang lain.

Seorang perawat dituntut untuk mampu meningkatkan sensitifitas

diri pribadidan orang lain, dengan memiliki sensitifitas/kepekaan terhadap

diri sendiri, maka perawat menjadi lebih tulus dalam memberikan bantuan

kepada orang lain. Perawat juga perlu memahami bahwa pikiran dan

emosi seseorang merupakan jendela jiwanya.

4. Membina hubungan saling percaya dan saling membantu (helping- trust).

Pengembangan hubungan saling percaya antara perawat dan klien

adalah sangat krusial bagi transportal caring. Hubungan saling percaya

akan meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif.

Pengembangan hubungan saling percaya menerapkan bentuk komunikasi


untuk menjalin hubungan dalam keperawatan. Ciri hubungan helping-trust

adalah harmonis haruslah hubungan yang dilakukan secara jujur dan

terbuka, tidak dibuat-buat. Perawat menunjukkan sikap empati dengan

berusaha merasakan apa yang dirasakan oleh klien dan sikap hangat

dengan menerima orang lain secara positif.

5. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif.

Perasaan mempengaruhi pikiran seseorang hal ini perlu menjadi

pertimbangan dalam memelihara hubungan. Oleh sebab itu, perawat harus

menerima perasaan orang lain serta memahami perilaku mereka dan juga

perawat mendengarkan segala keluhan klien.

6. Menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam

pengambilan keputusan.

Perawat menerapkan proses keperawatan secara sistematis, praktek

yang efektif adalah memecahkan masalah secara ilmiah dalam

menyelenggarakan pelayanan berfokus klien. Proses keperawatan seperti

halnya proses penelitian yaitu sistematis dan terstruktur, metode

pemecahan masalah ilmiah merupakan metode yang memberi control dan

prediksi serta memungkinkan koreksi diri sendiri.

7. Meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal.

Faktor ini merupakan konsep yang penting dalam keperawatan

untuk membedakan caring dan curing. Bagaimana perawat menciptakan

situasi yang nyaman dalam memberikan pendidikan kesehatan. Perawat

memberi informasi kepada klien, perawat memfasilitasi proses ini dengan

memberikan pendidikan kesehatan yang didesian supaya dapat


memampukan klien memenuhi kebutuhan pribadinya dan alternatif

pengobatan lain, dalam hal ini, perawat harus mampu memahami persepsi

klien dan meredakan situasi yang menegangkan agar proses belajar-

mengajar ini berjalan lebih efektif.

8. Menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki

mental, sosiokultural dan spiritual.

Perawat harus menyadari bahwa lingkungan internal dan eksternal

berpengaruh terhadap kesehatan dan kondisi penyakit klien. Konsep yang

relevan dengan lingkungan internal meliputi kepercayaan, sosial budaya,

mental dan spiritual klien. Lingkungan eksternal meliputi kenyamanan,

privasi, keamanan, kebersihan dan lingkungan yang estetik. Melalui

pengkajian perawat dapat menentukan penilaian seseorang terhadap situasi

dan dapat mengatasinya. Perawat dapat memberikan dukungan situasional,

membantu individu mengembangkan persepsi yang lebih akurat dan

memberikan informasi sehingga klien dapat mengatasi masalahnya.

9. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

Dalam membantu memenuhi kebutuhan dasar klien, perawat harus

melakukan dengan gembira. Hirarki kebutuhan dasar Watson hampir sama

dengan Maslow, yakni kebutuhan untuk bertahan hidup, fungsional,

integrasi, untuk tumbuh dan mencari bantuan ketika individu kesulitan

memenuhi kebutuhan dasarnya.

10. Mengembangkan faktor kekuatan eksistensial-fenomologis.

Membantu seseorang untuk mengerti kehidupan dan kematian,

keduanya dapat membantu seseorang untuk menemukan kekuatan atau


keberanian untuk menghadapi kehidupan dan kematian. Kesepuluh faktor

caratif di atas perlu selalu dilakukan oleh perawat agar semua aspek dalam

diri klien dapat ditangani dengan baik sehingga asuhan keperawatan

profesional dan bermutu dapat diwujudkan, melalui penerapan faktor

caratif ini diharapkan perawat juga dapat belajar untuk lebih memahami

diri sendiri sebelum memahami orang lain.

2.1.1.3 Pentingnya Sikap Caring Keperawatan

Bersikap “caring” sebagai media pemberi asuhan perawatan

merupakan “caring for” (merawat) dan “caring about” (peduli) pada

orang lain. “Caring for” adalah kegiatan-kegiatan dalam memberikan

asuhan keperawatan seperti mengatur pemberian obat, prosedur- prosedur

keperawatan, membantu memenuhi kebutuhan dasar klien seperti

membantu dalam pemberian makanan. “Caring about” berkaitan dengan

kegiatan-kegiatan sharing atau membagi pengalaman- pengalaman

seseorang dan keberadaannya. Perawat perlu menampilkan sikap empati,

jujur dan tulus dalam melakukan caring about. Kegiatan perawat harus

ekspresif dan merupakan cerminan aktivitas yang menciptakan hubungan

dengan klien. Sifat-sifat aktivitas ini menimbulkan keterlibatan hubungan

saling percaya.

Caring mempunyai manfaat yang begitu besar dalam keperawatan

dan seharusnya tercermin dalam setiap interaksi perawat dengan klien,

bukan dianggap sebagai sesuatu yang sulit diwujudkan dengan alasan

beban kerja yang tinggi, atau pengaturan manajemen asuhan keperawatan

ruangan yang kurang baik. Pelaksanaan caring akan meningkatkan mutu


asuhan keperawatan, memperbaiki image perawat di masyarakat dan

membuat profesi keperawatan memiliki tempat khusus di mata para

pengguna jasa pelayanan kesehatan (Triwibowo, 2013).

2.1.1.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Caring Perawat

Perilaku caring dipengaruhi oleh banyak faktor. Burstson dan

Stichler (2010), perilaku caring dalam penelitiannya ditentukan oleh beban

kerja, motivasi perawat dan stress. Faktor yang mempengaruhi perilaku

caring yaitu :

1. Beban kerja perawat

Tingginya beban kerja yang dilakukan perawat menyebabkan

tingginya stress yang terjadi pada perawat sehingga menurunkan motivasi

perawat untuk melakukan caring. Juliani (2009) dan Sobirin (2016), dalam

penelitiannya mendapatkan hubungan yang signifikan antra beban kerja

perawat dengan perilaku caring. Beban kerja yang tinggi menyebabkan

kelelahan sehingga perawat menurun pada motivasinya. Selain itu,

tingginya beban kerja perawat mengakibatkan sedikitnya waktu untuk

memahami dan memberi perhatian terhadap pasien secara emosional dan

hanya fokus terhadap kegiatan rutinitas perawat.

2. Lingkungan kerja

Lingkungan kerja yang dimaksud dalam hal ini adalah kenyamanan

pada saat kerja. Suriani (2010), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

lingkungan kerja memiliki pengaruh positif terhadap perilaku caring

seorang perawat dan meningkatkan kualitas pelayanan dari asuhan

keperawatan. Lingkungan kerja yang dimaksud yaitu lingkungan fisik,


iklim kerja, kepemimpinan yang efektif, kesempatan melanjutkan karier

dan mengembangkan karier.

3. Pengetahuan dan Pelatihan

Peningkatan perilaku caring yang diberikan kepada perawat dapat

mencakup pengetahuan dan pelatihan perawat. Sutryani (2009),

menyebutkan bahwa ada pengaruh bermakna antara pelatihan perilaku

caring perawat dengan sikap caring perawat.

2.1.1.5 Alat Ukur Caring

Dalam penelitian ini untuk mengukur Caring Perawat yaitu

menggunakan pendekatan skala likert. Skala likert digunakan untuk

mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang

tentang fenomena sosial. Kuesioner tentang Watson (1979) dalam Priyoto

(2015) dimana kuisioner ini dilakukan modifikasi dan disesuaikan dengan

kondisi kecemasan anak dan tujuan penelitian. Jawaban setiap item

instrumen yang menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari sangat

positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata. Untuk

keperluan analisis kuantitaf, maka jawaban itu dapat diberi skor, misalnya

mengukur caring perawat digunakan empat kriteria yaitu nilai 1 jika tidak

pernah, 2 jika kadang-kadang, 3 jika sering dan 4 jika selalu (Hasmi,

2012). Pada pengkatagorian caring dan tidak caring, dihitung nilai rata-

rata dari jumlah responden. Pada katagori caring baik jika nilai ≥ mean

dan caring kurang jika < mean.


2.1.2 Konsep Perawat

2.1.2.1 Pengertian Perawat

Menurut UU No. 38 tahun 2014 tentang keperawatan, perawat

adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan baik di

dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara dalam UU RI No. 36

tahun 2014 pasal 11 ayat (4), jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam

kelompok keperawatan terdiri atas berbagai jenis yang terdiri dari perawat

kesehatan masyarakat, perawat anak, perawat maternitas, perawat medical

bedah, perawat geriatri dan perawat kesehatan jiwa.

Sedangkan menurut Permenkes Nomor 26 Tahun 2019 ditegaskan

bahwa jenis perawat terdiri dari perawat vokasi yang merupakan perawat

yang melaksanakan praktik keperawatan dalam melaksanakan asuhan

keperawatan, dan perawat profesi yang terdiri dari ners dan ners spesialis.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perawat adalah

tenaga kesehatan atau seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi

keperawatan dan diakui pemerintah sesuai perundang undangan yang

berlaku yang melaksanakan praktik keperawatan dalam melaksanakan

asuhan keperawatan.

2.1.2.2 Peran dan Fungsi Perawat

2.1.2.2.1 Peran Perawat

Menurut Gaffar ( 2005) dalam (Afriyani, 2020) menjelaskan bahwa

peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat

untuk menjalankam tugas dan fungsinya sesuai kompetensi yang


dimilikinya. Sedangkan menurut Hidayat (2012) dalam (Afriyani, 2020)

peran yang dimiliki oleh seorang antara lain peran sebagai pelaksana,

sebagai pengelola, dan peran sebagai peneliti. Menurut Hidayat (2008)

dalam (Afriyani, 2020) peran perawat dalam melaksanakan praktik

keperawatan adalah sebagai berikut:

a. Peran sebagai asuhan keperawatan Peran ini dapat dilakukan perawat

dengan memperhatikan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan. Pada

peran ini perawat diharapkan mampu memberikan pelayanan keperawatan

kepada individu sesuai diagnosis masalah yang terjadi (Yuniarti, 2014).

b. Sebagai pembela atau advokasi Peran ini dilakukan perawat dalam

membantu pasien dalam menginterpretasikan berbagi informasi dari

pemberi pelayanan atau informasi lain. Selain itu perawat sebagai

advokasi pasien mampu memberikan perlindungan terhadap pasien,

keluarga pasien, dan orang – orang disekitar pasien.(Ilmiah et al., 2019).

Peran advokasi perawat terhadap pasien juga terlaksana dalam pemberian

penjelasan tindakan prosedur dalam informed consent berperan sebagai

pemberi informasi, pelindung, mediator, pelaku dan pendukung

(Sulistiyowati, 2016).

c. Sebagai pembimbing atau conselor Perawat sebagai tempat konsultasi

bagi pasien terhadap masalah yang dialami atau mendiskusikan tindakan

keperawatan yang tepat untuk diberikan. Perawat memberikan keyakinan

kepada pasien bahwa mereka mempunyai hak dan tanggung jawab dalam

menentukan pilihan atau keputusan sendiri. (Sulistiyowati, 2016).

d. Sebagai pendidik atau educator Peran ini dilakukan dengan membantu


pasien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan terjadi

perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

e. Kolaborasi Perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan

keluarga dalam menentukan rencana maupun pelaksanan asuhan

keperawatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan klien.

f. Koordinator Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi

yang ada, bak materi maupun kemampuan klien secara terkoordinasi

sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih.

2.1.2.2.2 Fungsi Perawat

Menurut Sulistiyowati (2016), fungsi Perawat yang utama adalah

menolong pasien atau klien dalam kondisi sakit ataupun sehat dalam

rangka meningkatkan derajat kesehatan melalui asuhan dan pelayanan

keperawatan Fungsi perawat yang dilaksanankan dalam menjalankan

perannya akan berbagi fungsi yaitu:

a. Fungsi independent perawat adalah perawat dalam melaksanakan

tugasnya dilakukan secara mandiri dengan keputusan sendiri dalam upaya

pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

b. Fungsi dependen perawat adalah perawat dalam menjalankan tugasnya

memberikan asuhan keperawatan atas instruksi dari perawat lain.

c. Fungsi interdependen perawat adalah fungsi yang dilakukan oleh

perawat bergantung dengan kelompok tim atau profesi lain.


2.1.3 Konsep Pemasangan Infus pada Anak

2.1.3.1 Pengertian Pemasangan Infus

Pemasangan infus merupakan tindakan yang dilakukan untuk

memberikan cairan. Tindakan ini seringkali dilakukan pada anak karena

merupakan tindakan yang paling cepat dalam pemberian medikasi anak.

Menurut Setiawati (2017), tindakan pemasangan infus juga dilakukan

untuk menstabilkan aliran darah pada vena dan mencegah terjadinya

cedera.

2.1.3.2 Prosedur Pemasangan Infus pada Anak

Pemasangan infus pada anak seringkali diberikan melalui vena

perifer seperti vena digitalis, arcus dorsal, basilica, sefalika, femoralis,

safena mayor, oksipital, temporal superficial, dan frontal. Pada anak usia

sekolah area frontal, temporal superficial, dan oksipital sudah jarang

dijadikan sebagai lokasi pemasangan infus. Area tersebut jarang dijadikan

sebagai lokasi pemasangan karena dirasa menakutkan, dan dapat

dilakukan jika pemasangan pada area lain tidak berhasil (Kyle & Carman,

2014). Setiawati (2017) mengatakan bahwa pemasangan infus diawali

dengan mempersiapkan alat dan mencuci tangan sebelum dilakukannya

tindakan. Menjelaskan prosedur tindakan secara singkat kepada orang tua

dan anak perlu dilakukan untuk mendapat persetujuan dilakukannya

tindakan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam

pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang telah ditetapkan

(Asmuji, 2012).
Kyle & Carman (2014) mengatakan prinsip pemasangan infus pada

anak yaitu atraumatik, sehingga membutuhkan tindakan yang hati hati

sehingga rasa ketakutan anak saat dilakukan tindakan berkurang. Resiko

terjadinya flebitis maupun tromboflebitis dapat diminimalisir dengan

lokasi pemasangan vena tangan lebih dianjurkan daripada di area

pergelangan tangan, lengan atas, 15 ekstremitas bawah, dan area fleksi

sendi. Pemberian antiseptik diperlukan untuk menghindari terjadinya

infeksi pada area pemasangan infus. Gunakan cahaya yang terang untuk

memudahkan melihat arah vena jika vena sulit ditemukan. Tindakan

tersebut dikarenakan dalam mengakses vena anak cukup sulit untuk

dilakukan. Kyle & Carman (2014) juga menambahkan, keterlibatan orang

tua diperlukan dalam tindakan ini untuk dapat memberikan kenyamanan

posisi anak saat pemasangan infus. Minimalisir penggunaan jumlah

plester yang banyak, sehingga penggunaan transparant film lebih

dianjurkan dalam tindakan ini. Penggunaan transparant film bertujuan

agar mengurangi iritasi pada tangan anak. Area pemasangan infus harus

dilindungi dengan spalk yang dibalut dengan kassa untuk menghindari

terlepasnya selang infus dari lokasi pemasangan. Pemasangan infus

merupakan prosedur invasif yang memungkinkan terjadinya komplikasi.

Pemantauan area pemasangan diperlukan setiap 1 – 2 jam untuk

mencegah terjadinya peradangan pada area pemasangan. Tanda inflamasi

dicatat apabila terdapat tanda inflamasi tersebut. Adanya tindakan lebih

lanjut dilakukan untuk mengurangi proses inflamasi. Proses inflamasi ini

biasanya menimbulkan ketakutan dan kecemasan anak pada pemasangan


infus selanjutnya, sehingga perlu adanya pemantauan oleh perawat pada

area pemasangan (Kyle & Carman, 2014).

2.1.3.2 Standar Prosedur Operasional (SPO) RSCM Tindakan Pemasangan

Infus

Pengertian : Pemasangan infus adalah pemasangan akses ke vena

perifer.

Tujuan : Mendapatkan akses untuk memberikan obat, cairan yang

berisi elektrolit atau nutrisi didalam vena perifer.

Kebijakan : 1) Kept. Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/MENKES/

390/2014 tentang Pedoman Penetapan Rumah Sakit

Rujukan Nasional.

2) Kept. Direktur Utama RSCM No.

HK.01.05/XI.3/15888/2015 tentang Pemberlakuan

Pedoman Pelayanan Kesehatan RSUP Nasional Dr.

Cipto Mangunkusumo

3) Kept. Direktur Utama RSCM No.

HK.02.04/XI.3/8702/2015 tentang Pemberian

Pelayanan Yang Seragam di RSUP Nasional Dr.

