Anda di halaman 1dari 11

RANGKUMAN

Fraud & Moral Hazard

Kelas 1D Akuntansi Manajerial


MATA KULIAH : ETIKA
BISNIS DAN PROFESI
1. AMALIYAH RAHMADHANA (46121078)
2. ANDI HAIKAL FIKRI (46121079) DOSEN PENGAMPUH :
DR. MUHAMMAD
3. ANJELITA PATA’DUNGAN (46121081) RIDWAN S.E. M.A.Fin.,A
4. NUR ADYA ZABRIKA (46121091)
FRAUD
Bentuk pelanggaran paling keras terhaddap etika, kontrak, dan regulasi adalah kecurangan
(fraud). Dalam kecurangan, terdapat unsur niat jahat, kesengajaan, dan penipuan. Oleh karena itu,
kecurangan akan selalu dikaitkan dengan pelanggaran hukum.
Praktik hampir mirip atau mendekati kecurangan adalah moral hazard. Porsi Tindakan yang berupa moral
hazard lebih besar dibandingkan dengan kecurangan. Walaupun morwal hazard, barangkali, tidak dapat
dibuktikan sebagai pelanggaran hukum, tetapi pada umumnya, khalayak ramai menggangapnya sebagai
Tindakan yang tidak elok. Kecurangan dan moral hazard merupakan telaah penting dalam penyusunan
kode etik, kontrak, dan regulasi adalah untuk menghindari terjadinya moral hazard oleh pihak yang
terlibat dan mengidentifikasikan secara jelas dan tegas Tindakan kecurangan.

KECURANGAN DAN MORAL HOZARD

Associatiation of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggolongkan kecurangan dalam 3 (tiga)


jenis, yaitu kecurangan pelaporan (Fraudulent Statement), pencurian asset (missappropiation of assets),
dan korupsi (corruption) (ACFE, 2014:2). Kecurangan pelaporan dibagi lagi menjadi dua, yaitu
kecurangan pelaporan keuangan dan kecurangan non-keuangan. Kecurangan non-keuangan diantaranya
adlah pemberian credential kepada karyawan (yang salah). Pencurian asset meliputi Tindakan yang lebih
banyak lagi. Demikian juga dengan korupsi.
Gambar 14.1 Pelanggaran Etika, Kontrak, Regulasi dengan Moral Hazzard dan Fraud

Pemicu

Pelanggaran Etika/
Kontrak/ Regulasi

Melawan
Hukum ?

MORAL Kecurangan (Fraud)


HAZARD

Sanksi Sosial Sanksi Hukum


Moral hazard, seperti juga telah dikemukakan sebelumnya, adalah Tindakan dan perbuatan
sseorang atau organisasi demi keuntungan diri sendiri dan dapat berakibat merugikan orang lain, dalam
kaitannya dengan pelaksanaan dan penerapan suatu kontrak atau regulasi. Selalu ada pembenaran
dalam moral hazard. Di sinilah perbedaan antara fraud dan moral hazard, sebab syarat fraud adalah
bahwa Tindakan itu dilakukan dengan melawan hukum.

PELANGGARAN ETIKA, KONTRAK, DAN REGULASI


Etika dalam bentuk norma, prinsip moral, atau nilai, merupakan bentuk awal dari tatanan
hubungan social antarmanusia. Etika digunakan sebagai pedoman untuk menghormati dan
memperhitungkan hak dan kepentingan orang lain dengan siapa mereka membina hubungan social.
Etika tidak harus dalam bentuk tertulis, tetapi dalam perkembangannya, norma, prinsip moral, atau nilai
tersebut dijadikan sebagai aturan positif yang dinyatakan secara tertulis dalam bentuk, misalnya kode
etik.

Kemudian, sesuai dengan perkembangannya, bagian dari etika yang hanya berkaitan dengan jenis
hubungan tertentu antara pihak-pihak tertentu yang terlibat, disepakati untuk dituangkan dalam kontrak
diantara mereka. Hubungan bisnis merupakan salah satu dari hubungan yang termasuk dalam kategori
“jenis tertentu” dan hanya melibatkan “pihk tertentu”. Oleh karena itu, sepanjang berkaitan dengan
bisnis, hubungan tersebut dituangkan dalam kontrak.

Walaupun sudah ada etika, kontak, atau regulasi, tetap saja ada individu maupun organisasi yang
mencoba untuk melanggarnya. Pelanggaran kontrak dan regulasi tentulah merupakan Tindakan
melawan hukum.

PEMICU
Ada dua sifat dasar manusia yang menjadi pemicu utama pelanggaran etika. Kedua sifat itu
adalah keserakahan (greed) dan ketakutan (fear). Sementara itu, juga ada dua kondisi yang
menyebabkan pelanggaran etika, yaitu kesempatan dan konsekuensi. International Standards of Auditing
(ISA) Nomor 240 menyebutkan ada 3 (tiga) factor risiko akibat kecurangan pelaporan keuangan, yang
disebut dengan segitiga kecurangan (fraud triangle), yaitu insetif/tekanan, sikap/rasionasilasasi dan
kesempatan. Ketiga factor risiko ini pada dasarnya merupakan pemicu terjadinya pelanggaran etika,
kontrak, atau regulasi yang pada akhirnya menjelma menjadi Tindakan kecurangan dan moral hazard.
Insentif / Tekanan

Kesempatan Sikap / Rasionalisasi

Insentif adalah bentuk lain dari keserakahan. Godaan duniawi yang dijanjikan dari Tindakan
kecurangan atau moral hazard memicu keserakahan orang atau organisasi bersangkutan.Tekanan
(pressure) berasal dari ancaman pihak luar yang mengakibatkan ketakutan dan terganggunya rasa aman.
Pihak luar itu dapat berasal dari pemegang saham, stakeholder lain, pasar, atau regulasi yang
menetapkan target atau sasaran yang harus dicapai. Tekanan dapat diidentifikasi dengan ketakutan
(Fear).

Kesempatan (opportunity) merupakan kondisi dari luar individu dan oranisasi yang mendorong
terjadinya pelanggaran etika, kontrak, dan regulasi. Kesempatan dapat terjadi karena ketidakjelasan
etika, kontrak, dan regulasi yang mengakibatkan timbulnya meltitafsir yang bersifat subjektif.
Adanya factor rasionalisasi atau pembenaran merupakan pemicu bagi seseorang dan organisasi untuk
berlaku curang atau melakukaan perbuatan yang bersifat moral hazard. Rasionalisasi akan didukung oleh
system jika konsekuensi dari Tindakan curang masih tergolong ringan. Contoh konsekuensi yang ringan
adalah rendahnya hukuman jika terjadi pelanggaran dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh.

Pencurian Aset
Jadi, pencurian asset perusahaan dikategorikan sebagai kecurangan karyawan (Employess’fraud).
Namun, pencurian asset perusahaan juga dapat dilakukan oleh manajemen atau pihak luar.ACFE
mengelompokkan pencurian asset ke dalam Sembilan skema sebagi berikut :

1. Pemalsuan cek (Check tampering)


2. Penggajian fiktif (fictious Payroll)
3. Penggantian biaya (expense reimbursement).
4. Penagihan ( billing).
5. Penyaringan (skimming)
6. Pencurian uang tunai (Cash on hand)
7. Penggelapan uang ( cash larceny)
8. Pemalsuan register pengeluaran kas (cash register disbursement)
9. Non-tunai (non-cash).

TANDA BAHAYA PERILAKU CURANG


Pelaku kecurangan (perpetrator) biasanya, menunjukan perilaku aatau mengalami kondisi tertentu
sebelum diketahui telah melakukan kecurangan. ACFE dalam studinya menyebutkan perilaku-
perilaku yang dapat menunjukkan adanya tanda-tanda kecurangan :

1. Kehidupan melampaui kewajaran (living beyond means).


2. Kesulitan keuangan (financial dificulities).
3. Kedekatan dengan pemasok atau pelanggan (unusually close association with
vendor/customer).
4. Keengganan berbagai tugas (unwilling to share duties).
5. Cerai atau masalah keluarga (divorce/family problem ).
6. Perilaku pedagang lihai (wheeler-dealer attitude).
7. Mudah tersinggung, mudah curiga, dan defensive (irritability, suspicious, and defensiveness).
8. Madalah kecanduan (addicition problem)
9. Maasalah pekerjaan sebelumnya (past employment problem)
10. Keluhan tentang rendahnya gaji ( complain about inadequate pay)
11. Penolakan untuk mengambil cuti (refusal to take vacation).
12. Tekanan terlalu berat dari dalam organisasi (excessive pressure from within organization).
13. Masalah hukum sebelumnya (past legal problem)
14. Keluhan tentang kurangnya wewenang (complain about lack of authority).
15. Tekanan dari keluarga dna rekan untuk sukses (execessive family/peer pressure of success)
16. Ketidak-stabilan dalam lingkungan kehidupan (instability in life circumstance).

