Anda di halaman 1dari 4

TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA

Novianto, MA.Hum

Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 30 dikatakan, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan


seorang khalifah di muka bumi.” Di ayat lain, dalam Q.S. adh-Dhariat [51]: 56 juga
dikatakan, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” Berdasarkan informasi kedua ayat itu memperlihatkan, bahwa
Allah s.w.t. menciptakan manusia untuk menjadi khalifah,1 yaitu sebagai wakil Allah di
muka bumi, dan kedudukannya sebagai khalifah itu merupakan sebagai wujud
mengabdi (beribadah) kepada Allah.

Berdasarkan informasi ayat tadi, perlu disadari, Anda hadir ke dunia bukan tanpa
tujuan, atau sekedar menjalankan siklus kehidupan yang telah umum berlaku: tumbuh
besar, mengikuti pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak,
menikah, mempunyai dan mengurus keturunan, menjadi tua, lalu mati. Yang perlu kita
sadari, bahwa kita hadir ke dunia sebagai wakil Tuhan untuk mengemban misi (amanat).
Dan atas pelaksanaan misi itu, kelak Anda akan diminta pertanggungjawabannya di
akhirat.2

Adapun misi yang kita emban ialah sama dengan misi yang diemban Muhammad s.a.w.
sebagai Nabi dan Rasul. Yaitu, (1) pembawa rahmat untuk seluruh alam; 3 dan (2)
menyempurnakan akhlaq.4 Sebagai pengikut Rasulullah s.a.w. kita memang harus
melanjutkannya misinya itu. Dua misi itu dibutuhkan dalam upaya mewujudkan visi
Islam: terciptanya persatuan (tauhid).

Telah dikemukakan, meraih hidup bahagia (sa’adah) merupakan pencapaian tertinggi


dalam hidup manusia di dunia maupun akhirat. Hanya saja, untuk meraih kebahagiaan
hidup di dunia membutuhkan persatuan. Tanpa persatuan, kebahagiaan yang diraih tak
bisa berlangsung langgeng. Ini mengingat sebagai Muslim kita tidak hidup sendirian.
Kenyataannya, kita hidup berdampingan dengan manusia-manusia lain yang berbeda
jenis kelamin, suku, agama, budaya, adat istiadat, 5 bahasa dan warna kulit, 6 yang sudah
terdapat sebelum Islam lahir. Dan saat ini, perbedaan itu, bertambah dengan adanya
perbedaan yang berlangsung di internal umat Islam sendiri yang terbagi dalam beragam
golongan dan aliran, seperti Syiah, Wahabi, Sunni, Mu’tadzilah dan sebagainya.

Adanya perbedaan-perbedaan itu, seperti bisa Anda lihat dalam kenyataan hidup,
berpotensi menimbulkan benturan dan konflik. Kenyataan memperlihatkan, ribuan
nyawa telah melayang, timbulnya penderitaan kelaparan, cacat fisik dan masih banyak
lagi, disebabkan benturan dan konflik dalam wujud perang antar suku, tawuran warga
dan perang antar bangsa. Oleh karenanya, dalam kerangka mewujudkan persatuan itu,
maka menjadi tugas Anda dan orang-orang Muslim perlu melaksanakan kedua misi itu
yang ditunjukan dalam tindakan amal sholeh. Yang perlu kita pahami, mewujudkan
persatuan merupakan perjuangan yang tidak pernah selesai. Bahkan, sekalipun
persatuan telah dicapai, manusia tetap harus memperjuangkannya dengan merawat dan
menjaganya.
Untuk bisa melaksanakan kedua misi itu, semua harus dimulai dari diri sendiri. Untuk
menjadi pribadi yang membawa rahmat untuk orang lain dan lingkungan, maka rahmat
(cinta, kasih sayang)7 itu harus tumbuh terlebih dulu pada diri sendiri. Pribadi rahmatan
adalah pribadi yang bahagia (penuh cinta). Ia selalu pro aktif, selalu memberi dan bukan
diberi. Ia selalu melayani dan bukan minta dilayani. Ia selalu mendahulukan
kepentingan orang lain dalam mewujudkan kemaslahatan ketimbang kepetingan diri dan
golongannya.

Begitu pula untuk bisa melaksanakan misi penegakan akhlaq. Harus dimulai dari diri
sendiri. Dalam kata-kata dan perbuatannya, selalu memberi rasa nyaman untuk orang-
orang sekitarnya, melalui kejujurannya, sikap pemaafnya, obyektifitas, kesantunan dan
ketegasan sikapnya pada kebenaran. Singkatnya, pribadi rahmatan yang berakhlaq
adalah pribadi yang telah selesai dengan masalah dirinya sendiri, atau yang disebut
sebagai manusia taqwa. Contoh sederhananya, bagaimana mungkin Anda meminta
orang lain untuk berbuat jujur, berlaku adil, tapi Anda sendiri adalah seorang
pembohong, dan setiap menyelesaikan perkara cenderung berat sebelah.

