Anda di halaman 1dari 11

INDONESIAN TREASURY REVIEW

JURNAL PERBENDAHARAAN, KEUANGAN NEGARA DAN KEBIJAKAN PUBLIK

CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN PEMERINTAH


DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM DI INDONESIA

Amardianto Arham
Amrie Firmansyah
Politeknik Keuangan Negara STAN
Alamat Korespondensi: amrie.firmansyah@gmail.com

ABSTRACT
The frequent occurrence of natural disasters in Indonesia makes the government need a lot of money when it is overcome. In
order to not fully burden the budget, the government needs new sources of funding. This study aims to analyze the plan to
issue the catastrophe bond as a government financing instrument for natural disaster management. This study uses a
qualitative method by focusing on the literature review. The results show that a catastrophe bond can be used as an instrument
of government financing in natural disaster management in Indonesia. However, the implementation of the plan to issue the
catastrophe bond still requires a law that explicitly regulates the procedures for its implementation. In addition, the
government needs to conduct an in-depth study to establish an institution as an issuer of the catastrophe bond and makes its
law.

KATA KUNCI:
Catastrophe Bond, Keuangan Publik, Kebijakan Publik.

ABSTRAK
Seringnya terjadi bencana alam di Indonesia membuat pemerintah membutuhkan biaya yang tidak sedikit saat
penanggulangan. Agar tidak sepenuhnya membebani anggaran, pemerintah membutuhkan sumber pendanaan baru.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rencana penerbitan catastrophe bond sebagai instrumen pembiayaan
pemerintah untuk penanggulangan bencana alam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan berfokus pada
telaah pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa catastrophe bond dapat dijadikan sebagai instrumen pembiayaan
pemerintah dalam penanggulangan bencana alam di Indonesia. Namun demikian, implementasi rencana penerbitan
catastrophe bond tersebut masih membutuhkan payung hukum yang secara eksplisit mengatur tata cara pelaksanaanya.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan kajian yang mendalam untuk menetapkan lembaga penerbit catastrophe bond serta
membuat payung hukumnya.

KLASIFIKASI JEL:
E62

CARA MENGUTIP:
Arham, A. & Firmansyah, A. (2019). Catastrophe bond sebagai instrumen pembiayaan pemerintah dalam penanggulangan
bencana alam di Indonesia. Indonesian Treasury Review: Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara dan Kebijakan Publik,
4(4), 339-349.

339
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
340

1. PENDAHULUAN sosial berpola hibah pada tahap pasca bencana.


Akan tetapi, kemampuan pemerintah dalam
1.1. Latar Belakang menyediakan pembiayaan untuk bencana dengan
Kondisi geografis Indonesia berada di titik dampak yang besar cenderung terbatas. Dana
pertemuan dua patahan tektonik dan lingkaran alokasi penanggulangan bencana alam yang
vulkanik serta diapit oleh dua samudera besar yang bersumber dari APBN relatif lebih kecil
menyebabkan negara ini sangat rentan terpapar dibandingkan dengan kerugian yang dialami.
risiko bencana alam Sebagai contoh, gempa bumi dan tsunami di Aceh
(http://harian.analisadaily.com). Menurut Bank pada tahun 2004 memiliki alokasi APBN sebesar
Dunia, Indonesia termasuk dalam 35 negara di Rp 3,3 triliun sedangkan total kerugian mencapai
dunia yang memiliki risiko tinggi akan terjadinya Rp 41,4 triliun atau hanya sebesar 7,9 persen dari
korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat dampak total kerugian. Bencana gempa bumi di Yogyakarta
dari berbagai jenis bencana alam. Hampir seluruh pada tahun 2006 yang mengakibatkan kerugian
wilayah di Indonesia terpapar risiko atas sembilan negara sebesar Rp 26,1 triliun hanya memiliki
bencana alam utama, yaitu gempa bumi, tsunami, alokasi APBN sebesar 1,1 persen dari total
banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebutuhan atau sekitar Rp 2,9 triliun (Carolina,
kebakaran hutan, cuaca ekstrim, gelombang 2018). Hal yang sama juga ditemukan pada alokasi
ekstrim dan kekeringan. Beberapa kejadian dana penanggulangan bencana dalam APBD.
bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami di Berdasarkan Rencana Nasional Penanggulangan
Aceh dan Sumatera bagian utara pada tahun 2004 Bencana Nasional 2015-2019, alokasi dana siap
serta rentetan tiga bencana besar yang terjadi di pakai dalam APBD hanya rata-rata mencapai 0,1
Indonesia pada tahun 2018 (gempa di Lombok, persen. Setiap tahunnya, pemerintah rata-rata
gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, serta menyediakan dana cadangan bencana sebesar
tsunami di Selat Sunda) memberikan gambaran Rp3,1 triliun (https://fiskal.kemenkeu.go.id).
dan fakta yang jelas betapa rentannya negeri ini Sementara itu, besarnya kerugian dan pendanaan
terhadap bencana alam yang terkuras akibat bencana pada rentang 2004-
(https://fiskal.kemenkeu.go.id). 2013 mencapai Rp126,7 triliun
(http://harian.analisadaily.com). Hal tersebut
Rentannya Indonesia terpapar risiko bencana menunjukkan adanya kesenjangan yang tinggi
alam membuat pemerintah perlu memiliki tingkat antara besarnya dana yang disediakan dengan
kesiapan yang jauh lebih baik dalam menghadapi besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sehingga
setiap kemungkinan ketidakramahan alam yang menyebabkan Indonesia terpapar risiko fiskal yang
berujung pada kerugian materiil. Sejarah kejadian tinggi akibat bencana alam.
bencana alam di Indonesia menunjukkan besarnya
potensi korban jiwa, kerusakan fisik, dan kerugian Untuk menghadapi kelemahan
ekonomi. Menurut data Kementerian Keuangan, penanggulangan bencana terutama mengurangi
antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2016, risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan
rata-rata kerugian ekonomi langsung berupa pemerintah dalam menghadapi bencana,
rusaknya bangunan dan bukan bangunan akibat pemerintah memerlukan kerangka pembiayaan
bencana alam yang terjadi di Indonesia setiap risiko bencana yang inovatif untuk memenuhi
tahunnya diperkirakan sekitar Rp22,8 triliun kebutuhan anggaran pendanaan penanggulangan
(https://fiskal.kemenkeu.go.id). bencana alam dalam jumlah besar (Carolina, 2018).
Pemerintah dapat menggunakan instrumen
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 pembiayaan kontinjensi sebagai komplementer
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana APBN dalam menanggung risiko bencana dengan
menyatakan bahwa alokasi dana penanggulangan dampak kerugian sedang sampai dengan tinggi
bencana bersumber dari pemerintah pusat dan (https://fiskal.kemenkeu.go.id). Berdasarkan
pemerintah daerah. Lebih lanjut, Peraturan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Keuangan Negara, sumber-sumber pembiayaan
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN
menyatakan bahwa sumber pendanaan untuk menutupi defisit anggaran. Sejak tahun
penanggulangan bencana berasal dari Anggaran 2009, angka defisit APBN mencapai lebih dari Rp
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran 100 triliun dan cenderung meningkat dari tahun ke
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan/atau tahun (data-apbn.kemenkeu.go.id). Pada tahun
masyarakat. Dalam penanggulangan bencana, 2019, APBN mengalami defisit sebesar Rp296
pemerintah menyediakan dana kontinjensi atau triliun dan menggunakan pembiayaan anggaran
dana cadangan untuk kegiatan kesiapsiagaan pada yang berasal dari pembiayaan utang baik berupa
tahap prabencana, dana siap pakai (on call) yang Surat Berharga Negara (SBN) atau Surat Utang
ditempatkan dalam anggaran Badan Nasional Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara
Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk kegiatan (kemenkeu.go.id). Berdasarkan Undang Undang
pada saat tanggap darurat, serta dana bantuan Nomor 24 Tahun 2002, SUN terdiri atas Surat
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
341

Perbendaharaan Negara (jangka waktu sampai harga catastrophe bond dan kemungkinan
dengan dua belas bulan) dan Obligasi Negara implementasi di Indonesia berdasarkan kondisi
(jangka waktu lebih dari dua belas bulan). Setelah sektor privat. Sampai saat ini, belum ada penelitian
Indonesia mengalami dua bencana alam besar yang membahas kemungkinan implementasi
dengan jarak yang berdekatan, pemerintah penggunaan catastrophe bond jika ditinjau dari
Indonesia sedang mengkaji penebitan surat utang peraturan perundang-undangan tentang
bencana alam atau catastrophe bond pengelolaan keuangan negara yang ada di
(https://www.beritasatu.com). Pemerintah Indonesia. Selain itu, penelitan mengenai
membuka opsi untuk menerbitkan surat utang penerapan best practice atas skema penerbitan
bencana alam (catastrophe bond) layaknya surat catastrophe bond di Indonesia juga perlu dilakukan
utang negara yang selama ini telah lazim dirilis agar memberikan gambaran mengenai teknis
(http://harian.analisadaily.com). Pada 9 Oktober pelaksanaan dan implementasinya.
2018, Menteri Keuangan menyatakan bahwa
Berdasarkan uraian permasalahan terkait
pemerintah sedang mendalami skema penerbitan
dana penanggulangan bencana alam di Indonesia,
catastrophe bond dan menjadi salah satu tema
beberapa best practice penggunaan catastrophe
diskusi dalam pertemuan tahunan IMF-World
bond dalam pembiayaan bencana alam di beberapa
Bank (http://www.merdeka.com). Catastrophe
negara di dunia, serta hasil penelitian terdahulu
bond merupakan sesuatu yang baru di Indonesia
mengenai analisis rencana penerbitan catastrophe
dan sampai saat ini belum pernah ada entitas lokal
bond di Indonesia, penelitian ini bertujuan untuk
yang menerbitkan catastrophe bond sebagai
menganalisis apakah catastrophe bond dapat
instrumen keuangan dan manajemen risiko
dijadikan sebagai instrumen pembiayaan
(https://www.beritasatu.com).
pemerintah dalam penanggulangan bencana alam
Catastrophe bond sukses diterbitkan untuk di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
pertama kalinya oleh perusahaan Hannover Re memberikan manfaat berupa solusi alternatif bagi
pada tahun 1994 (Laster, 2001). Pada tahun 2006, pemerintah Indonesia dalam membiayai
Mexico menjadi negara pertama di dunia yang penanggulangan bencana alam.
menggunakan catastrophe bond untuk melindungi
kewajiban fiskal terkait bencana alam (Michel-
Kerjan, 2011). Pada tahun 2014, negara-negara di 2. LANDASAN TEORI
Kepulauan Karibia menerbitkan catastrophe bond 2.1. Konsep Pembiayaan Risiko Bencana
untuk penanggulangan bencana angin topan dan Pencegahan kerugian dan kebijakan asuransi
gempa bumi (https://worldbank.org). Selanjutnya telah lama menjadi sebuah bagian penting dalam
pada tahun 2016, beberapa negara di kawasan
misi perusahaan asuransi untuk memberikan
Pasifik (Chili, Kolombia, Mexico, dan Peru) perlindungan yang efektif terhadap berbagai jenis
memutuskan untuk menggunakan catastrophe risiko (Arrow, 1963; Raviv, 1979; Gollier, 1992).
bond untuk memperluas opsi pembiayaan risiko
Globalisasi pasar keuangan dan evolusi teknologi
gempa bumi (https://treasury.worldbank.org). yang cepat telah mengubah sifat dan dampak
Penelitian terdahulu mengenai analisis berbagai risiko selama dua dekade terakhir.
rencana penerbitan catastrophe bond di Indonesia Perubahan-perubahan tersebut juga berdampak
masih sangat kurang. Shang, et. al. (2009) pada struktur kontrak, bentuk organisasi, dan
mengulas tentang analisis empiris atas penentuan restrukturisasi perusahaan asuransi (Doherty &
harga catastrophe bond di Indonesia dan Dionne, 1993; Staikouras, 2006).
menunjukkan pengaruh parameter berdasarkan Perusahaan asuransi memperoleh modal
comonotonicity theory dan jump-diffusion process yang sumber utamanya adalah ekuitas dan premi
terhadap harga catastrophe bond. Selain itu, dari polis asuransi. Ketika memilih bentuk
Gunardi & Setiawan (2015) juga membahas pembiayaan risiko, perusahaan asuransi bertujuan
penilaian catastrophe bond secara khusus untuk untuk meminimalkan risiko yang tidak didanai
bencana alam gempa bumi di Indonesia dengan yang disebut sebagai defisit surplus pemegang
menggunakan distribusi Generalized Extreme Value polis (Mutenga & Staikouras, 2004). Perusahaan
(GEV) dan model tingkat bunga Cox-Ingersoll-Ross asuransi sangat sulit untuk memastikan tingkat
(CIR). Sementara itu, Matucci (2016) mengulas kerugian aktual dalam satu tahun buku meskipun
mengenai solusi penggunaan catastrophe bond premi yang ditetapkan telah dihitung berdasarkan
sebagai sarana pembangunan ekonomi di negara berbagai skenario.
berkembang seperti Indonesia. Matucci (2016) Menurut Mutenga & Staikouras (2007), ada
menganalisis rencana penerbitan catastrophe bond tiga basis instrumen pembiayaan risiko yaitu
di Indonesia mengacu pada perbandingan kondisi berbasis retensi, berbasis reasuransi, dan berbasis
catastrophe incsurance market antara Indonesia pasar modal. Tiap basis instrumen pembiayaan
dengan Mexico. Penelitian-penelitian terdahulu risiko harus sesuai dengan peruntukannya dalam
tersebut hanya membahas mekanisme penentuan distribusi kerugian. Instrumen pembiayaan risiko
berbasis retensi menggunakan ekuitas yang
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
342

disediakan oleh pemegang saham dan akumulasi dikelola secara privat atau publik. Di pasar sektor
laba ditahan. Instrumen pembiayaan berbasis privat internasional, pengelola biasanya berbentuk
retensi akan efisien digunakan untuk membiayai Special Purpose Vehicle (SPV). SPV merupakan
risiko dengan tingkat probabilitas kejadian yang suatu badan hukum atau lembaga keuangan yang
tinggi. Sementara itu, instrumen pembiayaan risiko berfungsi untuk menginvestasikan hasil yang
berbasis reasuransi dapat digunakan untuk diperoleh dari catastrophe bond dan membayarkan
memberikan perlindungan terhadap arus kas kupon obligasi kepada investor. Jika terjadi
terkait kerugian yang tak terduga. Distribusi bencana, dana akan dibayarkan kepada penerima
kerugian paling baik dibiayai oleh instrumen yang tertanggung. Akun defeasance digunakan
berbasis pasar modal. Instrumen pembiayaan untuk mengakumulasi dana untuk pelunasan
berbasis pasar modal dapat mengurangi tekanan pokok obligasi jika investor harus menerima
pada modal dan/atau digunakan setelah peristiwa beberapa tingkat perlindungan utama dalam suatu
bencana. peristiwa bencana. Dana yang terkumpul biasanya
Keterbatasan sumber daya untuk melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk ganti rugi
memberikan perlindungan atas kejadian-kejadian karena beberapa dana disisihkan hanya untuk
ekstrem dalam bisnis asuransi telah mendorong pembayaran kembali pokok obligasi. Namun,
para pelaku pasar untuk mengeksplorasi cara beberapa obligasi disusun sedemikian rupa
alternatif terkait pembiayaan risiko (Jaffee & sehingga investor kehilangan sebagian atau
Russell, 1997; Punter, 2000; Cummins et al., 2002). seluruh pokok dan bunga jika terjadi bencana.
Saat ini pasar modal telah memberikan wadah Kompensasi dari hal tersebut adalah obligasi
untuk melindungi risiko keuangan sekaligus memberikan jumlah pengembalian jauh di atas
meningkatkan nilai perusahaan (Swiss Re, 2001). tingkat bunga pasar untuk risiko standar yang
Salah satu wadah tersebut yang telah menjadi serupa.
sangat populer diterbitkan oleh perusahaan
Gambar 1. Skema Penerbitan Catastrophe
asuransi maupun reasuransi adalah catastrophe
Bond menurut Pollner (2001)
bond (Mutenga & Staikouras, 2007).
Menurut Cox & Pedersen (2000), catastrophe
bond sama halnya dengan obligasi biasa. Obligasi
sendiri memiliki arti surat utang jangka menengah-
panjang yang dapat dipindah tangankan, yang
berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk
membayar imbalan berupa bunga atau kupon pada
periode tertentu dan melunasi pokok utang pada
waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli
obligasi. Dengan demikian, catastrophe bond dapat
diartikan sebagai surat utang yang menggunakan
faktor risiko bencana alam dalam kontraknya. Sumber: Pollner (2001)
Menurut Hardle & Carbrera (2007), Adapun skema penerbitan catastrophe bond
catastrophe bond adalah obligasi yang kupon dan menurut Carayannopoulos & Perez (2015) bisa
pembayaran pokoknya tergantung pada kinerja dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan
indeks risiko bencana alam atau terjadinya kondisi struktur khas dari catastrophe bond. SPV berfungsi
pemicu yang ditentukan. Catastrophe bond sebagai perantara antara penanggung (insurer)
melindungi perusahaan sponsor dari kerugian atau reasuradur (reinsurer) dan investor serta
finansial yang disebabkan oleh bencana alam besar memfasilitasi proses penerbitan obligasi. SPV juga
dengan menawarkan alternatif atau melengkapi mengawasi pembuatan dan pengelolaan trustee
reasuransi tradisional. (collateral account) yang menjadi muara semua
aliran dana. Seringkali, kehadiran TRS
Menurut Michel-Kerjan (2011), catastrophe Counterparty memberikan jaminan tambahan
bond adalah obligasi yang terikat kontinjensi multi- sehubungan dengan nilai jaminan dan
tahun yang membayar penerbitnya hanya jika pengembalian investasi kepada investor. Bunga
terjadi peristiwa atau pemicu yang telah dan/atau penerimaan pokok investor bergantung
ditentukan sebelumnya. Pemicu bisa merupakan pada terjadinya peristiwa bencana. Nilai bunga
sebuah peristiwa eksternal (misalnya gempa bumi didasarkan pada London Interbank Offered Rate
dengan magnitudo 8 skala richter atau di atasnya) (LIBOR) ditambah dengan premi.
atau berdasarkan kerugian penerbit (ganti rugi).
2.2. Skema Penerbitan Catastrophe Bond
Skema penerbitan catastrophe bond menurut
Pollner (2001) dapat dilihat pada Gambar 1. Dana
penanggulangan bencana dapat dimiliki dan
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
343

