Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jembatan rangka baja merupakan tipe jembatan standar yang banyak dijumpai di
wilayah Indonesia. Jembatan rangka baja terdiri dari susunan batang-batang (truss)
lurus yang dihubungkan dengan pelat buhul dan baut mutu tinggi sehingga membentuk
rangka segitiga. Susunan batang truss tersebut akan mengakomodasi gaya-gaya dalam
akibat beban luar yang bekerja. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR), Dirjen Bina Marga menerbitkan standar rangka baja untuk mengurangi
kesalahan yang timbul pada pelaksanaan konstruksi yaitu dengan bentang 40 m, 45 m,
50 m, 55 m, dan 60 m pada klasifikasi lebar jalan kelas A dan B.

Gambar 1. 1 Jembatan rangka baja


Pada Laporan Studi Kasus ini, akan dibahas mengenai 2 jembatan rangka baja dengan
bentang 100 m kelas A yaitu Jembatan Wai Kaka dan Jembatan Battang Barat.
Jembatan tersebut telah didesain sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Menteri PUPR No. 41/2015, jembatan dengan bentang paling
sedikit 100 m memerlukan penanganan khusus dan wajib mendapatkan persetujuan laik
fungsi dari Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan (KKJTJ). Dalam praktik
uji beban statis pada kedua jembatan tersebut, didapati hasil lendutan pada tengah
bentang dengan skema beban 70% dari beban hidup (LL) desain tidak menunjukkan
pengembalian lendutan (terdapat residu). Pada Jembatan Wai Kaka, pengukuran
lendutan menunjukkan residu sebesar 5,5 mm (11%). Sedangkan pada Jembatan
Battang Barat juga dijumpai hasil serupa yaitu dengan lendutan residu sebesar 13 mm
(25%). Batas ijin dari residu lendutan yang ditetapkan oleh KKJTJ adalah ≤ 10% dari
lendutan maksimum, sehingga dapat disimpulkan kedua jembatan tersebut tidak
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Kasus tersebut menunjukkan bahwa terjadi kegagalan pada mekanisme slip-kritis yang
bekerja pada sambungan geser selama proses uji beban berlangsung. Hal tersebut
dibuktikan dengan hasil pemeriksaan visual yang dilakukan setelah rangkaian proses uji
beban selesai.
Menurut Dewobroto, sambungan slip-kritis adalah sambungan yang direncanakan tidak
mengalami slip. Sistem itu diperlukan unruk mengatasi terjadinya beban bolak-balik,
yang umumnya ada pada jembatan. terdapat dua mekanisme ygakan terjadi, yaitu slip
kemudian tumpu. Pada struktur jembatan, berlaku gaya fatik yang mengharuskan desain
sambungan baut menggunakan mekanisme slip-kritis. Sambungan baut mutu tinggi tipe
geser baik dengan mekanisme slip-kritis maupun tumpu, perbedaannya tidak bisa
terlihat secara visual. Perbedaan kedua mekanisme tersebut akan terlihat setelah
diberikan pembebanan.

Tulisan ini akan membahas mengapa kegagalan dari mekanisme slip-kritis bisa terjadi
dan menjelaskan bagaimana usulan perkuatan yang harus dilakukan untuk
mengeliminasi resiko besar yang mungkin terjadi selama masa layan struktur.

1.2 Rumusan Masalah


Apa faktor penyebab kegagalan mekanisme slip-kritis ?
Mengapa kegagalan mekanisme slip-kritis dapat terjadi pada Jembatan Waikaka dan
Battang Barat dan faktor apa penyebabnya ?
Bagaimana bentuk perkuatan yang perlu dilakukan untuk mengeliminasi resiko besar
yang memungkinkan timbul ?

1.3 Tujuan Penulisan


Menjelaskan berbagai faktor kegagalan mekanisme slip-kritis secara umum.
Menganalisa hasil uji beban berdasarkan kondisi aktual jembatan.
Menguraikan faktor penyebab kegagalan mekanisme slip-kritis pada kedua jembatan.
Memberikan usulan perkuatan yang perlu dilakukan.

1.4 Batasan Masalah

1.5 Manfaat Penulisan


BAB II
LANDASAN TEORI

BAB III
METODOLOGI

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai