Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FIQIH MUAMALAH
Wadi’ah
Dosen Pengampu :Hj.Izzatun Sholiha,M.Pd.I

Disusun Oleh:
NAMA :FIKA FITRI (2020 10 01 051)
NAMA :EMIA MARDIA (2020 10 01 067)

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZHAAR LUBUKLINGGAU


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah ini

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata fiqi muamala. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
BAB II PEMBAHASAN 4
A. Pengertian Wadi’ah 4
B. Landasan Hukum Wadi’ah 5
C. Rukun Dan Syarat Akad Wadia’ah 7
D. Terputusnya akad Wadi’a 9
E. Akad Wadi’ah di era Konteporer 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 13
B. Penutup 13
DAFTAR PUSTAKA 14
BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang

Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang
bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling
memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong menolong (ta’awul), serta untuk
mempererat silaturahmi karena merupakan proses ta’aruf (perkenalan). Namun dari beberapa
tujuan muamalat tersebut, tidak sepenuhnya terlaksana. Masih banyak masalah-masalah yang
terjadi karena proses muamalat tersebut. Diantaranya masih banyak orang yang dirugikan
dalam suatu proses muamalat tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pedoman
dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi
penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama
manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing,
sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian
diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah
hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah memiliki maksud yaitu bahwa kita selaku
umat muslim hendaknya mengetahui apa-apa yang bersangkutan dengan muamalah. Seperti
dalam rukun muamalat-jual beli harus ada akad (ijab dan qabul). Dalam akad muamalat
terdapat beberapa transaksi atau akad yang ada, diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah, akad
Al-Wakalah, dan Al-Kafalah, dsb. Dalam hal ini pemakalah mencoba menjelaskan salah satu
bagian dari mumalat tersebut yaitu akad tentang Wadi’ah (titipan).

1.2  Rumusan Masalah


1.      Apakah definisi Wadi’ah?
2.      Bagaimana dasar hukum Wadi’ah?
3.      Bagaimana rukun Wadi’ah?
4.      Bagaimana pembagian Wadi’ah?
5.      Bagaimana Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah?
6.      Sebab Terputusnya Akad Wadi’ah?
7.      Bagaimana penerapan Wadi’ah dalam Perbankan Syari’ah?
8.      Bagaimana Akad Wadiah pada Era Kontemporer?

1.3 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Mencoba mengedepankan sebuah topik salah satu akad dalam fiqh muamalah yaitu
Wadi’ah (titipan).
2.         Mengetahui tata cara pelaksanaan akad Wadi’ah.
3.         Dapat memahami proses pelaksanaan akad Wadi’ah. Dan,
4.         Tentunya sebagai tugas bagi mahasiswa guna mencari, mempelajari
dan memahami fiqh muamalah khususnya tentang akad wadi’ah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Wadi’ah


Secara etimologi wadi’ah ( ‫ )الودعة‬berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah
memiliki bentuk masdar dari fi’il madi wada’a yang dapat diartikan sebagai meninggalkan
atau meletakan. Yaitu meletakan sesuatu kepada orang lain untuk dijaga dan dipelihara.
Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan. Secara terminologi
wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang
dikemukakan ulama fiqh :
a.       Ulama Hanafiyah :
‫تسليط الغير على حفظ ماله‬
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan ungkapan yang
jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)”
b.      Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :
‫توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص‬
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”
c.       Secara harfiah, wadi’ah ialah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga dan
memelihara harta atau barangnya dengan cara terang-terangan ataupun dengan isyarat yang
semakna dengan itu.
d.      Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud
dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang
mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang. Sedangkan secara
terminologi wadi’ah ialah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga dan
memelihara harta atau barangnya dengan cara terang-terangan ataupun dengan isyarat yang
semakna dengan itu.
Secara lazim titipan adalah murni akad tolong-menolong. Dimana dengan alasan
tertentu pemilik harta memberikan amanah kepada pihak lain untuk menjaga dan memelihara
hartanya. Seseorang yang memiliki harta dan berkeinginan untuk menitipkan hartanya kepada
orang lain bukan untuk dikuasai, namun harta tersebut untuk dipelihara dan dijaga karena ada
suatu hal dan hal lain yang menjadi sebab harta tersebut dititipkan. Tidak ada ketentuan
mengenai alasan kenapa akad wadiah harus dilakukan. Tetapi yang pasti seseorang
mempunyai hak penuh atas harta untuk dititipkan kepada orang lain, bagi orang yang merima
barang yang dititipkan bisa menerima ataupun menolaknya.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadi’ah tidak diisyaratkan
mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari penerimaan titipan. Akan tetapi cukup dengan
menerima barang yang ditirpkan oleh pemilik barang tersebut. Disamping itu, kedua belah
pihak dapat membatalkan akad perjanjian kapan saja. Penerima titipan bisa saja
mengembalikan barang titipan sewaktu-waktu dan pihak yang mentitipkan barang bisa
mengambilnya sewaktu-waktu pula.
Dengan demikian, dalam akad wadi’ah keberadaan orang yang mempunyai harta tidak
memeliki kepentingan apapun dari harta yang dia titipkan , terkecuali semata-mata agar harta
yang dititipkanya dapat terjaga dengan aman dan baik. Demikin juga pada orang yang
ditipkan harta, pada dasarnya tidak boleh menyalahgunakan harta yang ditipkan pemilik
kepadanya.
2.2 Landasan Hukum Wadi’ah
Dalil yang menghadirkan akad ini yaitu Q.S An-Nisa: 58