Cipto Mangunkusumo

4) Kept. Bersama Direktur RSCM dan Dekan FKUI

No.17054/TU.K/34/XI/2012 dan No

1134a/H2.F1.D/HKP.02.04/2012 tentang

Pemberlakuan Kebijakan dan Standar Prosedur

Operational Dokter Penanggung Jawab Pelayanan


( DPJP ) di RSCM

Alat : 1. Swab alcohol

2. Tali Torniket

3. IV kateter

4. Infus Set

5. Fiksasi Transparan film

Prosedur :

 Mencuci tangan

 Pakai alat Pelindung diri ( masker, sarung tangan )

 Identifikasi lokasi vena pada lengan bawah yang akan dipilih

 Siapkan alat-alat dan bersihkan lokasi pembuluh darah yang dipilih

dengan swab alcohol

 Ikat dengan tali torniket bagian proksimal dari pmbuluh darah yang

dipilih

 Instruksikan pasien untuk menggenggam tangan

 Setelah kontur pembuluh darah terlihat, tusukkan IV kateter kedalam

pembuluh darah tersebut

 Setelah IV kateter berhasil masuk kedalam pembuluh darah, lepaskan tali

torniket dan instruksikan pasien untuk melepas genggaman

 Sambungkan IV kateter dengan stopper atau infus set sesuai kebutuhan

 Fiksasi IV kateter dengan fiksasi transparan film.

 Peralatan dibereskan dan mencuci tangan.

2.1.4 Konsep Anak Usia Prasekolah

2.1.4.1 Pengertian Anak Usia Prasekolah


Anak Prasekolah adalah anak yang berusia antara usia 3-6 tahun,

serta biasanya sudah mulai mengikuti program presschool (Dewi,

Oktiawati, Saputri, 2015). Anak prasekolah adalah anak yang berumur

antara 3-6 tahun, pada masa ini anak-anak senang berimajinasi dan

percaya bahwa mereka memiliki kekuatan. Pada usia prasekolah, anak

membangun kontrol sistem tubuh seperti kemampuan ke toilet,

berpakaian, dan makan sendiri (Potts & Mandeleco, 2012). Anak usia

prasekolah adalah pribadi yang mempunyai berbagai macam potensi.

Potensi- potensi itu dirangsang dan dikembangkan agar pribadi anak

tersebut berkembang secara optimal. Usia prasekolah merupakan

kehidupan tahun-tahun awal yang kreatif dan produktif bagi anak-anak.

2.1.4.2 Ciri - ciri Anak Prasekolah

Ciri-ciri Anak Prasekolah Patnomodewo (2010) mengemukakan

ciri-ciri anak prasekolah (3- 6tahun) yang biasanya ada di TK meliputi

aspek fisik, emosi, sosial, dan kognitif anak.

a. Ciri fisik anak prasekolah dalam penampilan maupun gerak gerik yaitu

umumnya anak sangat aktif, mereka telah memiliki penguasaan

(kontrol) terhadap tubuhnya.

b. Ciri sosial anak prasekolah biasanya bersosialisasi dengan orang

disekitarnya. Umumnya anak pada tahap ini memiliki satu atau dua

sahabat, kadang dapat berganti, mereka mau bermain dengan teman.

c. Ciri emosional anak prasekolah yaitu cenderung mengekspresikan

emosinya engan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan

oleh anak pada usia tersebut, dan iri hati sering terjadi.
d. Ciri kognitif anak prasekolah ialah terampil dalam bahasa. Sebagian

besar mereka senang berbicara, khususnya dalam kelompoknya.

Sebaiknya anak diberi kesempatan untuk bicara. Sebagian mereka

perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.

2.1.5 Konsep Kecemasan

2.1.5.1 Definisi Kecemasan

Canadian Mental Health Association (2015) menjelaskan bahwa

kecemasan adalah reaksi normal terhadap berbagai persitiwa dalam hidup

sehari-hari. Kecemasan merupakan salah satu sistem peringatan dini yang

manusia miliki guna menyiapkan diri akan adanya bahaya dan ancaman

yang datang (respon akan ancaman tersebut bisa berupa lawan (fight), lari

(flight), atau diam (freeze). Canadian Mental Health Association (2015)

selanjutnya menjelaskan bahwa kecemasan yang menjadi luar biasa, tidak

dapat dikendalikan, dan muncul tiba-tiba akan menimbulkan gangguan

kecemasan (anxiety disorder).

Sadock, dkk. (2015), mengatakan bahwa kecemasan dapat

diartikan sebagai ketakutan. Ketakutan yang dimaksud diartikan sebagai

fenomena normal dan dianggap bukan sebagai penyakit yang terlihat di

seluruh umur, dan bersifat adaptif. Jaya (2015), mendefinisikan kecemasan

sebagai kondisi yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang karena

adanya ancaman bahaya bagi individu. Berdasar pada pernyataan tersebut,

dapat disimpulkan kecemasan diartikan sebagai ketakutan yang normal


dialami oleh seseorang dan muncul akibat persepsi bahaya atau

mengancam bagi individu.

2.1.5.2 Penyebab Kecemasan

Arya & Soodan (2015) mengatakan secara biologis kecemasan

bergantung pada tiga neurotransmitter yaitu serotonin, norepinefrin, dan

Gamma Aminobutyric Acid (GABA). Tiga neurotransmitter tersebut

berfungsi untuk membawa pesan dan mengirimkan sinyal ke otak.

Serotonin berperan dalam pengaturan suasana hati, agresi, impuls, tidur,

nafsu makan, suhu tubuh dan rasa sakit. Norepinefrin terlibat dalam respon

pengaturan tidur, suasana hati dan tekanan darah. Stres akut meningkatkan

pelepasan norepinefrin. Orang dengan gangguan kecemasan, terutama

mereka dengan gangguan panik, sistem yang mengendalikan pelepasan

norepinefrin tidak dapat bekerja dengan baik. GABA adalah

neurotransmitter penghambat utama dalam sistem saraf pusat. GABA

memainkan peranan dalam membantu mendorong relaksasi dan tidur, dan

mencegah rasa gembira yang berlebihan (Arya & Soodan, 2015). GABA

dapat mempengaruhi tingkat kecemasan dengan melakukan mediasi

pelepasan neurotransmitter lain seperti cholecystokinin dan menekan

aktivitas neuron dalam sistem serotonergik dan noradrenergik

2.1.5.3 Manifestasi Kecemasan Pada Anak

Tanda utama yang dialami seseorang saat cemas timbul yaitu

perasaan takut dan khawatir, konsentrasi terganggu, gelisah, resah dan

mudah marah, merasakan adanya bahaya, pikiran kosong, dan


mengantisipasi kejadian buruk bagi persepsi anak. Kecemasan tidak hanya

mengganggu keadaan jiwa, namun keadaan fisik seseorang juga

terganggu. Gejala fisik yang timbul saat seseorang mengalami kecemasan

yaitu jantung berdebar, berkeringat, mual dan pusing, peningkatan

frekuensi BAB, ketegangan otot, sakit kepala, kelelahan, bahkan insomnia.

Gejala ini timbul pada dewasa dan juga anak anak seperti yang

disampaikan oleh Goldbloom (2010). Castle, dkk. (2013), mengatakan

kecemasan akan normal pada waktu tertentu dalam tahap perkembangan

anak. Anak yang mengalami kecemasan sering merasa tegang, namun

kondisi lain mereka dapat juga tenang dan patuh ketika diminta

mengontrol kecemasannya. Kecemasan patologis dapat terlihat dari

kecemasan yang mengganggu interaksi sosial, perkembangan, dan

pencapaian tujuan atau kualitas hidup. Castle, dkk. (2013), mengatakan

mengatasi terjadinya kecemasan anak perlu dilakukan dengan cara

mengevaluasi anak, keluarga, maupun lingkungan untuk mengetahui

penyebab yang mungkin akibat kecemasan. Selama rawatan di rumah

sakit, anak mengalami kecemasan yang dikarenakan kondisi ini seperti

memasuki wilayah asing, kondisi membingungkan dan kompleks, serta

berlebihan menurut persepsi anak.

