Anda di halaman 1dari 20

STRES DAN KESEHATAN

A. Stressor, Strain dan Transaction


Ketika individu menghadapi stressor, akan menimbulkan reaksi secara psikologis
maupun fisiologis pada, yang juga didasarkan pada bagaimana pandangan individu
terhadap stressor tersebut, penyesuaian individu terhadap lingkungan, yang melibatkan
faktor-faktor dalam diri individu seperti kepribadian, pengalaman, pendidikan dan
sebagainya. Dengan demikian, stressor yang sama pada individu yang berbeda, dapat
menimbulkan tingkat stress yang berbeda pula.
Kondisi stres dibagi atas dua jenis yaitu kondisi stres yang baik yaitu eustress, dan
kondisi stress yang cenderung berdampak pada performa atau kondisi buruk pada diri
individu yaitu distress. Stres dijelaskan sebagai kondisi terjadi karena stressor yaitu
stimulus (dapat berupa peristiwa, situasi) yang menekan atau penuh tekanan, yang
menantang individu secara fisik maupun psikologis atau psikis. Apakah stressor yang
sama dapat dipastikan menyebabkan kondisi/tingkat stress yang sama pula pada orang
berbeda? Jawabannya adalah tidak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana
pendekatan individu terhadap stressor, serta faktor yang berkaitan dengan individu dan
lingkungannya. Hal ini pulalah yang berperan terhadap diri individu ketika menghadapi
stressor yaitu fight (menghadapi stressor) atau flight (menghindar dari stressor). Reaksi
yang dapat ditimbulkan akibat stress berupa reaksi fisik (detak jantung meningkat, otot
menegang, sakit kepala) maupun reaksi psikologis (pola pikir, kondisi emosi.)

B. Teori-Teori Stres
1. Fight atau flight
Adanya perubahan reaksi fisiologis ketika menghadapi suatu ancaman, mendorong
individu untuk menyerang atau melarikan diri dari ancaman atau stressor.
2. General Adaptation Syndrome
Terdiri dr tiga (3) fase berdasarkan teori oleh Selye yaitu:
a. Alarm: fase segera munculnya reaksi individu ketika menghadapi ancaman atau
tuntutan
b. Stages of resistence: adalah fase adaptasi tubuh terhadap stressor yang dihadapi,
jika kondisi stres berlanjut
c. Stages of exhaustion: fase terjadinya kondisi stres berkepanjangan, yang
memengaruhi penurunan resistensi tubuh terhadap stres, berdampak pada menurunnya
ketahanan tubuh
3. Tend and be Friend
a) Merespon kondisi stres melalui hubungan sosial dan perilaku mengasuh (anak)
b) Meningkatnya hormon oxytocin menstimulasi peningkatan hormone estrogen,
yang dapat meningkatkan perilaku afiliasi (perilaku yang berkaitan dengan
interaksi sosial)
4. Penyesuaian Psikologis dan pengalaman terhadap Stres
a) Primary appraisal processes, merupakan kondisi yang dirasakan oleh individu
ketika menghadapi lingkungan yang berpotensi untuk menyebabkan stress, seperti
gejala sakit, penilaian arti dan situasi tersebut bagi kebaikan diri individu yang
bersangkutan.
b) Secondary appraisal processes: adalah strategi koping yang memadai untuk
menangani primary processes, atau dengan kala lain adalah penilaian individu
mengenai sumber-sumber yang memadai untuk mengatasi kondisi stress.
5. Kondisi Fisiologis terhadap Stres
a) Aktivasi saraf simpatis, yaitu cortex menuju hypothalamus untuk merespon
kondisi stress, saraf simpatetik menuju kelenjar adrenal dan sekresi
catecholamines, epinephrine dan norephinephrine.
b) Aktivasi HPA yaitu: kelenjar pituitary mensekresi hormon dan prolaktin, untuk
merespon stres hingga akhirnya dapat berfungsi dengan baik.
c) Allostatic Load: merujuk pada adanya kondisi tubuh yang fluktuatif, akibat
interaksi terhadap tuntutan-tuntutan dari kondisi stres

Pengukuran terhadap kondisi stress yang dialami individu, dapat diukur melalui
beberapa cara seperti self-report, perubahan hidup yang dialami, emotional distress,
perilaku, serta pengukuran secara fisiologis. Adapun beberapa karakteristik stimulus yang
dapat menimbulkan stress adalah peristiwa yang negatif, peristiwa yang ambigu,
peristiwa yang tidak terkontrol, dan beban yang berlebihan.

