Anda di halaman 1dari 8

Makalah

Tafsir Surat At-Tin

Dosen :

Jainal Abidin.M.Pd.i

Disusun Oleh :

Alya Tsania salsabilla

Muwafiq Zianul Azizy

Wahyu Widodo

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF (STAIM) MAGETAN

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai seorang muslim yang beragama Islam dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya kita wajib
melaksanakan segala yang telah diperintahkan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Dengan mengkaji Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Semua surat dalam Al-Qur’an dapat dipastikan memiliki makna dan penafsiran yang sangatlah luas,
karena memang Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi sekalian manusia untuk berbekal ke negeri
akhirat. Begitu juga dengan surat At-Tiin yang terdapat didalamnya penjelasan tentang manusia,
lantas apakah yang telah Allah berikan kepada manusia? Untuk menjawab pertanyaan diatas, surat
At-Tiin memberi penjelasan tentang manusia serta penafsirannya menjelaskan fungsi manusia
dialam dunia ini.

Banyak penafsiran yang menjelaskan makna dari ayat-ayat surat At-Tiin. Namun pada intinya
memiliki maksud yang sama. Maka dari itu penulis ingin menjelaskan pemahaman dari tafsiran Surat
At-tiin yang telah ditafsirkan oleh Ulama-ulama dan diabadikan dalam buku-buku dan kitab-kitab
pelajaran dan umum.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tafsir Surat At Tiin

ِ ‫ب ِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن الر‬


‫َّحي ِْم‬

ُ‫) ثُ َّم َر َد ْدنَاه‬4( ‫ ) لَقَ ْد َخلَ ْقنَا اإْل ِ ْنسَانَ فِي أَحْ َس ِن تَ ْق ِو ٍيم‬3( ‫ ) َوهَ َذا ْالبَلَ ِد اأْل َ ِمي ِن‬2( َ‫ور ِسينِين‬ ِ ُ‫) َوط‬1( ‫ون‬ ِ ُ‫َوالتِّي ِن َوال َّز ْيت‬
‫هَّللا‬
ُ َ ‫ْس‬ ‫ي‬َ ‫ل‬َ ‫أ‬ ) 7 ( ‫ن‬ ‫ِّي‬
ِ ِ ‫د‬ ‫ال‬‫ب‬ ‫د‬ُ ْ
‫ع‬ َ ‫ب‬ ‫ك‬
َ ُ ‫ب‬ ِّ
‫ذ‬ َ
‫ك‬ ُ ‫ي‬ ‫ا‬‫م‬َ َ ‫ف‬ )6 ( ‫ن‬ ‫و‬ُ
ٍ َْ ‫ن‬ ‫م‬‫م‬ ‫ر‬
ُ ْ
‫ي‬ َ
‫غ‬ ‫ر‬
ٌ ْ‫ج‬َ ‫أ‬ ‫م‬ْ ُ ‫ه‬َ ‫ل‬َ ‫ف‬ 5
‫ت‬ ‫ا‬‫ح‬
ِ َ ِ ‫ل‬ ‫َّا‬
‫ص‬ ‫ال‬ ‫وا‬ُ ‫ل‬ ‫م‬‫ع‬َ
ِ َ ‫و‬ ‫وا‬ُ ‫ن‬ ‫م‬
َ ‫آ‬ َ‫ين‬ ‫ذ‬
ِ َّ ‫ال‬ ‫اَّل‬ِ )5( َ‫أَ ْسفَ َل َسافِلِين‬
‫إ‬
ْ
)8( َ‫بِأحْ ك َِم ال َحا ِك ِمين‬ َ

(1) Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.

(2) Dan demi Bukit Sinai.

(3) Dan demi kota (Makkah) ini yang aman.

(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

(5) Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).

(6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang
tiada putus-putusnya.

(7) Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya
keterangan-keterangan) itu?

(8) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?

Menurut para ulama Surat At-Tin diturunkan Allah di Makkah setelah Surat al-Buruj.[1] Tema besar
surat makkiyah ini ada dua. Pertama, pengangkatan Allah terhadap derajat manusia dengan
memuliakannya. Kedua, tema iman dan amal serta balasannya. Itulah yang kelak akan membuktikan
bahwa Allah-lah sebijak-bijaknya hakim yang akan menuntaskan dan mengadili semua permasalahan
manusia dengan seadil-adilnya.[2]

Dalam surat ini Allah bersumpah dengan beberapa hal.

)1( ‫َوالتِّي ِن َوال َّز ْيتُو ِن‬


Pertama, ”Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun” (QS. 95: 01).

Sebagian ahli tafsir ada yang mengartikan sumpah pertama ini dengan nama bukit yang ada di
Baitul Maqdis, Palestina. Ini pendapat Ikrimah.[3] Sementara Qatadah mengatakan bahwa Tin adalah
bukit di Damaskus dan Zaitun adalah nama bukit di Baitul Maqdis[4]. Namun, tidak sedikit yang
menyebutkan bahwa yang dimaksud di sini adalah nama dua buah yang sudah dikenal oleh orang
Arab juga manusia secara umum yaitu buah Tin yang sangat manis dan buah Zaitun yang pahit
namun banyak manfaatnya. Jika yang dimaksud adalah tempat maka bisa konteksnya dengan
menambah penafsirannya menjadi bukit atau tempat tumbuhnya kedua buah tersebut. Yaitu di
dataran Baitul Maqdis. Gagasan ini seperti disampaikan Syihabuddin al-Alusy dalam tafsirnya.[5]

ِ ُ‫َوط‬
)2( َ‫ور ِسينِين‬
Kedua, “Dan demi bukit Sinai”. (QS. 95: 02)

Adapun tempat kedua yang dipakai bersumpah di sini adalah bukit Sinai, yang menurut
kebanyakan ahli tafsir dimaknai dengan bukit tempat nabi Musa menerima wahyu yaitu di bukit
Sinai, Mesir[6]. Menurut Ikrimah, ”sinîn” berarti baik, yaitu dalam bahasa habasyah (Etiophia).[7]

)3( ‫َوهَ َذا ْالبَلَ ِد اأْل َ ِمي ِن‬


Ketiga, “Dan demi kota (Mekkah) ini yang aman.”

Berikutnya Allah bersumpah dengan Al Balad Al Amin, yaitu Makkah.[8] Lalu, mengapa Allah
Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Para ulama tafsir menerangkan sebab-
sebabnya yang diantaranya; karena kedua tumbuhan tersebut (At Tin dan Az Zaitun) banyak
mengandung manfaat, baik pada pohonnya maupun buahnya, dan karena keduanya sangat tumbuh
subur dan baik di Syam, yang merupakan tempat diutusnya Nabi Isa ‘alaihissalam menjadi seorang
rasul. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan sebuah bukit, karena di tempat
itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada Nabi Musa dan mengutusnya menjadi seorang
rasul.

Adapun mengapa Allah bersumpah dengan Al Balad Al Amin? Itu karena Mekkah adalah sebuah
negeri yang aman bagi orang memasukinya, juga karena di tempat itulah Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi seorang rasul. Dari sini, jelaslah mengapa Allah
Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Itu karena ketiga tempat tersebut adalah
tempat-tempat yang disucikan yang Ia pilih, dan telah diutus padanya rasul-rasulNya yang paling
mulia.[9]

)4( ‫لَقَ ْد خَ لَ ْقنَا اإْل ِ نسَانَ فِي أَحْ َس ِن تَ ْق ِو ٍيم‬


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Ayat berikutnya adalah jawaban dari sumpahNya terhadap hal-hal tadi, bahwa sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk dan sifat yang sebaik-baiknya,
dengan seluruh anggota tubuh yang seimbang, sempurna, dan tidak kekurangan suatu apapun. Dan
semuanya itu menunjukkan atas kekuasaan Allah yang mutlak atas penciptaan dan pengembalian
manusia pada hari kebangkitan.[10]

Allah swt. Dalam ayat ini menegaskan secara eksplisit bahwa manusia itu diciptakan dalam
bentuk yang paling sempurna. Ar-Raghib Al-Asfahani, seorang pakar bahasa Al Quran
menyebutkan bahwa kata ‘taqwiim’ pada ayat ini merupakan isarat tentang keistimewaan
manusia dibanding binatang, yaitu dengan dikaruniainya akal, pemahaman, dan bentuk fisik
yang tegak dan lurus. Jadi ‘ahsani taqwiim’ berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya. Kalau
kita cermati lebih jauh, sesungguhnya kesempurnaan manusia bukan hanya sekedar pada bentuk
fisik dan psikisnya saja, kedudukan manusia di antara makhluk Allah lainnya pun menempati
peringkat tertinggi, melebihi kedudukan malaikat, “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan
anak Adam (manusia) dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami melebihkan mereka
atas makhluk-makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang menonjol.” (Q.S. Al Isra 17:70)
Pada prinsipnya, malaikat adalah makhluk mulia. Namun jika manusia beriman dan taat kepada
Allah swt., ia bisa melebihi kemuliaan para malaikat.