artinya,
“sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
merimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu
menetapkanya dengan adil. Sungguh, sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.
Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat”
Kemudian pada Q.S Al-Baqarah: 283

......‫هَّلل َ َاو ْل َي َّت ِق أَ َما َن َت ُه ْاؤ ُتم َِن الَّذِي َف ْلي َُؤ ِّد‬.....
artinya “ Dan hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah dia bertaqwalah kepada Allah “
Diperkuat juga dengan hadits Nabi SAW, “ Tunaikanlah amanah kepada orang yang
mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang
mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam
Al Irwaa, 5/381).
Ijma’ para ulama dari zaman dulu sampai sekarang telah menyepakati akad wadi’ah
sangat diperlukan manusia dalam kehidupan muamalah.

2.3 Rukun dan Syarat Akad Wadi’ah

Setiap kegiatan baik dalam rangka ibadah dan muamalam pasti memiliki rukun yang
menyertainya. Berikut ini rukun-rukun akad wadiah menurut jumhur ulama:
1.    Mudi, (orang yang menitipkan barang)
2.    Wadii’ (orang yang dititipi barang)
3.    Wadi’ah ( barang yang dititipkan)
4.    Sighat titipan (ijab-qobul)
Menurut ulama hanafiah rukun wadi’ah hanya ada satu yaitu adanya ijab qobul (sighat),
sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan hambali memiliki tambahan syarat ialah barang
tersebut harus memiliki nilai atau qimah sehingga dapat dipandang sebagai maal.
Syarat-syarat Wadi’ah
1.    Syarat yang terkait penitipan dan penerima titipan (aqidain) harus orang yang termasuk
ithlaq al-tasharruf (bebas melakukan transaksi). Maka dianggap tidak sah akad wadi’ah
apabila yang dilakukan oleh anak kecil, orang tidak waras (gila), dan mahjur alaih bi safih
(orang bodoh yang tidak mengerti mata uang). Persyaratan tersebut diperjelas dengn
penambahan aqil baligh oleh jumhur ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Abu Hanifah boleh bagi anak yang belum baligh
melakukan akad wadi’ah, asalkan mendapatkan izin dari orang tua atau walinya.
2.    Syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek akad wadi’ah harus muhtaramah,
dianggap mulya oleh syara’. Meskipun barang tersebut tidak memiliki nilai jual. Disamping
itu barang yang dititipkan juga harus diketahui indentitasnya dan bisa dikuasai untuk
dipelihara.