C. Adaptasi Individu terhadap Stres


1. Adaptasi psikologis
a. Organisme atau individu dapat menunjukkan ketegangan jangka panjang atau
terbiasa dengan kondisi penuh tekanan
b. Sebagian besar individu dapat beradaptasi pada tekanan level rendah hingga
sedang
2. Adaptasi fisiologis
a. Habituasi menstimulasi sekresi HPA, ketika kondisi stres dialami
b. Habituasi dapat menyebabkan terganggunya pemulihan gangguan kardiovaskular,
neuroendocrine, sistem imun, meningkatnya risiko mengidap ganguan
kardiovaskular, terutama pada usia pertengahan/dewasa madya/midlife, apabila
mengalami stres kronis
Adapun antisipasi terhadap stres adalah:
 Sedapat munngkin untuk mengantisipasi stressor sebelum menjadi kondisi stressful
(kondis penuh tekanan)
 Efek pasca stress: Individu yang berada dalam stressful berkepanjangan, akan
cenderung menunjukkan penolakan ketika menemui kondisi stressful yang baru

D. Sumber-sumber Stres Kronis


1. Post Traumatics Stress Disorder (PTSD)
a. Pelecehan seksual masa kanak-kanak, perkosaan, kerusuhan, dan hal serupa
lainnya
b. Meski tidak berdampak pada PTSD jangka panjang, stressful tetap dapat
berdampak buruk pada keberfungsian fisik dan psikologis
2. Efek Jangka Panjang Pengalaman Awal Kehidupan
a. “Keluarga berisiko”
b. Buruknya sistem regulasi stres, poor health habits
3. Kondisi Stressful Kronis
a. Hidup melarat, hubungan buruk, pekerjaan tingkat stres tinggi
b. Kontribusi dalam sakit secara fisiologis dan psychological distress
4. Stres Kronis & Kesehatan
a. Kemiskinan, mengalami kejahatan, status sosial ekonomi (SES) rendah
b. Risiko tinggi terhadap kesehatan, berbagai gangguan psikologis
5. Stres di Tempat Kerja
a. Bekerja dengan posisi duduk dalam durasi yang cukup lama, overload, kondisi
ambigu dan konflik peran, hubungan sosial
b. Kontrol, pengangguran, hasil atau dampak lain dalam pekerjaan
6. Dualisme Peran
a. Peran pekerja dan keluarga, perempuan dengan berbagai peran, sikap protektif
sebagai akibat dari “banyak peran”
b. Laki-laki dengan berbagai peran, yang dapat berdampak pada kondisi stress yang
dialami pada anak dan remaja

E. Kesimpulan
Stres adalah kondisi yang umum dialami individu dan suatu kondisi yang hampir
sulit untuk dihindari. Karena kondisi stress dapat dialami individu dalam kehidupan
sehari-hari, baik dari kondisi stres yang disebabkan hal yang sederhana hingga penyebab
stres yang cukup kompleks. Banyak hal di lingkungan sekitar atau peristiwa yang dialami
dapat menjadi stressor bagi individu, yang dapat menimbulkan tingkat stress yang
berbeda pada tiap diri individu. Beberapa situasi yang dapat menimbulkan stress adalah
kondisi yang ambigu, situasi yang tidak terkontrol, peristiwa-peristiwa negatif dalam
hidup, dan beban yang berlebihan. Sebelum individu menilai adanya sumber-sumbern
untuk mengatasi stress, fase awal adalah primary appraisal processes meliputi harm,
threat, challenge. Agar individu tidak berlanjut pada kondisi stress kronis yang berisiko
menimbulkan berbagai penyakit secara fisik, maka individu sesegera mungkin untuk
dapat mengatasi kondisi stress yang dialami.

1. Pengertian Perilaku Adiksi


Adiksi atau addiction pada dasarnya mengacu kepada istilah penggunaan alkohol
atau obat-obatan terlarang, adiksi atau kecanduan merupakan ketergantungan yang
bersifat tetap dan kompulsif pada suatu perilaku atau zat (Febriandari, Nauli & Rahmalia,
2016). Demikian juga pernyataan yang dikeluarkan Pratiwi, Andayani & Karyanta (2013)
adiksi atau kecanduan adalah suatu gangguan yang bersifat kronis, ditandai dengan gejala
kompulsif pada suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu untuk mendapatkan
kepuasan.
Lebih lanjut Hardanti, Nurhidayah & Fitri (2013) menyatakan bahwa pengertian
adiksi adalah suatu perilaku yang tidak sehat atau merugikan diri sendiri yang
berlangsung terus-menerus dan sulit untuk diakhiri oleh orang yang bersangkutan.
Pratiwi, Andayani & Karyanta (2013) menyatakan seiring berkembangnya bahasa dan
kosakata di Indonesia istilah adiksi juga digunakan untuk menyebut ketergantungan pada
permasalahan sosial seperti judi, kompulsif makan, adiksi shopping bahkan internet
khususnya pada game online, sejalan dengan pernyataan di atas Kusumawati, Aviani &
Molina (2017) menyatakan ketidakmampuan seseorang untuk mengatur penggunaan dari
alat teknologi yang bersifat berkelanjutan sehingga memberikan kerugian fisik dan psikis
terhadap penggunanya merupakan pengertian dari kecanduan internet.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan perilaku adiksi
adalah suatu gangguan perilaku berupa perilaku kompulsif terhadap suatu zat atau suatu
aktivitas yang memberikan kesenangan pada individu yang bersangkutan dan kegiatan
tersebut memberikan dampak negatif berupa gangguan fisik dan psikis yang sulit untuk
dihentikan oleh individu yang bersangkutan.

