Anda di halaman 1dari 14

Darma, Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan 221

KEDUDUKAN HUBUNGAN KERJA : BERDASARKAN SUDUT PANDANG


ILMU KAIDAH HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN SIFAT HUKUM
PUBLIK DAN PRIVAT
Susilo Andi Darma*

Bagian Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


Jalan Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman Yogyakarta 55281

Abstract
Employment law is a public law caused by sosialisering process. However, in the arrangement of employment
relations can still be found the existence of provisions that are private in nature. This research aims to
assess the standing of employment relations standpoint rule employment law studies and the standing of
employment relations based on the nature of public and private law. Based on research, the position of
employment relations based on rule employment law studies can be a heteronomous law and autonomous
law or simultaneously in the form of heteronomous and autonomous law. While the position of employment
relations based on the nature of the law can be public and private or at the same time is public and private.
Keywords: employment relations, heteronomous, otonomous, public, private.

Intisari
Hukum Ketenagakerjaan merupakan hukum publik yang disebabkan oleh sosialisering proses. Akan
tetapi dalam pengaturan hubungan kerja masih dapat ditemukan adanya ketentuan-ketentuan yang sifatnya
privat. Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji kedudukan hubungan kerja berdasarkan sudut pandang Ilmu
Kaidah Hukum Ketenagakerjaan dan kedudukan hubungan kerja berdasarkan sifat hukum publik dan privat.
Berdasarkan hasil kajian, kedudukan hubungan kerja berdasarkan ilmu kaidah hukum ketenagakerjaan
dapat berupa kaidah hukum heteronom dan kaidah hukum otonom atau secara bersamaan berupa kaidah
hukum heteronom dan otonom. Sedangkan kedudukan hubungan kerja berdasarkan sifat hukumnya dapat
bersifat publik dan bersifat privat atau secara bersamaan bersifat publik dan privat.
Kata Kunci: hubungan kerja, heteronom, otonom, publik, privat.

Pokok Muatan
A. Pendahuluan ...................................................................................................................................... 222
B. Pembahasan ...................................................................................................................................... 223
C. Penutup ............................................................................................................................................. 233

*
Alamat korespondensi: anhdie@ugm.ac.id.
222 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 221-234

A. Pendahuluan pada saat penjajahan Kolonial Belanda.


Hukum Ketenagakerjaan Indonesia diawali Tiga tahun setelah Indonesia merdeka,
dengan masa suram yakni zaman perbudakan, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Kerja
rodi, dan peonale sanksi.1 Selama masa penjajahan No. 12 Tahun 1948 yang hingga saat ini penga-
Kolonial Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia turan mengenai Hukum Ketenagakerjaan diatur
yang mengatur mengenai perjanjian perburuhan melalui Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
tunduk pada ketentuan Burgerlijk Wetboek (BW) Ketenagakerjaan (Undang-undang Ketenagakerja-
lama yang berlaku berlainan bagi berbagai golongan an). Hal ini dilakukan sebagai campur tangan
penduduk di Indonesia. Apabila majikan atau buruh pemerintah untuk melindungi para pihak terutama
orang Indonesia asli maka pada umumnya berlakulah pekerja/buruh yang berada dalam posisi yang tidak
hukum adat, tetapi dalam hal ini ada pengecualian seimbang. Campur tangan pemerintah ini disebut
yaitu beradasarkan S. 1879-256, yang mengatakan dengan sosialisering proses.6 Pada hakikatnya
pasal-pasal 1601-1603 BW lama berlaku bagi hubungan antara majikan dengan Pekerja/buruh
golongan Indonesia dan yang disamakan dengan merupakan hubungan yang bersifat privat,7 selain
golongan Indonesia.2 Pasal 1601-1603 BW lama itu salah satu pihak, pekerja/buruh, berada di bawah
terdapat dalam Bagian V dari titel 7 Buku Ke- perintah pihak yang lain, majikan, yang menandakan
III yang berjudul “Van Huur van dienstboden en adanya kedudukan yang sub-ordinatie,8 yang
Weklieden” (tentang Persewaan tenaga pelajan dan menunjukkan bahwa kedudukan pekerja/buruh
pekerja). Kemudian Bagian tersebut berdasarkan berada pada posisi yang lemah
S. 1926-335 jis 458-565 dan S.1927-188 diganti Campur tangan pemerintah juga terjadi di
dengan titel 7A dengan judul “Overeenkomsten tot bidang pengupahan. Saprudin9 dalam penelitiannya
het verichten van arbeid” (tentang persetudjuan- mengungkap campur tangan pemerintah di bidang
persetudjuan melakukan pekerdjaan).3 pengupahan sudah diawali pada Periode Orde
Pemberlakuan titel 7A tidak mengubah Lama yaitu pada saat diundangkannya Undang-
kedudukan dari golongan Indonesia dan Arab pada undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan
saat itu.4 Setelah Indonesia merdeka dan memiliki Kerja. Negara mengatur mengenai ketentuan uapah
Undang-Undang Dasar 1945, dalam Pasal II Aturan dikaitkan dengan ganti rugi akibat kecelakaan kerja
Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen) di dalam hubungan kerja. Peran pemerintah dalam
disebutkan bahwa badan negara dan peraturan pengupahan semakin besar dengan penetapan
yang ada masih berlangsung berlaku, selama belum Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang
diadakan yang baru menurut undang-undang dasar Perlindungan Upah. Dan pengaturan tersebut
ini. Dengan demikian semua badan negara dan berlangsung hingga sekarang dengan ditetapkannya
peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
itu masih diberlakukan.5 Pemberlakuan tersebut tentang Pengupahan.
termasuk BW yang di dalamnya terdapat titel 7A Sebagaimana disebutkan, pengaturan menge-
dengan menghilangkan penggolongan yang ada nai ketenagakerjaan diatur oleh Undang-undang

1
Lalu Husni, 2012, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.1.
2
Wiwoho Sudjono, 1970, Persetudjuan Perburuhan, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 3.
3
Ibid., hlm. 4.
4
Ibid.
5
H. Zainal Asikin, 2013, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 25.
6
Repository UGM, Tanpa Judul, http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74496/potongan/S2-2014-338217-chapter1.pdf, diakses 4
Januari 2017.
7
Ibid.
8
Wiwoho Sudjono, Op. cit., Hlm. 7.
9
Saprudin, “Sosialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan”, Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 3, 2012.
Darma, Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan 223

Ketenagakerjaan. Penjelasan umum Undang- pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan,


undang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa: maka Kaidah Hukum Ketenagakerjaan terdiri atas
[…] Pembangunan ketenagakerjaan harus Kaidah Otonom dan Kaidah Heteronom.12 Kaidah
diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi Hukum Otonom adalah ketentuan-ketentuan
hak-hak dan perlindungan yang mendasar hukum di bidang ketenagakerjaan yang dibuat oleh
bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta
para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan
pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan
kondisi yang kondusif bagi pengembangan kerja, baik itu hubungan antara pengusaha dengan
dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan pekerja/buruh dan hubungan antara pengusaha
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. dengan serikat pekerja/serikat buruh.13 Kaidah
Keterkaitan itu tidak hanya dengan Hukum Heteronom adalah ketentuan-ketentuan
kepentingan tenaga kerja selama, sebelum,
Hukum Ketenagakerjaan yang dibuat oleh pihak
dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan
kepentingan pengusaha, pemerintah, dan ke tiga yang berada di luar para pihak yang terikat
masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan dalam suatu hubungan kerja.14 Bagaimanakah
yang komprehensif […].10 hubungan di antara kedua kaidah tersebut? Kaidah
Berdasarkan penjelasan umum Undang- Heteronom dimungkinkan selama Kaidah Otonom
undang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilihat mempunyai nilai yang tinggi dibandingkan nilai
ada kepentingan-kepentingan umum dan ada ketentuan dalam Kaidah Heteronom.15 Berdasarkan
kepentingan-kepentingan khusus. Sebagai contoh, latar belakang tersebut maka penulis mengkaji
ketentuan mengenai perjanjian kerja yang diatur mengenai bagaimana kedudukan hubungan kerja
dalam Pasal 1 angka 14. perjanjian kerja dalah dalam hukum ketegakerjaan berdasarkan sifat
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha hukum publik dan privat dan sudut Pandang ilmu
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kaidah hukum ketenagakerjaan.
kerja, hak dan kewajiban para pihak.’ Berdasarkan
ketentuan tersebut, bahwa pembuatan perjanjian B. Pembahasan
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau Berdasarkan pembagian menurut isi
pemberi kerja bernuansa kepentingan khusus/privat, hukum, hukum dibagi menjadi Hukum Publik
akan tetapi syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban dan Hukum Perdata/Privat. Adanya pembagian
para pihak bernuansa kepentingan umum/publik. publik dan perdata/privat dikarenakan isi dari
Mengapa bernuansa publik? Karena Undang- pengaturan-pengaturan hukum bergantung pada
undang Ketenagakerjaan mengatur mengenai hakikat hubungan yang diaturnya, dapat mengatur
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban beserta hubungan-hubungan yang terkait kepentingan
sanksi apabila tidak dipenuhi.11 publik atau dapat mengatur hubungan-hubungan
Pendapat lain, Aloysius Uwiyono dalam yang terkait kepentingan privat.16 Carol Harlow
bukunya menyatakan bahwa berdasarkan sudut dalam artikelnya yang berjudul Public and Private

10
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
11
Pasal 54 Undang-Undang Ketenakerjaan mengatur mengenai bentuk dan isi dari perjanjian kerja. Salah satu hak yang diatur di dalam
perjanjian kerja adalah upah. Pasal 90 berbunyi: “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89.” Pasal 185 ayat (1) berbunyi: “Barangsiapa melanggar ketentuan dimaksud dalam Pasal […], Pasal 90 ayat (1), […], dikenakan
sanksi pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).”
Ayat (2) tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana kejahatan.
12
Aloysius Uwiyono, et al., 2014, Asas-asas Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 7-8.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
L. J. van Apeldoorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 171.
224 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 221-234

Law: Definition without Distinction, mengemukakan ketenagakerjaan dapat bersifat privat dan dapat
bahwa di Inggris tidak mengenal pembedaan pula bersifat publik.21 Bersifat privat karena
publik dan privat, tatapi langsung menggunakan mengatur hubungan antara orang perseorangan
istilah “perjanjian”, “mengganti kerugian”, dan (majikan-buruh) dalam pembuatan perjanjian kerja
“kejahatan”.17 Pembicaraan mengenai publik dan dan bersifat publik karena pemerintah ikut campur
privat berawal dari tradisi Perancis, terutama para tangan dalam masalah-masalah perburuhan serta
pengacara kontinental, yang memberikan istilah adanya sanksi pidana dalam peraturan hukum
hukum publik untuk memisahkan aturan yang perburuhan.22 Hubungan antara hukum publik
otonom, dimana aturan yang demikian normalnya terhadap hukum privat adalah hubungan antara
terpisah dari yurdiksi administrasi.18 hukum khusus atau perkecualian terhadap hukum
Karl E. Karle menulis sebuah artikel umum.23 Hukum publik merupakan perkecualian
yang mencoba untuk menggambarkan dan atas hukum privat apabila itu diperlukan oleh
mempertahankan pemikirannya mengenai fungsi pemerintah untuk memelihara kepentingan umum.24
ideologi hukum dalam kajian yang memfokuskan Sebagaimana telah disampaikan, Hukum
terhadap perlakuan pembedaan publik atau privat Ketenagakerjaan yang awalnya merupakan hukum
dalam hukum ketenagakerjaan. Perbedaan publik/ yang bersifat privat/keperdataan lama kelamaan
pribadi berulang tidak hanya sebagai motif sebuah menjadi hukum yang bersifat publik. Campur
latar belakang tapi sangat sering sebagai unsur tangan negara tidak dapat dihindarkan dalam
penting dari dasar keputusan.19 Hukum Ketenagakerjaan. Agus Yudha Hernoko
Sebagai contoh, di negara-negara common menyatakan bahwa Hukum Perdata sedang mencari
law system, kontrak kerja masih dianggap bentuk baru melalui campur tangan negara.25
sebagai hukum yang bersifat privat. Akan Negara akhir-akhir ini cenderung memperbanyak
tetapi, hal yang demikian tanpa adanya
peraturan-peraturan hukum pemaksa (dwingend
jaminan secara eksplisit pengusaha dapat
mengakhiri perjanjian kerja baik disebabkan recht) demi kepentingan umum untuk melindungi
oleh alasan yang baik maupun yang tidak kepentingan yang lemah.26
atau tanpa alasan sama sekali. Oleh karena Hal tersebut juga berpengaruh terhadap
itu, akhir-akhir ini pengadilan mengatur kaidah hukum yang diaturnya. Selain pendapat
hal yang demikian dalam setiap keputusan
Aloysius Uwiyono, jauh sebelumnya, Immanuel
baik itu sebagai kewajiban untuk mengganti
kerugian ataupun perjanjian. Dengan adanya Kant menyatakan bahwa kaidah hukum bersifat
hal demikian banyak negara bagian yang heteronom mengandung arti bahwa kekuasaan dari
melarang memberhentikan pekerjanya luarlah yang memaksakan kehendaknya kepada
dengan alasan bertentangan dengan kebijakan manusia, yaitu kekuasaan masyarakat atau negara.27
publik.20
Orang tunduk kepada hukum karena ada kekuasaan
Asri Wijayanti berpendapat bahwa hukum yang memaksa mereka untuk taat tanpa syarat.28