Ada beberapa alasan yang mendukung pernyataan tersebut. Pertama, Allah swt.
Memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Adam a.s. Saat awal penciptaan
manusia Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, “Sujudlah
kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan ia adalah
termasuk golongan kafir.” (Q.S. Al Baqarah 2:34) Kedua, malaikat tidak bisa menjawab pertanyaan
Allah tentang al asma (nama-nama ilmu pengetahuan), sedangkan Adam a.s. mampu karena
memang diberi ilmu oleh Allah swt., “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, “ Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu memang golongan yang benar. Mereka menjawab, “Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman, “Hai
Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya
kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan
kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” (Q.S. Al Baqarah 2:31-32). Ketiga, kepatuhan
malaikat kepada Allah swt. Karena sudah tabiatnya, sebab malaikat tidak memiliki hawa nafsu;
sedangkan kepatuhan manusia pada Allah swt. Melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu
dan godaan setan. Keempat, manusia diberi tugas oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi...” (Q.S. Al Baqarah 2:30).

Mencermati analisis di atas, bisa disimpulkan betapa Allah swt. Telah memberikan kemuliaan
yang begitu tinggi pada manusia, bukan hanya yang bersifat fisik dan psikis, tapi juga dari segi
kedudukannya. Namun, kalau manusia tidak mampu mengemban amanah yang begitu besar,
derajatnya akan turun ke tingkat yang paling hina, bahkan bisa lebih hina dari binatang
sekalipun, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ٍ ُ‫ فَلَهُ ْم أَجْ ٌر َغ ْي ُر َم ْمن‬5‫ت‬


)6( ‫ون‬ ِ ‫) إِاَّل الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬5( َ‫ثُ َّم َر َد ْدنَاهُ أَ ْسفَ َل َسافِلِين‬
Artinya: “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”

Pada ayat kelima Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan tentang keadaan kebanyakan manusia
yang kufur terhadap nikmat yang telah Ia berikan kepadanya berupa bentuk fisik yang sempurna dan
baik. Maka sudah sewajibnya seorang manusia bersyukur atas nikmat ini, namun justru kebanyakan
manusia lalai dan lupa terhadap penciptanya yang telah memberikan kenikmatan-kenikmatan yang
tak terbilang, mereka sibuk dengan bermain-main dan hal-hal yang melalaikan mereka. Mereka
ridha dengan perkara-perkara rendah dan akhlak-akhlak buruk yang merusak diri mereka sendiri.
Akhirnya Allah pun mengembalikan mereka ke dalam neraka yang paling bawah, tempatnya ahli
maksiat yang membangkang dan menentang perintah-perintah Allah. Kecuali orang orang yang
beriman, yang telah diberikan oleh Rabb mereka keutamaan berupa keimanan, amal yang shalih,
dan akhlak yang tinggi dan mulia. Maka bagi mereka derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan pahala dariNya yang tiada henti-hentinya terus mengalir kepada mereka dan tanpa
terputus. Bahkan mereka terus mendapatkan kelezatan kelezatan yang terus-menerus, kebahagiaan
yang tiada habis-habisnya, dan kenikmatan tak terhingga yang abadi dan kekal selama-lamanya.[11]

Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ُ‫فَ َما يُ َك ِّذب‬


ِ ‫ك بَ ْع ُد بِالد‬
)7( ‫ِّين‬
“Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya
keterangan-keterangan) itu?”