Gambar 2. Skema Penerbitan Catastrophe 2.3. Teori Pecking Order


Bond menurut Carayannopoulos & Perez Konsep teori pecking order pertama kali
(2015) diuraikan oleh Donaldson (1961) yang
mengemukakan bahwa perusahaan cenderung
mengutamakan atau mendahulukan pembiayaan
dari sumber internal untuk membayar dividen dan
membiayai investasi. Apabila kebutuhan dana
tidak mencukupi, dana dari sumber eksternal
digunakan sebagai tambahan. Pembiayaan internal
diperoleh dari sisa laba atau laba ditahan dan arus
kas dari depresiasi. Sementara itu, pembiayaan
eksternal lebih mengutamakan penerbitan utang
Sumber: Carayannopoulos & Perez (2015) (obligasi) daripada penerbitan saham baru.
Donaldson (1961) juga menyatakan bahwa
Menurut Hardle & Carbrera (2007), skema
penerbitan utang (obligasi) dilakukan oleh
transaksi catastrophe bond melibatkan empat
perusahaan untuk menghindari atau
pihak yaitu pihak sponsor atau perusahaan ceding
mengeliminasi biaya penerbitan (flotation cost)
(perwakilan pemerintah, perusahaan asuransi,
yang melekat pada pendanaan eksternal.
atau perusahaan reasuransi), SPV atau penerbit,
Penerbitan obligasi lebih dipilih dibandingkan
pihak yang memberikan jaminan, dan investor
dengan penerbitan saham baru karena flotation
(investor institusional, perusahaan asuransi,
cost yang lebih rendah.
perusahaan reasuransi, dan perusahaan lindung
Myers & Majluf (1984) mengembangkan teori
nilai). Pihak sponsor mendirikan dan menetapkan
pecking order sebagai suatu teori alternatif
SPV sebagai penerbit obligasi dan sumber
mengenai keputusan pembiayaan perusahaan.
perlindungan reasuransi. Penerbit menjual
Perusahaan akan melakukan pembiayaan
obligasi kepada investor pasar modal dan hasilnya
berdasarkan urutan risiko. Ada tiga sumber
disimpan dalam akun jaminan (collateral account)
pembiayaan perusahaan yaitu, laba ditahan, utang,
yang menjadi tempat pendapatan dari aset
dan ekuitas. Bagi para investor, ekuitas lebih
dikumpulkan dan menjadi sumber tingkat bunga
berisiko dibandingkan utang. Oleh karena itu,
mengambang (floating rate) yang dibayarkan ke
investor akan mengharapkan tingkat
SPV. Pihak sponsor membuat kontrak reasuransi
pengembalian yang lebih tinggi atas penerbitan
atau derivatif dengan penerbit dan membayar
ekuitas dibandingkan utang. Bagi perusahaan, laba
premi. SPV biasanya memberikan pembayaran
ditahan merupakan sumber pembiayaan yang
bunga kupon triwulanan kepada investor. Premi
lebih baik dibandingkan utang dan utang
dan hasil investasi dari obligasi yang SPV terima
merupakan sumber pembiayaan yang lebih baik
dari pemberi jaminan adalah sumber bunga atau
dibandingkan ekuitas.
kupon yang dibayarkan kepada investor. Jika tidak
Teori pecking order menggunakan dasar
ada peristiwa pemicu selama umur obligasi, SPV
pemikiran bahwa tidak ada target tertentu untuk
memberikan kembali pokok obligasi kepada
debt to equity ratio. Teori ini menjelaskan hierarki
investor dengan kupon terakhir atau bunga yang
sumber dana yang paling disenangi oleh
besar. Selain itu, SPV juga bisa membayar pihak
perusahaan. Esensi teori ini adalah adanya dua
sponsor sesuai dengan ketentuan kontrak
jenis modal yaitu external financing dan internal
reasuransi dan kadang tidak membayar apa pun
financing. Teori ini menjelaskan mengapa
atau membayar hanya sebagian pokok dan bunga
perusahaan yang profitable pada umumnya
kepada para investor. Skema catastrophe bond
menggunakan utang dalam jumlah yang sedikit.
menurut Hardle & Carbrera (2007) bisa dilihat
Hal tersebut bukan disebabkan oleh target debt
pada Gambar 3.
ratio yang rendah yang telah ditetapkan oleh
perusahaan, melainkan karena perusahaan
memerlukan external financing yang sedikit.
Gambar 3. Skema Penerbitan Catastrophe
Perusahaan yang kurang profitable akan
Bond menurut Hardle & Carbrera (2007)
cenderung menggunakan utang yang lebih besar
karena dua alasan yaitu, dana internal tidak
mencukupi dan utang merupakan sumber
eksternal yang lebih disukai.
Secara spesifik, perusahaan mempunyai
urutan preferensi dalam penggunaan pembiayaan.
Smart et al. (2004) menjelaskan skenario urutan
dalam teori pecking order dalam empat tahap.
Pertama, perusahaan lebih memilih menggunakan
Sumber: Hardle & Carbrera (2007)
sumber pembiayaan internal berupa laba ditahan
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
344