17
Carol Harlow, “The Public and Private Law: Definition without Distinction”, The Modern Law Review, Vol. 43, No. 3, 1980, hlm. 241.
18
Ibid.
19
Karl E. Karle,“The Public/Private Distinction in Labor Law”, The University of Pennsylvania Law Review, Vol. 130, No. 6, 1982, hlm. 1358-
1359.
20
Ibid., hlm. 1361.
21
Asri Wijayanti, 2014, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 12.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
L.J. van Apeldoorn, Op. cit., hlm. 176.
25
Agus Yudha Hernoko, 2004, Hukum Perjanjian Asas Personalitas dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 24.
23
Ibid.
27
Salman Luthan, “Dialektika Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 19, No. 4, 2012, hlm.
514.
28
Ibid.
Darma, Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan 225

FX. Djumiadji menyatakan bahwa pemberi dalam Peraturan Menteri Nomor 28 Tahun 2014
kerja dan pekerja mempunyai suatu hubungan tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
keperdataan yang artinya bahwa para pihak sama- Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
sama memiliki kedudukan perdata.29 Selain itu, Perdaftaran Perjanjian Kerja Bersama. Pasal 24
para pihak juga terikat oleh suatu hukum otonom Peraturan Menteri tersebut memang mengatur
yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh tentang isi dari Perjanjian Kerja Bersama tetapi
pengusaha dan buruh/pekerja.30 Lebih lanjut, di klausula yang digunakan adalah “Perjanjian Kerja
luar hukum otonom ada hukum heteronom yang Bersama sekurang-kurangnya harus memuat”.
mengatur hubungan antara pihak-pihak tersebut dan Dengan demikian ketentuan yang dituangkan di
ditetapkan oleh pembentuk undang-undang.31 dalam suatu perjanjian kerja bersama ditentukan
Berdasarkan pemaparan di atas, Hukum melalui musyawarah oleh para pihak dengan
Ketenagakerjaan berdasarkan sifat hukumnya dapat sekurang-kurangnya memuat ketentuan yang
dikualifikasikan sebagai hukum yang bersifat Publik dimaksud di dalam Peraturan Menteri tersebut.
atau Hukum Publik akan tetapi ketentuan-ketentuan Hal ini mengindikasikan bahwa ketentuan dari
yang terdapat di dalamnya masih mengandung Perjanjian Kerja Bersama dibuat oleh para pihak
hal-hal yang bersifat Privat. Bersifat Publik hal ini harus melalui musyawarah/perundingan dan isi
dikarenakan oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat ketentuannya dapat lebih dari apa yang telah
di dalam Hukum Ketenagakerjaan sudah banyak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
diatur melalui peraturan perundang-undangan. sehingga ketentuan tersebut merupakan ketentuan
Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang yang bersifat Privat. Apabila dari Ilmu Kaidah
Ketenagakerjaan misalnya Undang-undang Nomor Hukumnya, peraturan dengan demikian merupakan
21 Tahun 2000 tetang Serikat Pekerja/Serikat kaidah otonom.
Buruh, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Mendasarkan pada analisis di atas, penulis
tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor membahas lebih fokus pada hubungan kerja sebagai-
2 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan mana diatur di dalam Undang-undang Ketenaga-
Industrial, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun kerjaan. Hubungan antara Majikan dan Pekerja/
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Buruh didasarkan oleh suatu hubungan kerja.
Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dari sisi Ilmu Pasal 1 angka 15 Undang-undang Ketenagakerjaan
Kaidah Hukum hal yang demikian merupakan menyatakan “Hubungan Kerja adalah hubungan
Kaidah Heteronom. antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
Hal-hal yang bersifat privat misalnya aturan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan,
yang terdapat di dalam peraturan perundang- upah, dan perintah.” Pengertian hubungan Kerja
undangan tersebut masih memberikan kesempatan menurut Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut,
kepada para pihak untuk mengatur tersendiri atau didasarkan oleh suatu perjanjian kerja yang
menentukan sendiri ketentuan yang ingin diatur. merupakan salah satu bentuk perjanjian untuk
Sebagai contoh Pasal 116 ayat (2) Undang-undang melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagaimana
Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa “Penyusunan dimaksud dalam Pasal 1601 KUHPerdata.
Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud Undang-undang Ketenagakerjaan mengatur
dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.” Hubungan Kerja dalam Bab IX. Bab IX tersebut
Ketentuan lebih lanjut mengenai PKB diatur di terdiri atas Hubungan Kerja (Pasal 50) Bentuk

29
FX. Djumialdji, 2005, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9­11.
30
Ibid.
31
Ibid.
226 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 221-234