Tetapi, seperti Anda lihat, dalam kenyataan hidup setiap orang perannya berbeda-beda.
Ada yang berperan sebagai pedagang (pedagang bakso, gado-gado, sayuran dan lain-
lain). Ada yang berperan pengusaha, pelajar/mahasiswa, keamanan (ABRI, Polisi,
Sekuriti dan sebagainya). Ada yang berperan sebagai pejabat negara (bupati, wali kota,
menteri, presiden) dan berperan sebagai penegak hukum (hakim, jaksa, KPK dan
sebagainya). Yang perlu kita pahami, peran seseorang di masyarakat hanya
menunjukkan fungsi, dan fungsi itu tidak berlaku abadi pada setiap orang. Boleh jadi
hari ini ia seorang guru. Tapi beberapa tahun kemudian ia berperan menjadi seorang
predsiden. Sedangkan kedudukannya sebagai manusia tetap. Jadi meski peran setiap
orang berbeda-beda, tapi sebagai manusia amanat (misi) hidup yang diembannya tetap
sama sebagai khalifah, mengemban rahmatan lil ‘alamin dan menegakkan akhlaq.

Pelaksanaan misi dalam konteks seseorang yang berperan sebagai pedagang bakso
misalnya, dalam berdagang ia tak boleh semata-mata mengejar keuntungan. Perhatian
terhadap pelayanan dan terutama pada kualitas makanan yang disajikan perlu dilakukan.
Ini mengingat, dalam berjualan pedagang bakso berhubungan dengan manusia. Dalam
hubungan antar sesama manusia sikap saling menghormati dan menghargai perlu
dikedepankan. Pribadi rahmatan dan berakhlaq pedagang bakso adalah pribadi yang
bisa memberi rasa nyaman kepada pelanggannya dengan sikap pelayanan sepenuh hati
dan penuh keramahan. Pun dengan makanan yang dijual. Mengapa kualitas makanan
yang dijual perlu mendapat perhatian. Sebabnya makanan (bakso) yang dijual bisa
berdampak pada kesehatan dan perkembangan tubuh manusia. Ketika seorang tukang
bakso memberikan perhatian terhadap faktor pelayanan dan kualitas makanan yang
dijualnya, maka ia sudah melaksanakan visinya sebagai khalifah yang berperan sebagai
tukang bakso.

Begitu pula dengan pengusaha. Ia tak boleh sekedar mengejar keuntungan untuk
memperkaya diri. Produk yang dihasilkan harus memperhatikan prasyarat kualitas
kesehatan, kenyamanan dan kemanfaatan. Alasannya sama, lantaran produk yang dijual
berhubungan dengan manusia. Kalau produk yang dihasilkan berhubungan langsung
dengan alam, misalnya sebagai pengusaha pertambangan, pengusaha kayu, dan
pengeboran minyak, ia harus bisa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Alam
yang tetap terjaga keasrian dan kesimbangannya, akan berkotribusi pada kebahagiaan
hidup.

Terhadap karyawan yang bekerja padanya, seorang pengusaha juga harus memberi
perhatian. Karyawan bukanlah mesin produksi. Melainkan karyawan adalah manusia
yang hak-haknya perlu dihormati dan dihargai sebagai manusia. Salah satu penghargaan
itu bisa beruwjud dalam memberikan kelayakan gaji dan perhatian terhadap jam kerja
yang manusiawi.

Seorang mahasiswa, ketika ia melaksanakan kewajibannya dengan belajar secara


sungguh-sungguh, menjaga pertemanan, menjaga hubungan baik dengan keluarga dan
saudara-saudaranya, menjaga kebersihan kampusnya dan berbagi ilmunya kepada orang
lain, maka ia sudah menjalankan misinya sebagai pribadi rahmatan lil ‘alamin dan turut
menegakkan akhlaq.

Pun kalau ia seorang pejabat pemerintahan, entah itu sebagai camat, bupati, menteri
atau presiden. Pejabat negara pada hakikatnya adalah abdi (hamba, pelayan). Ia
mengabdi kepada Allah untuk melayani manusia (masyarakat) yang telah memilihnya.
Mengabdi kepada Allah berarti mengabdi kepada kemanusiaan, keadilan, penegakan
hukum dan demokrasi (menghargai pendapat setiap orang). Maka konsekuensinya
sebagai pejabat, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan harus memperhatikan rasa
keadilan, rasa keamanan, yang berdampak luas pada kesejahteraan seluruh masyarakat.

Dari misi yang diemban manusia terlihat, bahwa Islam hadir bukan untuk
mengislamkan orang. Melainkan, selain mengabdi dengan cara shalat, puasa, berzakat
dan qurban, kita juga dituntut untuk menegakkan keadilan, kemanusiaan, supremasi
hukum dan kesejahteraan. Dan penegakan dibidang tersebut merupakan wilayah yang
dibutuhkan manusia dalam menjalankan hidup, dan dalam semangat merawat persatuan,
yang ujungnya untuk menggapai kebahagiaan bersama dalam bermasyarakat.
1

Sebagaimana umumnya sejumlah kata-kata yang termuat dalam Alquran mempunyai makna lebih dari satu, atau sering
disebut dalam ilmu tafsir dan Alquran sebagi musytarak lafdzhî. Dalam al-Quran, kata khalifah disebutkan sebanyak 127
kali. Kesemuanya mempunyai beragam makna sesuai dengan konteks pembicaraannya, antara lain bisa berarti “yang
mengikuti dari belakang”, “wakil atau pengganti”.
2
Q.S. Yunus [10]: 14
3
Q.S. al-Anbiya [21]: 107
4
Innama buitstu liutamima makarimal akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurkan akhlaq) (HR. Bukhari)
5
Q.S. al-Hujurat [49]: 13
6
Q.S. ar-Rum [30]: 22
7
Rahmat berarti cinta. Seperti dalam Q.S. al-Hadid [57]: 27 dan Q.S. al-Fath [48]: 29.

Anda mungkin juga menyukai