Anda di halaman 1dari 11

ARTIKEL

Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)


The Supply Chain Risk Management of Sugarcane
(Case Study in PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
1Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Jember
Jalan Kalimantan 37 Kampus Tegal Boto Jember Jawa Timur
Email : illia.faperta@unej.ac.id
Diterima : 8 April 2019 Revisi : 18 November 2019 Disetujui : 4 Desember 2019

ABSTRAK
Industri tebu (gula) melibatkan banyak komponen (petani tebu, pabrik gula, perusahaan
penyedia saprodi pertanian, pedagang, industri makanan/minuman, konsumen). Aspek
pasokan tebu menjadi aspek yang sangat strategis untuk meningkatkan efisiensi dalam
menghasilkan bahan baku gula. Supply chain manajemen yang baik pada rantai pasok
perusahaan menjadikan perusahaan mampu menyajikan produk yang dikehendaki dengan
cepat dan tepat serta sesuai dengan kemauan konsumen akhir. Manajemen rantai pasok yang
handal adalah bagaimana mampu mengelola risiko yang ada pada rantai pasok. Manajemen
risiko rantai pasok produk pertanian menjadi lebih sulit, karena beberapa sumber
ketidakpastian dan hubungan yang kompleks antara pelaku dalam rantai pasok tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi risiko dalam rantai pasok tebu di PTPN X,
menganalisis implikasi managerial yang dilakukan dalam menghadapi risiko dalam rantai
pasok tebu di PTPN X, dan mensintesis upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka
meningkatkan kinerja rantai pasok tebu di wilayah kerja PTPN X. Hasil penelitian
menunjukkan: (i) terdapat beberapa risiko dalam rantai pasok tebu di PTPN X; (ii) implikasi
managerial berkaitan dengan peningkatan produktifitas tebu, kualitas tebu, ketersediaan tebu
dan harga gula; dan (iii) upaya yang harus dilakukan adalah peningkatan manajemen usaha
tani petani (on-farm), mekanisasi tenaga tebang angkut, dan kebijakan integrasi manajemen
industri gula.
kata kunci: rantai pasok, manajemen risiko, tebu
ABSTRACT
The Sugar cane industry involves many components (farmers, sugar mills, companies
providing agricultural inputs, traders, food/beverage industries, consumers). The supply aspect
of sugar cane is very strategic to increase efficiency in producing sugar raw materials. Proper
supply chain management in the company's supply chain makes the company able to present
the desired product quickly and precisely, following by the consumer preference. Reliable
supply chain management is how to be able to manage the risks in the supply chain. Supply
chain risk management of agricultural products becomes more difficult due to several sources
of uncertainty and complex relationships between actors in the supply chain. The aims of this
study were identifying risks in the sugarcane supply chain, analyzing the managerial
implications of dealing with uncertainties in the sugarcane supply chain, and synthesizing
efforts that can be done to improve the performance of sugarcane supply chains at PTPN X.
The results showed: (i) there were risks in the sugarcane supply chain; (ii) managerial
implications for sugarcane related to increasing productivity, quality, availability and sugar
prices; and (iii) the step efforts to be made were management improvement farmer farming,
mechanization of transport felling power and policy integration for sugar industry management.
keywords: supply chain, risk management, sugarcane
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
I. PENDAHULUAN
Gula sebagai salah satu hasil utama Keputusan Presiden No. 43/1971 tentang
tebu di Indonesia, merupakan komoditas pengadaan, penyaluran dan pemasaran
yang banyak dibutuhkan masyarakat, baik gula serta Keputusan Menteri No.
untuk konsumsi langsung maupun tidak 122/Kp/III/81 tentang tata niaga gula pasir
langsung atau sebagai bahan baku industri dalam negeri (persamaan 10) (Nugraha,
makanan dan minuman (Amrullah, 2001; 2016). Agribisnis gula terdiri dari empat
Subiyono dan Wibowo 2005; Kementerian subsistem, yaitu subsistem penyediaan
pertanian, 2016). Tebu dan gula di input, subsistem usaha tani tebu,
Indonesia dihasilkan terutama di Jawa, subsistem prosesing gula (dan hasil
khususnya Jawa Timur. Jawa Timur sampingnya) dan subsistem pemasaran
merupakan penghasil tebu sebagai bahan hasil (gula dan hasil sampingannya). Ke-
baku gula yang sebagian besar, bahkan empat subsistem ini saling berinteraksi
hampir seluruhnya dihasilkan petani sehingga membentuk kinerja industi gula
(Kementerian Pertanian, 2016). Industri yang tercermin pada daya saing industri
gula di Indonesia terdiri dari 62 pabrik gula gula (Wibowo, 2007).
(PG). Sebanyak 49 pabrik gula dimiliki oleh Kinerja industri gula nasional
8 BUMN dengan kapasitas 160.000 ton tercermin dari sisi produksi sekitar 53
tebu per hari (TCD), dan 31 PG (54 persen) persen berasal dari BUMN di Jawa dengan
diantaranya berada di Jawa Timur. Oleh bahan baku 90 persen dipasok dari petani
karena itu, Jawa Timur tampaknya akan tebu yang didukung areal seluas 250 ribu
tetap menjadi lokomotif industri gula, baik hektare (ha), dengan komposisi 55 persen
ditinjau dari aspek produksi maupun berasal dari tebu tegalan dan 45 persen
produktivitas (Subiyono dan Wibowo 2005; dari tebu sawah (Wibowo, 2007; Nugraha,
Wibowo, 2007; Arifin, 2014; Kementerian 2016). Produktivitas gula pada pabrik milik
Pertanian, 2016). BUMN masih rendah dan secara bisnis
Industri tebu (gula) merupakan tidak efisien. Produktivitas gula rata-rata
elemen penting untuk menggerakkan pada BUMN hanya 5,8 ton per hektare,
ekonomi nasional, karena melibatkan cukup jauh jika dibandingkan dengan
banyak komponen (petani tebu, pabrik produktivitas gula di pabrik swasta yang
gula, perusahaan penyedia saprodi mencapai 6,9 ton per hektare.
pertanian, pedagang, industri makanan/ Produktivitas gula yang masih rendah
minuman konsumen). Rencana Induk disebabkan oleh kualitas bahan baku
Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) (tebu) dan kinerja pengolahan. Persoalan
2015–2035, menyatakan bahwa industri klasik rendahnya rendemen gula masih
gula sebenarnya termasuk industri pangan menjadi kendala inefisiensi yang cukup
prioritas, walaupun dengan skor penilaian akut. Rata-rata rendemen pada pabrik
yang tidak terlalu tinggi. Saat ini, target BUMN adalah 7,8 persen (di bawah
swasembada gula mungkin dianggap standar rendemen 12 persen). Secara
terlalu berat, karena industri gula tebu di individu, masih ada pabrik gula BUMN
dalam negeri hanya mampu memenuhi 50 yang menghasilkan rendemen di bawah 6
persen dari konsumsi gula domestik (Arifin, persen (Subiyono dan Wibowo, 2005;
2014). Produksi gula nasional berkisar Wibowo, 2007; Arifin, 2014; dan Magfiroh,
antara 2,3 juta ton, sementara kebutuhan dkk., 2016).
gula Indonesia tahun 2017/2018 per kapita Rendemen atau kandungan gula di
per tahun untuk konsumsi dan industri total dalam tebu tidak hanya berhubungan
adalah 5,2 juta ton (Sabil, 2018). dengan varietas bibit dan teknologi
Stok gula diperkirakan berkaitan budidaya saja, tetapi juga berhubungan
dengan produksi serta kebijakan yang dengan kebijakan/aturan dalam
berkaitan dengan pergulaan, khususnya manajemen pengolahan tebu, mulai dari
kebijakan distribusi, seperti kebijakan jadwal panen, proses angkut, transportasi,
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
pelaporan, masa tunggu di depan pabrik, melibatkan semua fungsi dan hierarki
sampai pada manajemen dan etos kerja dalam organisasi. Langkah penting dalam
sumber daya manusia (Wibowo, 2007; manajemen risiko rantai pasok adalah
Arifin, 2014). Di sisi yang lain, pasok tebu perumusan strategi pengelolaan risiko
untuk pabrik gula akan mendukung supply chain. Output-nya adalah kebijakan
pencapaian produksi dan produktivitas risiko (risk policy atau risk strategic plan
gula yang tinggi dan sesuai dengan atau risk management plan).
kapasitas giling pabrik gula (2000 ≥ 5000 Inti dari pengelolaan risiko sejatinya
ton TCD). Pabrik gula Jawa Timur adalah identifikasi risiko dan penyebab
mendapatkan pasokan tebu dari tebu utama terjadinya risiko. Ada tiga elemen
sendiri (TS) dan tebu rakyat (TR), dengan penting dalam pengelolaan risiko
rata-rata pasokan tebu rakyat sekitar 84 menggunakan manajemen risiko rantai
persen dari total tebu giling. Hal ini pasok, antara lain (i) mengidentifikasi risiko
menunjukkan bahwa dominasi tebu rakyat dalam rantai pasok; (ii) analisis risiko; dan
dan peran petani tebu terhadap eksistensi (iii) merancang respons risiko (Zaroni,
industri gula Jawa Timur sangat dominan 2018).
(Wibowo, 2007).
Tujuan penelitian ini adalah
Secara teoretis bagi pabrik gula, mengidentifikasi risiko dalam rantai pasok
kekurangan pasok bahan baku tebu ke tebu, menganalisis implikasi manajerial
pabrik pada suatu waktu tertentu akan yang dilakukan untuk menghadapi risiko
mengakibatkan kondisi yang tidak efisien dalam rantai pasok tebu dan mensintesis
karena pabrik tidak dapat beroperasi upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
(pabrik hanya dapat beroperasi jika rangka meningkatkan kinerja rantai pasok
kapasitas giling pabrik terpenuhi). tebu di wilayah kerja PTPN X.
Sebaliknya, kelebihan pasok bahan baku
tebu pada suatu waktu tertentu juga akan II. METODOLOGI
mengakibatkan bahan baku tebu Penelitian ini merupakan penelitian
mengalami “tunda giling”, yang pada deskriptif. Penelitian dilaksanakan di
gilirannya menurunkan kualitas bahan wilayah kerja pabrik gula PTPN X di Kediri
baku tebu tersebut (Malian, dkk. 2004; dan Mojokerto Jawa Timur. Pemilihan
Wibowo, 2007; Efendi, 2015; Mahbubi, lokasi penelitian dilakukan secara sengaja
2015: Pongoh, 2016). Oleh karena itu, (purposive) dengan mengambil pabrik gula
manajemen rantai pasok (supply chain di Kediri dan Mojokerto sebagai sampel
management) sangat diperlukan dalam yang merupakan pabrik gula milik PTPN X
rangka meningkatkan dan menjaga dengan kapasitas giling pabrik sebesar
kestabilan industri baik menyangkut lebih dari 5.000 TCD dan produktif
produksi, produktifitas, kualitas, harga, (ditunjukkan dengan indikator kinerja
melindungi dari ketidakpastian serta pabrik yang lebih baik dari pabrik gula
meningkatkan kinerja rantai pasok lainnya). Sampel penelitian adalah petani
(Lokollo, 2016). tebu yang diwakili oleh Asosiasi Petani
Salah satu pendekatan dalam Tebu Rakyat (APTR) dan tiga pabrik gula
manajemen rantai pasok adalah yang terletak di Gempol Krep (Kabupaten
manajemen risiko dalam rantai pasok Mojokerto) serta Pesantren Baru dan
(supply chain risk management). Ngadirejo, Kabupaten Kediri.
Pendekatan ini menempatkan bagaimana Untuk menganalisis tujuan pertama
kita dapat mengelola risiko dalam rantai yaitu identifikasi risiko dalam rantai pasok
pasok secara terintegrasi, mulai dari tebu di PTPN X dilakukan melalui
perencanaan strategi, pengelolaan risiko, pendekatan deskriptif pada struktur dan
tujuan, sasaran, kebijakan, nilai-nilai dan anggota rantai, sasaran rantai, manajemen
budaya sadar risiko, tindakan, serta rantai, proses bisnis rantai, performa rantai
prosedur pengelolaan risiko, yang serta hambatan-hambatan (risiko).
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
Untuk menganalisis tujuan kedua menentukan tindakan koreksi yang sesuai
yaitu implikasi manajerial yang dilakukan dengan indikator kegagalan. Indikator
untuk menghadapi risiko dalam rantai kegagalan memiliki nilai RPN yang lebih
pasok tebu digunakan metode Failure tinggi diasumsikan lebih penting dan diberi
Mode and Effect Analysis (FMEA). Metode prioritas lebih tinggi untuk tindakan korektif
ini adalah suatu prosedur terstruktur untuk daripada yang memiliki RPN yang lebih
mengidentifikasi dan mencegah sebanyak rendah (Tabel 1).
mungkin mode kegagalan. Suatu mode
Untuk menganalisis tujuan ketiga
kegagalan adalah apa saja yang termasuk
dalam kecacatan atau kegagalan dalam Tabel 1. Kategori Risiko Berdasarkan
desain, kondisi di luar batas spesifikasi RPN
yang telah ditetapkan atau perubahan Nilai RPN Kategori Pengendalian
pada produk yang menyebabkan Risiko Risiko
terganggunya fungsi-fungsi dari produk 1-50 Sangat Menerima
tersebut (Casadei, 2007).
Rendah
Failure Mode and Effects Analysis 51-100 Rendah Menerima
(FMEA) adalah metodologi yang dirancang
101-150 Menengah Menghindari
untuk mengidentifikasi mode kegagalan
potensial pada suatu produk atau proses 151-200 Tinggi Mitigasi
sebelum terjadi, mempertimbangkan risiko 201-250 (> Sangat Mitigasi
yang berkaitan dengan modal kegagalan 250) Tinggi
tersebut, mengidentifikasi FMEA serta Sumber: The Chartered Quality Institute
melaksanakan tindakan korektif untuk (2010) yang dapat dilakukan
yaitu upaya-upaya
mengatasi masalah yang paling penting. dalam rangka meningkatkan kinerja rantai
Tiga parameter dalam FMEA (keparahan, pasok tebu di wilayah kerja PTPN X,
kejadian, dan deteksi) digunakan untuk dilakukan melalui hasil wawancara intensif
menggambarkan masing-masing mode dengan responden ahli/Pakar Pertebuan
kegagalan menurut penilaian pada skala nasional dan studi beberapa literatur.
1–10. Tingkat keparahan (severity rating)
adalah keseriusan efek kegagalan karena III. HASIL DAN PEMBAHASAN
adanya hambatan. Tingkat kejadian adalah 3.1. Risiko dalam Rantai Pasok Tebu
kemungkinan atau frekuensi terjadinya
risiko dengan 1 merupakan kesempatan Risiko dalam rantai pasok berkaitan
paling tidak ada kejadian dan 10 adalah dengan atribut atau indikator-indikator
yang ada kejadian tertinggi. Tingkat deteksi yang menyebabkan atau memberi dampak
adalah kemampuan untuk mendeteksi pada ketidakstabilan kinerja industri gula,
kegagalan atau probabilititas dari baik menyangkut mulai dari produksi,
kegagalan yang dapat terjadi (Pillay dan produktivitas, kualitas, harga,
Wang, 2003). ketidakpastian, serta penurunan kinerja
rantai pasok. Risiko pertama adalah
Menurut Chen (2007), penilaian struktur (Saluran) rantai pasok tebu di
FMEA dilakukan dengan menggunakan PTPN X dari tingkat petani sampai pada
Risk Priority Number/nomor prioritas risiko tingkat konsumen memiliki saluran yang
(RPN). RPN adalah hasil perkalian dari cukup panjang. Struktur rantai pasok tebu
peringkat keparahan/severity (S), kejadian/ di PTPN X dari tingkat petani sampai pada
occurrence (O), dan deteksi /detection (D) tingkat konsumen melibatkan beberapa
yang dihitung dengan persamaan: lembaga/saluran tata niaga. Rantai pasok
RPN = S x O x D…………………………(1) tebu dari hulu hingga hilir melibatkan
produsen (petani dan pabrik gula),
Risk Priority Number (RPN)
menunjukkan indikator kekritisan pada
masing-masing variabel risiko, untuk
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
pedagang (besar, agen, pengepul), dan
Tabel 2. Harga Gula di Setiap Saluran
retail (Gambar 1).
Niaga
Petani tebu --- Pabrik Gula --- Petani tebu --- Pelaku Niaga Harga Gula
Pedagang gula besar --- Agen -- Pengepul -- Gula (Rp/Kg)
- Retail --- Konsumen Petani 9.700
Pedagang Besar 11.000
Gambar 1. Struktur Rantai Pasok Tebu di
Agen 11.400
PTPN X
Selain itu, jika dibandingkan dengan Pengepul 11.600
agribisnis tebu-gula di luar negeri, Retail 12.000
menganggap bahwa dengan sistem bagi Konsumen 12.500
hasil antara petani dan pabrik gula yang Sumber : Data Primer, Mei 2018
selama ini terjadi di Indonesia, yaitu 70:30, produktivitas pabrik gula; (ii) Pola rantai
di mana 70 persen hasil produksi milik

Gambar 2. Kinerja Pelaku di Setiap Saluran Rantai Pasok Tebu


petani, sisanya 30 persen milik pabrik gula, pasok yang panjang tersebut sangat
maka sistem ini menjadi pola rantai pasok merugikan petani karena semakin panjang
yang tidak efisien karena petani tebu rantai tata niaga, margin yang diterima
menguasai rantai pasok tebu dari hulu petani semakin kecil; dan (iii) Dari sisi
hingga hilir dalam satu struktur konsumen, harga gula yang harus
manajemen. Jika dibandingkan dengan dibayarkan oleh konsumen untuk membeli
pabrik gula yang ada di Luar Jawa, dengan gula semakin jauh (tinggi) dari harga dasar
saluran rantai pasok dalam struktur gula (Tabel 2). Hasil ini sesuai dengan
manajemen yang terpadu, hasilnya jauh penelitian Efendi (2015), yang
lebih efisien, sebab ada integrasi menunjukkan bahwa pemenuhan pasokan
manajemen dari hilir sampai hulu (Wibowo, tebu oleh petani tidak sesuai kapasitas
2007). pabrik, baik kuantitas maupun kualitas tebu
Risiko yang ditimbulkan dari saluran dengan standar yang sudah ditentukan
yang cukup panjang antara lain : (i) pabrik, sehingga berdampak pada kurang
Pasokan bahan baku tebu petani optimalnya kapasitas giling pabrik dan
cenderung fluktuatif, baik kuantitas menambah biaya-biaya (inefisiensi).
maupun kualitas, sehingga mempengaruhi
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
Risiko kedua adalah kinerja rantai produktivitas tebu; (ii) kualitas tebu; (iii)
pasok tebu di wilayah kerja PTPN X ketersediaan (pasokan) tebu; dan (iv)
cenderung fluktuatif atau tidak stabil harga gula. Empat variabel masalah
(belum optimal). Kinerja rantai pasok tebu tersebut menimbulkan beberapa risiko,
di PTPN X menunjukkan bagaimana antara lain risiko harga bibit, hama penyakit
performance pelaku di setiap saluran atau tanaman, produksi tebu, kualitas produk
struktur yang terlibat dalam kegiatan rantai dan harga produk. Adapun pihak-pihak
pasok tebu di PTPN X dari produsen yang terlibat dalam rantai pasok tebu
hingga konsumen. Kinerja rantai pasok adalah petani, pabrik gula, pedagang,
tebu di PTPN X dipengaruhi oleh kinerja pemerintah dan asosiasi petani tebu
tiga pelaku yang ada pada rantai pasok rakyat. (Gambar 3)