Perjanjian Kerja (Pasal 51 dan Pasal 63), Syarat kerja menyebabkan para pihak tidak menentukan
Sah Perjanjian Kerja (Pasal 52), Pembebanan keinginan sendiri dalam perjanjian, terutama pihak
Biaya yang Timbul (Pasal 53), Isi dan Ketentuan pekerja/buruh, namun demikian para pihak dalam
Perjanjian Kerja (Pasal 54-55), Jenis Perjanjian ikatan hubungan kerja tunduk kepada ketentuan
Kerja dan Ketentuannya (Pasal 56-60), Berakhinrya hukum ketenagakerjaan.34 Akan tetapi menurut
Perjanjian Kerja (Pasal 61-62), dan Ketentuan penulis para pihak masih dapat menentukan sendiri
mengenai Pemborongan Pekerjaan atau Penyediaan isi dari perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan
jasa Pekerja/Buruh (Pasal 64-66) peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
Pasal 50 Undang-undang Ketenagakerjaan dan kesusilaan. Perbedaan kedudukan tersebut dapat
menyatakan bahwa “Hubungan kerja terjadi karena terlihat dari adanya unsur perintah dalam hubungan
adanya perjanjian antara Pengusaha dan Pekerja/ kerja. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat hubungan
Buruh.”32 Berdasarkan bunyi pasal tersebut, bahwa diantara para pihak tidak seimbang/sub ordinat.35
hubungan hanya dapat terjadi antara Pengusaha Sebagaimana tercantum dalam Undang-
dan Pekerja/Buruh. Dengan demikian, menutup undang Ketenagakerjaan bahwa unsur-unsur dari
kemungkinan bahwa para pihak di dalam hubungan perjanjian kerja meliputi adanya pekerjaan, upah,
kerja selain Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan perintah, tetapi Asri Wijayanti menambahkan
dengan demikian menurut ilmu kaidah hukumnya satu unsur lagi yaitu adanya waktu tertentu. Unsur
ketentuan yang demikian merupakan kaidah hukum waktu maksudnya adalah seorang pekerja bekerja
heteronom sehingga sifat hukumnya merupakan untuk waktu yang telah ditentukan atau untuk
hukum publik. Sedikit kritik penulis, yang waktu yang tidak ditentukan.36 Menurut penulis,
seharusnya menjadi pihak di dalam hubungan kerja waktu yang tidak ditentukan bukan berarti buruh
ada “Pemberi Kerja”. Berdasarkan Pasal 1 angka bekerja untuk selama-lamanya tetapi tetap dibatasi
4 Undang-undang Ketenagakerjaan “Pemberi oleh suatu waktu yang telah disepakati misalnya
Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, usia pensiun seorang pekerja/buruh. Unsur
badan hukum, atau badan-badan lainnya yang pekerjaan adalah pekerjaan itu bebas sesuai dengan
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar kesepakatan antara buruh dan majikan asalkan
upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Pengusaha tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
merupakan salah satu dari Pemberi Kerja.33 undangan yang berlaku. Unsur upah adalah adanya
Pembahasan mengenai hubungan kerja upah tertentu yang menjadi imbalan atas pekerjaan
dilanjutkan dengan membahas mengenai perjanjian yang dilakukan oleh Pekerja/Buruh. Dan unsur
kerja karena merupakan dasar adanya hubungan terakhir, unsur perintah adalah di bawah perintah
kerja. Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang (gezag ver houding), di dalam hubungan kerja
memaksa (dwang contract) karena para pihak tidak kedudukan majikan adalah pemberi kerja sehingga
dapat menentukan sendiri keinginannya dalam ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk
perjanjian. Kebebasan berkontrak sebagaimana memberikan perintah-perintah yang berkaitan
layaknya dalam hukum perikatan, perbedaan dengan pekerjaannya.37
kedudukan para pihak yang mengadakan perjanjian Undang-undang Ketenagakerjaan memang

32
Pasal 50 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
33
Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
34
Aloysius Uwiyono, Op. cit., hlm. 53-54.
35
Asri Wijayanti, Op. cit., hlm. 37.
36
Ibid.
37
Ibid. hlm 36.
Darma, Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan 227

tidak mengatur secara eksplisit mengenai pekerjaan uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi
apa saja yang boleh diperjanjikan, kecuali untuk kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
perjanjian-perjanjian kerja tertentu misalnya dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
pekerjaan yang hanya boleh diperjanjikan dengan kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
Perjanjian kerja waktu tertentu.38 Dengan demikian termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
ketentuan mengenai pekerjaan dapat dikatakan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
bersifat privat karena dapat dikembalikan kepada telah atau akan dilakukan.40 Berdasarkan ketentuan
para pihak tetapi bersifat publik apabila terkait tersebut, pengaturan upah merupakan pengaturan
jenis perjanjian tertentu. Apabila mendasarkan pada yang bersifat publik karena ditentukan bagaimana
Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan maka, para cara penetapannya dan besarannya.41 Apabila
pihak dapat menentukan pekerjaan apa saja yang didasarkan pada kaidah hukum ketenagakerjaan
dapat diperjanjikan maka kaidah yang demikian maka pengaturan mengenai upah merupakan kaidah
merupakan Kaidah Hukum Otonom. Akan tetapi, hukum heteronom. Hal ini dapat diketahui dari
apabila undang-undang telah menentukan jenis adanya ketentuan pengusaha dilarang membayar
pekerjaan, terutama untuk perjanjian waktu tertentu upah lebih rendah dari upah minimum dan upah
maka ketentuan tersebut merupakan kaidah Hukum harus diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang.
Heteronom. Unsur waktu, Undang-undang Ketenaga-
Selanjutnya unsur perintah, Undang-undang kerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja dapat
Ketenagakerjaan tidak pernah secara eksplisit dilakukan untuk waktu tertentu dan waktu tidak
menentukan bentuk perintah yang dimaksud. tertentu. Ketentuan tersebut dapat dilihat dari Pasal
Perintah merupakan manifestasi dari hubungan 56 ayat (1), Perjanjian kerja dibuat untuk waktu
yang tidak seimbang. Hubungan antara pengusaha tertentu atau waktu tidak tertentu. Selanjutnya
dengan Pekerja/Buruh adalah hubungan yang perjanjian waktu tertentu hanya untuk beberapa
dilakukan antara atasan dan bawahan sehingga pekerjaan yang ditentukan dalam Pasal 59 (1). Selain
bersifat subordinasi (hubungan yang bersifat vertikal itu, waktu juga dapat dimaknai dengan lama waktu
yaitu atas dan bawah).39 Ketentuan semacam ini seorang pekerja/buruh bekerja dalam sehari atau
juga dapat ditemukan di KUHPerdata, Pasal 1601a, dalam satu minggu. Pasal 77 ayat (1) menyatakan
Perjanjian Perburuhan adalah perjanjian dengan “Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya kerja.”42 Waktu kerja yang dimaksud diatur lebih
di bawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk lanjut dalam ayat (2). Dengan adanya ketentuan
suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan yang demikian, maka para pihak tidak dapat
menerima upah. Dengan demikian perintah dalam menentukan sendiri jangka waktu suatu perjanjian
suatu hubungan kerja merupakan sesuatu yang kerja atau pun menentukan sendiri lamanya bekerja.
bersifat privat dan kaidah hukumnya adalah kaidah Para pihak harus mendasarkan pada jenis pekerjaan
otonom. yang menjadi objek perjanjian. Dengan demikian
Unsur upah, upah merupakan hak pekerja/ pengaturan mengenai waktu di dalam perjanjian
buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk kerja merupakan pengaturan yang bersifat publik.