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya dan menegaskan kembali kepada manusia yang
telah diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, sempurna dan utuh tanpa kekurangan suatu apapun,
namun di antara manusia masih ada yang kufur terhadap nikmat nikmat Rabbnya dan ingkar
terhadap hari pembalasan,”Apa yang membuatmu dan menyebabkanmu wahai anak Adam
mendustakan dan mengingkari hari pembalasan terhadap seluruh amal perbuatan, padahal kamu
telah mengetahui kekuasaan Rabbmu yang mampu menciptakanmu dengan baik dan sempurna?
Bukankah Ia yang telah menciptakanmu jauh lebih mampu untuk menghidupkanmu kembali dan
membalas amal-amalmu? Apa yang membuatmu mendustakan semua ini sedangkan kamu
mengetahui kebenarannya?[12]

Dan di akhir surat At-Tiin ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

)8( َ‫ْس هَّللا ُ بِأَحْ ك َِم ْال َحا ِك ِمين‬


َ ‫أَلَي‬
Artinya: “Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?”

Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali bertanya dalam ayat ini yang maknanya, “Apakah adil dan sesuai
dengan hikmah-Nya jika Ia menciptakan makhlukNya untuk kemudian dibiarkan dan ditinggalkan
begitu saja tanpa diperintah dan dilarang, dan tanpa diberikan balasan baik ataupun buruk? Ataukah
sesuai keadilan dan hikmahNya itu, jika Ia Yang Maha Pencipta dengan tahapan demi tahapan
penciptaan, kemudian Ia memberikan seluruh nikmat-nikmatNya yang tiada terbilang, lalu
membimbing mereka dengan bimbingan yang baik dan bijaksana, dan akhirnya Ia mengembalikan
mereka kepada tujuan dan inti kehidupan mereka, yaitu akhirat yang kepadanyalah orang-orang
beriman menuju?”[13]

Ada sebuah hadits yang erat kaitannya dengan ayat terakhir ini. Yang mungkin hadits ini dijadikan
hujjah oleh sebagian mereka yang beranggapan akan sunnahnya hukum membaca lafazh ( ‫ َوأَنَا‬،‫بَلَى‬
َ‫ك ِمنَ ال َّشا ِه ِد ْين‬
َ ِ‫) َعلَى َذل‬, atau lafazh (‫ك فَبَلَى‬
َ َ‫ ) ُس ْب َحان‬tatkala seseorang membaca surat At Tiin ini sampai
pada penghujung ayatnya.

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, Ahmad, dan lain-lainnya dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu , beliau berkata:[14]

َ ِ‫ َوأَنَا َعلَى َذل‬، ‫ بَلَى‬: ْ‫ فَ ْليَقُل‬، َ‫ْس هللاُ بِأَحْ ك َِم ْال َحا ِك ِم ْين‬
َ‫ك ِمنَ ال َّشا ِه ِد ْين‬ َ ‫ أَلَي‬: َ‫ فَقَ َرأ‬، ‫ َوالتِّي ِْن َوال َّز ْيتُوْ ِن‬: َ‫ َم ْن قَ َرأ‬.
“Barangsiapa yang membaca ‘Wat tiini waz Zaituun’ sampai ia membaca ‘Alaisallaahu bi Ahkamil
Haakimiin’ ; maka hendaknya ia mengucapkan: ‘Balaa Wa Ana ‘Alaa Dzaalika minasy Syaahidiin’ (Ya,
dan aku atas hal itu termasuk orang-orang yang bersaksi).”

Namun hadits ini dha’if, sebagaimana yang telah dihukumi oleh Asy Syaikh Al Albani,[15] disebabkan
pada sanadnya terdapat perawi (dan ia bukan seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada makalah yang telah saya tulis yang berjudul Tafsir Surah At-Tin maka dapat disimpulkan
bahwa pada surah At-tin Allah Swt. Telah memberikan kemuliaan yang begitu tinggi pada manusia,
bukan hanya yang bersifat fisik dan psikis, tapi juga dari segi kedudukannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2001. Tafsir Karim Ar Rahman fi Tafsiri Kalami Al Mannan. Daar As Salam.

Al-Alusy, Syihabuddin. 1997. Ruhul Maani. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Baghawy. 2004. Ma’alim at-Tanzil. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1986. Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni.

As-Suyuthi, Jalaluddin. 2004. Al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah.

Ath-Thabary, Ibnu Jarir. 2001. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-
Araby.

Dha’if Sunan Abi Daud, Muhammad Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H).

Ismail, Abul Fida’. 2002. Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al ‘Azhim). Riyadh: Daar Ath Thayyibah.

Anda mungkin juga menyukai