2. Aspek–Aspek Perilaku Adiksi


Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai adiksi berikut adalah aspek-aspek
perilaku adiksi berdasarkan panduan American Psyciatric Association diagnostic and
Statistical Manual Disorders V (DSM V) yang diterbitkan pada tahun 2013.

a. Salience
Aspek ini berkaitan dengan pikiran individu yang mengalami adiksi oleh suatu zat
atau perilaku, individu tersebut terus menerus memikirkan suatu zat atau perilaku
yang menyebabkan perilaku adiksi, tidak fokus melakukan sesuatu yang sedang
dikerjakan dan senang mengobrol mengenai hal yang menyebabkan adiksi tersebut.
b. Tolerance
Aspek ini berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan oleh individu yang mengalami
adiksi untuk kembali mencicipi zat atau melakukan aktivitas yang menjadikan
individu tersebut mengalami adiksi, ditandai dengan adanya peningkatan waktu
aktivitas, peningkatan jeda setiap aktivitas, kesulitan memanajemen waktu.
c. Mood modification
Aspek ini mengarah kepada perilaku individu yang mengalami adiksi menjadikan
perilaku atau zat yang membuat individu tersebut mengalami adiksi menjadi pelarian
ketika menghadapi masalah, merasakan kecemasan ketika tidak melakukan sesuatu
yang mengindikasi dan peningkatan frekuensi aktivitas ketika menghadapi masalah.
d. Relapse
Aspek ini dapat dilihat ketika individu yang sebelumnya meninggalkan kebiasaan
yang menimbulkan adiksi kemudian kembali mengerjakan kebiasaan tersebut,
timbulnya perasaan cemas setelah beberapa saat meninggalkan kebiasaan tersebut dan
timbulnya kecenderungan untuk kembali melakukan hal tersebut.
e. Withdrawl
Aspek withdrawl berhubungan dengan afektif individu yang bersangkutan dengan
adiksi, ingin selalu terus melakukan aktivitas adiksi, merasa ada yang kurang ketika
belum melakukan aktivitas adiksi dan terganggunya aktivitas rutinitas.
f. Conflict
Aspek conflict adalah terdapatnya gangguan hubungan antara subjek dengan orang-
orang di sekelilingnya akibat dari perilaku adiksi, berkurangnya minat untuk
berinteraksi dan terdapat kebencian dalam hati terhadap orang banyak.
g. Problems
Aspek problems adalah adanya masalah dalam keseharian individu akibat dari
perilaku adiksi, perasaan tidak puas akan kehidupan dan berkurangnya motivasi
internal dari individu tersebut.