38
Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
39
Asri Wijayanti, 2011, Menggugat Konsep Hubungan Kerja, Lubuk Agung, Bandung, hlm. 56.
40
Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
41
Periksa Pasal 90 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
42
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
228 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 221-234

Apabila didasarkan pada ilmu kaidah hukum para pihak terikat terhadap ketentuan bentuk suatu
ketenagakerjaan maka pengaturan yang demikian perjanjian kerja.
merupakan kaidah heteronom karena para pihak Syarat Sah Perjanjian Kerja sebagaimana
tidak dimungkinkan untuk mengatur berbeda dari diatur dalam Pasal 52. Pasal 52 ayat (1) menyatakan
peraturan perundang-undangan. “Perjanjian kerja dibuat atas dasar syarat-syarat sah
Bentuk dari suatu perjanjian kerja dapat suatu perjanjian”.48 Ayat (2) dan (3) merupakan
berupa tertulis maupun lisan. Pasal 51 ayat (1) akibat dari tidak terpenuhi syarat-syarat sah
Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan perjanjian. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 tersebut,
“Perjanjian Kerja dibuat secara tertulis atau lisan.”43 suatu perjanjian kerja dibuat didasarkan pada
Selanjutnya, ayat (2) “Perjanjian kerja yang diper- syarat-syarat sah perjanjian yang menimbulkan
syaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai akibat hukum apabila tidak terpenuhi syarat-syarat
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”44 tersebut. Syarat-syarat sah perjanjian sebagaimana
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan bahwa diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata merupakan
memang pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak
secara tertulis namun dimungkinkan dibuat secara dalam membuat suatu perjanjian. Pada prinsipnya
lisan karena kondisi masyarakat yang beragam.45 Buku III KUHPerdata memang bersifat terbuka
Selanjutnya ayat (2) menyatakan perjanjian kerja akan tetapi ada ketentuan-ketentuan yang bersifat
secara tertulis harus sesuai peraturan perundangan memaksa, salah satunya adalah Pasal 1320
yang berlaku antara lain perjanjian kerja waktu KUHPerdata. Dengan demikian, syarat-syarat sah
tertentu, antar kerja, antar daerah, antar kerja, antar perjanjian yang diundangkan dalam suatu peraturan
negara, dan perjanjian kerja laut.46 Berdasarkan perundang-undangan bersifat publik dan kaidahnya
kedua ayat dalam Pasal 51 tersebut, ayat (1) merupakan kaidah heteronom.
merupakan ketentuan yang bersifat privat karena Pembebanan biaya yang timbul dalam
rumusan pasalnya alternatif dan dimungkinkan pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja menjadi
para pihak untuk membuat perjanjian kerja dalam tanggung jawab pengusaha.49 Berdasarkan
bentuk lisan. Apabila berdasarkan ilmu kaidah ketentuan tersebut segala biaya yang timbul dari
hukum ketenagakerjaan maka ketentuan tersebut pembuatan perjanjian kerja menjadi tanggung
merupakan kaidah otonom. Akan tetapi, ayat jawab pengusaha. Tidak dimungkinkan untuk
(2) merupakan bersifat publik karena beberapa pihak lain yang menanggung biaya atas perjanjian
perjanjian kerja harus dibuat dalam bentuk tertulis yang dibuat. Dengan demikian ketentuan tersebut
dan dalam hal tertentu perjanjian kerja dalam bersifat publik dan kaidahnya merupakan kaidah
bentuk lisan untuk pekerjaan waktu tidak tertentu heteronom.
mewajibkan pengusaha untuk membuat surat Berdasarkan pendapat R. Wirjono Prodjo-
pengangkatan.47 Dengan demikian pengaturan dikoro, untuk pembentukan suatu perjanjian per-
tersebut merupakan kaidah heteronom, karena buruhan tidak diharuskan suatu cara mutlak

43
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
44
Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
45
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
46
Penjelasan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
47
Periksa Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan
48
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
49
Periksa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
Darma, Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan 229

(vormvrij) sehingga secara lisan diperbolehkan.50 dari ketentuan yang ditentukan oleh Peraturan
Pasal 1601 huruf d KUHPerdata menyatakan apabila Perundang-undangan. Begitu pula dari sisi kaidah
dipergunakan secara tulisan, maka biaya-biaya dari hukumnya, ketentuan yang sifatnya minimum
tulisan dan biaya-biaya lain harus dipikul oleh oleh merupakan ketentuan yang seharusnya dipenuhi
majikan.51 Biaya ini agak banyak, apabila diadakan sehingga ketentuan Pasal 54 dan Pasal 55 dapat
akta notaris dan ini tentunya jarang sekali.52 dikatakan sebagai kaidah heteronom. Akan tetapi,
Suatu perjanjian kerja berisikan hak, apabila para pihak menentukan lebih tinggi dari
kewajiban, dan syarat-syarat kerja. Ketentuan minimum standar yang ditentukan oleh peraturan
tersebut diatur dalam Pasal 54-Pasal 55 Undang- perundang-undangan maka aturan hukum tersebut
undang Ketenagakerjaan. Pasal 54 ayat (1) merupakan kaidah otonom.
menyatakan “Perjanjian kerja yang dibuat secara Pasal 56 sampai dengan Pasal 60 merupakan
tertulis sekurang-kurangnya memuat: […]”.53 ketentuan mengenai jenis dari perjanjian kerja
Selanjutnya ketentuan ayat (2) menyebutkan dan ketentuannya. Pasal 56 ayat (1) menyatakan
bahwa ketentuan mengenai besar upah dan cara “Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
pembayarannya serta syarat-syarat kerja yang untuk waktu tidak tertentu.”57 Ayat (2) menyatakan
memuat hak dan kewajiban para pihak tidak perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan atas
boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang- tertentu.58 Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum
undangan yang berlaku.54 Pasal 54 ayat (3) memuat bersifat publik, karena para pihak hanya dapat
ketentuan tentang perjanjian kerja sekurang- memilih jenis perjanjian waktu tertentu atau
kurangnya rangkap dua yang mempunyai kekuatan tidak tertentu dengan demikian kaidah hukumnya
hukum yang sama serta masing-masing pihak merupakan kaidah hukum heteronom. Begitu
mendapat satu rangkap perjanjian kerja.55 Pasal pula ketentuan Pasal 57 yang mengatur mengenai
55 menyatakan bahwa “Perjanjian kerja tidak bentuk dari perjanjian kerja waktu tertentu dan
dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali akibat hukum tidak terpenuhinya bentuk perjanjian
persetujuan para pihak.”56 Berdasarkan ketentuan tersebut. Para pihak tidak punya pilihan harus
Pasal 54 dan Pasal 55, berdasarkan sifat hukumnya membuat perjanjian kerja waktu tertentu secara
dapat bersifat hukum publik dan hukum privat. tertulis serta dalam Bahasa Indonesia. Tidak
Bersifat hukum publik karena ketentuan di kedua terpenuhinya ketentuan tersebut menyebabkan
pasal tersebut merupakan standar minimal yang perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi
harus terpenuhi dalam suatu perjanjian kerja, perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal tersebut
sedangkan bersifat hukum privat karena para juga berlaku untuk ketentuan Pasal 58 bahwa
pihak masih dimungkinkan untuk mengatur lebih perjanjian kerja waktu tertentu tidak diperkenankan

