ABSTRAK
Industri tebu (gula) melibatkan banyak komponen (petani tebu, pabrik gula, perusahaan
penyedia saprodi pertanian, pedagang, industri makanan/minuman, konsumen). Aspek
pasokan tebu menjadi aspek yang sangat strategis untuk meningkatkan efisiensi dalam
menghasilkan bahan baku gula. Supply chain manajemen yang baik pada rantai pasok
perusahaan menjadikan perusahaan mampu menyajikan produk yang dikehendaki dengan
cepat dan tepat serta sesuai dengan kemauan konsumen akhir. Manajemen rantai pasok yang
handal adalah bagaimana mampu mengelola risiko yang ada pada rantai pasok. Manajemen
risiko rantai pasok produk pertanian menjadi lebih sulit, karena beberapa sumber
ketidakpastian dan hubungan yang kompleks antara pelaku dalam rantai pasok tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi risiko dalam rantai pasok tebu di PTPN X,
menganalisis implikasi managerial yang dilakukan dalam menghadapi risiko dalam rantai
pasok tebu di PTPN X, dan mensintesis upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka
meningkatkan kinerja rantai pasok tebu di wilayah kerja PTPN X. Hasil penelitian
menunjukkan: (i) terdapat beberapa risiko dalam rantai pasok tebu di PTPN X; (ii) implikasi
managerial berkaitan dengan peningkatan produktifitas tebu, kualitas tebu, ketersediaan tebu
dan harga gula; dan (iii) upaya yang harus dilakukan adalah peningkatan manajemen usaha
tani petani (on-farm), mekanisasi tenaga tebang angkut, dan kebijakan integrasi manajemen
industri gula.
kata kunci: rantai pasok, manajemen risiko, tebu
ABSTRACT
The Sugar cane industry involves many components (farmers, sugar mills, companies
providing agricultural inputs, traders, food/beverage industries, consumers). The supply aspect
of sugar cane is very strategic to increase efficiency in producing sugar raw materials. Proper
supply chain management in the company's supply chain makes the company able to present
the desired product quickly and precisely, following by the consumer preference. Reliable
supply chain management is how to be able to manage the risks in the supply chain. Supply
chain risk management of agricultural products becomes more difficult due to several sources
of uncertainty and complex relationships between actors in the supply chain. The aims of this
study were identifying risks in the sugarcane supply chain, analyzing the managerial
implications of dealing with uncertainties in the sugarcane supply chain, and synthesizing
efforts that can be done to improve the performance of sugarcane supply chains at PTPN X.
The results showed: (i) there were risks in the sugarcane supply chain; (ii) managerial
implications for sugarcane related to increasing productivity, quality, availability and sugar
prices; and (iii) the step efforts to be made were management improvement farmer farming,
mechanization of transport felling power and policy integration for sugar industry management.
keywords: supply chain, risk management, sugarcane
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
I. PENDAHULUAN
Gula sebagai salah satu hasil utama Keputusan Presiden No. 43/1971 tentang
tebu di Indonesia, merupakan komoditas pengadaan, penyaluran dan pemasaran
yang banyak dibutuhkan masyarakat, baik gula serta Keputusan Menteri No.
untuk konsumsi langsung maupun tidak 122/Kp/III/81 tentang tata niaga gula pasir
langsung atau sebagai bahan baku industri dalam negeri (persamaan 10) (Nugraha,
makanan dan minuman (Amrullah, 2001; 2016). Agribisnis gula terdiri dari empat
Subiyono dan Wibowo 2005; Kementerian subsistem, yaitu subsistem penyediaan
pertanian, 2016). Tebu dan gula di input, subsistem usaha tani tebu,
Indonesia dihasilkan terutama di Jawa, subsistem prosesing gula (dan hasil
khususnya Jawa Timur. Jawa Timur sampingnya) dan subsistem pemasaran
merupakan penghasil tebu sebagai bahan hasil (gula dan hasil sampingannya). Ke-
baku gula yang sebagian besar, bahkan empat subsistem ini saling berinteraksi
hampir seluruhnya dihasilkan petani sehingga membentuk kinerja industi gula
(Kementerian Pertanian, 2016). Industri yang tercermin pada daya saing industri
gula di Indonesia terdiri dari 62 pabrik gula gula (Wibowo, 2007).
(PG). Sebanyak 49 pabrik gula dimiliki oleh Kinerja industri gula nasional
8 BUMN dengan kapasitas 160.000 ton tercermin dari sisi produksi sekitar 53
tebu per hari (TCD), dan 31 PG (54 persen) persen berasal dari BUMN di Jawa dengan
diantaranya berada di Jawa Timur. Oleh bahan baku 90 persen dipasok dari petani
karena itu, Jawa Timur tampaknya akan tebu yang didukung areal seluas 250 ribu
tetap menjadi lokomotif industri gula, baik hektare (ha), dengan komposisi 55 persen
ditinjau dari aspek produksi maupun berasal dari tebu tegalan dan 45 persen
produktivitas (Subiyono dan Wibowo 2005; dari tebu sawah (Wibowo, 2007; Nugraha,
Wibowo, 2007; Arifin, 2014; Kementerian 2016). Produktivitas gula pada pabrik milik
Pertanian, 2016). BUMN masih rendah dan secara bisnis
Industri tebu (gula) merupakan tidak efisien. Produktivitas gula rata-rata
elemen penting untuk menggerakkan pada BUMN hanya 5,8 ton per hektare,
ekonomi nasional, karena melibatkan cukup jauh jika dibandingkan dengan
banyak komponen (petani tebu, pabrik produktivitas gula di pabrik swasta yang
gula, perusahaan penyedia saprodi mencapai 6,9 ton per hektare.
pertanian, pedagang, industri makanan/ Produktivitas gula yang masih rendah
minuman konsumen). Rencana Induk disebabkan oleh kualitas bahan baku
Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) (tebu) dan kinerja pengolahan. Persoalan
2015–2035, menyatakan bahwa industri klasik rendahnya rendemen gula masih
gula sebenarnya termasuk industri pangan menjadi kendala inefisiensi yang cukup
prioritas, walaupun dengan skor penilaian akut. Rata-rata rendemen pada pabrik
yang tidak terlalu tinggi. Saat ini, target BUMN adalah 7,8 persen (di bawah
swasembada gula mungkin dianggap standar rendemen 12 persen). Secara
terlalu berat, karena industri gula tebu di individu, masih ada pabrik gula BUMN
dalam negeri hanya mampu memenuhi 50 yang menghasilkan rendemen di bawah 6
persen dari konsumsi gula domestik (Arifin, persen (Subiyono dan Wibowo, 2005;
2014). Produksi gula nasional berkisar Wibowo, 2007; Arifin, 2014; dan Magfiroh,
antara 2,3 juta ton, sementara kebutuhan dkk., 2016).
gula Indonesia tahun 2017/2018 per kapita Rendemen atau kandungan gula di
per tahun untuk konsumsi dan industri total dalam tebu tidak hanya berhubungan
adalah 5,2 juta ton (Sabil, 2018). dengan varietas bibit dan teknologi
Stok gula diperkirakan berkaitan budidaya saja, tetapi juga berhubungan
dengan produksi serta kebijakan yang dengan kebijakan/aturan dalam
berkaitan dengan pergulaan, khususnya manajemen pengolahan tebu, mulai dari
kebijakan distribusi, seperti kebijakan jadwal panen, proses angkut, transportasi,
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
pelaporan, masa tunggu di depan pabrik, melibatkan semua fungsi dan hierarki
sampai pada manajemen dan etos kerja dalam organisasi. Langkah penting dalam
sumber daya manusia (Wibowo, 2007; manajemen risiko rantai pasok adalah
Arifin, 2014). Di sisi yang lain, pasok tebu perumusan strategi pengelolaan risiko
untuk pabrik gula akan mendukung supply chain. Output-nya adalah kebijakan
pencapaian produksi dan produktivitas risiko (risk policy atau risk strategic plan
gula yang tinggi dan sesuai dengan atau risk management plan).
kapasitas giling pabrik gula (2000 ≥ 5000 Inti dari pengelolaan risiko sejatinya
ton TCD). Pabrik gula Jawa Timur adalah identifikasi risiko dan penyebab
mendapatkan pasokan tebu dari tebu utama terjadinya risiko. Ada tiga elemen
sendiri (TS) dan tebu rakyat (TR), dengan penting dalam pengelolaan risiko
rata-rata pasokan tebu rakyat sekitar 84 menggunakan manajemen risiko rantai
persen dari total tebu giling. Hal ini pasok, antara lain (i) mengidentifikasi risiko
menunjukkan bahwa dominasi tebu rakyat dalam rantai pasok; (ii) analisis risiko; dan
dan peran petani tebu terhadap eksistensi (iii) merancang respons risiko (Zaroni,
industri gula Jawa Timur sangat dominan 2018).
(Wibowo, 2007).
Tujuan penelitian ini adalah
Secara teoretis bagi pabrik gula, mengidentifikasi risiko dalam rantai pasok
kekurangan pasok bahan baku tebu ke tebu, menganalisis implikasi manajerial
pabrik pada suatu waktu tertentu akan yang dilakukan untuk menghadapi risiko
mengakibatkan kondisi yang tidak efisien dalam rantai pasok tebu dan mensintesis
karena pabrik tidak dapat beroperasi upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
(pabrik hanya dapat beroperasi jika rangka meningkatkan kinerja rantai pasok
kapasitas giling pabrik terpenuhi). tebu di wilayah kerja PTPN X.
Sebaliknya, kelebihan pasok bahan baku
tebu pada suatu waktu tertentu juga akan II. METODOLOGI
mengakibatkan bahan baku tebu Penelitian ini merupakan penelitian
mengalami “tunda giling”, yang pada deskriptif. Penelitian dilaksanakan di
gilirannya menurunkan kualitas bahan wilayah kerja pabrik gula PTPN X di Kediri
baku tebu tersebut (Malian, dkk. 2004; dan Mojokerto Jawa Timur. Pemilihan
Wibowo, 2007; Efendi, 2015; Mahbubi, lokasi penelitian dilakukan secara sengaja
2015: Pongoh, 2016). Oleh karena itu, (purposive) dengan mengambil pabrik gula
manajemen rantai pasok (supply chain di Kediri dan Mojokerto sebagai sampel
management) sangat diperlukan dalam yang merupakan pabrik gula milik PTPN X
rangka meningkatkan dan menjaga dengan kapasitas giling pabrik sebesar
kestabilan industri baik menyangkut lebih dari 5.000 TCD dan produktif
produksi, produktifitas, kualitas, harga, (ditunjukkan dengan indikator kinerja
melindungi dari ketidakpastian serta pabrik yang lebih baik dari pabrik gula
meningkatkan kinerja rantai pasok lainnya). Sampel penelitian adalah petani
(Lokollo, 2016). tebu yang diwakili oleh Asosiasi Petani
Salah satu pendekatan dalam Tebu Rakyat (APTR) dan tiga pabrik gula
manajemen rantai pasok adalah yang terletak di Gempol Krep (Kabupaten
manajemen risiko dalam rantai pasok Mojokerto) serta Pesantren Baru dan
(supply chain risk management). Ngadirejo, Kabupaten Kediri.
Pendekatan ini menempatkan bagaimana Untuk menganalisis tujuan pertama
kita dapat mengelola risiko dalam rantai yaitu identifikasi risiko dalam rantai pasok
pasok secara terintegrasi, mulai dari tebu di PTPN X dilakukan melalui
perencanaan strategi, pengelolaan risiko, pendekatan deskriptif pada struktur dan
tujuan, sasaran, kebijakan, nilai-nilai dan anggota rantai, sasaran rantai, manajemen
budaya sadar risiko, tindakan, serta rantai, proses bisnis rantai, performa rantai
prosedur pengelolaan risiko, yang serta hambatan-hambatan (risiko).
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
Untuk menganalisis tujuan kedua menentukan tindakan koreksi yang sesuai
yaitu implikasi manajerial yang dilakukan dengan indikator kegagalan. Indikator
untuk menghadapi risiko dalam rantai kegagalan memiliki nilai RPN yang lebih
pasok tebu digunakan metode Failure tinggi diasumsikan lebih penting dan diberi
Mode and Effect Analysis (FMEA). Metode prioritas lebih tinggi untuk tindakan korektif
ini adalah suatu prosedur terstruktur untuk daripada yang memiliki RPN yang lebih
mengidentifikasi dan mencegah sebanyak rendah (Tabel 1).
mungkin mode kegagalan. Suatu mode
Untuk menganalisis tujuan ketiga
kegagalan adalah apa saja yang termasuk
dalam kecacatan atau kegagalan dalam Tabel 1. Kategori Risiko Berdasarkan
desain, kondisi di luar batas spesifikasi RPN
yang telah ditetapkan atau perubahan Nilai RPN Kategori Pengendalian
pada produk yang menyebabkan Risiko Risiko
terganggunya fungsi-fungsi dari produk 1-50 Sangat Menerima
tersebut (Casadei, 2007).