2.1.5.4 Respon Perilaku Pada Anak Usia Prasekolah

Goldbloom (2010). Castle, dkk. (2013), anak yang baru masuk

rumah sakit biasanya sulit untuk beradaptasi tahapan-tahapan yang dilalui

pada anak yang baru pertama kali masuk rumah sakit adalah sebagai

berikut:
2.1.4.4.1     Kecemasan Karena Perpisahan Pada Anak Usia Prasekolah

Stress yang utama pada usia pertengahan bayi-prasekolah

khususnya untuk anak usia 15 sampai 30 bulan adalah kecemasan karena

perpisahan. Pada usia ini perkembangan psikososial yang terjadi adalah

adanya rasa otonomi yang mempengaruhi perkembangan rasa percaya diri

dan harga diri. Hubungan dengan orang lain bersifat egosentris, perpisahan

merupakan faktor penyebab terjadinya cemas pada anak yang dirawat,

sebab pada masa ini anak mempunyai sifat ketergantungan yang besar

terhadap orang tua. Kecemasan karena perpisahan juga disebut “depresi

analiktik” respon perilaku yang ditimbulkannya dibagi menjadi tiga fase :

1.      Fase protes

Fase protes akan berlangsung selama beberapa jam sampai

beberapa hari, dengan menunjukkan perilaku sebagai berikut:

a.       Menangis kuat, akan berhenti bila capek.

b.      Menjerit mencari orang tua dengan pandangan mata.

c.       Menilak dan menghindari orang tua yang tak dikenal dengan cara

menendang, menggigit, memukul, mencakar. Namun keluarga barada

disampinya anak akan dan tidak memperbolehkan pergi.

Pada fase ini pendekatan yang dilakukan oleh perawat atau tim kesehatan

lain, lebih baik diminimalkan untuk menghindari reaksi protes yang lebih

keras dari anak. 

2.      Fase putus asa

Setelah fase perotes anak akan mengalami fase putus asa dengan

menunjukan prilaku sebagai berikut :


a.       Anak berhenti menangis;

b.      Tidak aktif;

c.       Menarik diri terhadap orang lain;

d.      Sedih;

e.     Tidak interes dengan lingkungan;

f.      Tidak mau berkomunikasi;

g.  Tingkah laku kembali pada perkembangan sebelumnya seperti

menghisap ibu jari;

h.      Anak akan menolak untuk makan, minum dan beraktifitas;

Tingkah laku pada fase ini akan berakhir dalam jangka waktu yang

berfariasi.

3.      Fase menolak / menyesuaikan diri (denial /detachement)

Fase ini biasanya terjadi setelah mengalami perpisahan beberapa waktu

dengan orang tua, dengan menunjukan perilaku sebagai berikut:

a)      Rasa interes dengan lingkungan meningkat;

b)      Mau berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal atau pemberi

pelayanan yang sudah dikenal oleh anak; 

c)      Anak tampak lebih gembira.

Pada fase ini anak mulai menerima rasa perpisahan dengan orang tuanya

atau keluarganya.

Pada anak usia prasekolah respon karena perpisahan berupa anak lebih

membina hubungan intrerpersonal dari pada masa todler. Mereka dapat

menerima perpisahan/mentolelir perpisahan dengan orang tuanya dan

cenderung membina hubungan dengan orang dewasa lainya.


a)       Menolak untuk makan, sukar tidur, menangis perlahan pada orang

tuanya, sering bertanya saat orang tuanya berkunjung atau menarik diri

dari yang lain.

b)       Mengekpresikan marah secara tak langsung dengan membanting

boneka, memukul anak lain, atau menolak untuk kooperatif selama

tindakan keperawatan.

2.1.4.4.2    Kehilangan Kendali (Loss of Control)

Salah satu faktor yang mempengaruhi stress pada anak yang

dirawat adalah faktor kemampuan mengedalikan diri. Kehilangan kendali

akan meningkatkan persepsi terhadap ancaman dan dapat mempengaruhi

kemampuan koping dari anak. Walaupun stimulasi sensori yang biasa

berkurang, stimulasi tambahan dari rumah sakit, seperti : sinar, bunyi-

bunyian dan bau-bauan yang berlebihan mungkin akan meningkatkan

kehilangan kendali pada anak yang dirawat. Penyebab utama dari

kehilangan kendali adalah keterbatasan fisik, perubahan dari aktifitas rutin

dan tingkat ketergantungan anak.

Pada anak usia prasekolah, kehilangan kendali disebabkan oleh

pembatasan aktifitas fisik, perubahan rutinitas dan adanya ketergantungan.

Egosentris dan pemikiran magic menyebabkan mereka tidak mampu

mengerti tentang hal-hal yang terjadi secara rasional, karena mereka

menterjemahkan menurut pandangan sendiri. Misalnya menganggap

proses penyakit dan hospitalisasi merupakan hukuman sehinga anak

merasa takut, bersalah dan malu.

2.1.4.4.3   Trauma Fisik Dan Nyeri


Ketakutan akan trauma fisik dan nyeri sekali terjadi pada anak.

Dalam merawat anak, perawat harus memberikan perhatian khusun

terhadap respon nyeri sesuai dengan tahap perkembangan.

Pada anak prasekolah karakteristik respon nyeri dimanifestasikan dalam

bentuk :

a) Ekspresi verbal lebih dapat diungkapkan, tetapi anak mungkin

mengungkapkanya secara kasar.

b)   Menangis kuat dan menjerit-jerit

c)   Menghindari stimulus eksternal sebelum sampai kepada dirinya.

d)    Memohonkan dukungan emosi pada orang tuanya seperti minta

dipeluk.

2.1.4.5 Alat Ukur Respon Kecemasan Anak

Lembar observasi ini menggunakan pendekatan skala Gauttmann

yang dimana responden memilih salah satu dari dua pernyataan. Lembar

observasi ini terdiri dari 16 pernyataan terkait respon kecemasan anak saat

pemasangan infus. Lembar observasi ini dimodifikasi dan disesuaikan

dengan kondisi kecemasan anak dan tujuan penelitian. Masing masing

pernyataan memiliki 2 pilihan jawaban dengan skor 0 jika tidak (tidak

terdapat respon kecemasan pada anak) dan 1 jika ya (terdapat respon

kecemasan pada anak).

Lembar observasi ini telah dilakukan uji validitas isi (Content

Validity). Validitas dilakukan dengan cara melakukan validasi oleh dosen

pakar keperawatan anak Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara yaitu Ibu Dina Rasmita, S.Kep, Ns, M.Kep (2020). Pakar ini sudah
menelaah apakah komponen penilaian pada lembar observasi dapat

mencakup isi dari konsep yang diteliti. Nilai CVI pada lembar kuisioner

yang telah di validasi oleh pakar diperoleh nilai sebesar 0, 96. Kuisioner

ini sudah valid sesuai dengan pernyataan yang telah disebutkan oleh Polit

& Beck (2013) yang menyatakan bahwa nilai CVI minimum yaitu 0, 9.

2.1.6 Konsep Penyakit Jantung Bawaan

2.1.6.1 Definisi Penyakit Jantung Bawaan

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) merupakan kelainan struktur dan

fungsi dari sirkulasi jantung yang tampak saat lahir atau saat kehidupan

selanjutnya. Penyakit Jantung Bawaan merupakan kelainan kongenital

yang paling banyak, penyebab utama kecacatan, menjadi penyebab

penting morbiditas dan mortalitas anak-anak di dunia secara keseluruhan

(Batrawy, 2015). PJB didefenisikan sebagai abnormalitas penyesuaian

pembentukan jantung atau pembuluh darah yang terbentuk selama

kehidupan fetus (3-6 minggu kehamilan), sehingga jantung atau pembuluh

darah besar tidak dapat berkembang sempurna setelah lahir. Abnormalitas

meliputi arteri, katup jantung, pembuluh darah koroner dan pembuluh

darah besar jantung yang dapat sederhana atau kompleks (Madiyono et al,

2008).

2.1.6.2 Faktor dan Resiko PJB

Ada 2 kelompok besar dalam pembagian faktor risiko untuk

terjadinya penyakit jantung bawaan : lingkungan dan genetik. Meskipun

dalam kenyataannya kedua faktor ini saling berinteraksi.


1. Lingkungan Paparan dari lingkungan yang tidak baik dapat mempengaruhi

perkembangan janin, misalnya, menghisap rokok (perokok pasif),

menghirup cat atau udara di bengkel mobil yang mengerjakan perbaikan

cat.

2. Faktor dari ibu :

a. Rubella Infeksi rubella terutama bila mengenai pada kehamilan

trimester pertama akan mengakibatkan insiden kelainan jantung

bawaan dan risiko untuk mendapat kelainan sekitar 35% dengan jenis

Patent Ductus Arteriosus, Valve Stenosis, Septal Defect.

b. Diabetes Bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang menderita

penyakit diabetes mempunyai risiko lebih tinggi untuk mendapat

kelainan jantung bawaan terutama yang kadar gulanya tidak terkontrol

dengan angka kejadian 3-5%. Kelainan jantung bawaan yang tersering

pada ibu yang menderita diabetes adalah Defek Septum Ventrikel,

Koarktasio Aorta, Transposisi Komplit. Di negara maju pada ibu-ibu

dengan penyakit diabetes direkomendasikan untuk dilakukan fetal

echocardiography.

c. Alkohol Disebut sebagai alkoholik adalah meminum alkohol sebanyak

45 ml per hari dan dikatakan tidak ada kadar yang aman untuk ibu

hamil. Ibu yang alkoholik mempunyai insiden 0,1-3,3 per 1000

kelahiran mendapatkan bayi yang tidak normal (fetal alcoholic

syndrom) dan untuk insiden kelainan jantung bawaan 25-30% dengan

jenis defek septum.


d. Obat-obatan lainnya Obat-obatan yang lain seperti diazepam,

kortikosteroid, fenotiazin, juga kokain dapat meningkatkan insiden

terjadinya kelainan jantung bawaan.