Gambar 3. Risiko dalam Rantai Pasok Tebu


tersebut, yaitu petani, pabrik gula dan Hasil analisis FMEA menjelaskan
pedagang (Gambar 2). Hal ini konsisten indikasi beberapa variabel risiko dalam
dengan penelitian Magfiroh, dkk. (2017) faktor risiko, dengan tingkat severity
dan Setyawati, dkk. (2016). Penelitian occurrence dan detection yang berbeda di
Magfiroh, dkk. (2017) menjelaskan kinerja masing-masing variabel risiko. Pertama,
PG di PTPN X tidak optimal sangat risiko harga bibit diindikasikan oleh
berkaitan dengan kualitas/mutu pasokan persoalan pemilihan varietas bibit dan
bahan baku tebu. Sedangkan penelitian harga bibit yang relatif mahal. Kedua, risiko
Setyawati, dkk. (2016) menunjukkan hama dan penyakit tanaman diindikasikan
bahwa kinerja PG masih sangat beragam adanya hama (uret), adanya penyakit
dan belum efisien jika didasarkan pada tanaman dan perawatan tebu yang kurang
kapasitas giling. maksimal. Ketiga, risiko produksi
3.2. Implikasi Manajerial Risiko Rantai diindikasikan dengan luas areal tanam
Pasok Tebu kurang, produktivitas rendah dan
Hasil identifikasi risiko menunjukkan rendemen rendah. Keempat, risiko kualitas
empat variabel masalah yang dihadapi produk diindikasikan dengan produk gula
oleh PTPN X yaitu berkaitan dengan (i) yang dihasilkan tidak memenuhi ICUMSA,
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
Tabel 3. Hasil Analisis FMEA pada Aspek Risiko
Faktor Risiko Variabel risiko S O D
Risiko harga bibit Pemilihan varietas bibit 5 5 5
Harga bibit relatif mahal 5 5 5
Risiko Hama dan Adanya hama (uret) 2 2 2
penyakit tanaman Adanya penyakit 3 2 3
Perawatan Tebu kurang 3 2 3
Risiko Produksi Luas areal tanam kurang 7 7 8
Produktivitas rendah 8 7 8
Rendemen rendah 7 7 8
Risiko Kualitas Gula yang dihasilkan tidak memenuhi
3 3 4
Produk ICUMSA
Kriteria manis, bersih dan segar kadang
4 4 5
tidak terpenuhi
Mutu tebu cenderung kualitas C 6 7 6
Kinerja efisiensi teknis Pabrik rendah 6 6 7
Manajemen tebang angkut rendah 7 6 7
Risiko Harga Produk Harga gula berfluktuasi 8 7 7
Masuknya gula impor 7 7 4
Adanya Inflasi 3 3 3
kriteria manis, bersih dan segar (MBS) dengan risiko terserang hama penyakit
kadang tidak terpenuhi sehingga mutu tebu tanaman yang relatif rendah, sehingga
yang masuk di pabrik gula cenderung tebu petani tebu tidak terlalu merisaukan risiko
dengan kualitas C, kinerja efisiensi teknis ini karena sedikit memberikan pengaruh
pabrik rendah dan manajemen tebang terhadap produksi dan kualitas tebu,
angkut rendah. Kelima, risiko harga produk sebaliknya pabrik gula menganggap hama
diindikasikan dengan harga gula yang penyakit tanaman tebu berpotensi sangat
cenderung berfluktuasi, masuknya gula rendah dalam pemenuhan pasok tebu.
impor dan adanya inflasi (Tabel 3). Selanjutnya, Faktor risiko harga bibit
Berdasarkan hasil penilaian kategori bagi petani dan pabrik gula dianggap
dan pengendalian risiko menunjukkan nilai kategori menengah. Petani tebu cenderung
Risk Priority Number (RPN) dengan enggan untuk menggunakan varietas baru
kategori sangat rendah hingga sangat tanaman tebu yang telah dikembangkan
tinggi (Tabel 4). dan disarankan oleh pabrik gula. Hal ini
menyebabkan ketidakefisienan rantai
Tabel 4. Kategori dan Pengendalian Risiko Rantai Pasok Tebu
Pengendalian
Faktor Resiko Nilai RPN Kategori Risiko
Risiko
Risiko harga bibit 125 Menengah Menghindari
Risiko HPT 14 Sangat Rendah Menerima
Risiko produksi 410 Sangat tinggi Mitigasi
Risiko kualitas produk 182 Tinggi Mitigasi
Risiko harga produk 205 Sangat Tinggi Mitigasi
Sumber : Data Primer, Diolah, 2018
Faktor risiko hama penyakit tanaman pasok tebu ditingkat petani, sebab
menurut petani dan pabrik gula merupakan pemilihan varietas berkaitan dengan
kategori risiko sangat rendah, karena tebu penataan varietas. Untuk selalu dapat
merupakan salah satu tanaman pangan memenuhi kapasitas giling pabrik gula,
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
maka pabrik perlu melakukan penataan dalam budidaya tebu. Sebagian besar
varietas dengan pola kemasakan tebu petani tebu di wilayah kerja PTPN X
berdasarkan varietas masak awal, masak memiliki manajemen tebang angkut yang
tengah dan masak akhir (mencerminkan tidak tertata dengan baik, sehingga tebu
puncak rendemen). Tetapi Petani tebu berpotensi kehilangan rendemen karena
cenderung memilih varietas masak akhir terlambat digiling. Tebu yang telah
(Bulu lawang) untuk dibudidayakan (57 ditebang paling lambat harus digiling
persen). Hal ini sesuai dengan penelitian kurang dari 24 jam guna menghindari
Rahman, dkk. (2017), yang menyatakan kerusakan nira (kehilangan gula) akibat
bahwa petani yang memilih varietas masak kontaminasi bakteri. Nilai rendemen yang
akhir meningkat hingga 51,95 persen rendah dan inefisiensi teknis pabrik gula
sedangkan petani yang memilih varietas menyebabkan gula yang dihasilkan oleh
masak awal menurun hingga 27,79 persen. beberapa pabrik gula (68 persen)
Kondisi ini tidak terlepas dari kelebihan melampaui GKP 1 dan GKP 2, artinya gula
varietas BL yaitu produktivitas yang relatif yang dihasilkan tidak memenuhi
tinggi dan stabil serta lebih tahan terhadap persyaratan warna larutan/ICUMSA (SNI
hama penyakit, sehingga petani kurang 3140.3:2010 dan Amendemen 1.201).
tertarik dengan pilihan varietas baru yang Kategori risiko sangat tinggi adalah
ada. Untuk memenuhi pasokan tebu, risiko faktor risiko produksi dan harga gula. Di
ini harus dikendalikan dengan cara pabrik Jawa Timur, produktivitas tebu petani
gula berupaya selalu agar petani bersedia sangat kurang (rata-rata masih 70–80
menanam varietas tebu dengan komposisi ton/ha) jika dibandingkan dengan
masak awal 40 persen, masak tengah 20 beberapa wilayah di Luar Jawa (di atas 100
persen dan masak akhir 20 persen. – 200 ton/ha). Mayoritas petani tebu di
Kategori risiko tinggi hingga sangat Jawa Timur memiliki luas lahan yang kecil
tinggi adalah faktor risiko kualitas produk sehingga jumlah produksi tebu juga kecil.
(gula), risiko produksi dan harga produk Sebagian besar tanaman tebu merupakan
(gula). Kualitas produk termasuk risiko perkebunan rakyat (70 persen) dengan
tinggi bagi petani maupun pabrik gula. luas areal kurang dari 1 ha. Proporsi petani
Kinerja petani tercermin dari kualitas tebu dengan areal 1-5 ha sekitar 20 persen,
(rendemen) yang diperoleh. Sedangkan sedangkan yang memiliki areal di atas 5–
kinerja pabrik tercermin dari efisiensi teknis 10 ha diperkirakan hanya 10 persen, yang
pabrik. Sebagian besar petani memasok sebagian besar merupakan lahan sewa.
tebu dengan tingkat rendemen yang Kondisi ini tentu saja menyebabkan
rendah (7 persen), jauh di bawah indikator pasokan tebu selalu kurang (belum
Standar Pengelolaan Terunggul (SPT) optimal).
yaitu rendemen 12 persen. Pasokan tebu Kekurangan pasokan bahan baku
yang masuk ke Pabrik Gula sebesar 60 tebu menyebabkan pada hari tertentu, PG
persen adalah mutu C, artinya tebu yang harus berhenti giling (Jamti A), yatu jam
diterima kotor dengan ciri visual ada daduk, berhenti dikarenakan keterlambatan suplai
pucuk, tanah, akar, sogolan, tebu mati, BBT (bahan baku tebu), akibatnya kegiatan
batang kecil, bengkok, ruas pendek, giling terkendala (ada tambahan biaya) dan
dicacah agak wayu, tercampur tebu mati. dapat menyebabkan inefisiensi
Sehingga kriteria-kriteria tebu yang harus produktivitas pabrik gula. Hal ini sesuai
manis, bersih, segar (MBS) tidak terpenuhi. dengan penelitian Setyawati, dkk. (2017),
Kondisi ini disebabkan oleh penanganan yang menyatakan bahwa suplai bahan
pascapanen yang kurang baik serta baku tebu pada PG di lingkungan PTPN X
manajemen tebang muat angkut yang tidak belum optimal disebabkan karena bahan
efisien. baku tebu cenderung fluktuatif dan
Manajemen tebang angkut terkait jumlahnya masih belum dapat memenuhi
manajemen tanam merupakan titik kritis kapasitas giling PG.
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
Kondisi kinerja pabrik gula di PTPN X ketersediaan pasokan tebu, dengan
menunjukkan belum efisien secara teknis melibatkan seluruh elemen dalam industri
selama 5 tahun terakhir. Di sisi yang lain, gula (Petani, APTR, Pabrik Gula,
petani dihadapkan pada harga gula di Pemerintah). Pada akhirnya, untuk
pasar cenderung tidak stabil (fluktuatif). mengatasi fluktuasi harga gula diperlukan
Ketidakstabilan harga gula menyebabkan aspek manajerial yang melibatkan
harga gula cenderung turun menyebabkan pemerintah, petani, APTR dan pedagang
rantai pasok menjadi tidak efisien. Salah gula. Pemerintah dalam hal ini perlu
satu indikator penyebab harga gula turun menentukan harga dasar gula yang tidak
akibat pasar jenuh karena ditengarai merugikan petani tebu, perlu meninjau
banyak gula impor yang masuk serta kembali kebijakan impor gula dan perlu
adanya inflasi. adanya jaminan dari pemerintah (Tabel 5).

Tabel 5. Implikasi Manajerial dalam Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu


Masalah Faktor Risiko Implikasi Manajerial Aktor
Peningkatan Risiko harga bibit, Peningkatan manajemen Petani, Pabrik
produktivitas tebu Risiko produksi usaha tani petani (on- Gula, APTR,
farm)/ budidaya Pemerintah
Peningkatan Risiko kualitas tebu Penerapan GMP, Petani, Pabrik
kualitas tebu mekanisasi tenaga Gula, APTR,
tebang angkut Pemerintah

Peningkatan Risiko produksi Kebijakan integrasi Petani, APTR,


ketersediaan manajemen industri Pabrik Gula,
(pasokan tebu) Pemerintah
Kestabilan harga Risiko harga gula Kebijakan pemerintah Petani, Pedagang
gula dalam menentukan gula, Pemerintah
harga dasar gula,
peninjauan kembali
kebijakan impor gula
dan adanya kebijakan
jaminan

Dalam upaya pengendalian risiko 3.3. Upaya Meningkatkan Kinerja


mengakibatkan implikasi manajerial yang Rantai Pasok Tebu
melibatkan seluruh elemen dalam industri Upaya-Upaya penanggulangan risiko
gula nasional. Implikasi manajerial untuk yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
mengatasi masalah produktivitas tebu kinerja rantai pasok tebu di PTPN X adalah
adalah melalui peningkatan manajemen pertama, Peningkatan Manajemen Usaha
usaha tani/ budidaya (on-farm) dengan Tani petani (on-farm). Upaya ini
melibatkan seluruh elemen dalam industri dimaksudkan untuk meningkatkan
gula (Petani, APTR, Pabrik Gula, produktivitas gula dan efisiensi usaha tani.
Pemerintah). Untuk meningkatkan kualitas Aspek-aspek yang perlu dibenahi
tebu, diperlukan implikasi manajerial terkait mencakup pengelolaan kebun secara
dengan penerapan GMP dan mekanisasi keseluruhan seperti optimalisasi budidaya,
tenaga tebang angkut, dengan melibatkan manajemen tebang angkut, perencanaan
seluruh elemen dalam industri gula (Petani, pembibitan mulai dari penyediaan bibit
APTR, Pabrik Gula, Pemerintah), (Tabel bermutu dan sosialisasi kepada petani,
5). Implikasi manajerial terkait dengan konsistensi konsolidasi areal, dan
kebijakan integrasi manajemen industri,
diharapkan mampu mengatasi masalah
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
penggunaan Sistem Informasi Geografi tebang angkut, kebijakan integrasi
(SIG). manajemen industri, kebijakan pemerintah
Kedua, mekanisasi Tenaga tebang dalam penentuan harga dasar gula, kuota
angkut. Mekanisasi tenaga tebang angkut impor dan jaminan. Upaya untuk
bertujuan agar tebu tidak terlambat digiling, meningkatkan kinerja rantai pasok adalah
sehingga potensi rendemen tinggi terjaga. peningkatan manajemen usaha tani petani
Usaha pertanian yang bersifat musiman, (on-farm), mekanisasi tenaga tebang
menjadi tantangan terbesar dalam angkut dan integrasi manajemen industri
menerapkan mekanisasi tenaga tebang gula nasional.
angkut sebagai jasa mekanisasi yang
harus mendapatkan jasa (uang) terus UCAPAN TERIMA KASIH
menerus.
Ucapan terima kasih kami sampaikan
Ketiga, diperlukannya kebijakan
kepada seluruh pimpinan dan staf PTPN X,
integrasi manajemen industri gula. APTR di bawah naungan PTPN X dan
Integrasi dapat dilakukan melalui upaya Universitas Jember.
kelembagaan seperti petani bersama-
sama pabrik gula menanam tebu sehingga DAFTAR PUSTAKA
ketidakefisienan dapat dikurangi; selain itu Amrullah, S. 2001. Kebijakan Ekonomi Gula
budidaya petani dengan lahan hamparan Indonesia, Kaitannya dengan
dapat lebih ditingkatkan. Selama ini lahan Perdagangan Gula Dunia : Suatu analisis
petani berpetak-petak tidak terlalu besar, simulasi. Tesis. Jakarta : Universitas
sangat menyulitkan untuk memasukkan Indonesia.
teknologi. Petani dapat lebih efisien jika Arifin, B. 2014. Manajemen Industri dan
ada upaya-upaya manajemen petani untuk Perdagangan Gula. Jakarta : Bisnis
meningkatkan lahan sehamparan Indonesia.com.
sehingga dapat menjadi running system Casadei, D. Austin, Serra G., Tani K. 2007.
pengelolaan bersama-sama. Dengan Implementation of a Direct Control
peningkatan lahan sehamparan maka Algoritm On Discrete Space Vector
memudahkan teknologi untuk dapat Modulation. IEEE Transaction on Power
masuk. Electronics: 15 (4) : 769–777.
Penggunaan teknologi menjadikan Chen, J. K. 2007. Utility Priority Number
kegiatan budidaya lebih efisien, karena Evaluation for FMEA. Journal of Failure
dengan skala lebih luas, pastinya Analysis and Prevention 7(5): 321–328.
manajemen dan penggunaan teknologi https://doi.org/10.1007/s11668-007-9060-
2.
dapat lebih baik. Perlu dicermati bersama,
bahwa inti manajemen rantai pasok Efendi, Vicky. 2015. Analisis Ketersediaan
merupakan hubungan beberapa pelaku- Bahan Baku Tebu di Pabrik Gula
Ngadirejo PTPN X Kabupaten Jember.
pelaku dalam rantai agribisnis sampai pada