MIS-CONDUCT
Dalam penelitiannya, ACFE juga menanyakan kepada responden apakah berdasarkan investigasinya, para
pelaku juga telah melakukan perbuatan tidak senonoh (misconduct) sebelum terbongkarnya kasus
mereka. Jawaban atas pertanyaan ini menunjukkan bahwa 38% dari perilaku kecurangan tersebut
pernah melakukan paling tidak satu kali perbuatan tidak senonoh. Diantara perbuatan yang tidak
senonoh yang paling banyak dilakukan adalah 17% bullying/intimidasi, 14% suka bolos kerja, 8% malas,
7% browsing internet, 3% mengunjungi situs pornografi atau judi, 2% pelecehan seksual, Dalam
kaitannya dengan HRD para pelaku kecurangan tersebut pernah berhubungan dengan HRD dalam
kaitannya dengan evaluasi kerja yang buruk 11%, ketakutan kehilangan pekerjaan karena oengecilan
atau restrukturisasi usaha 7%, betul-betul kehilangan pekerjaan 3%, pemotongan gaji 2%, pemotongan
manfaat lain 3%, penurunan jabatan 2%, dan pengurangan jam kerja secara suka rela 1%.
PENANGGULANGAN
Tata Kelola perusahaan yang baik dapat mencegah terjadinya kecurangan manajemen dalam studi yang
dilakukan ACFE pada 2014, ada 18 pengendalian yang diterapkan oleh perusahaan untuk mencegah
terjadinya kecurangan

1. Audit eksternal oleh akuntan terhadap laporan keuangan.


2. Penerapan kode etik
3. Adanya bagian internal audit
4. Sertifikasi laporan keuangan oleh manajemen
5. Audit eksternal terhadap internal control over financial reporting
6. Tinjauan ulang manajemen
7. Komite audit independent
8. Hotline
9. Program pendukung karyawan
10. Pelatihan tentang kecurangan kepada manajer / eksekutif
11. Pelatihan tentang keuangan kepada karyawan biasa
12. Kebijakan anti kecurangan
13. Pembentukan departemen, fungsi, atau tim khusus yang menangani kecurangan
14. Analisis data
15. Penilaian secara proaktif dan formal risiko kecurangan
16. Pemeriksaan secara acak
17. Rotasi pekerjaan atau wajib cuti
18. Penghargaan bagi peniup peluit

Skema Ponzi
Ada dua pihak yang terlibat dalam produk berskema ponzi, yaitu sponsor dan investor. Sponsor
merancang dan menjual produk kepada investor. Investasi berskema ponzi, pada umumnya, ditandai
oleh hal-hal berikut:

1. Menarik dana dari masyarakat dan memisahkan uang tersebut dari kendali pemiliknya
2. Dana dan penginvestasiaan dikelola oleh pihak sponsor tanpa melibatkan investor
3. Menjanjikan imbalan yang tinggi, diatas tingkat bunga normal dengan risiko yang kecil.
4. Informasi tentang skema investasi terlihat masuk akal dan dapat diterima investor
5. Pihak sponsor termasuk orang-orang kredibilitasnya dikenal masyarakat
6. Untuk membangun kredibilitas, pada awalnya, pembayaran imbalan berjalan lancer
7. Menggunakan konsep piramida, yaitu seseorang investor diharuskan mencarikan investor lain
Untuk menghindari penipuan yang berkedok skema ponzi, hal-hal berikut diperhatikan padda waktu
ditawari suatu produk invvestasi

1. Apakah penjuak mempunyai izin untuk menjual produk yang dimaksud?


2. Apakah produk investasi tercatat di pihak otoritas?
3. Apakah informasi tentang imbalan dan risiko memadai dan masuk akal?
4. Apakah produk investasi dapat dimengerti atau pernah terbukti sebagai produk yang kredebel ?

Korupsi
Secara singkat, korupsi dapat didefinisikan sebagai “illegitimate use of public power to benefit a private
interst”. Definisi ini mendikotimikan kekuasaan dengan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi tidak
harus berarti kepentingan dari pelaku. Korupsi adalah Tindakan yang

1. Dilakukan secara rahasia


2. Berupa pemberian barang atau jasa oleh pihak ketiga
3. Dapat mempengaruhi keputusan / Tindakan tertentu
4. Memberikan manfaat kepada pelaku korupsi atau pihak pelaku atau keduanya,
5. Pelaku korupsi mempunyai kekuasaan.

Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi mengelompokkan Tindakan yang
dianggap korupsi sebagai berikut.

1. Berbuat atau Tindakan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.


2. Memegaruhi putusan perkara
3. Perbuatan curang
4. Penggelapan uang
5. Pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi
6. Penggelapan, penghacuran, dan perusakan dokumen
7. Menerima hadiah atau gaji

Tata Kelola pemerintahan yang baik merupakan salah satu solusi untuk mencegah terjadinya Tindakan
pidana korupsi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah system penegak hukum, peradilan, system
hukum, partisispasi masyarakat.

1. Memilih agen yang lebih baik


2. Memperbaiki insentif
3. Memperbaiki keterbukaan informasi
4. Membuka persaingan
5. Mengurangi kewenangan diskresi
6. Memperberat biaya social, ekonomi dan hukum
7. Meningkatkan penegakan hukum
8. Memperbaiki system peradilan yang berkeadilan
9. Meningkatkan dan memperbaiki whistle blowing system.

MORAL HAZARD

Moral hazard merupakan bentuk lain dari pelanggaran etika, kontrak, regulasi selain kecurangan.
Tindakan curang (fraud) merupakan Tindakan melawan hukum. Secara harafiah, “hazard” dapat
diterjemahkan sebagai risiko atau bahaya.

Bidang Moral Hazard

Moral hazard merupakan bagian abu-abu dari pelanggaran etika, kontrak, dan regulasi. Ia berada di
antara Tindakan etis dan kecurangan (Fraud). Moral hazard mungkin tidak melanggar hukum, tetapi pada
umumnya, dianggap sebagai Tindakan yang tidak elok. Moral hazard bergerak pada bagian yang lowong
(celah) dari etika, kontark, dan regulasi yang tertulis. Apalagi jika etika, kontrak, dan regulasi tersebut
tidak tertulis. Perbedaan interpretasi yang menghasilkan multitasfir adalah pintu utama untuk melakukan
Tindakan moral hazard. Penginterpretasian hal-hal yang menimbulkan multitasfir demi kepentingan diri
sendiri, yang pada umumnya melanggar kaidah-kaidah keutaman adalah inti dari moral hazard. Moral
hazard merupakan salah satu dari masalah yang ditimbulkan oleh hubungan antara prinsipel dan agen
dalam teori keagenan.

Moral Hazard Dalam Ekonomi


Istilah moral hazard berasal dari ilmu ekonomi yang mempelajari ekonomi informasi. Seperti
pernah dikemukakan sebelumnya, mendefinisikan moral hazard sebagai Tindakan oleh salah satu pihak
dalam suatu transaksi yang memengaruhi penilaian pihak lain terhadap transaksi tersebut, tetapi pihak
kedua tidak dapat mengawasi/memaksa secara sempurna Tindakan tersebut.
Moral hazard bermula dari hubungan kontrak antara prinsipiel dan agen. Dalam contoh asuransi
kebakaran, perusahaan asuransi adalah prinsipiel dan penerima manfaatnya adalah agen. Moral hazard
terjadi karena ada informasi tersembunyi yang tidak dikemukakakan oleh agen dan tidak diketahui oleh
prinsipiel.
Moral hazard yang didasarkan atas analisis ekonomi mikro, pada mulanya diterapkan dalam bisnis
asuransi dan pengaturan skema penggajian melalui kontrak yang mereka buat. Namun, moral hazard
sebagai model analisis dalam ekonomi makro juga semakin banyak diterpkan.
Moral Hazard Dalam Kontrak
Keadilan tidak dapat dipisahkan dari asas kewajaran atau kepatutan. Jika aspek keadilan berada dalam
konteks undang-undang hukum, kepatutan atau kewajaran terletak diluar undang-undang hukum.
Beberapa maxim yang berkaitan dengan asas kepatutan yang dikemukakan oleh Francis dan G.E. Dal Pont
antaranya sebagai berikut
1. Equity will not allow a statute to be used as an instrument of fraud.
2. Equity does looks to intent rather than from
3. Equity is equality
4. A person who comes to equity must come with clean hands
5. Equity follow the law
6. He or she who seek equity must do equity
7. Equity will not suffer a wrong whithout remedy
8. Equity acts in personam
9. Equity will not assist a voluenteer
10. Equity assits the diligent and not the tordy
11. Equity consider done that which ought to have been done
12. Equity will not perfect on imperfect gift
13. Where the equities are equal the law prevails
14. Where the equities are equal the first in line privalis.
Selain keadilan, asas yang harus dianut dalam penyusunan kontrak adalah proporsionalitas. Hernoko
mengajukan kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menentukan adanya asas proporsionalitas dalam
kontrak. Berikut ini kriteria-kriteria yang dimaksud
1. Kesetaraan kedudukan dan hak
2. Kebebasan menentukan substansi keadilan
3. Proporsionalitas distribusi hak dan kewajiban
4. Proporsionalitas dalam penyelesaian sengketa
Moral Hazard Dalam Manajemen
Tata Kelola dan system pengendalian internal, pada dasarnya, berbicara tentang hak dan kewajiban
seseorang dalam struktur organisasi perusahaan. Moral Hazard berhubungan dengan penyalahgunaan hak
dan pelepasan kewajiban. Moral Hazard dapat terjadi dalam tata Kelola dan system manajemen
perusahaan. Berikut ini beberapa factor yang dapat menimbulkan terjadinya moral Hazard.
1. Posisi yang aman
2. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
3. Pertanggungjawaban yang tidak jelas
4. Tidak ada ukuran kinerja yang jelas
5. Orientasi pada tujuan jangka pendek
6. Pengalihan tanggungjawab.
Moral Hazard juga dapat terjadi jika ada orang lain yang tidak berdosa, yang dapat dijadikan kambing
hitam terhadap suatu kesalahan. Tentu, dalam hal ini, pengalihan tanggung jawab hanya dapat dilakukan
dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.

MORAL HAZARD DALAM BISNIS


Moral hazard dapat terjadi di setiap tahapan bisnis, baik pada kegiatan primer, yaitu produksi, penjualan,
pemasaran, dan kegiatan sekunder (support). Pada tahap produksi, moral hazard dapat terjadi pada tataran
input, proses, atau output. Pada tataran input, moral hazard dilakukan dalam bentuk penggunaan bahan-
bahan atau campuran/komposisi antarbahan yang tidak sesuai dengan standar produksi yang diharuskan.
Pada tahapan proses, moral hazard dapat terjadi jika proses produksi dilakukan tidak sesuai dengan
keharusan yang ditetapkan terutama yang berkaitan dengan kesehatan, kenyamanan, dan keamanan tempat
kerja.
Moral hazard pada tahap output dapat berupa tidak memadainya informasi tentang produk dan risikonya
bagi konsumen. Pada tahap penjualan, kewajiban untuk melakukan training (penjelasan cara pemakaian)
sering dilupakan.
MORAL HAZARD DALAM REGULASI
Undang-undang atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah (dalam bentuk peraturan pemerintah,
peraturan presiden, peraturan menteri dan peraturan-peraturan di bawahnya) secara umum disebut dengan
regulasi dari pihak otoritas. Regulasi adalah hukum yang dimaksudkan untuk mengatur perilaku
masyarakat. Pernah dikemukakan, norma hukum mencakup 3 (tiga) kaidah, yaitu kaidah kewajiban,
kaidah larangan, dan kaidah kebolehan (Hazairin dalam Assidiqie, 2014:54).
Dalam proses pembuatan undang-undang, negosiasi yang terjadi adalah negosiasi politik. Menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
penyusunan suatu undang-undang di antaranya harus mencakup tahap-tahap dibuatnya naskah akademis,
kemudian dilengkapi dengan Focus Group Discussion (FGD), seminar dan dengar pendapat dengan para
ahli terkait.
Regulasi pada awalnya akan berdampak terhadap masyarakat. Dampak ini dapat menjalar ke dunia
bisnis dan pada akhirnya memengaruhi perekonomian nasional.

Moral Hazard Dalam Etika


Pembahasan tentang moral hazard dalam etika sangat abstrak. Etika berada di luar (beyond) kontrak dan
regulasi, walaupun asas kepatutan dan kepantasan dalam kontrak, misalnya, merupakan bagian darinya.
Nilai-nilai keutamaan adalah etika. Kadar pemaksaan pada etika jauh lebih rendah dibandingkan kontrak
dan regulasi. Ini berarti kadar pelanggarannya juga semakin tinggi. Persoalan etika harus diatasi dengan
pengendalian diri. Perilaku dan perbuatan manusia dikendalikan oleh nalar dan hati nurani.
Moral hazard seharusnya tidak perlu terjadi dalam etika murni. Yang ada adalah melanggar atau patuh
padanya. Titik. Sebab, etika murni tidak memerlukan rasionalisasi atau pembenaran. Rasionalisasi dan
pembenaran adalah pekerjaan nalar, sedangkan dasar etika murni adalah keyakinan tentang kebenaran.
Kenyataannya, moral hazard masih mungkin terjadi terhadap kode etik (rules of conduct) atau
pernyataan nilai (value statements) yang digunakan sebagai budaya perusahaan (etika organisasi). Kode
etik atau pernyataan nilai yang pada umumnya dinyatakan secara tertulis dan menjadi pedoman
berperilaku dan berbuat bagi seluruh karyawan tidak ubahnya sebagai kontrak.

Anda mungkin juga menyukai