3. Genetik Riwayat dalam keluarga yang menderita kelainan pada jantung

atau bukan pada jantung menjadi suatu faktor utama (mayor). Tetapi

beberapa peneliti mengatakan bila ada anak yang menderita kelainan

jantung bawaan maka saudara kandungnya mempunyai kemungkinan

mendapat kelaianan jantung bawaan 1-3%, juga bila dalam silsilah

keluarga ada yang mendapat kelainan jantung bawaan maka kemungkinan

mendapat kelainan sekitar 2-4%. Sekitar 6-10% penderita kelainan jantung

bawaan mempunyai kelainan kromosom, atau dengan kata lain sekitar

30% bayi yang mempunyai penyimpangan kromosom menderita kelainan

jantung bawaan. Misalnya pada anak dengan Down Syndrome maka

sekitar 40% mempunyai kelainan jantung bawaan (Sondakh, 2015).

2.1.6.3 Tanda dan Gejala PJB

Gejala dan tanda yang mungkin terlihat pada bayi atau anak-anak antara lain :

1. Bernafas cepat.

2. Sianosis (warna kebiru-biruan pada kulit, bibir, dan kuku jari tangan).

3. Cepat Lelah

4. Peredaran darah yang buruk

5. Nafsu makan berkurang

Sedangkan pada PJB yang ringan tidak menampakkan gejala, dan

diagnosisnya didasarkan pada pemeriksaan fisik dan tes khusus untuk

alasan yang lain


.

2.1.7 Kerangka Teori

Kerangka terori yang dibuat dibawah ini adalah berdasarkan tinjauan

pustaka yang sudah dijelaskan sebelumnya :

Perawat Caring
 Pengertian
Anak Preschool
 Pengertian perawat  Aspek Perilaku Caring  Pengertian
 Peran perawat -Pembentukan factor  Ciri-ciri anak preschool
nilai humanistik dan aspek fisik, emosi, sosial,
- independen alturistik
- dependen -Menanamkan dan kognitif anak.
-interdependen keyakinan dan harapan
 Respon Perilaku
-Menanamkan
 Fungsi perawat senditifitas terhadap diri
- Care giver sendiri dan oranglain
-Membina hubungan
- Advokasi saling percaya dan
- Conselor saling membantu
- Coordinator -Meningkatkan dan
menerima eskpresi
- Educator perasaan positif dan
- Kolaborasi negative
 Faktor-faktor yang
mempengaruhi caring
perawat:
-Beban kerja
-Lingkungan kerja
-Pengetahuan dan
pelatihan
 Alat ukur Caring

A(Afitasari et al., 2016)

Pemasangan Infus Respon Kecemasan Anak Preschool


 Pengertian 1. Cemas akibat perpisahan
 Prosedur pemasangan Infus 2. Kehilangan kendali
3. Cidera Tubuh dan Rasa Nyeri
Bagan 2.1 Kerangka Teori

Watson (1979) dalam Priyoto (2015), (Alfitasari, et al., 2016).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3. 1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah kerangka acuan bagi peneliti untuk hubungan antar

variable dalam suatu penelitian (Agus Riyanto, 2019). Menurut (Sugiyono, 2018)

menyatakan bahwa “Desain penelitian harus spesifik, jelas dan rinci, ditentukan

secara mantap sejak awal, menjadi pegangan langkah demi langkah”.

Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif desain deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional (potong

lintang) yang bertujuan untuk mengetahui hubungan sikap caring perawat dalam

melakukan pemasangan infus terhadap respon kecemasan anak dengan penyakit

jantung bawaan di PJT Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo.

3.2 Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep adalah merupakan formulasi atau simplikasi dari kerangka

teori atau teori-teori yang mendukung penelitian tersebut. Oleh sebab itu,

kerangka konsep ini terdiri dari variabel-variabel serta hubungan variabel yang

satu dengan yang lain. Dengan adanya kerangka konsep akan mengarahkan kita

untuk menganalisis hasil penelitian (Notoatmodjo, 2018).


Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Sikap caring perawat dalam Respons Kecemasan Anak


pemasangan infus: Preschool
- Cemas
1. Caring Baik - Tidak Cemas
2. Caring Kurang

3.3 Operasionalisasi Variabel

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud,

atau apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan. Agar variable dapat diukur

dengan menggunakan instrument atau alat ukur, maka variabel harus diberi

batasan atau definisi yang operasional. Definisi operasional ini penting dan

diperlukan agar pengukuran variabel atau pengumpulan data (variabel) itu

konsisten antara sumber data (responden) yang satu dengan responden yang lain

(Notoatmodjo, 2018). Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Definisi
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Caring Kemampuan Kuesioner terdiri dari 1.Caring Baik Ordinal
Perawat dalam perawat dalam 20 item pertanyaan > 40
Tindakan memberikan dengan skala likert, 2. Caring
Pemasangan pelayanan dengan nilai jika : Kurang < 40
Infus keperawatan 1= tidak ada atau tidak
dalam tindakan pernah
pemasangan 2= kadang-kadang
infus kepada 3= sering
pasien rawat 4= sering sekali.
inap di Rumah
Sakit RSCM

Definisi
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Respon Kecemasan Lembar Observasi terkait 0 = Jika anak Nominal
kecemasan merupakan respon kecemasan anak sama sekali
anak ketakutan yang usia pra sekolah saat tidak
preschool dialami anak usia dilakukan pemasangan menunjukkan
respon
preschool saat infus yang terdiri dari 16
kecemasan
pemasangan infus pernyataan. Pernyataan pada anak.
di PJT RSCM lembar observasi ini 1 = Jika anak
menggunakan menunjukkan
pendekatan skala respon
Gauttmann dimana kecemasan
responden memilih salah pada anak
satu dari dua pernyataan.

3.4 Hipotesa Penelitian


Hipotesis merupakan anggapan dasar peneliti terhadap suatu masalah yang

sedang dikaji. Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

 Ha : Ada hubungan antara Sikap Caring Perawat Dalam Tindakan

Pemasangan Infus Terhadap Respon Kecemasan Anak Dengan Penyakit

Jantung Bawaan Diruang PJT Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo

 Ho : Tidak ada hubungan antara Sikap Caring Perawat Dalam Tindakan

Pemasangan Infus Terhadap Respon Kecemasan Anak Dengan Penyakit

Jantung Bawaan Yang Diruang PJT Rumah Sakit Dr Cipto

Mangunkusumo

3.5. Populasi dan Sample

3.5.1 Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau

subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2017).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak dengan penyakit jantung

bawaan yang terdaftar sebagai pasien di ruang PJT RSCM ada 75 pasien dalam 3

bulan dengan rata-rata 25 pasien per bulan.

3.5.2 Sample

Menurut Sugiyono (2017), sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimliki oleh populasi tersebut. Teknik sampling yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampling jenuh atau sensus, yaitu

teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel

(Sugiyono, 2017). Alasan menggunakan teknik sampling jenuh adalah karena


jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 100 orang, atau penelitian yang ingin

membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Jumlah sample dari

penilitian ini sebanyak 75 pasien.

3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel

3.6.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang harus dimiliki oleh individu dalam

populasi untuk dapat dijadikan sampel penelitian (Dharna, 2011). Kriteria inklusi

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pasien Anak yang yang terdiagnosa Penyakit Jantung Bawaan diruang PJT

RSCM.

2. Pasien anak usia 3-6 tahun diruang PJT RSCM.

3. Pasien anak yang dirawat inap diruang PJT RSCM dampingi orangtua atau

keluarga.

4. Pasien anak yang didampingi oleh orangtua atau wali.

5. Orangtua / wali yang bersedia menjadi responden.

3.6.2 Kriteria Ekslusi

Kriteria eksklusi adalah kriteria yang tidak boleh dimiliki sampel yang

akan digunakan untuk penelitian. Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Pasien anak dengan Penyakit Jantung Bawaan usia 3-6 tahun, dirawat

diruang PJT yang didampingi keluarga dengan komplikasi anak

dengan berkebutuhan khusus.