yang dihasilkan dari kegiatan operasional Penggunaan catastrophe bond sebagai


perusahaan. Kedua, jika pembiayaan eksternal instrumen pembiayaan pemerintah yang baru
diperlukan, perusahaan akan memilih sekuritas dalam menanggulangi bencana alam di Indonesia
mulai dari yang paling aman yaitu, utang risiko juga sejalan dengan konsep pembiayaan risiko
rendah, utang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid bencana pada sektor privat khususnya perusahaan
seperti convertible bond, saham preferen, dan yang asuransi dan reasuransi yang termasuk jenis
terakhir saham biasa. Ketiga, perusahaan instrumen pembiayaan risiko berbasis pasar
menetapkan kebijakan pembayaran dividen yang modal. Penerbitan catastrophe bond dapat
konstan tanpa mempertimbangkan laba atau rugi mentransfer risiko dalam bentuk berkurangnya
perusahaan. Keempat, untuk mengantisipasi tekanan pada modal pemerintah dalam hal ini
kekurangan persediaan kas karena adanya pendapatan negara di APBN. Selain itu catastrophe
kebijakan dividen yang konstan, fluktuasi tingkat bond dapat digunakan setelah terjadinya peristiwa
keuntungan, dan kesempatan investasi, bencana. (Mutenga & Staikouras, 2007).
perusahaan akan mengambil portofolio investasi Pemilihan catastrophe bond sebagai
jangka pendek yang tersedia. instrumen pembiayaan pemerintah bukanlah
merupakan pilihan yang buruk dibandingkan
3. METODOLOGI PENELITIAN dengan sumber pembiayaan lainnya. Menurut teori
pecking order, dalam urutan hierarki keputusan
Penelitan ini menggunakan metode kualitatif pembiayaan, utang berada di posisi kedua setelah
dengan penggunaan literatur untuk membahas sumber internal (Donaldson, 1961). Jika dikaitkan
hasil penelitian. Literatur-literatur terdahulu dengan sektor publik dalam hal ini pemerintah
digunakan untuk menjadi latar belakang penelitian Indonesia, sumber internalnya adalah pendapatan
yang dilakukan dan dibuat sebelum penelitian negara di APBN yang berasal dari penerimaan
tersebut dilakukan (Strauss & Corbin, 1989). Selain perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan
itu, penggunaan literatur memiliki tujuan untuk hibah. Dengan terbatasnya sumber internal
membandingkan dan menyatukan hasil-hasil tersebut, menyebabkan keputusan pembiayaan
temuan dari penelitian yang dilakukan dengan pemerintah dapat memilih opsi kedua yaitu utang.
hasil-hasil temuan dari literatur-literatur Selain itu, pemilihan catastrophe bond sebagai
terdahulu (Burns & Groove, 1993). Objek dari instrumen pembiayaan pemerintah juga sejalan
penelitian ini adalah rencana penerbitan dengan teori pecking order yang dikembangkan
catastrophe bond di Indonesia. Data yang oleh Myers & Majluf (1984) yang menyatakan
digunakan adalah data sekunder yang diambil dari bahwa faktor risiko dipertimbangkan dalam
berbagai sumber seperti peraturan perundang- melakukan pembiayaan. Dalam penerbitan
undangan terkait pengelolaan keuangan negara catastrophe bond, risiko akan ditransfer atau dibagi
dalam penanggulangan bencana alam di Indonesia, (risk transfer or risk sharing). Risiko yang timbul
publikasi World Bank terkait penerbitan akibat bencana alam tidak menjadi beban
catastrophe bond, dan jurnal-jurnal yang relevan. pemerintah dalam APBN tetapi dibagikan ke pada
para investor di pasar modal.
4. HASIL PENELITIAN
Rencana penerbitan catastrophe bond sebagai
Keterbatasan dana penanggulangan bencana
sebuah instrumen pembiayaan pemerintah yang
dalam APBN yang menjadi salah satu
baru dalam penanggulangan bencana alam di
pertimbangan untuk menerbitkan catastrophe
Indonesia perlu memperhatikan beberapa aspek.
bond sejalan dengan hasil penelitian Jaffee &
Aspek pertama yang perlu dipertimbangkan adalah
Russell (1997), Punter (2000), dan Cummins et al.
karakteristik khusus yang dimiliki catastrophe
(2002) yang menyatakan bahwa keterbatasan
bond dan perbedaannya dengan obligasi yang
sumber daya untuk memberikan perlindungan atas
sudah pernah diterbitkan oleh pemerintah. Kedua,
kejadian-kejadian ekstrem dalam bisnis asuransi
rencana penerbitan catastrophe bond oleh
telah mendorong para pelaku pasar untuk
pemerintah Indonesia juga harus melihat tujuan
mengeksplorasi cara alternatif terkait pembiayaan
atau alasan penerbitan serta membandingkan
risiko. Jika dikaitkan dengan sektor publik, dalam
dengan best practice yang telah dilakukan di
hal ini pemerintah Indonesia, kejadian-kejadian
negara-negara lain. Selain itu, skema penerbitan
ekstrem yang dimaksud adalah bencana alam
catastrophe bond juga perlu ditinjau dari sisi
seperti, gempa bumi, tsunami, letusan gunung
peraturan perundang-undangan terkait
berapi, kebakaran hutan, banjir bandang, dan
pengelolaan keuangan negara.
tanah longsor, yang kerap terjadi di Indonesia.
Karena adanya faktor keterbatasan sumber daya Ketentuan mengenai obligasi yang diterbitkan
dan kejadian-kejadian ekstrem, catastrophe bond oleh pemerintah diatur dalam Undang-Undang
dapat dieksplorasi sebagai cara alternatif untuk Nomor 24 Tahun 2002 tentang SUN. Dalam
membiayai risiko akibat terjadinya bencana alam undang-undang tersebut disebutkan bahwa SUN
di Indonesia. adalah surat berharga yang berupa surat
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
345

pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun Peru) yang memutuskan untuk menggunakan
valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan catastrophe bond untuk memperluas opsi
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai pembiayaan atas risiko gempa bumi di luar ruang
dengan masa berlakunya. Obligasi negara lingkup dana anggaran
merupakan salah satu jenis SUN yang memiliki (http://treasury.worldbank.org). Dengan
jangka waktu lebih dari dua belas bulan dengan demikian, secara garis besar tujuan penerbitan
kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara obligasi negara dan catastrophe bond memiliki
diskonto. Sampai di sini, obligasi negara memiliki kesamaan dalam hal pembiayaan untuk
karakteristik yang sama dengan catastrophe bond. mengurangi beban dan risiko keuangan bagi
Hal ini mendukung pendapat Cox & Pedersen negara di masa yang akan datang. Akan tetapi,
(2000) yang menyatakan bahwa catastrophe bond tujuan penerbitan catastrophe bond yang secara
sama halnya dengan obligasi biasa. Karakteristik khusus untuk menanggulangi bencana alam tetap
catastrophe bond yang khas adalah pihak penerbit perlu dituangkan dalam peraturan perundang-
dalam hal ini pemerintah tidak dapat menarik dana undangan terkait agar penerbitan catastrophe bond
dari surat utang tersebut jika tidak terjadi bencana. tetap bisa dilakukan meskipun di luar tiga kondisi
Hal ini berbeda dengan obligasi negara yang yang disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang
dananya bisa diperoleh pemerintah setelah Nomor 24 Tahun 2002. Hal yang perlu diingat
penerbitan obligasi. Dengan kata lain, catastrophe bahwa tujuan dari penerbitan catastrophe bond
bond selalu menyebutkan adanya peristiwa pemicu bukan untuk pembiayaan proyek strategis nasional
atau faktor risiko bencana alam dalam surat melainkan untuk antisipasi.
kontraknya (Michel-Kerjan, 2011). Akan tetapi,
Sebelum membahas mengenai skema
meskipun tidak terjadi bencana yang merupakan
penerbitan catastrophe bond di Indonesia, perlu
peristiwa pemicu, pemerintah tetap berkewajiban
untuk diketahui mengenai skema penerbitan
membayar bunga atas catastrophe bond yang telah
obligasi negara di Indonesia berdasarkan
diterbitkan. Kewajiban membayar bunga pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
setiap periode ini memiliki kesamaan dengan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002
obligasi biasa (Cox & Pedersen, 2000). Dengan
menyebutkan bahwa kewenangan menerbitkan
demikian, adanya perbedaan karakteristik
obligasi negara berada di tangan pemerintah dan
catastrophe bond dengan obligasi negara perlu
dilaksanakan oleh menteri keuangan. Sebelum
dikaji lebih lanjut dan diakomodasi dalam
menerbitkan obligasi negara, menteri keuangan
peraturan perundang-undangan terkait agar bisa
terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank
diimplementasikan dengan baik.
Indonesia dan harus mendapat persetujuan Dewan
Dari aspek tujuan penerbitan, Undang- Perwakilan Rakyat (DPR). Pengelolaan obligasi
Undang Nomor 24 Tahun 2002 menyatakan bahwa negara di Kementerian Keuangan diselenggarakan
penerbitan SUN kepada publik merupakan salah oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan
satu potensi pembiayaan untuk mengurangi beban dan Risiko (DJPPR) berdasarkan Peraturan
dan risiko keuangan bagi negara di masa Presiden Nomor 28 Tahun 2015. Tugas DJPPR
mendatang. Secara lebih rinci, hal ini dijelaskan terkait dengan pengelolaan obligasi negara yaitu
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun menyiapkan strategi dan kebijakan, penerbitan,
2002 bahwa terdapat tiga tujuan penerbitan SUN penjualan melalui lelang dan/atau tanpa lelang,
yaitu untuk membiayai defisit APBN, menutup pembelian kembali, pelunasan, dan aktivitas lain
kekurangan kas jangka pendek akibat dalam rangka pengembangan pasar perdana dan
ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pasar sekunder obligasi negara. Adapun kegiatan
pengeluaran dari rekening kas negara dalam satu penatausahaan obligasi negara yang mencakup
tahun anggaran, dan mengelola portofolio utang pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen,
negara. Berbeda dengan obligasi negara yang serta agen pembayar bunga dan pokok
tujuan penerbitannya untuk pembiayaan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Menteri
bersifat umum, catastrophe bond diterbitkan keuangan juga dapat menunjuk Bank Indonesia
secara khusus untuk membiayai penanggulangan dan/atau pihak lain sebagai agen untuk
bencana. Negara Mexico yang menjadi negara melaksanakan pembelian dan penjualan obligasi
pertama yang menerbitkan catastrophe bond pada negara di pasar sekunder. Sementara itu, kegiatan
tahun 2006 bertujuan untuk melindungi kewajiban pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan
fiskal terkait bencana alam (Michel-Kerjan, 2011). perdagangan obligasi negara dilakukan oleh
Begitu pula dengan negara-negara di Kepulauan instansi pemerintah yang melakukan pengaturan
Karibia yang pada tahun 2014 menerbitkan dan pengawasan di bidang pasar modal.
catastrophe bond dengan tujuan penanggulangan
Berdasarkan hasil studi literatur, pemerintah
bencana angin topan dan gempa bumi
Indonesia dapat menggunakan skema penerbitan
(https://worldbank.org). Alasan penerbitan yang
catastrophe bond menurut Hardle & Carbrera
sama juga dikemukakan oleh beberapa negara di
(2007). Menurut Hardle & Carbrera (2007), skema
kawasan Pasifik (Chili, Kolombia, Mexico, dan
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
346

transaksi catastrophe bond di Indonesia dapat untuk mengimplementasikan dengan baik rencana
melibatkan empat pihak yaitu pemerintah, SPV, penerbitan catastrophe bond sebagai instrumen
pihak yang memberikan jaminan, dan investor. pembiayaan pemerintah dalam penanggulangan
Pemerintah dapat menetapkan SPV sebagai bencana alam di Indonesia.
penerbit obligasi. Selanjutnya, SPV (BLU/BUMN)
Penetapan SPV dalam mekanisme penerbitan
menjual obligasi kepada investor pasar modal dan
catastrophe bond dapat dilakukan terhadap
hasilnya disimpan dalam akun jaminan (collateral
institusi pemerintah seperti Badan Layanan Umum
account) yang menjadi tempat pendapatan dari
(BLU) atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
aset dikumpulkan dan menjadi sumber tingkat
yang sudah ada. Penentuan salah satu dari dua opsi
bunga mengambang (floating rate) yang
tersebut perlu mempertimbangkan beberapa hal
dibayarkan ke SPV. Pemerintah membuat kontrak
seperti peran pengelola dana, biaya, dan manfaat
dengan SPV dan membayar premi. SPV
atas opsi yang dipilih.
memberikan pembayaran bunga kupon triwulanan
kepada investor. Premi dan hasil investasi dari Pertama, dari aspek peran pengelola dana, baik
obligasi yang SPV terima dari pemberi jaminan BLU maupun BUMN dapat memenuhi kriteria ini.
adalah sumber bunga atau kupon yang dibayarkan Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP)
kepada investor. Jika tidak ada peristiwa pemicu Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
(bencana) selama umur obligasi, SPV memberikan Keuangan BLU, salah satu persyaratan substantif
kembali pokok obligasi kepada investor dengan suatu BLU adalah penyelenggaraan layanan umum
kupon terakhir atau bunga yang besar. Selain itu, yang berhubungan dengan pengelolaan dana
SPV juga bisa melakukan pembayaran kepada khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi
pemerintah sesuai dengan ketentuan kontrak. SPV dan/atau pelayanan kepada masyarakat. Jika
juga bisa saja tidak membayar apa pun atau dikaitkan dengan mekanisme penerbitan
membayar hanya sebagian pokok dan bunga catastrophe bond, dana khusus tersebut adalah
kepada para investor. Skema penerbitan dana yang terkumpul dari penerbitan catastrophe
catastrophe bond di Indonesia menurut Hardle dan bond untuk digunakan dalam penanggulangan
Carbrera (2007) bisa dilihat pada Gambar 4. bencana alam. Dengan demikian, BLU dapat
mengambil peran SPV sebagai pengelola dana
Gambar 4. Skema Penerbitan Catastrophe sekaligus wakil pemerintah untuk berhubungan
Bond di Indonesia menurut Hardle & dengan pihak terkait seperti investor dalam
Carbrera (2007) penerbitan catastrophe bond. Sementara itu, sesuai
dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang BUMN, modal BUMN merupakan dan
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Dengan kata lain, dalam menjalankan usahanya,
BUMN mengelola modal atau dana dari negara
untuk memberikan sumbangan bagi
perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya dan penerimaan negara pada
Sumber: Diolah Penulis khususnya. Jika dihubungkan dengan mekanisme
Secara umum, skema penerbitan obligasi penerbitan catastrophe bond, BUMN juga dapat
negara tidak jauh berbeda dengan catastrophe mengambil peran untuk mengelola dana yang
bond. Keduanya melibatkan pemerintah, investor, diperoleh dari penerbitan instrumen keuangan
dan penjamin atau pengawas. Hal yang berupa catastrophe bond untuk memberikan
membedakan dari sisi kelembagaan yaitu adanya sumbangan penerimaan negara dalam rangka
SPV untuk penerbitan catastrophe bond. Mengingat penanggulangan bencana alam nasional.
pentingnya peran SPV dalam mekanisme Aspek kedua yang juga perlu mendapat
penerbitan catastrophe bond, penetapan SPV perlu perhatian terkait penetapan BLU atau BUMN
diakomodasi dalam regulasi. Selain itu, perbedaan sebagai SPV dalam mekanisme penerbitan
juga bisa dilihat dari segi prosedur. Penerbitan catastrophe bond adalah aspek biaya. Dari aspek
catastrophe bond tidak melalui persetujuan badan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah,
legislatif karena kewenangan penerbitan berada di penetapan BLU atau BUMN yang sudah ada
tangan SPV. Mengingat ketepatan waktu menjadi SPV tentu membutuhkan biaya yang lebih
penyaluran dana adalah hal yang sangat krusial sedikit dibandingkan dengan mendirikan BLU atau
saat terjadi bencana, penerbitan catastrophe bond BUMN baru.
melangkahi persyaratan tersebut. Dengan
demikian, perbedaan skema penerbitan antara Aspek ketiga yaitu manfaat yang diperoleh
obligasi negara dan catastrophe bond hanya baik bagi pemerintah maupun masyarakat, BLU
terletak pada sisi kelembagaan dan prosedur. dapat menjadi pilihan yang lebih baik
Kedua hal tersebut memerlukan penyesuaian dibandingkan dengan BUMN. Sesuai dengan Pasal
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
347