50
R. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Penerbitan Sumur Bandung, Jakarta, hlm. 71.
51
Pasal 1601 huruf d KUHPerdata.
52
R. Wirjono Prodjodikoro, Loc. cit.
53
Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
54
Pasal 54 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
55
Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
56
Pasal 55 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
57
Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
58
Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
230 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 221-234

adanya masa percobaan.59 Apabila terdapat masa tata cara perpanjangan perjanjian kerja waktu
percobaan, maka masa percobaan tersebut batal tertentu, dan tata cara pembaharuan perjanjian
demi hukum.60 Dengan demikian pengusaha kerja waktu tertentu serta akibat hukum dari tidak
dilarang untuk memberlakukan masa percobaan terpenuhinya ketentuan dimaksud. Ketentuan-
bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang
perjanjian kerja waktu tertentu. bersifat publik, karena para pihak tidak dapat
Pasal 59 mengatur mengenai jenis dan menyimpangi ketentuan tersebut. Penyimpangan
sifat atau pekerjaannya akan selesai dalam terhadap ketentuan tersebut berakibat perjanjian
waktu tertentu, yang dapat diperjanjikan dengan demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
perjanjian kerja waktu tertentu. Pasal tersebut tertentu. Dengan demikian, kaidah hukumnya
hanya mengakui beberapa ruang lingkup pekerjaan merupakan kaidah hukum yang bersifat heteronom.
yang menurut jenis dan sifat atau pekerjaanya Pasal 60 mengatur mengenai “Perjanjian
akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan kerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, masa percobaan kerja paling lama tiga bulan”.62
pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya Selanjutnya ayat (2) mengatur bahwa “Dalam masa
dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama percobaan tersebut pengusaha dilarang membayar
tiga tahun, pekerjaan yang bersifat musiman, atau upah di bawah upah minimum yang berlaku”.63
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, Kedua ketentuan tersebut merupakan ketentuan
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih hukum yang bersifat privat dan publik, hal ini
dalam percobaan ataupun pejajakan.61 Terkait dikarenakan bahwa pengusaha dapat mensyaratkan
jenis dan sifat atau pekerjaan yang akan selesai atau tidak mensyaratkan masa percobaan sehingga
dalam waktu tertentu tersebut memang sudah bersifat privat. Apabila mensyaratkan maka
ditentukan lingkup pekerjaan, akan tetapi para pengusaha terikat untuk membayar upah sesuai
pihak diberikan kesempatan untuk menentukan upah minimum yang berlaku dengan demikian
sendiri pekerjaan apa yang termasuk dalam lingkup bersifat publik. Dari sisi kaidah hukumnya,
keempat pekerjaan tersebut. Dengan demikian ketentuan ayat (1) merupakan kaidah hukum otonom
ketentuan tersebut merupakan ketentuan publik di karena dikembalikan kepada pengusaha untuk
satu sisi tetapi privat di sisi lainnya. Begitu pula mensyaratkan atau tidak mensyaratkan. Ketentuan
dengan kaidah hukumnya, ketentuan pasal tersebut ayat (2) merupakan kaidah hukum heteronom,
dapat merupakan ketentuan yang heteronom dalam karena apabila mensyaratkan maka pengusaha
konteks menentukan ruang lingkup tetapi menjadi terikat untuk membayar upah sesuai upah minimum
ketentuan otonom dalam pelaksanaanya yaitu para apabila tidak sesuai maka dikenakan sanksi.
pihak dapat menentukan pekerjaan yang termasuk Ketentuan Pasal 61 dan 62 tentang berakhirnya
dalam ke-empat ruang lingkup tersebut. perjanjian. Pasal 61 ayat (1) menyatakan bahwa
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 59 perjanjian kerja berakhir apabila pekerja meninggal
terkait jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu, dunia, berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja,

59
Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
60
Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
61
Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
62
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
63
Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
Darma, Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan 231

adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau para pihak yang mengakhiri perjanjian diwajibkan
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan yang untuk mengganti rugi. Dengan adanya pengaturan
berkekuatan hukum tetap, atau adanya kejadian yang demikian maka para pihak tidak dapat
atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam menyimpangi dalam pelaksanaan. Apabila para
perjanjian, peraturan perusahaan, atau perjanjian pihak mengatur menyimpang dari ketentuan tersebut
kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya maka perjanjiannya bertentangan dengan peraturan
hubungan kerja.64 perundangan dan batal demi hukum. Ketentuan
Ketiga ketentuan mengenai berakhirnya tersebut dilihat dari sisi kaidah hukumnya maka
perjanjian kerja (pekerja meninggal dunia, merupakan kaidah hukum heteronom yang berasal
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja, dari luar para pihak dan memaksa.
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau Pasal 64 sampai dengan Pasal 66
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan yang mengatur mengenai Pemborongan Pekerjaan
berkekuatan hukum tetap) merupakan ketentuan atau Penyediaan jasa Pekerja/Buruh. Pasal 64
yang bersifat publik. Hal ini disebabkan oleh menyatakan “Perusahaan dapat menyerahkan
keadaan yang menyebabkan berakhirnya perjanjian sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
berasal dari ketentuan diluar kehendak para lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
pihak, sedangkan untuk ketentuan yang terakhir atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
(adanya kejadian atau kejadian tertentu yang secara tertulis.”66 Ketentuan pasal ini pada
dicantumkan dalam perjanjian, peraturan prinsipnya bersifat privat karena perusahaan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang diberikan pilihan untuk menyerahkan atau tidak
dapat menyebabkan berakhirnya hubungan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaanya
kerja) khusus yang cetak tebal, merupakan keadaan kepada perusahaan lainnya. Akan tetapi apabila
yang dikehendaki oleh para pihak sehingga dapat perusahaan menyerahkan sebagian pekerjaan
ketentuan demikian merupakan ketentuan yang kepada perusahaan lainnya maka perjanjian
privat. Apabila dilihat dari sudut pandang kaidahnya tersebut dibuat secara tertulis. Dari sisi kaidahnya,
maka ketiga ketentuan pertama tersebut merupakan ketentuan ini merupakan ketentuan kaidah otonom,
kaidah heteronom karena berasal dari luar para karena tergantung dari keinginan perusahaan.
pihak sedangkan ketentuan keempat merupakan Namun apabila perusahaan menyerahkan sebagai
kaidah otonom karena dari dalam/kehendak para pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
pihak. maka perusahaan harus tunduk dengan ketentuan
Pasal 62 mengatur mengenai pengakhiran Pasal 64 dengan cara menuangkan perjanjiannya
perjanjian kerja sebelum berakhir jangka waktu secara tertulis.
yang ditetapkan atau berakhirnya perjanjian bukan Pasal 65 mengatur mengenai penyerahan
karena ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
61 ayat (1) maka pihak yang mengahiri diwajibkan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
mengganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah yang dibuat secara tertulis. Pasal 65 merupakan
pekerja/buruh samapai batas waktu berakhirnya ketentuan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 64.
jangka waktu perjanjian.65 Ketentuan demikian Pasal 64 menyediakan pilihan penyerahan sebagian
merupakan ketentuan yang bersifat publik karena pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain

64
Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
65
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
66
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
232 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 221-234

melalui pemborongan atau penyediaan jawa pekerja/ berikan perlindungan minimum sama dengan
buruh. Ketentuan ini menjadi ketentuan yang perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
bersifat publik apabila perusahaan menyerahkan peraturan perundang-undangan. Dari sisi kaidahnya,
sebagian pelaksanaan pekerjaan dengan cara ketentuan ini merupakan ketentuan yang heteronom
pemborongan pekerjaan. Dengan demikian semua karena perusahaan pemborongan harus tunduk pada
ketentuan mengenai pemborongan pekerjaan ketentuan tersebut.
menjadi hukum yang bersifat publik. Akan tetapi Pasal 65 ayat (8) menentukan bahwa
terdapat ketentuan dari Pasal 65 yang bersifat privat tidak terpenuhinya syarat pekerjaan yang dapat
yaitu ketentuan mengenai adanya syarat pekerjaan diborongkan dan tidak terpenuhinya bentuk
yang diserahkan kepada pihak lain dilakukan secara hukum perusahaan menyebabkan demi hukum
terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan status hubungan kerja pekerja/buruh beralih dari
perintah langsung dan tidak langsung dari pemberi perusahaan pemborong kepada perusahaan pemberi
kerja, merupakan kegiatan penunjang perusahaan pekerjaan. Ketentuan demikian bersifat publik
secara keseluruhan, dan tidak menghambat proses karena pekerja/buruh dari perusahaan pemborong
produksi secara langsung. Keempat syarat tersebut yang tidak berbadan hukum dan pekerjaannya tidak
tidak ditentukan lebih lanjut di dalam Peraturan sesuai seperti yang dipersyaratkan demi hukum
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor beralih. Namun demikian, dalam kenyataannya
19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan pelaksanaan Pasal 65 ayat (8) sulit untuk dilak-
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan sanakan.
lain, tetapi tidak memberikan penjelasan lebih Frasa “demi hukum” tidak dapat serta merta
rinci. Pasal 3 ayat (2) bahkan menyerahkan kepada mengubah status dari pekerja/buruh yang awalnya
asosiasi sektor usaha untuk menentukan alur merupakan pekerja perusahaan pemborong menjadi
kegiatan pelaksanaan pekerjaan. Pasal 4 ayat (1) pekerja perusahaan pemberi pekerjaan. Mahkamah
dipertegas bahwa Asosiasi Sektor harus membuat Konstitusi dalam putusannya 07/PUU-XII/2014,
alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan. tanggal 04 November 2015, memutuskan bahwa
Dengan demikian ketentuan Pasal 65 merupakan peralihan status dapat dilakukan dengan memintakan
kaidah heteronom yang bernuansa otonom, artinya pengesahan Nota Pemeriksa Pegawai Pengawas
pemerintah sudah memberikan aturan tetapi masih Ketenagakerjaan ke Pengadilan Negeri.68 Dari sisi
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk kaidahnya perusahaan pemborong dapat dipaksa
mengatur lebih lanjut. dengan adanya ketentuan tersebut maka kaidah
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja hukumnya merupakan kaidah hukum heteronom.
bagi pekerja/buruh dalam pemborongan peker- Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
jaan sekurang-kurangnya sama dengan perlin- juga dapat dilakukan dengan cara menyerahkan
dungan yang diberikan oleh perusahaan pemberi kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang- Pasal 66 ayat (1) menentukan bahwa “Pekerja/
undangan.67 Ketentuan yang demikian merupakan buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
ketentuan yang bersifat publik. Hal ini disebabkan tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
perusahaan pemborongan pekerjaan harus mem- melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang

67
Periksa Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
68
Juanda Pangaribuan, “Hambatan melaksanakan Putusan MK terkait Pengesahan PKWTT dan Peralihan Status Hubungan Kerja”, http://www.
hukumonline.com/berita/baca/lt56b8b4753dc6f/hambatan-melaksanakan-putusan-mk-terkait-pengesahan-pkwtt-dan-peralihan-status-
hubungan-kerja-broleh--juanda-pangaribuan-, diakses 28 April 2017.
69
Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729).
Darma, Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan 233

berhubungan langsung dengan proses produksi, harus mencantumkan klausula pengalihan dalam
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau rangka untuk melindungi hak-hak pekerja. Dari sisi
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan kaidah hukumnya, maka ketentuan yang demikian
proses produksi.”69 Ketentuan mengenai larangan merupakan ketentuan yang bersifat heteronom.
bagi pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa Dalam tulisan penulis yang lain, penulis
pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan pokok menyatakan bahwa klasula pengalihan perlindungan
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan ini merupakan adopsi dari konsep Transfer of
proses produksi merupakan ketentuan yang bersifat Undertaking Protection of Employment (TUPE).
publik, karena larangan timbul dari luar para pihak. TUPE pada awal dikenalkannya digunakan
Dari sisi kaidah hukum, ketetentuan demikian untuk meleindungi pekerja/buruh dimana tempat
dikatakan kaidah yang bersifat heteronom. bekerjanya melakukan merger atau akuisisi.
Penyediaan jasa pekerja/buruh dalam praktik Dengan adanya TUPE diharapkan perusahaan yang
disebut dengan outsourcing, pertama kali dikenal bergabung atau mengakuisisi tidak memutuskan
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/ hubungan kerja dengan pekerja/buruhnya.70
PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik
Indonesia Nomor 92 Tahun 2004, Terbit Hari C. Penutup
Rabu tanggal 17 Nopember 2004 dalam perkara Berdasarkan hasil pembahasan, Kedudukan
permohonan Pengujian Undang-undang Nomor Hubungan Kerja dalam Hukum Ketenagakerjaan
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap dari sudut pandang Ilmu Kaidah Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ketenagakerjaan bahwa Pasal 50, Pasal 52, Pasal
Tahun 1945. Dalam putusan tersebut para pihak 53, Pasal 56-Pasal 58, Pasal 61-Pasal 63, Pasal 65
menggunakan istilah outsourcing untuk menyebut dan Pasal 66 merupakan kaidah hukum heteronom
pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/ sedangkan Pasal 64 merupakan kaidah hukum
buruh. otonom, dan Pasal 51, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 59,
Ketentuan Pasal 66 ayat (2) telah dibatalkan dan Pasal 60, merupakan kaidah hukum heteronom
melalui putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana sekaligus otonom. Kedudukan Hubungan Kerja
dimaksud di atas. Perusahaan yang menyerahkan dalam Hukum Ketenagakerjaan berdasarkan sifat
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan hukum publik dan privat bahwa Pasal 50, Pasal
penyedia jasa pekerja/buruh apabila terjadi 52, Pasal 53, Pasal 56-Pasal 59, Pasal 61-Pasal 63,
peralihan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/ Pasal 65, dan Pasal 66 merupakan ketentuan yang
buruh lainnya maka diharuskan membuat klausula bersifat publik, sedangkan Pasal 64 merupakan
pengalihan perlindungan hak-hak pekerja yang objek ketentuan yang bersifat privat, dan Pasal 51, Pasal
kerjanya tetap ada. Ketentuan demikian merupakan 54, Pasal 55, Pasal 60 merupakan ketentuan hukum
ketentuan yang bersifat publik karena perusahaan yang bersifat Publik sekaligus Privat.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku __________, 2014, Hukum Ketenagakerjaan Pasca
Apeldoorn, L. J. Van, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta.
Pradnya Paramita, Jakarta. Asikin, H. Zainal, 2013, Pengantar Tata Hukum
Asri Wijayanti, 2011, Menggugat Konsep Hubungan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kerja, Lubuk Agung, Bandung. Djumialdji, FX., 2005, Perjanjian Kerja, Sinar

70
Susilo Andi Darma, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012”, Mimbar Hukum, Vol. 26, No.2, Tahun 2014, hlm. 247-259.
234 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 221-234

Grafika, Jakarta. Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 19, No. 4, 2012.
Hernoko, Agus Yudha, 2004, Hukum Perjanjian Saprudin, “Sosialisering Process Hukum Perburuhan
Asas Personalitas dalam Kontrak Komersial, dalam Aspek Kebijakan Pengupahan”,
LaksBang Mediatama, Yogyakarta. Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 3, 2012.
Husni, Lalu, 2012, Pengantar Hukum Ketenaga-
kerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. C. Peraturan Perundang-undangan
Prodjodikoro, R. Wirjono, 1981, Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Repu-
Penerbitan Sumur Bandung, Jakarta. blik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tam-
Sudjono, Wiwoho, 1970, Persetudjuan Perburuhan, bahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada Nomor 4729).
Yogyakarta, Yogyakarta. Pasal 1601 huruf d KUHPerdata.

B. Artikel Jurnal D. Artikel Internet


Darma, Susilo Andi, “Kajian Hukum Ketenaga- Pangaribuan, Juanda, “Hambatan melaksanakan
kerjaan Terhadap Peraturan Menteri Tenaga Putusan MK terkait Pengesahan PKWTT
Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun dan Peralihan Status Hubungan Kerja”,
2012”, Mimbar Hukum, Vol. 26, No.2, Tahun http://www.hukumonline.com/berita/baca/
2014. lt56b8b4753dc6f/hambatan-melaksanakan-
Harlow, Carol, “The Public and Private Law: putusan-mk-terkait-pengesahan-pkwtt-dan-
Definition without Distinction”, The Modern peralihan-status-hubungan-kerja-broleh--
Law Review, Vol. 43, No. 3, 1980. juanda-pangaribuan-, diakses 28 April 2017.
Karle, Karl E., “The Public/Private Distinction in Repository UGM, Tanpa Judul, http://etd.repository.
Labor Law”, The University of Pennsylvania ugm.ac.id/downloadfile/74496/potongan/S2-
Law Review, Vol. 130, No. 6, 1982. 2014-338217-chapter1.pdf, diakses 4 Januari
Luthan, Salman, “Dialektika Hukum dan Moral 2017.
dalam Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal

Anda mungkin juga menyukai