3.7 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian ini menggunakan lembar kuesioner yaitu alat

pengumpulan data secara formal kepada responden untuk menjawab

pertanyaan secara tertulis yang telah dirancang sedemikian rupa agar

diperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian (Nursalam,

2016). Instrumen yang akan digunakan pada penelitian ini terdiri dari:

 Instrumen 1 : Instrumen tentang sikap caring perawat dalam melakukan

tindakan pemasangan infus terhadap respon kecemasan anak dengan

penyakit jantung bawaan Diruang PJT Rumah Sakit Dr Cipto

Mangunkusumo. Instrumen ini dibuat dan dikembangkan oleh peneliti

dengan mengadopsi kuesioner Caring dari Watson (1979) dalam Priyoto

(2015) dan SOP RSCM dalam pemasangan infus yang terdiri dari 20

pertanyaan. Semua jawaban yang menunjukan sikap caring total 80

dimana akan mendapatkan poin 1 = tidak ada atau tidak pernah, 2 =

kadang-kadang, 3 = sering, 4 = sering sekali. Semua poin yang didapatkan

akan dipresentasikan dan dikelompokan sesuai tingkat caring (baik dan

kurang). Dikatakan tingkat caring baik jika skor akhir sama dengan atau

di atas 40 dan kurang jika skor akhir kurang 40.

 Instrumen 2: Menggunakan lembar observasi. Lembar observasi

menggambarkan respon kecemasan anak usia pra sekolah saat dilakukan

pemasangan infus yang terdiri dari 16 pernyataan. Pernyataan Lembar

kuisioner ini menggunakan pendekatan skala Gauttmann yang dimana

responden memilih salah satu dari dua pernyataan. 0 = Jika anak sama

sekali tidak menunjukkan respon kecemasan pada anak. 1 = Jika anak

menunjukkan respon kecemasan.


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner yang

dimodifikasi dari kuesioner yang sudah baku sebagai instrumen. Agar

kuesioner yang disusun mampu mengukur secara tepat maka peneliti

memutuskan untuk dilakukan uji kembali. Untuk mengetahui validitas

instrument ini, peneliti menggunakan uji validitas dan reliabelitas.

Instrumen ini akan dilakuan uji validitas dan reabilitas kepada pasien anak

di Gedung A Lantai 1 RSCM.

3.8 Uji Validitas dan Reliabilitas

Kuesioner yang telah dibuat oleh peneliti selanjutnya perlu

dilakukan uji validitas dan reabilitas yang bertujuan agar hasil penelitian

menjadi valid dan reliabel sehingga hasil penelitian akan memiliki makna

yang kuat (Sugiyono, 2017).

a. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu

benar- benar mengukur apa yang diukur (Sugiyono, 2017). Uji validitas

merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengetahui validnya suatu

alat ukur. Validasi dapat dilakukan dengan cara mengecek alat ukur oleh

orang yang ahli pada bidangnya. Alat ukur valid jika nilai Content Validity

Index (CVI) mencapai 0,90 (Polit & Beck, 2013)

Uji validitas digunakan untuk mengetahui kelayakan butir-butir

dalam daftar pernyataan dalam mendefinisikan suatu variabel. Daftar

pernyataan ini mendukung suatu kelompok variabel tertentu. Uji validitas

hendaknya dilakukan di setiap butir pernyataan di uji validitasnya. Hasil

dari uji validitas dilihat signifikan α. Jika nilai signifikan α < 0,05 maka
dikatakan valid, sebaliknya jika nilai signifikan α > 0,05 dikatakan tidak

valid.

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu

alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap

asas (ajeg) bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala

yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Sugiyono, 2017).

Uji reliabilitas dapat dilakukan secara bersama-sama terhadap seluruh

butir pernyataan jika nilai α > 0,60 maka reliable (Sugiyono, 2017).

3.9 Etika Penelitian

Etika penelitian adalah seperangkat prinsip-prinsip tentang

bagimana peneliti dan lembaga penelitian harus berperilaku ketika

berhadapan dengan peserta penelitian, peneliti lain dan rekan, para

pengguna penelitian mereka dan masyarakat pada umumnya (Zainuddin,

M., 2020).

Sebuah penelitian harus memperhatikan prinsip – prinsip etik

sebagai pertimbangan etika dalam penelitian ini, peneliti meyakini bahwa

responden dilindungi dengan menerapkan 4 etika penelitian yaitu Self

Determination, Anonymity, dan Confidientality, Privacy, Informed

Consent. Adapun pengertian etika penelitian menurut Notoatmodjo,

(2018):

1. Self determination
Setelah diberi penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan,

pasien diberi kebebasan untuk menentukan turut serta atau tidak dalam

penelitian tanpa diberi sanksi apapun. Selain itu, peneliti menjamin bahwa

keputusan yang diambil tidak berdampak pada kualitas pelayanan

kesehatan yang akan diterima. Kesediaan pasien menjadi responden

dibuktikan dengan penandatanganan lembar persetujuan responden.

2. Anonymity and confidential

Prinsip anonymity dilakukan peneliti dengan tidak mencantumkan

nama lengkap responden namun hanya nama inisial dalam kuesioner yang

dijadikan kode, dan prinsip confidentiality dilakukan peneliti dengan tidak

mempublikasikan keterikatan informasi yang diberikan dengan identitas

responden, sehingga dalam analisis dan penyajian data hanya

mendeskripsikan karakteristik responden. Selain itu, berkas penelitian

yang sudah tidak terpakai akan dihanguskan sehingga informasi tetap

terjaga kerahasiaannya.

3. Privacy

Peneliti menjamin privacy responden dan menjunjung tinggi harga

diri responden. Peneliti dalam berkomunikasi dengan responden tidak

menanyakan hal-hal yang dianggap sebagai privacy bagi responden,

kecuali yang berkaitan dengan penelitian, namun tetap mengedepankan

rasa penghormatan dan melalui persetujuan responden.

4. Informed Consent

Sebelum penelitian dilakukan peneliti memberikan informasi

secara lengkap tentang penelitian yang akan dilakukan dan memberikan


kebebasan untuk berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Jika

responden bersedia maka responden diminta untuk menandatangani

lembar persetujuan responden (Dharma, 2011).

3.10 Tehnik Pengambilan Data

Pengambilan data adalah cara yang digunakan peneliti dalam

mengumpulkan data penelitian. Metode pengumpulan data sangat

ditentukan oleh jenis penelitian (Dharma, 2011). Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan data primer, dengan menggunakan lembar

kuesioner dan observasi . Lembar kuisioner dilakukan modifikasi dan

disesuaikan dengan sikap caring perawat dalam tindakan pemasangan

infus terhadap SOP pemasangan infus RSCM. Data lama rawat pasien

didapat dari rekam medis pasien dengan penyakit jantung bawaan yang

dirawat di PJT RSCM Jakarta. Selesai pengumpulan data kemudian data

dicek ulang tentang kelengkapan dan kebenaran data.

3.11 Teknik Pengumpulan Data

1 Tahap Persiapan

a. Membuat proposal penelitian, kemudian Pembimbing telah menyetujui

proposal yang telah diajukan oleh penulis melalui sidang proposal.

b Mengurus surat permohonan ijin untuk penelitian kepada Dekan Fakultas

Ilmu Keperawatan dan Kebidanan niversitas Binawan.

c. Mengurus perijinan Uji etik melalui Komisi Etik RSCM


d. Mengurus surat ijin melakukan penelitian kepada bagian Pendidikan dan

Pelatihan (Diklat) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo

Jakarta.

e. Mengurus surat ijin penelitian kepada Kepala Unit PJT yang akan

diambil sampelnya.

f. Mempersiapkan form kesediaan menjadi responden (Informed

Consent), form identitas responden.

2.Tahap Pelaksanaan

a. Setelah mendapatkan persetujuan, peneliti menjelaskan maksud dan

tujuan dari penelitian yang dilakukan serta proses selama pelaksanaan

penelitian kepada responden.

b. Memperkenalkan diri kepada responden dan menjelaskan tujuan

tindakan yang akan dilakukan.

c. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Setelah

mendapatkan penjelasan dari peneliti, responden diberikan kesempatan

untuk menandatangani persetujuan atau menolak dalam penelitian.

d. Setelah responden menyetujui, kemudian diminta untuk

menandatangani surat persetujuan yang telah disiapkan oleh peneliti.

e. Peneliti menyiapkan kuesioner penelitian, dan meminta responden

untuk mengisi daftar pertanyaan yang telah disediakan.

f. Setelah daftar pertanyaan selesai diisi, peneliti melakukan pengecekan

kelengkapan dan klarifikasi bila ditemukan daftar pertanyaan yang

belum terisi atau tidak jelas penulisannya.