1 PP Nomor 23 Tahun 2005, BLU merupakan 6. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN


instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk Penelitian ini hanya menggunakan metode
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat kualitatif yang berfokus pada telaah pustaka atas
tanpa mengutamakan mencari keuntungan. best practice di negara lain dan
Dengan kata lain, melalui pemilihan BLU sebagai membandingkannya dengan peraturan
SPV, pemerintah dapat lebih mudah mengawasi perundang-undangan di Indonesia. Penelitian
pelaksanaan tugas terkait pengelolaan dana selanjutnya dapat menggunakan metode kualitatif
bencana dari penerbitan catastrophe bond karena dengan mengumpulkan pendapat para ahli terkait
pengelolaan keuangan BLU harus rencana penerbitan catastrophe bond untuk
dipertanggungjawabkan kepada pemerintah penanggulangan bencana alam di Indonesia. Hasil
dalam laporan keuangan pemerintah. Selain itu, penelitian ini memberikan implikasi berupa
dana yang diperoleh dari penerbitan catastrophe masukan kepada para pemangku kepentingan
bond yang dikelola oleh BLU dapat lebih mudah antara lain, DJPPR, Badan Kebijakan Fiskal (BKF),
dieksekusi atau digunakan oleh pemerintah untuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, dan
melaksanakan kegiatan tanggap darurat pada saat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
terjadi bencana alam. Sementara jika Dengan adanya hasil penelitian ini, para pemangku
menggunakan BUMN sebagai SPV, pemerintah kepentingan dapat dengan segera melakukan
tidak dapat memiliki kontrol penuh atas kajian mendalam dan mengimplementasikan
pengelolaan keuangannya mengingat pelaporan rencana penerbitan catastrophe bond sebagai
keuangan BUMN dipisahkan dari pelaporan instrumen pembiayaan pemerintah dalam
keuangan pemerintah sehingga pemerintah tidak penanggulangan bencana alam di Indonesia.
dapat memastikan diperolehnya manfaat yang
optimal. Selain itu, eksekusi dana yang diperoleh
REFERENSI
dari penerbitan catastrophe bond oleh BUMN akan
menemui hambatan karena penerimaan Arrow, K. J. (1963). Uncertainty and the welfare
pemerintah dari BUMN berasal dari dividen dan economics of medical care. American
pajak yang proses pencairannya tidak bisa Economic Review, 53, 941-973.
dilakukan dengan segera atau memerlukan tahap Badan Kebijakan Fiskal. (2019). Strategi
dan waktu yang cukup lama. Padahal, pembiayaan dan asuransi risiko bencana
penanggulangan bencana alam merupakan suatu (parb). Diakses 12 Juni 2019 dari
kegiatan yang bersifat darurat sehingga https://fiskal.kemenkeu.go.id/dw-konten-
memerlukan dana dalam waktu sesegera mungkin. view.asp?id=20190405055846874640008
Dengan demikian, dari aspek biaya, BLU memiliki Burns, N. & Grove, S. K. (1993). The practice of
kesamaan dengan BUMN sedangkan dari aspek research: conduct, critique, and utilization
manfaat, BLU lebih baik daripada BUMN. (second edition). Philadelphia: W. B. Saunders
Company.
Carayannopoulos, P. & Perez, M. F. (2015).
5. KESIMPULAN DAN SARAN Diversification through catastrophe bonds:
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, lessons from the subprime financial crisis. The
secara umum catastrophe bond tidak jauh berbeda Geneva Papers, 40, 1-28.
dengan obligasi negara yang diterbitkan oleh Carolina, M. (2018). Kelemahan-kelemahan
pemerintah Indonesia. Perbedaan hanya terletak penanggulangan bencana alam di Indonesia.
pada aspek karakteristik khas catastrophe bond Buletin APBN, 3 (18), 3-8.
yang terikat pada adanya peristiwa bencana, Cox, S. H. & Pedersen, H. W. (2000). Catastrophe
tujuan khusus penerbitan, kelembagaan, serta risk bonds. North American Actuarial, 4 (4),
prosedur penerbitan. Dengan demikian, penelitian 56-82.
ini menyimpulkan bahwa catastrophe bond dapat Cummins, J. D., Doherty, N. A., & Lo, A. (2002). Can
dijadikan sebagai instrumen pembiayaan insurers pay for the “big one”? measuring the
pemerintah dalam penanggulangan bencana alam capacity of the insurance market to respond to
di Indonesia. catastrophe losses. Journal of Banking and
Agar bisa mengimplementasikan rencana Finance, 26, 557-583.
penerbitan catastrophe bond sebagai instrumen DiMaggio, P. J. & Powell, W. W. (1983). The iron
pembiayaan bencana alam di Indonesia, cage revisited: institutional isomorphism and
pemerintah sebaiknya terlebih dahulu melakukan collective rationality in organizational fields.
revisi peraturan perundang-undangan terkait American Sociological Review, 48, 147-160.
pengelolaan keuangan negara terutama mengenai Doherty, N. A. & Dionne, G. (1993). Insurance with
penerbitan obligasi negara. Selain itu, pemerintah undiversifiable risk: contract structure and
perlu melakukan kajian yang mendalam untuk organizational form of insurance firms.
menetapkan lembaga penerbit catastrophe bond Journal of Risk and Uncertainty, 6, 187-203.
termasuk payung hukumnya.
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
348