Rendah
Failure Mode and Effects Analysis 51-100 Rendah Menerima
(FMEA) adalah metodologi yang dirancang
101-150 Menengah Menghindari
untuk mengidentifikasi mode kegagalan
potensial pada suatu produk atau proses 151-200 Tinggi Mitigasi
sebelum terjadi, mempertimbangkan risiko 201-250 (> Sangat Mitigasi
yang berkaitan dengan modal kegagalan 250) Tinggi
tersebut, mengidentifikasi FMEA serta Sumber: The Chartered Quality Institute
melaksanakan tindakan korektif untuk (2010) yang dapat dilakukan
yaitu upaya-upaya
mengatasi masalah yang paling penting. dalam rangka meningkatkan kinerja rantai
Tiga parameter dalam FMEA (keparahan, pasok tebu di wilayah kerja PTPN X,
kejadian, dan deteksi) digunakan untuk dilakukan melalui hasil wawancara intensif
menggambarkan masing-masing mode dengan responden ahli/Pakar Pertebuan
kegagalan menurut penilaian pada skala nasional dan studi beberapa literatur.
1–10. Tingkat keparahan (severity rating)
adalah keseriusan efek kegagalan karena III. HASIL DAN PEMBAHASAN
adanya hambatan. Tingkat kejadian adalah 3.1. Risiko dalam Rantai Pasok Tebu
kemungkinan atau frekuensi terjadinya
risiko dengan 1 merupakan kesempatan Risiko dalam rantai pasok berkaitan
paling tidak ada kejadian dan 10 adalah dengan atribut atau indikator-indikator
yang ada kejadian tertinggi. Tingkat deteksi yang menyebabkan atau memberi dampak
adalah kemampuan untuk mendeteksi pada ketidakstabilan kinerja industri gula,
kegagalan atau probabilititas dari baik menyangkut mulai dari produksi,
kegagalan yang dapat terjadi (Pillay dan produktivitas, kualitas, harga,
Wang, 2003). ketidakpastian, serta penurunan kinerja
rantai pasok. Risiko pertama adalah
Menurut Chen (2007), penilaian struktur (Saluran) rantai pasok tebu di
FMEA dilakukan dengan menggunakan PTPN X dari tingkat petani sampai pada
Risk Priority Number/nomor prioritas risiko tingkat konsumen memiliki saluran yang
(RPN). RPN adalah hasil perkalian dari cukup panjang. Struktur rantai pasok tebu
peringkat keparahan/severity (S), kejadian/ di PTPN X dari tingkat petani sampai pada
occurrence (O), dan deteksi /detection (D) tingkat konsumen melibatkan beberapa
yang dihitung dengan persamaan: lembaga/saluran tata niaga. Rantai pasok
RPN = S x O x D…………………………(1) tebu dari hulu hingga hilir melibatkan
produsen (petani dan pabrik gula),
Risk Priority Number (RPN)
menunjukkan indikator kekritisan pada
masing-masing variabel risiko, untuk
Manajemen Risiko Rantai Pasok Tebu (Studi Kasus di PTPN X)
Illia Seldon Magfiroh dan Rudi Wibowo
pedagang (besar, agen, pengepul), dan
Tabel 2. Harga Gula di Setiap Saluran
retail (Gambar 1).
Niaga
Petani tebu --- Pabrik Gula --- Petani tebu --- Pelaku Niaga Harga Gula
Pedagang gula besar --- Agen -- Pengepul -- Gula (Rp/Kg)
- Retail --- Konsumen Petani 9.700
Pedagang Besar 11.000
Gambar 1. Struktur Rantai Pasok Tebu di
Agen 11.400
PTPN X
Selain itu, jika dibandingkan dengan Pengepul 11.600
agribisnis tebu-gula di luar negeri, Retail 12.000
menganggap bahwa dengan sistem bagi Konsumen 12.500
hasil antara petani dan pabrik gula yang Sumber : Data Primer, Mei 2018
selama ini terjadi di Indonesia, yaitu 70:30, produktivitas pabrik gula; (ii) Pola rantai
di mana 70 persen hasil produksi milik