3. Tahap Terminasi
a. Setelah semua lembar observasi dan kuesioner terkumpul, peneliti

memberikan reward kepada orang tua pasien yang telah ikut serta dalam

penelitian.

b. Kemudian peneliti mengakhiri kontrak waktu kepada orang tua pasien

dan mengucapkan terima kasih.

c. Mengumpulkan hasil pengumpulan data untuk selanjutnya diolah dan

dianalisa

3.12 Tehnik Pengolahan Data

Data yang terkumpul diolah dengan komputerisasi dengan langkah-

langkah sebagai berikut :

1. Proses Collecting

Mengumpulkan data yang berasal dari hasil lembar kuesioner dan observasi.

2. Proses Checking

Dilakukan dengan memeriksa kelengkapan lembar observasi dengan tujuan

agar data diolah secara benar sehingga pengolahan data memberikan hasil

yang valid dan reliabel dan terhindar dari bias.

3. Proses Coding

Pada langkah ini penulis melakukan pemberian kode pada variabel-variabel

yang diteliti, misalnya nama respondan diubah menjadi 1,2,3,….,15

4. Proses Entering

Data entry, yakni hasil-hasil pengukuran dan observasi dari masing-masing

responden yang masih dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan
ke dalam program komputer yang digunakan untuk “entry data” peneliti yaitu

program SPSS 25 for Windows.

5. Proses Processing

Semua data yang telah di input ke dalam aplikasi komputer akan diolah sesuai

dengan kebutuhan dari penelitian.

3.13 Jenis Analisis Data yang digunakan

Analisa data yang akan dilakukan pada penelitian ini terdiri dari dari

analisa univariat dan analisa bivariat .

3.13.1 Analisis Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendekrispsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisa

univariate tergantung dari jenis datanya (Notoatmodjo, 2018). Suatu

analisis yang dilakukan terhadap sebuah variabel. Adapun tujuan analisis

univariat pada penelitian ini adalah untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel independen yaitu

perilaku caring perawat dan dependen. Perilaku Anak Dengan Penyakit

Jantung Bawaan Yang Menjalani Hospitalisasi.

Persentase distribusi frekuensi masing-masing variabel dihitung

dengan memakai rumus sebagai berikut :

x
f = x 100 %
n

Keterangan :

f = frekuensi

x = jumlah yang didapat (variabel yang diteliti)


n = jumlah populasi

3.13.2 Analisis Bivariat

Analisa data yang akan dilakukan pada penelitian ini terdiri dari dari

analisa univariat dan analisa bivariat . Analisa ini menghubungkan setiap variabel

dependen yang ada dalam konsep penelitian dengan variabel independen, dengan

tujuan untuk melihat apakah hubungan yang terjadi memang bermakna secara

statistic atau terjadi secara kebetulan. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu

untuk mengetahui adanya hubungan antara variabel independen dan variabel

dependen serta jenis data yang diteliti adalah kategorik maka teknik analisa data

yang dipergunakan adalah uji Chi-Square. Tingkat signifikan atau derajat

kemaknaan yang dipilih dalam penelitian ini adalah 5% (=0,05).

X 2 =¿

X² = Nilai Chi-kuadrat

fo = Frekuensi yang diobservasi

fe = Frekuensi yang diharapkan

a. Jika nilai probabilitas ≤ 0,05 maka hipotesis Ha diterima atau gagal ditolak

yang artinya adanya hubungan antara variabel dependen dengan variabel

independen.

b. Jika nilai probabilitas >0,05 maka hipotesis Ha ditolak yang artinya tidak ada

hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.


DAFTAR PUSTAKA

Afitasari, Sofyani, S., & Erna Mutiara. (2016). Perbandingan Gangguan Perilaku
Anak Penderita Penyakit Jantung Bawaan Dan Saudaranya Yang Sehat. Sari
Pediatri, 16(4).
Afriyani, R. (2020). Studi Deskriptif Peran Perawat Edukator Pada Pasien Pre
Operasi di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. 2017(1), 1–9
Agustin, W. R. (2016). Pengetahuan Perawat Terhadap Respon Hospitalisasi
Anak Usia Pra Sekolah. Jurnal Kesmadask, 3(2), 1.
Apriany, D. (2013). Hubungan Antara Hospitalisasi Anak Dengan Tingkat
Kecemasan Orang Tua. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman
Journal Of Nursing), 8(2).
Ariani, Novira, R. Y., & Yosoprawoto, M. (2014). Kualitas Hidup Anak Dengan
Penyakit Jantung. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 7(1).
Arya, A., & Soodan S. (2015). Understanding the Pathophysiology and
Management of the Anxiety Disorders. International Journal of Pharmacy &
Pharmaceutical Research, 4(3), 251 – 278
Asmuji. (2012). Manajemen Keperawatan Konsep Dan Aplikasi. Ar-Ruzz Media.
Boyarchuk, O., Hariyan, T., & Kovalchuk, T. (2018). Clinical Features Of
Rheumatic Heart Disease In Children And Adults In Western Ukraine.
Bangladesh Journal Of Medical Science, 18(1), 87–93.
Https://Doi.Org/10.3329/Bjms.V18i1.39556
Canadian Mental Helath Association. (2015). What’s the difference between
anxiety and an anxiety disorder? [Halaman web]. Diakses pada tanggal 17
Maret 2020 dari https://www.heretohelp.bc.ca/q-and-a/whats-the-difference-
between-anxiety-and-an-anxiety-disorder
Castle, D. J., Bassett, D., King, J., & Gleason, A. (2013). A Primer of Clinical
Psychiatry 2nd Edition. Australia: Elsevie
Chodidjah, S., & Syahreni, E. (2015). Pengalaman Hospitalisasi Anak Usia
Sekolah. Jurnal Keperawatan Indonesia, 18(1), 45–50.
Https://Doi.Org/10.7454/Jki.V18i1.397
Crump, C., Rivera, D., London, R., Landau, M., Erlendson, B., & Rodriguez, E.