2.4 Jenis-jenis Wadi’ah


1.        Wadi’ah yad al-amanah, yaitu titipan yang bersifat amanah belaka. Kedua pihak (penitip dan
yang dititipi) melakukan kesepakatan bahwa barang yang dititipkan tidak digunakan dalam
hal apapun oleh pika yang dititipi. Pihak yang diberi amanah hanya menjaga keberadaan
harta yang dititi tersebut. Dalam kondisi yang seperti ini tidak ada kewajiban bagi orang
yang dititipi untuk menanggung kerugian jika barang titipan rusak, terkecuali ada unsur
kesengajaan atau karena kelalaian.
2.        Wadiah yad al-dhamanah, akad titipan dimana pihak yang dititipi harus menanggung
kerugian. Akad wadi’ah pada dasarnya bersifat amanah. Namun, saja bisa berubah menjadi
dhamanah dengan sebab-sebab berikut ini;
a.         Barang tidak dipelihara dengan baik oleh penerima titipan. Apabila seseorang merusak
barang titipan, dan pihak yang dititipi tahu dan tidak berusaha untuk mencegah hal tersebut
padahal ia mampu, maka pihak yang dititipi wajib menanggung kerugian.
b.         Barang titipan kemudian dititipkan kepada orang lain yang tidak termasuk keluarga deket
dan tidak dibawah tanggung jawabnya.
c.         Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang menerima titipan. Dalam hal ini ulama
fiqh sepakat bahwa orang yang dititpi barang apabila orang tersebut menggunakan barang
titipan, maka orang yang dititpi wajib membayar ganti rugi, sekalipun kerusakan tersebut
disebabkan oleh faktor lain diluar kemampuanya.
d.        Orang yang dititipi barang itu mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya,
sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama sepakat bahwa apabila pihak yang dititipi
barang mencampur barang titipan dengan harta milik pribadinya, semenstara barang titipan
sulit untuk dipisahkan, maka pemilik berhak untuk menuntut ganti rugi barang tersebut.
e.         Penerima barang titipan melanggar syarat-syarat yang telah disepakati. Misalnya, ketika
akad wadi’ah dilaksanakan, kedua belah pihak sepakat bahwa barang yang dititipkan ditaruh
dibrankas. Akan tetapi pihak penerima titipan tidak melakukannya. Maka jika barang titipan
rusak atau hilang pemilik barang berhak menuntut ganti rugi.

Maka, berdasarkan beberapa sebab di atas, wadi’ah yang semula merupakan amanah
berubah menjadi dhamanah. Dimana pihak yang dititipi punya tanggungjawab penuh
terhadap keberadaan harta titipan tersebut. Berawal dari logika seperti inilah akad wadi’ah di
terapkan pada Lembaga Keuangan Syariah

2.5 Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penjagaan barang dapat dilakukan oleh orang
dalam tanggunganya semisal istri, anak, pembantu ataupun orang yang diberi upah untuk
menjaga barang tersebut. Namun barang tersebut tidak diperbolehkan untuk ditipi kepada
keluarga yang baru semisal istri yang baru dinikahi, pembantu atau pegawai yang baru saja
diterima dan menjadi karyawan.
Adapun menurut pendapat ulama Syafi’iyyah tentang penjaggaan barang ialah barang
tersebut harus dijaga sendiri oleh pihak yang diberi amanah, pihak tersebut tidak
diperkenankan untuk meninggalkan barang tersebut kepada siapapun bahkan kepada istri,
anak kecuali ada izin dari pihak penitip.
Seluruh Ulama Madzhab setuju bahwa barang yang dititipkan merupakan sebuah
ibadah sunnah bagi pihak yang dititipi, dan mendapat pahala apabila barang tersebut di jaga
dan dipelihara dengan baik.
2.6 Terputusnya Akad Wadi’ah

Ada beberapa kondisi yang menjadi penyebab terputusnya wadi’ah yaitu;


1.    Pengembalian barang yang dititipi kepada pihak penitip baik diminta oleh penitip ataupun
tidak.
2.    Meninggalnya pihak yang dititipi barang/harta atau penitip barang/harta.
3. Salah satu dari pihak penitip atau penerima dititipan dalam keadaan koma yang
berkepanjangan, menjadi tidak waras (gila), maupun dalam keadaan stress berat dalam
beberapa waktu dan hal ini merusak akad titipan.
4.    Terjadinya ‘hajr’ atau legal restriction yang terjadi pada penitip seperti hilang kompetensi,
dan pada pihak yang dititipi mengalami kebangkrutan atau pailit, maka akad tititpan tersebut
putus.

2.7 Wadiah Dalam Praktek Perbankan Syariah

Wadiah terkait dengan praktek dalam perbankan pada awalnya hanyalah sebuah akad
amanah yang sederhana dikemas sedemikian rupa oleh perbankan dalam rangka
mengakomodasi uang tabungan nasabah yang ada dalam bank. Dengan alasan untuk
menghindari riba akad ini digunakan untuk mengakomodasi nasabah yang berkeinginan
uangnya aman. Bank siap menerima titipan uang.

Mengingat salah satu fungsi perbankan adalah lembaga mediasi permodalan. Tentunya
uang yang ada di dalam bank tidak di diamkan begitu saja, namun juga digunakan dengan
tujuan investasi atau pembiayaan, yang secara otomatis bercampur dengan uang milik bank
yang lain. Karena dengan praktek ini, pihak bank mendapatkan keuntungan, maka bank
dengan sukarela memberikan sebagian keuntungannya kepada nasabah. Titik Inilah yang
disebut munculnya perkembangan dalam akad wadi’ah

Perbankan dapat mempraktekkan akad wadi’ah ini khususnya dalam rangka untuk
melakukan penghimpunan dana masyarakat (funding). Berdasarkan akad wadi’ah ini jenis
produk perbankan yang dapat diaplikasikan diantaranya:

1.    Giro wadi’ah bank. Yang dapat diartikan sebagai bentuk simpanan yang penarikannya
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindahbukuan yang didasarkan pada prinsip titipan. Dalam giro
wadi’ah nasabah tidak mendapatkan keuntungan berupa bunga, melainkan bonus yang
nilainya tidak boleh diperjanjikan di awal akad. Sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro wadi’ah yang dapat
dipraktekkan oleh perbankan syari’ah adalah giro wadi’ah yang memenuhi persyaratan
bersifat titipan, titipan bisa diambil kapan saja (on call), tidak ada imbalan yang diisyaratkan,
kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

Selanjutnya bank syariah memberlakukan giro sebagai titipan wadi’ah yad al-
dlamanah. Dana titipan ini dapat dipergunakan oleh bank sebagai penerimaan titipan selama
dana tersebut mengendap di bank. Tetapi bank punya kewajiban untuk membayarnya setiap
saat jika nasabah mengambil titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan yang dimanfaatkan
oleh bank syariah, nasabah dapat menerima imbal jasa dari pemanfaatan dana yang
mengendap di bank dalam bentuk bonus. Akan tetapi bonus yang akan diterima kan oleh
pihak bank kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan di awal titik pihak nasabah harus
memahami bahwa bonus yang kemungkinan diterima adalah hak penuh pihak bank untuk
memberikannya atau tidak.

2.         Tabungan wadiah yad al-dlomanah, adalah rekening tabungan yang memberlakukan
ketentuan dapat ditarik setiap saat dan bukan tabungan berjangka. Rekening tabungan seperti
ini pada dasarnya hampir sama dengan giro yang dapat ditarik setiap saat. Hal yang
membedakannya hanya pada mekanisme penarikannya saja. Sedangkan kalau dilihat dari
jenis simpanan nya sama dengan giro, maka aturan tentang pemberian bonus atau imbalan
lainnya pun sama dengan rekening giro.
Skema Akad Wadiah al-dlomanah:
 
Kalau dari uang yang diputarkan pada akad wadiah dhamanah dan bank mendapatkan
keuntungan apakah keuntungan itu harus dibagikan? Nah, sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya kalau pada akad wadiah, bank tidak memiliki hak untuk memberikan bonus.
Tetapi, umumnya Bank memberikan keuntungan tersebut sebagai hadiah/bonus untuk
nasabah secara sukarela dan dalam islam hal tersebut diperbolehkan.

Bila dilihat dari skema di atas maka barang/aset yang ditipkan diputar oleh bank pada
suatu usaha yang kemudian dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan yang diperuntukan
khusus untuk bank. Keputusan bank untuk memberikan bonus atau tidak maka itu tergantung
dari kebijakan bank itu
3.         Di samping itu, perbankan juga dapat mempraktekkan wad’iah Yad Al-amanah dengan
jalan pemberian jasa safe deposit box. Dimana nasabah yang membutuhkan jasa ini akan
mendapatkan fasilitas penyimpanan barang berharga mereka dalam bentuk kotak
penyimpanan dengan inisial tertentu, menyimpan dan memegang kunci sendiri. Pihak bank
akan menerima upah titipan yang ditentukan dan secara keseluruhan akan menjaga keamanan
lingkungan dan ruang penyimpanan melalui prosedur administrasi keluar dan masuk ruang
penyimpanan serta pengawasan dari karyawan yang ditunjuk.
Skema Akad Wadiah Al-amanah:
 

 
Dari skema tersebut, akad wadiah amanah tergambar pada proses yang lebih sederhana.
Yaitu pihak penitip akan memberikan barang untuk dititipkan. Namun, sebagai jasa atas
penyimpanan maka penitip memberikan bayaran. Ini biasanya terjadi di Bank Syariah pada
produk save deposit box.

 
2.8 Akad Wadiah pada Era Kontemporer
Pada era kontemporer saat ini, akad wadiah tidak hanya diterapkan pada produk bank
yang sifatnya tabungan tetapi juga terhadap produk yang lain yang memudahkan seseorang
untuk bertransaksi. Apakah produk tersebut? Produk tersebut adalah e-money. Secara
sederhana, e-money adalah sistem uang elektronik yang mengkonversi uang kertas yang
dimiliki masuk ke dalam sistem e-money yang berbentuk kartu. Siapa yang tidak tahu tentang
kartu multifungsi ini.
Kartu yang sudah lazim di kebanyakan orang terutama bagi mereka yang tidak terbiasa
membawa uang tunai terlalu banyak. Mereka akan mengkonversi uang mereka ke dalam
kartu e-money. Terlebih buat mereka yang berkendara menggunakan transportasi umum
seperti kereta yang tentunya akan lebih efisien ketika menggunakan e-money. Namun,
apakah kartu e-money itu diperbolehkan?
Terlepas dari pro-kontra yang ada terkait penggunaan kartu e-money, Ustadz Oni
Sahroni dalam bukunya Fikih Muamalah Kontemporer: Membahas Ekonomi Kekinian
menjelaskan bahwa kartu e-money secara syariah diperbolehkan. Hal ini juga mengacu pada
fatwa DSN No.116/DSN-MUI/IX/2017 tentang uang elektronik syariah karena dilihat dari
maslahat yang hadir dengan adanya kartu e-money.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan
benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib
menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan
menggantinya.
Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-
kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan
hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai
proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan
menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain
(hutang-piutang) . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad
wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan
bukan wadi’ah.
3.2 Saran
Dengan segala keterbatasan ilmu dan sumber-sumber yang kami pelajari, kami dari tim
penyusun mengakui banyaknya kekurangan dan ketidak sempurnaan kami dalam penyusunan
makalah ini. Karenanya, kami mohon maaf dengan kerendahan hati senantiasa kami harapkan
kritik dan saran dari para rekan mahasiswa, dosen dan para ustadz guna menunjang
perkembangan pembuatan makalah kami ke depan, selanjutnya semua kami serahkan kepada
Allah SWT selaku pemilik ilmu ini dan Dia-lah dzat yang Maha Benar lagi Maha Sempurna.
Semoga tugas makalah ini dicatat sebagai amal baik kami oleh Allah Swt. Sebagai amal
shalih dan bermanfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Yazid. 2009. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah. Yogyakarta: Logung Pustaka
Herdianto, Dendy. 2019. Akad Wadiah dalam Ekonomi Islam : Pengertian, Dalil, Rukun dan
Contoh. Diakses dari https://qazwa.id/blog/akad-wadiah/ pada 23 Maret 2020.
Setyaningsih, Sulis. 2018. Pengertian Muamalah, Beserta Prinsip dan Penerapannya dalam
Berbisnis. Diakses dari https://www.wajibbaca.com/2018/05/muamalah-adalah.html pada 23
Maret 2020.
.2016. Pengertian, Macam dan Aplikasi Wadiah dalam perbankan. Diakses dari
http://seruansantri.blogspot.com/2016/11/makalah-wadiah-pengertian-macam-dan.html pada
21 maret 2020

Anda mungkin juga menyukai