Program Studi Agribisnis. Fakultas
menajemen yang efisien dan produktif, Pertanian. Jember : Digital Repository
baik melalui kelembagaan yang terpisah Universitas Jember.
ataupun diintegrasikan.
Kementerian perdagangan. 2017. Kebijakan
IV. KESIMPULAN Pengawasan Produk SNI Wajib.
Terdapat dua risiko dalam rantai Yogyakarta : Direktorat Standardisasi dan
pasok tebu yaitu risiko struktur dan kinerja Pengendalian Mutu Direktorat Jenderal
Perlindungan Konsumen dan Tertib
rantai pasok tebu. Beberapa implikasi Niaga.
manajerial perlu dilakukan dengan
melibatkan seluruh elemen dalam industri Kementerian Pertanian. 2016. : Komoditas
Pertanian Subsektor Perkebunan. Jakarta
gula nasional melalui peningkatan
: Pusat Data dan Sistem Informasi
manajemen usahatani (on-farm),
Pertanian. ISSN 1907–1507.
penerapan GMP, mekanisasi tenaga
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
Litbang, Pertanian. 2010. Budidaya dan pasca PTPN X. 2013. Manajemen Rantai Pasok Tebu
panen Tebu. Pusat Penelitian dan di Indonesia (Bagian I). www.bumn.go.id :
Pengembangan Perkebunan. Jakarta. Kategori Berita.
Lokollo, Erna Maria. 2016. (Bunga Rampai) Rahman, Rena Yunita, Zainuddin A, Rudi W.
Rantai Pasok Komoditas Pertanian 2017. Penentuan dan Pemilihan Varietas
Indonesia. Bogor : IPB Press. Tebu untuk Optimalisasi Kinerja Pabrik
Magfiroh, Illia S., Ahmad, Z., & Rudi, W. 2016. Gula (Studi Kasus pada PTPN X).
Dinamika dan Risiko Kinerja Tebu Laporan Dewan Komisaris PTPN X.
Sebagai Bahan Baku Industri Gula di Surabaya: PTPN X.
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Sabil, Arum. 2018. Surat untuk Presiden Jokowi
Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian. : Suarakan Nasib Petani Tebu. Jakarta :
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Times Indonesia.
Magfiroh, Illia S., Intan, K.S.., & Rudi, W., 2017. Setyawati, Intan Kartika., Illia, S.M & Rudi, W.
Mutu Tebu Industri Gula di Indonesia. 2016. Manajemen Risiko Kinerja
Prosiding Seminar Nasional Sosial Agroindustri Gula. Prosiding Seminar
Ekonomi Fakultas Pertanian. Universitas Nasional Fakultas Pertanian UGM.
Brawijaya. Malang. Yogyakarta.
Mahbubi, Akhmad. 2015. Sistem Dinamis Setyawati, Intan Kartika., Illia, S.M & Rudi, W.
Rantai Pasok Industrialisasi Gula 2017. Optimalisasi Manajemen Suplai
Berkelanjutan di Pulau Madura. Jurnal Bahan Baku Tebu (BBT) di Pabrik Gula.
Agriekonomika, ISSN 2301-9948. E ISSN Kajian pada Pabrik Gula di Lingkungan
2407–6260. Volume 4, Nomor 2. PTPN X. Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Malian, A.H., Ariani, K.S. Indraningsih,
Malang.
A.K.Zakaria, A. Askin dan J. Hestina.
2004. Revitalisasi Sistem dan Usaha Subiyono dan Wibowo, R. 2005. Agribisnis
Agribisnis Gula. Laporan Akhir. Puslitbang Tebu : Membuka Ruang Masa Depan
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Industri Berbasis Tebu Jawa Timur.
Jakarta : Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Marimin dan N. Maghfiroh. 2013. Aplikasi
Indonesia.
Teknik Pengambilan Keputusan dalam
Manajemen Rantai Pasok. Bogor: IPB Wibowo, Rudi. 2007. Revitalisasi Komoditas
Press. Unggulan Perkebunan Jawa Timur.
Perhepi: Jakarta.
Marlin, R.A., Kasmari. 2013. Analisis Kinerja
Supply Chain Management (SCM) untuk Zaroni. 2018. Supply Chain Risk. Supply Chain
Meningkatkan Keunggulan Kompetitif Indonesia. Wednesday, 31 October
Pada PT Perkebunan Nusantara IX – Pg. 2018/Published In Artikel Supply Chain.
Sragi Pekalongan. Artikel.
BIODATA PENULIS
Nugraha, R.A. 2016. Harus Ada Kebijakan
Pergulaan Nasional yang Terintegrasi
Illia Seldon Magfiroh dilahirkan di Malang pada
untuk Hindari Kepentingan Ego Sektoral.
13 Juni 1981. Penulis menyelesaikan
Swasembada : http://swasembada.net.
pendidikan sarjana di Program Studi Ilmu
Pillay, A., dan Wang, J. 2003. Modified Failure Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas
Mode and Effects Analysis Using Ekonomi Universitas Jember dan pendidikan S2
Approximate Seasoning”, Reliability di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Engineering & System Safety. 139, 379– Universitas Jember.
394.
Pujawan, I.Nyoman., Mahendrawathi. 2017. Rudi Wibowo dilahirkan di Kebumen pada 6
Supply Chain Manajement. Edisi 3. Juli 1952. Penulis menyelesaikan pendidikan
Yogyakarta : Andi Yogyakarta. sarjana di Program Studi Ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Pongoh, M. 2016. Analisis Perencanaan Jember dan pendidikan S2 dan S3 di Institut
Manajemen Rantai Pasok. Jurnal EMBA. Pertanian Bogor.
Vol.4 No.3 September 2016: 695–704.

Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)


Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo

Anda mungkin juga menyukai