44 Universitas Binawan
(2013). Chronic Health Conditions And School Performance Among
Children And Youth. Annals Of Epidemiology, 23(4), 179–184.
Https://Doi.Org/10.1016/J.Annepidem.2013.01.001
Darmawan, & Ngurah, K. (2018). Hubungan Perilaku Caring Perawat Terhadap
Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Di Rsud Klungkung. Jurnal Dunia
Kesehatan, 5(1).
Dharna. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan Melaksanakan
Dan Menerapkan Penelitian. Cv Trans Info Media.
Doupnik, S. K., Hill, D., Palakshappa, D., Worsley, D., Bae, H., Shaik, A., Qiu,
M. (Kefeng), Marsac, M., & Feudtner, C. (2017). Parent Coping Support
Interventions During Acute Pediatric Hospitalizations: A Meta-Analysis.
Pediatrics, 140(3), E20164171. Https://Doi.Org/10.1542/Peds.2016-4171
Gass, C. S., & Curiel, R. E. (2011). Test Anxiety In Relation To Measures Of
Cognitive And Intellectual Functioning. Archives Of Clinical
Neuropsychology, 26(5), 396–404. Https://Doi.Org/10.1093/Arclin/Acr034
Haijah. (2019). Hubungan Antara Perilaku Caring Perawat Terhadap Tingkat
Kecemasan Anak Yang Dilakukan Pemasangan Infus. Jurnal Menara
Medika, 1(2).
Hariyanto, D. (2016). Profil Penyakit Jantung Bawaan Di Instalasi Rawat Inap
Anak Rsup Dr.M.Djamil Padang Januari 2008 – Februari 2011. Sari
Pediatri, 14(3), 22.
Hasnul, M., Najirman, N., & Yanwirasti, Y. (2015). Karakteristik Pasien Penyakit
Jantung Rematik Yang Dirawat Inap Di Rsup Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4(3). Https://Doi.Org/10.25077/Jka.V4i3.383
Hidayat, S. (2013). Pengembangan Kurikulum Baru. Pt Remaja Rosdakarya.
Hoffman, J. I. ., & Kaplan, S. (2002). The Incidence Of Congenital Heart Disease.
Journal Of The American College Of Cardiology, 39(12), 1890–1900.
Https://Doi.Org/10.1016/S0735-1097(02)01886-7
Hulinggi, I., Masi, G., & Ismanto, A. Y. (2018). Hubungan Sikap Perawat Dengan
Stres Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah Di Rsu Pancaran
Kasih Gmim Manado. E-Journal Keperawatan (E-Kp), 6(1).
Irwandi. (2015). Korelasi Peran Perawat Dan Dukungan Keluarga Dengan
Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah Di
Ruang Kenari Rs. Dr. Bratanata Jambi. Jurnal Akper Garuda Putih, 1(2).
Jannah, M. (2015). Tugas-Tugas Perkembangan Pada Usia Kanak-Kanak. Gender
Equality: Internasional Journal Of Child And Gender Studies, 1(2).
Karsdorp, P. A., Everaerd, W., Kindt, M., & Mulder, B. J. M. (2013).
Psychological And Cognitive Functioning In Children And Adolescents With
Congenital Heart Disease: A Meta-Analysis. Journal Of Pediatric
Psychology, 32(5), 527–541. Https://Doi.Org/10.1093/Jpepsy/Jsl047
Kasron. (2016). Buku Ajaran Keperawatan Kardiovaskuler. Cv. Trans Info
Media.
Kyle, & Carman. (2015). Buku Praktik Keperawatan Pediatri. Egc.
Liu, Y., & Sen, C. (2019). Global Birth Prevalence Of Congenital Heart Defects
1970-2017. Updated Systematic Review And Meta-Analysis Of 260 Studies -
Pubmed (Nih.Gov).
Melani. (2013). Karakteristik Penderita Penyakit Jantung Reumatik (Pjr) Yang
Dirawat Inap Di Rsup H. Adam Malik Medan Tahun 2004-2008. In
Universitas Sumatera Utara.
Mitchell, S. C., Korones, S. B., & Berendes, H. W. (1971). Congenital Heart
Disease In 56,109 Births Incidence And Natural History. Circulation, 43(3),
323–332. Https://Doi.Org/10.1161/01.Cir.43.3.323
Notoatmodjo, S. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan (Ketiga). Rineka Cipta.
Nur, R. Y., Suhartono, & Warsito Bambang Edy. (2020). Pengaruh
Kepemimpinan Efektif Terhadap Kepuasan Perawat Diruang Rawat Inap
Rsud Karanganyar. Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan ’Aisyiyah, 16(1),
55–66.
Nursalam. (2015). Manajemen Keperawatan. Aplikasi Dalam Praktik
Keperawatan Profesional (Edisi 5).
Pohan, V. Y., & Faozah Herda Syahvira. (2019). Gambaran Penerapan Model
Delegasi Keperawatan Relactor (Mdk’r’) Pada Perawat Kepala Ruang. The
10th University Research Colloqium 2.
Potter, & Griffin, P. A. (2012). Fundamental Of Nursing. Egc.
Priyoto. (2015). Komunikasi & Sikap Empati Dalam Keperawatan. Yogyakarta :
Graha Ilmu.
Rahmah, S., & Fitriani Agustina. (2016). Hubungan Penerapan Atraumatic Care
Dengan Stres Hospitalisasi Pada Anak Di Ruang Anak Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Almuslim,
1(2).
Sitompul, J. A. (2019). Pentingnya Hubungan Interpersonal Dengan Perawat
Demi Keselamatan Pasien. Osf.
Https://Doi.Org/Https://Doi.Org/10.31227/Osf.Io/2xvjq
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Alfabeta.
Tempo.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung : Alfabeta.
Sulistiyowati, M. A. E. T. (2016). Pelaksanaan Advokasi Perawat dalam Informed
consent Di Rumah sakit Islam Sultan Agung Semarang. Jurnal Ilmu
Keperawatan Dan Kebidanan, 2(4), 188–194.
Supartini. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Egc.
Tehrani, H., Haghighi, & Bazmamoun. (2015). Effects Of Stress On Mothers Of
Hospitalized Children In A Hospital In Iran. Iranian Journal Of Child
Neurology., 6(4), 39–45.
Triwibowo. (2013). Manajemen Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit. Trans
Info Media.
Utomo. (2020). Berbahayakah Operasi Penyakit Jantung Bawaan Pada Anak?
National Cardiovascular Center Harapan Kita. Jurnal Rumah Sakit Harapan
Kita.
Wong, D.L., Hockenberry, M., Eaton, Wilson, D., Winkelstein., & Schwartz, P.
(2013). Buku Ajar : Keperawatan Pediatrik Edisi 6. Alih Bahasa: Hartono.
A., Kurnianingsih, S., & Setiawan).
Wulandari, & Setiyorini. (2015). The Effect Of Swaddling, Side-Stomach,
Shushing, Swinging, Sucking (5s’s) Toward Pain And Duration Of Crying
Neonates Post Blood Sampling Procedures. Jurnal Ners Dan Kebidanan,
1(3), 171–176.
Yuniarti, S. (2014). Peran perawat sebagai care giver nurse role as a care giver.
VII(1), 13–17
KUISIONER PENELITIAN

HUBUNGAN SIKAP CARING PERAWAT DALAM TINDAKAN


PEMASANGAN INFUS TERHADAP RESPON KECEMASAN ANAK
DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DIRUANG PJT RUMAH
SAKIT DR CIPTO MANGUNKUSUMO

IDENTITAS RESPONDEN

PETUNJUK PENGISIAN I

a. Bacalah pertanyaan berikut ini dengan seksama.


b. Jawablah pertanyaan berikut ini dengan benar.
c. Pilihlah salah satu jawaban yang saudara anggap benar.

Identitas

1. Nama ( inisial ) :

2. Usia :

3. Jenis Kelamin : Laki-Laki, Perempuan

4. Pendamping/ wali di Rumah Sakit ? Ayah Kakek

Ibu Nenek

Kakak Lain-lain

5. Pengalaman anak dilakukan pemasangan infus ? Pernah

Belum Pernah

6. Pengalaman dilakukan pemasangan infus ? 1 kali

>1 kali
PETUNJUK PENGISIAN II
Menjawab pernyataan dengan memberi tanda checklist (√) pada tempat
yang tersedia.
Keterangan :
1 = tidak ada atau tidak pernah
2 = kadang-kadang
3 = sering
4 = sering sekali

Kuesioner Sikap Caring Perawat Dalam Tindakan Pemasangan Infus

Pilihan Jawaban
No Pertanyaan
1 2 3 4
Perawat meminta pasien menyebutkan nama dan
1 tanggal lahir pasien sebelum tindakan pemasangan        
infus
Perawat mempersiapkan alat sebelum tindakan
2 pemasangan infus
Perawat menjelaskan ke pasien prosedur tindakan
3 pemasangan infus yang dilakukan.        
Perawat tidak memberikan dukungan kepada pasien
4        
dalam hal pelayanan keperawatan ( cuek / acuh )
Perawat tidak menunjukkan sikap ramah kepada
5        
pasien
Perawat tidak memiliki sikap empati saat pasien
6 mengeluh sakit saat tindakan pemasangan infus        
Perawat membantu pasien untuk proses kesembuhan
7 pasien        
Perawat memberi pasien posisi nyaman saat
8 tindakan pemasangan infus        
Perawat bersikap sigap terhadap keluhan – keluhan
9 pasien saat pemasangan infus        
Perawat mengetahui cara memberikan obat IV,
10 memasang alat – alat seperti infus        
Perawat mendemonstrasikan pengetahuan dan
11 ketrampilannya dalam tindakan pemasangan infus        
Perawat memberikan dukungan kepada pasien agar
12 lekas sembuh        
Perawat mampu menggunakan alat kesehatan secara
13 kompeten ( misalnya mampu melakukan pemberian        
obat suntik melalui injeksi )
Perawat tidak memberitahukan pasien dalam
14 perencanaan pemasangan infus        
Perawat menjaga informasi tentang kesehatan pasien
15 kepada oranglain ( privasi )        
Perawat bersikap peduli melayani pasien secara
16 sukarela dan profesional        
Perawat membantu pasien dalam mengurangi rasa
17 sakit pasien saat pemasangan infus        
Perawat memenuhi kebutuhan pasien dalam
18 perawatan        

19 Perawat menunjukkan kepedulian terhadap pasien        


Perawat memberitahukan pasien untuk memanggil
20 perawat jika terjadi masalah setelah pemasangan        
infus ( tangan bengkak )

Sumber : Watson (1979) dalam Priyoto (2015), (Alfitasari, et al., 2016)


RESPON KECEMASAN ANAK SAAT TINDAKAN PEMASANGAN
INFUS ( DIISI OLEH PENELITI )

N Respon Kecemasan Ya Tidak


o
1 Anak memiliki ekspresi wajah tegang dan wajah
terlihat pucat saat dilakukan pemasangan infus
2 Anak memegang erat tangan saya sebelum
pemasangan infus
3 Anak menangis saat dilakukan pemasangan infus
4 Anak mudah berkeringat
5 Anak meminta perawat untuk pergi
6 Anak mengatakan tidak ingin dilakukannya
tindakan pemasangan infus
7 Anak mengajak orang tua untuk pulang
8 Anak menendang perawat
9 Saya merasakan jari dan badan anak gemetar
10 Anak berteriak
11 Anak menepis tangan perawat yang
memegangnya
12 Anak berusaha melepas selang infus
13 Anak memeluk orang tua dengan era
14 Anak menarik bagian tubuh yang akan diinfus
15 Anak memejamkan mata
16 Anak merasa ketakutan
Sumber : Rasmita Dina (2020)

Anda mungkin juga menyukai