3. Addiksi Napza
Narkoba atau NAPZA merupakan bahan/zat yang apabila masuk ke dalam tubuh akan
mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf pusat/otak sehingga bilamana
disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosialnya
karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi), serta ketergantungan (dependensi) terhadap
NAPZA. Pada umumnya, istilah NAPZA digunakan dalam sektor pelayanan kesehatan,
yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan
sosial. NAPZA juga sering disebut sebagai psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak
sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.
Seseorang yang ketergantungan NAPZA definisinya dibedakan menjadi pengguna,
penyalah guna, dan pecandu. Pengguna adalah seseorang yang menggunakan narkoba
hanya sekedar untuk, misalnya bersenang-senang, rileks atau relaksasi dan hidup mereka
tidak berputar di sekitar narkoba. Pengguna jenis ini disebut juga pengguna sosial
rekreasional. Penyalah guna adalah seseorang yang mempunyai masalah yang secara
langsung berhubungan dengan narkoba. Masalah tersebut bisa muncul dari ranah fisik,
mental, emosional maupun spiritual. Penyalah guna selalu menolak untuk berhenti sama
sekali dan selamanya. Sedangkan pecandu adalah seseorang yang sudah mengalami
hasrat/obsesi secara mental dan emosional serta fisik. Bagi pecandu, tidak ada hal yang
lebih penting selain memperoleh narkoba, sehingga jika tidak mendapatkannya, ia akan
mengalami gejala-gejala putus obat dan kesakitan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menggunakan NAPZA ada 3, yaitu :
faktor individu/diri sendiri, faktor lingkungan, dan faktor ketersediaan narkoba. Faktor
individu/diri sendiri dipicu oleh keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar
atau berfikir panjang tentang akibatnya di kemudian hari. Faktor lingkungan seperti :
keluarga, lingkungan pergaulan, lingkungan pekerjaan, dsb. Sedangkan faktor
ketersediaan narkoba dipicu oleh NAPZA yang semakin mudah didapat dan dibeli dan
harganya yang semakin murah dan dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat.
Ketergantungan NAPZA merupakan masalah yang kompleks, karena akan
menimbulkan dampak yang negatif dan menimbulkan gangguan fungsi sehari-hari.
Ketergantungan (dependence use) NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi
ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan sejumlah Napza yang makin
bertambah, apabila pemakaiannya dikurangi atau dihentikan akan timbul gejala putus zat
(withdrawal syndrome). Oleh karena itu bagi mereka yang sudah terlanjur ketergantungan
akan berusaha mendapatkan Napza yang dibutuhkan dengan cara apapun agar dapat
melakukan kegiatannya sehari – hari secara normal terlebih dalam melaksanakan
kegiatan/tugasnya yang memerlukan konsentrasi penuh.
Dampak dari kecanduan NAPZA tidak hanya mengancam kelangsungan hidup
dan masa depan penyalahgunanya saja, namun juga masa depan bangsa dan negara, tanpa
membedakan strata sosial, ekonomi, usia maupun tingkat pendidikan. Salah satu akibat
penyalahgunaan narkoba adalah dapat mengakibatkan atau memunculkan kejahatan,
seperti mencuri, merampok dan berbagai tindak kekerasan maupun seks bebas. Selain itu,
negara juga akan menderita kerugian dikarenakan masyarakatnya tidak produktif dan
tingkat kejahatan yang meningkat, belum lagi sarana dan prasarana yang harus disediakan
untuk mengobati korban narkoba.
4. Pengertian Adiksi Internet
Addiction atau adiksi atau kecanduan adalah keadaan dimana seseorang memiliki
dorongan tak terkendali, sering disertai dengan hilangnya kontrol, keasyikan dengan
penggunaan, dan terus menggunakan meskipun menyebabkan masalah Penggunaan kata
adiksi sebenarnya lebih tepat digunakan pada kecanduan obat. Meskipun demikian,
definisi adiksi telah mengalami pergeseran arti dan mencakup sejumlah perilaku, seperti
judi berulang, bermain video game, makan berlebihan, olahraga, hubungan percintaan,
dan menonton televisi (Young, 2017). Selama beberapa dekade, muncul literatur yang
mengembangkan arti adiksi internet dan telah dilegitimasi. Internet addiction atau
kecanduan internet adalah salah satu gangguan kejiwaan yang ditandai dengan keasyikan
yang berlebihan atau tidak terkontrol, mendesak atau perilaku tentang penggunaan
komputer dan akses internet yang menyebabkan gangguan atau distres (Shaw & Black,
2008).
Young (2010) menyebutkan bahwa adiksi internet didefinisikan sebagai
ketidakmampuan individu untuk mengontrol penggunaan internet, menghasilkan masalah
berat dan ketidaklengkapan kerja otak atau mental fungsional dalam kehidupan sehari-
hari. Kecanduan internet merupakan sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan
sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu
mengontrol penggunaanya saat online. Menurut Orzack (2004) kecanduan internet
merupakan suatu kondisi dimana individu merasa bahwa dunia maya dilayar
komputernya lebih menarik daripada kehidupan nyata sehari-hari yang dijalaninya.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa adiksi internet merupakan penggunaan internet yang dilakukan seseorang secara
berlebihan sehingga ketergantungan untuk menggunakannya secara terus-menerus tanpa
memperhitungkan keadaan situasi dan kondisi yang sedang dialaminya. Adiksi internet
terbagi menjadi enam aspek yang didasarkan Internet Addiction Test (IAT) menurut
Young (1996), yaitu :
1. Ciri khas (salience)
Biasanya dikaitkan dengan pikiran-pikiran yang berlebihan secara mencolok
terhadap internet, berkhayal atau berfantasi mengenai internet.
2. Penggunaan yang berlebihan (excessive use)
Penggunaan internet yang terlalu berlebihan biasanya dikaitkan dengan hilangnya
pengertian tentang penggunaan waktu atau pengabaian kebutuhan-kebutuhan dasar
dalam kehidupannya. Individu biasanya menyembunyikan waktu online (waktu yang
digunakan untuk mengakses internet) dari keluarga atau orang terdekat.
3. Pengabaian pekerjaan (neglect to work)
Individu mengabaikan pekerjaannya karena aktivitas internet, sehingga produktivitas
dan kinerjanya menurun karena berinternet.
4.Antisipasi (anticipation)
Internet digunakan sebagai strategi coping dari masalah, yaitu sarana untuk melarikan
diri atau mengabaikan permasalahan yang terjadi dikehidupan nyata. Akibatnya, lama
kelamaan aktivitas internet menjadi aktivitas yang paling penting dalam hidup
sehingga mendominasi pikiran, perasaan, dan perilaku.
5.Ketidakmampuan mengontrol diri (lack of control)
Ketidakmampuan dalam mengontrol diri sendiri mengakibatkan bertambahnya waktu
yang digunakan untuk melakukan aktivitas dengan internet, baik dalam bentuk
frekuensi maupun durasi waktu.
6.Mengabaikan kehidupan sosial (neglect to social life)
Individu mengabaikan kehidupan sosialnya, yaitu sengaja mengurangi kegiatan sosial
atau rekreasi demi mengakses internet. Individu yang banyak menggunakan waktunya
untuk melakukan aktivitas yang ada kaitannya dengan internet, akan mengurangi
aktivitasnya diluar aktivitas yang berkaitan dengan internet.
Aspek- aspek adiksi internet selanjutnya dikemukakan oleh Griffiths (2015), yaitu:
a. Salience
Hal ini terjadi ketika penggunaan internet menjadi aktivitas yang paling penting
dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran individu, perasaan (merasa sangat
butuh) dan tingkah laku (kemunduran dalam perilaku sosial). Individu akan selalu
memikirkan internet, meskipun tidak sedang mengakses internet.
b. Mood modification
Hal ini mengarah pada pengalaman individu sendiri, yang menjadi hasil dari
bermain internet, dan dapat dilihat sebagai strategi coping.
c. Tolerance
Hal ini merupakan proses dimana terjadinya peningkatan jumlah penggunaan
internet untuk mendapatkan efek perubahan dari mood.
d.Withdrawal symptoms
Hal ini merupakan perasaan tidak menyenangkan yang terjadi karena penggunaan
internet dikurangi atau tidak dilanjutkan (misalnya mudah marah, cemas atau tubuh
bergoyang).
d. Conflict
Hal ini mengarah pada konflik yang terjadi antara pengguna internet dengan
lingkungan sekitarnya (konflik interpersonal), konflik dalam tugas lainnya (pekerjaan,
tugas, kehidupan sosial, hobi) atau konflik yang terjadi dalam dirinya sendiri (konflik
intrafisik atau merasa kurangnya kontrol) yang diakibatkan karena terlalu banyak
menghabiskan waktu bermain internet.
e. Relapse
Hal ini merupakan kecenderungan berulangnya kembali pola penggunaan internet
setelah adanya kontrol.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adiksi internet menurut Montag dan Reuter (2015),
yaitu:
1. Faktor social
Kesulitan dalam melakukan komunikasi interpersonal atau individu yang mengalami
permasalahan sosial dapat menyebabkan penggunaan internet yang berlebihan. Hal
tersebut disebabkan individu merasa kesulitan dalam melakukan komunikasi dalam
situasi face to face, sehingga individu akan lebih memilih menggunakan internet
untuk melakukan komunikasi karena dianggap lebih aman dan lebih mudah daripada
dilakukan secara face to face. Rendahnya kemampuan komunikasi dapat juga
menyebabkan rendahnya harga diri, mengisolasi diri menyebabkan permasalahan
dalam hidup seperti kecanduan terhadap internet (Reuter, 2015).
2. Faktor psikologis
Kecanduan internet dapat disebabkan karena individu mengalami permasalahan
psikologis seperti depresi, kecemasan, obsesive compulsive disorder (OCD),
penyalahgunaan obat-obat terlarang dan beberapa sindroma yang berkaitan dengan
gangguan psikologis. Gangguan tersebut memicu individu untuk melarikan diri dari
masalah, menerima hiburan menjadi rasa senang dari penggunaan internet. Pelarian
diri ini menyebabkan individu terdorong untuk lebih sering menggunakan internet
sebagai pelampiasan dan akan menyebabkan kecanduan (Reuter, 2015).
3. Faktor biologis
Penelitian yang dilakukan oleh Montag & Reuter (2015) dengan menggunakan functional
magnetic resonance image (fMRI) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan fungsi otak antara
individu yang mengalami kecanduan internet dengan yang tidak. Individu yang mengalami
kecanduan internet menunjukkan bahwa dalam memproses informasi jauh lebih lambat,
kesulitan dalam mengontrol dirinya dan memiliki kecenderungan kepribadian depresif.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Kesehatan

Menurut WHO (1981 dalam Maulana, 2014), sehat sebagai suatu keadaan sempurna
baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Undang-Undang No. 36 tentang
kesehatan (2009), menyatakan bahwa kesehatan adalah sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomis.
Sehat dalam pengertian yang paling luas adalah suatu keadaan yang dinamis dimana
individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal dan eksternal
untuk mempertahankan keadaan kesehatannya. Lingkungan internal terdiri dari beberapa
faktor psikologis, dimensi intelektual, spiritual, serta proses penyakit, dan lingkungan
eksternal terdiri dari variabel lingkungan fisik, hubungan sosial dan ekonomi (Potter & Perry,
2005).
Kesehatan merupakan investasi sumber daya manusia. Kesehatan juga merupakan
tanggung jawab bersama, untuk itu perlu diperjuangkan oleh banyak pihak termasuk
komunitas pesantren yang berisiko tinggi untuk terjangkit penyakit. Transmisi yang mudah
ini di antaranya disebabkan oleh tingkat kepadatan dan lingkungan yang kurang memadai.
Bila dilihat dari sisi kesehatan, pada umumnya kondisi kesehatan di lingkungan pesantren
masih memerlukan perhatian dari berbagai pihak terkait, baik dalam aspek akses pelayanan
kesehatan, perilaku sehat, maupun kesehatan lingkungannya (Effendi, 2009).
Menurut Hendrik Bloom, ada 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan
seseorang, yaitu perilaku, lingkungan, keturunan (herediter), dan pelayanan kesehatan
(Effendy & Nasrul, 1998).
A. Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organism
yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas daripada
manusia itu sendiri. Perilaku manusia itu mempunyai bentengan yang sangat luas,
mencakup berjalan, berbicara, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal sperti
berpikir, persepsi, dan emosi juga merupakan perilaku manusia (Effendy & Nasrul, 1998).

1) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit


Perilaku seseorang terhadap penyakit, yaitu bagaimana manusia berespon,
baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi) penyakit dan rasa sakit
yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan
sebagai sehubungan dengan penyakit dan tersebut. Perilaku terhadap sakit dan
penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit,
yaitu (Effendy & Nasrul, 1998):
a. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion
behavior). Misalnya makan makanan yang bergizi, olahraga, dan sebagainya.
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior), adalah respons
untuk melakukan pencegahan penyakit misalnya tidur memakai kelambu
untuk mencegah gigitan nyamuk. Termasuk juga perilaku untuk tidak
menularkan penyakit kepada orang lain.
2) Perilaku terhadap makanan
Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior) yakni respon seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi
pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita terhadap makanan serta unsur-unsur
yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengolahan makanan, dan sebagainya,
sehubungan kebutuhan tubuh kita (Effendy & Nasrul, 1998).
Penerapan perilaku hidup bersih, seperti mencuci tangan sebelum makan
dengan air dan sabun, menyajikan makan dalam keadaan yang tertutup agar tidak
dihinggapi serangga, hidup bersih, seperti mencuci tangan sebelum makan dengan
air bersih dan sabun menyajikan makanan dalam keadaan selalu tertutup agar
tidak dihinggapi serangga/lalat, memasak dengan suhu yang tepat agar kuman
mati, mencuci sayur dan buah hingga bersih, serta menjaga makanan dan
minuman agar tidak tercemr oleh logam berat. Penerapan pola hidup bersih
berkaitan dengan bagaimana hygiene sanitasi penyelengaraan makanan keluarga
(Kurniasih et al, 2010).
Higiene personal pada saat mengolah makanan sangat diperlukan agar
menghasilkan makanan yang terhindar dari kuman dan terhindar dari efek fatal
yaitu keracunan makanan, seperti:
a. Mencuci tangan sebelum makan dengan air bersih dan sabun
b. Menyajikan makanan dalam keadaan selalu tertutup agar tak dihinggapi
serangga/lalat
c. Memasak makanan dengan suhu yang tepat agar kuman mati
d. Mencuci sayur dan buah hingga bersih, serta
e. Menjaga makanan dan minuman agar tidak tercemar oleh logam berat.
3) Perilaku terhadap lingkungan kesehatan
Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior)
adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan
manusia. Perilaku ini mencakup (Effendy & Nasrul, 1998):
a. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk didalamnya komponen,
manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.
b. Perilaku sehubungan dengan air kotor, yang menyangkut segi-segi hygiene
pemeliharaan teknik dan penggunaannya.
c. Perilaku sehubungan dengan ruangan yang sehat, meliputi ventilasi,
pencahayaan, lantai dan sebagainya.
B. Lingkungan
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan
lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif pada terwujudnya status
kesehatan yang optimal pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain
mencakup: perumahan, pembuangan kotoran manusia, penyediaan air bersih, pembuangan
sampah, pembuangan air kotor (limbah). Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan
lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan
hidup manusia yang merupakan media yang baik agar terwujudnya kesehatan yang
optimum bagi manusia yang hidup didalamnya.
Berbicara mengenai lingkungan yang sering kali kita meninjau dari kondisi fisik.
Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber berkembangnya
penyakit. Terjadi penumpukan sampah yang tidak dikelola dengan baik, polusi udara, air
dan tanah juga dapat menjadi penyebab (Effendy & Nasrul, 1998).
Lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh luar yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organism (Asmadi. 2008).
Secara umum, lingkungan dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Lingkungan fisik, yaitu lingkungan alamiah yang terdapat di sekitar manusia.
Lingkungan fisik ini meliputi banyak hal, seperti cuaca, musim, keadaan geografis,
struktur geologis, dan lain-lain.
2.  Lingkungan non fisik, yaitu lingkungan yang muncul akibat adanya interaksi antar-
manusia. Lingkungan non fisik ini meliputi sosial-budaya, norma, nilai, adat istiadat,
dan lain-lain.
Untuk memahami hubungan lingkungan dengan kesehatan, dapat digunakan model
segitiga yang menjelaskan hubungan antara agens, hopes, dan lingkungan. Agens
merupakan faktor yang dapat menyebabkan penyakit, seperti faktor biologis, kimiawi,
mekanis, dan psikologis. Penjamu (hopes) adalah semua faktor yang terdapat pada
diri manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit serta perjalanan suatu
penyakit. Faktor tersebut antara lain keturunan, mekanisme pertahanan tubuh, umur,
jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, kebiasaan hidup, dan sebagainya
(Asmadi, 2008).

Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terutama pada pembentukan perilaku


makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah serta
adanya promosi melalui media elektronik maupun cetak. Kebiasaan makan dalam keluarga
sangat berpengaruh besar terhadap pola makan seseorang, kesukaan seseorang terhadap
makanan terbentuk dari kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga. Lingkungan
sekolah termasuk di dalamnya para guru, teman sebaya, dan keberadaan tempat jajan
sangat mempengaruhi terbentuknya pola makan, khususnya bagi siswa sekolah. Anak-
anak yang mendapatkan informasi yang tepat tentang makanan sehat dari para gurunya
didukung oleh tersedianya kantin dan tempat jajan yang menjual makanan yang sehat akan
membentuk pola makan yang baik pada anak. Sekolah diluar negeri menerapkan kegiatan
makan siang bersama di sekolah. Hal ini akan membentuk pola makan yang positif pada
anak, karena akan dibiasakan memiliki pola makan yang teratur, memenuhi kebutuhan
biologis pencernaan dengan mengkonsumsi makanan bergizi, tidak hanya asal kenyang
dengan jajanan.
Keberadaan iklan/promosi makanan ataupun minuman melalui media elektronik
maupun cetak sangat besar pengaruhnya dalam membentuk pola makan. Tidak sedikit
orang tertarik untuk mengonsumsi atau membeli jenis makanan tertentu setelah melihat
promosinya iklan di televisi, sehingga masyarakat dapat memilih bahan makanan yang
diinginkan dengan menerapkan prinsip gizi seimbang.

C. Keturunan
Secara sederhana, penyakit manusia dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, salah
satunya adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor gen. Penyakit ini disebut juga
sebagai penyakit herediter atau keturunan (Asmadi. 2008).

D. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan (health care service) merupakan hak setiap orang yang
dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945 untuk melakukan upaya peningkatkan derajat
kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.
Defenisi Pelayanan kesehatan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun
2009 (Depkes RI) yang tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan tentang kesehatan
ialah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan, perorangan, keluarga, kelompok ataupun
masyarakat. Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Kesehatan, pelayanan kesehatan secara
umum terdiri dari dua bentuk pelayanan kesehatan yaitu:
1. Pelayanan kesehatan perseorangan (medical service). Pelayanan kesehatan ini banyak
diselenggarakan oleh perorangan secara mandiri (self care), dan keluarga (family
care) atau kelompok anggota masyarakat yang bertujuan untuk menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Upaya pelayanan
perseorangan tersebut dilaksanakan pada institusi pelayanan kesehatan yang disebut
rumah sakit, klinik bersalin, praktik mandiri.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Pelayanan kesehatan
masyarakat diselenggarakan oleh kelompok dan masyarakat yang bertujuan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang mengacu pada tindakan promotif dan
preventif. Upaya pelayanan masyarakat tersebut dilaksanakan pada pusat-pusat
kesehatan masyarakat tertentu seperti puskesmas.

Kegiatan pelayanan kesehatan secara paripurna diatur dalam Pasal 52 ayat (2) UU
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
a. Pelayanan kesehatan promotif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi
kesehatan.
b. Pelayanan kesehatan preventif, suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/penyakit.
c. Pelayanan kesehatan kuratif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan
akibat penyakit, pengendalian penyakit, pengendalian kecacatan agar kualitas
penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
d. Pelayanan kesehatan rehabilitatif, kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi
sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat, semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Berdasarkan uraian di atas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di
puskesmas, klinik, dan rumah sakit diatur secara umum dalam UU Kesehatan, dalam
Pasal 54 ayat (1) UU Kesehatan berbunyi bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan
nondiskriminatif. Dalam hal ini setiap orang atau pasien dapat memperoleh kegiatan
pelayanan kesehatan secara professional, aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif
serta lebih mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan
lainnya.
Pihak-Pihak yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pihak-pihak yang
berhubungan dengan setiap kegiatan pelayanan kesehatan baik itu di rumah sakit, puskesmas,
klinik, maupun praktek pribadi, antara lain:
1. Dokter, adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana mestinya
untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan mengobati
penyakit berdasarkan hukum dan pelayanan di bidang kesehatan. Kesadaran dokter
terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain
dalam menjalankan profesinya harus benar-benar dipahami dokter sebagai pengemban
hak dan kewajiban.
2. Perawat, adalah profesi yang sifat pekerjaannya selalu berada dalam situasi yang
menyangkut hubungan antar manusia, terjadi proses interaksi serta saling
memengaruhi dan dapat memberikan dampak terhadap tiap-tiap individu yang
bersangkutan. Menurut hasil Lokakarya Keperawatan Nasional Tahun 1983, perawat
adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu pelayanan biopsiko-sosio-spiritual
yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik yang
sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia. Sebagai suatu
profesi perawat mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat, yang berarti
masyarakat memberikan kepercayaan bagi perawat untuk terus-menerus memelihara
dan meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan. Pada proses hubungan antara
perawat dengan pasien, pasien mengutarakan masalahnya dalam rangka mendapatkan
pertolongan yang artinya pasien mempercayakan dirinya terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan.
3. Bidan, adalah profesi yang diakui secara nasional maupun internasional oleh sejumlah
praktisi diseluruh dunia. Defenisi bidan menurut International Confederation of
Midwife (ICM) Tahun 1972 adalah seseorang yang telah menyelesaikan program
pendidikan bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi
izin untuk menjalankan praktik kebidanan di negeri tersebut, bidan harus mampu
memberi supervisi, asuhan, dan memberi nasihat yang dibutuhkan wanita selama
hamil, persalinan, dan masa pasca persalinan, memimpin persalinan atas tanggung
jawabnya sendiri serta asuhan pada bayi lahir dan anak. Asuhan ini termasuk tindakan
preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan bayi, dan mengupayakan
bantuan medis serta melakukan tindakan pertolongan gawat-darurat pada saat tidak
ada tenaga medis lain.
4. Apoteker, Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, apoteker ialah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
Pelayanan kegiatan kesehatan dapat diperoleh mulai dari tingkat puskesmas,
rumah sakit umum/swasta, klinik dan institusi pelayanan kesehatan lainnya diharapkan
kontribusinya agar lebih optimal dan maksimal. Masyarakat atau pasien dalam hal ini
menuntut pihak pelayanan kesehatan yang baik dari beberapa institusi penyelenggara di
atas agar kinerjanya dapat dirasakan oleh pasien dan keluarganya, di lain pihak
pemerintah belum dapat menerapkan aturan pelayanan kesehatan secara tepat,
sebagaimana yang diharapkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan.
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibutuhkan tenaga kesehatan yang
baik, terampil dan fasilitas rumah sakit yang baik, tetapi tidak semua institusi pelayanan
medis tersebut memenuhi kriteria tersebut, sehingga meningkatkan kerumitan sistem
pelayanan kesehatan dewasa ini.
Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan
posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu
dalam mendapakan pengobatan dan perawatan kesehatan. Pelayanan kesehatan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, karena
keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan,
pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan
masyarakat yang memerlukan peayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas sangat
dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat dijangkau oleh masyarakat atau tidak, tenaga
kesehatan yang memberikan pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk
mendatangi fasilitas dalam memperoleh pelayanan, serta program pelayanan kesehatan
apakah sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukannya.
1) Tempat layanan kesehatan
Letak geografis tempat layanan kesehatan dapat mempengaruhi keterjangkauan
masyarakat terhadap layanan kesehatan dan keterjangkauan petugas kesehatan dalam
memberikan layanan kepada masyarakat.
2) Kualitas petugas kesehatan
Individu yang berada dalam posisi ketergantungan karena sangat membutuhkan
pertolongan dari petugas kesehatan bagi kesembuhan dirinya. Dalam kondisi sakit ini,
individu pasrah terhadap apapun tindakan yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
Jika petugas kesehatan tidak memiliki kompetensi yang berkualitas, bukan
kesembuhan yang akan klien peroleh tetapi penderitaan bahkan kematian (Asmadi.
2008).
3) Sistem layanan kesehatan
Dalam sistem pelayanan kesehatan juga sangat berpengaruh terhadapa derajat
kesehatan individu dan masyarakat. Layanan kesehatan tidak hanya berfokus kepada
upaya kuratif, melainkan upaya promotif dan preventif (Asmadi. 2008).

Untuk kesehatan individu, disamping keempat faktor tersebut, faktor internal individu
juga berperan, misalnya umur, gender, pendidikan, dan sebagainya. Bila kita analisis lebih
lanjut determinan kesehatan itu sebenarnya adalah semua faktor diluar kehidupan manusia,
baik secara individual, kelompok, maupun komunitas yang secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kehidupan manusia. Hal ini berarti, disamping determinan-
determinan derajat kesehatan yang telah dirumuskan oleh Blum tersebut masih terdapat
faktor lain yang mempengaruhi atau menentukan terujudnya kesehatan seseorang, kelompok
atau masyarakat.
a) Faktor makanan
Makanan merupakan faktor penting dalam kesehatan kita. Bayi lahir dari seorang ibu
yang telah siap dengan persoalan soal yang merupakan makanan lengkap untuk seorang
bayi. Mereka yang memelihara tubuhnya dengan makanan yang cocok, menikmati tubuh
yang benar-benar sehat. Kecocokan makanan ini menurut waktu, jumlah, dan harga yang
tepat. Hanya saat kita makan secara berlebihan makanan yang tidak cocok dengan tubuh
kita, maka tubuh akan bereaksi begitupun sebaliknya. Sakit adalah salah satu reaksi tubuh
kita, dan bila kemudian dicegah atau dirawat dengan benar, tubuh kembali sehat. Penyakit
merupakan peringatan untuk mengubah kebiasaan kita. Perlu diingat bahwa tubuh kita
hanya memerlukan makanan yang tepat dalam jumlah yang sesuai.
b) Pendidikan atau Tingkat pengetahuan
Tingkat pengeahuan akan membentuk cara berpikir dan kemampuan seseorang untuk
memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan
pengetahuan tersebut untuk menjaga kesehatannya. Pendidikan juga secara tidak langsung
akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam menjaga kesehatannya. Biasanya, orang
yang berpendidikan (dalam hal ini pendidikan formal) mempunyai resiko lebih kecil
terkena penyakit atau masalah kesehatan lainnya.
c) Faktor sosio-ekonomi
Faktor-faktor sosial dan ekonomi seperti lingkungan sosial, tingkat pendapatan,
pekerjaan, dan ketahanan pangan dalam keluarga merupakan faktor yang berpengaruh
besar pada penentuan derajat kesehatan seseorang.
d) Latar belakang budaya
Latar belakang bidaya mempengaruhi keyakinan, nilai, dan kebiasaaan individu termasuk,
termasuk system pelayanan kesehatan dan cara pelaksanaan kesehatan pribadi.
e) Usia
Setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon yang berbeda-beda
terhadap perubahan kesehatan yang terjadi.
f) Faktor emosional
Setiap pemikiran positif akan sangat berpengaruh, pikiran yang sehat dan bahagia
semakin meningkatkan kesehatan tubuh kita. Tidak sulit memhami pengaruh dari pikiran
tentang kesehatan kita. Yang diperlukan hanya usaha mengembangkan sikap yang benar
agar tercapai kesejahteraan.
g) Faktor agama dan keyakinan
Agama dan kepercayaan yang dianut oleh seorang individu secara tidak langsung
mempengaruhi perilaku kita dalam berperilaku sehat. Misalnya dalam Islam mengajarkan
bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman.

Anda mungkin juga menyukai