Donaldson, G. (1961). Corporate debt capacity. insurance industry. The Geneva Papers, 32,
Cambridge, MA: Harvard University Press. 222-245.
Frumklin, P. & Galaskiewicz, J. (2004). Institutional Myers, S. C. & Majluf, N. (1984). Corporate financing
isomorphism and public sector organizations. and investment decisions when firms have
Journal of Public Administration and Theory, information that investors do not have.
14 (3), 283-307. Journal of Financial Economics, 13, 187-221.
Gollier, C. (1992). Economic theory of risk exchanges Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008
in g. dionne (ed) contributions to insurance tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
economics. Boston: Kluwer Academic Press. Bencana. Jakarta: Republik Indonesia.
Gunardi & Setiawan, E. P. (2015). Valuation of Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005
indonesian catastrophic earthquake bonds tentang Pengelolaan Keuangan Badan
with generalized extreme value (gev) Layanan Umum. Jakarta: Republik Indonesia.
distribution and cox-ingersoll-ross (cir) Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015 tentang
interest rate model. AIP Conference Kementerian Keuangan. Jakarta: Republik
Proceedings 1692, 020024. Indonesia.
Hardle, W. & Cabrera, B. L. (2007). Calibrating CAT Pollner, J. D. (2001). Managing catastrophic
bonds for mexican earthquakes. SFB 649 disaster risks using alternative risk financing
Discussion Paper, 2007-037. and pooled insurance structures. World Bank
Jaffee, D. & Russell, T. (1997). Catastrophe Technical Paper, 495.
insurance when capital is limited: a comparison Punter, A. (2000). New solutions for the financing
of public and private approaches, Pacific Rim of risk. Journal of Insurance Research and
Insurance Conference, Singapore, 4–6 Practice, 15, 28-39.
September 1997. Raviv, A. (1979). The design of an optimal
Kuncoro, H. (2018). Pembiayaan risiko bencana insurance policy. American Economic Review,
alam. Diakses pada tanggal 12 Juni 2019, dari 69, 84-96.
http://harian.analisadaily.com/opini/news/ Scott, W. R. & Meyer, J. W. (1994). Institutional
pembiayaan-risiko-bencana environments and organizations: structural
alam/651081/2018/11/19 complexity and individualism, Edited by: Scott,
Laster, D. S. (2001). Capital market innovation in W. R. & Meyer, J. W. Thousand Oaks, CA: Sage.
the insurance industry. Sigma, 3. Scott, W. R. (2001). Institutions and Organizations
Mahardika, D.P.K. (2018). Manajemen risiko (Second Edition). Thousand Oaks, CA: Sage.
melalui catastrophe bond. Diakses pada Scott, W. R. (2008). Approaching adulthood: the
tanggal 12 Juni 2019, dari maturing of institutional theory. Theory and
https://www.beritasatu.com/investor/5171 Society, 37 (5), 427-442.
68-manajemen-risiko-melalui-catastrophe- Shang, Q., Qin, X., & Wang, Y. (2009). Design of
bond.html catastrophe mortality bonds based on the
Mahardika, D.P.K. (2018). Manajemen risiko comonotonicity theory and jump-diffusion
melalui catastrophe bond. Diakses pada process. International Journal of Innovative
tanggal 12 Juni 2019, dari Computing, Information, and Control, 5 (4),
https://www.merdeka.com/uang/ 991-1000.
penerbitan-obligasi-bencana-alam-dibahas- Skelley, B. D. (2000). Radical institutionalism and
di-pertemuan-tahunan-imf-world-bank.html public administration: a review of nil’s
Mattuci, L. (2016). The use of catastrophe bonds as brunsson’s contributions to understanding
a means of economic development in public sector organizations. Public
emerging economies. Honors Theses and Administration & Management: An Interactive
Capstones, 318. Journal, 5 (3), 112-122.
Meyer, J. W. & Rowan, B. (1977). Institutionalized Smart, S. B., Megginson, & Gitman. (2004).
organizations: formal structure as myth and Corporate Finance. Ohio: South-Western,
ceremony. American Journal of Sociology, 83, Thomson Learning.
340. Staikouras, S. K. (2006). Business opportunities
Michel-Kerjan, E. O. (2011). Catastrophe financing and market realities in financial
for governments: learning from the 2009-2012 conglomerates. The Geneva Papers on Risk and
multicat program in mexico. Insurance – Issues and Practice, 31 (1), 124-
Mutenga, S. & Staikouras, S. K. (2004). Insurance 148.
companies and firm wide-risk: a barrier Strauss, A. & Corbin, J. (1989). Basics of Qualitative
option approach. Journal of Insurance Research: Grounded Theory Procedures and
Research and Practice, 19, 62-70. Techniques. St. Louis: Mosby.
Mutenga, S. & Staikouras, S. K. (2007). The theory Swiss Re. (2001). Capital Market innovation in the
of catastrophe risk financing: a look at the insurance industry. Sigma, 3, 37.
instruments that might transform the
CATASTROPHE BOND SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN Indonesian Treasury Review Vol.4, No.4, (2019), Hal.339-349
PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI INDONESIA
349

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang


Keuangan Negara. Jakarta: Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara. Jakarta: Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara. Jakarta: Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Jakarta: Republik
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai