Anda di halaman 1dari 16

INSTRUMEN EKONOMI DAN

PENERAPAN DALAM SYARIAT ISLAM

Disusun oleh:
Nama : Muhammad Syahrul Ramadhan
NIM : 215040207111204
Kelas : J
Dosen Pengampu : Siti Rohmah M.HI
Kelompok : 10

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
INSTRUMEN EKONOMI DAN PENERAPAN DALAM SYARIAT ISLAM

Muhammad Syahrul Ramadhan

Prodi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Jl. Veteran, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145

Email: msramadhan@student.ub.ac.id

ABSTRAK

Ajaran islam yang kita anut ini bersifat universal, artinya seluruh aspek kehidupan telah
diatur dalam islam, mulai dari politik, sosial,hingga aktivitas-aktivitas yang manusia lakukan
secara rutin setiap hari. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa lepas dari hubungan antar
sesamanya. Manusia pasti akan membutuhkan satu sama lain untuk melengkapi
kebutuhannya. Hubungan manusia dengan sesama manusia ini salah satunya adalah
kegiatan ekonomi. Dalam melakukan kegiatan perekonomian sudah seharusnya berkiblat
pada syariat islam, Sebab perekonomian sudah dibahas dalam al-qur’an untuk menuntun
manusia. Artikel ini membahas tentang instrumen-instrumen ekonomi yang meliputi
penjelasan, syarat sah, dan dasar hukum menurut syariat islam. Perekonomian Islam adalah
kegiatan ekonomi dengan mengamalkan nilai-nilai syariat islam. Sehingga diharapkan
masyarakat dapat mendapat ilmu ekonomi dari perspektif islam dan menjalankan
perekonomian dengan lebih baik sesuai syariat islam.

PENDAHULUAN

Islam adalah rahmat bagi seluruh alam sebab eksistensi Agama Islam di dunia ini
sejatinya bukan semata-mata hanya untuk umat muslim saja melainkan seluruh makhluk
yang berada di muka bumi, baik manusia maupun hewan dan tumbuhan. Islam datang untuk
menangani seluruh masalah Akidah dan Syariah, yaitu permasalahan manusia dalam
berbagai aspek material dan spiritual. Artinya agama Islam tidak hanya berupa akidah
melainkan juga mencakup sosial, budaya, ras, politik, dan ekonomi untuk seluruh manusia.
Sehingga ajaran Islam tentang perekonomian dapat diterapkan sebagai kiblat atau panduan
manusia dalam melakukan berbagai kegiatan ekonomi. Sebab dalam ekonomi islam mampu
mencakup fenomena-fenomena ekonomi di masyarakat tanpa melanggar kaidah dan
sumber hukum islam.

Syariat Islam dalam perekonomian menarik untuk dibaahas, karena ekonomi


merupakan kegiatan penting dalam mengelola dan menyalurkan sumber daya kepada
individua tau kelompok lain. Didalam ekonomi Islam terdapat macam-macam instrumen
ekonomi dalam syariat Islam, meliput: Jual Beli, Khiyar, Larangan Riba, Utang Piutang, Sewa
Menyewa, Qiradh, Musaqah,serta Syirkah atau Kerjasama ekonomi.

Setiap Masyarakat memiliki pengertian ekonomi yang bebeda-beda tergantung sudut


pandang, aqidah, penilain terhadap harta, tingkat sosial, referensi, persepsi agama setiap
individu manusia sehingga mempengaruhi cara produksi, pemakaian, distibusi dan
penyimpanan, berdasarkan hal tersebut lahirlah sistem perekonomian. Perekonomian
konvensional muncul didasarkan oleh filsafat atau buah pemikiran seseorang yang
menempatkan ilmu pengetahuan sebagai sumber satu-satunya. Berbeda dengan
perekonomian konvensional, perekonomian islam selain bersumber dari ilmu pengetahuan
juga berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunah atau hadis nabi. Ekonomi Islam merupakan
opsi dasar dan metode dari ilmu ekonomi yang relevan dengan nilai-nilai logika dan etika
yang islami. Berikut adalah nilai-nilai instrumen ekonomi Islam:

PEMBAHASAN

A. Jual Beli
Jual beli adalah proses yang dilakukan minimal dua orang dalam tukar menukar antar
benda atau antara benda dengan uang ataupun benda dengan sesuatu yang bernilai sama,
dengan dilakukan secara sadar dan telah melalui suatu kesepakatan antar semua pihak yang
terlibat. Selain itu beberapa ulama juga berpendapat mengenai pengertian jual beli. Dalam
kitabnya Al-Majmu’, Imam Nawawi mengatakan bahwa “jual beli adalah pertukaran harta
dengan harta untuk kepemilikan. Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah mengatakan bahwa
“jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk saling memiliki”. Serta menurut
Sulaiman Rasjid, “jual beli adalah meenukar suatu barang dengan barang yang lain dengan
cara tertentu (akad)”.
Dalam ekonomi islam kegiatan jual beli memiliki dasar hukum yang berlandaskan dari
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an. Sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-baqarah: 275:
‫س ٰذلِكَ بِاَنَّ ُه ْم قَالُ ْْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬ ِّۗ ِ ‫شي ْٰطنُ ِمنَ ْال َم‬ ْ ‫الر ٰبوا ََل يَقُ ْو ُم ْونَ ا ََِّل َك َما يَقُ ْو ُم الَّذ‬
ُ َّ‫ِي يَتَ َخب‬
َّ ‫طهُ ال‬ ِ َ‫اَلَّ ِذيْنَ يَأ ْ ُكلُ ْون‬
‫عا َد‬ ِ ‫ف َواَ ْم ُر ٗ ْٓه اِلَى ه‬
َ ‫ّٰللا ِّۗ َو َم ْن‬ َ ‫ظةٌ ِم ْن َّربِ ٖه فَا ْنتَهٰ ى فَلَهٗ َما‬
َ ِّۗ َ‫سل‬ َ ‫وا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َم ْو ِع‬ ِّۗ ‫الر ٰب‬
ِ ‫ّٰللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
‫وا َواَ َح َّل ه‬ ۘ ‫الر ٰب‬ِ
ۤ ٰ ُ ‫فَا‬
َ‫ار ۚ ُه ْم فِ ْي َها ٰخ ِلد ُْون‬
ِ َّ‫ب الن‬ ُ ٰ‫صح‬ ْ َ‫ولىِٕكَ ا‬

Yang artinya adalah “Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat
berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu
terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya
peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah
diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang
mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (Q.S.
Al-Baqarah: 275)
Selain itu, dasar hukum tentang jual beli juga terdapat dalam sunah nabi Muhammad
SAW yang berbunyi “Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasannya Nabi saw. ditanya “Apa mata
pencaharian yang paling baik?” Beliau berkata “Seorang bekerja dengan tangannya dan
setiap jual beli yang mabrur.” (HR. al-Bazzar dan disahihkan oleh al Hakim)
Dalam hadis tersebut disebutkan kata mabrur yang memiliki maksud jual beli tanpa ada
unsur curang atau tipu menipu sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain.
B. Khiyar
Pengertian khiyar adalah suatu hak untuk memilih antara dua, melanjutkan atau
mengurungkan transaksi yang dimiliki oleh pihak-pihak dalam proses jual beli. Khiyar
sangat penting untuk dilakukan, sebab hal tersebut bertujuan agar setiap pihak yang
bertransaksi jual beli dapat memperoleh keuntungan atau kemaslahatan masing-masing
sehingga tidak ada yang merasa tercurangi atau menyesal di kemudian hari. Disyariatkan
dalam perekonomian islam, khiyar hukumnya mubah. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah saw.
“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah,
kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh
meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
Secara tidak langsung khiyar dapat menuntun masyarakat untuk teliti dan berhati-hati
dalam melakukan transaksi jual-beli, sehingga pihak pembeli memperoleh barang yang
sesuai denga apa yang diinginkan, begitu pula dengan pedagang akan mendapat uang atau
imbalan yang setimpal sesuai nilai dan kualitas barang yang dijual.
Khiyar memiliki berbagai macam yang terdiri dari Khiyar majlis, khiyar syarat, dan
khiyar ‘aibi.
1. Khiyar majlis, sesuai namanya khiyar ini terjadi selama pihak penjual dan pembeli masih
berada di tempat jual beli. Sehingga jika salah satu pihak sudah tidak ada atau telah
meniggalkan tempat tersebut, hak untuk khiyar sudah hilang.
2. Khiyar majlis digunakan diberbagai macam jual beli,contohnya yang saat ini sering
ditemui ditoko-toko atau supermarket yang tidak menerima penukaran atau
pengembalian jika sudah keluar dari toko tersebut. Selanjutnya adalah Khiyar syarat,
yaitu memilih, menukar atau membatalkan jual beli dengan mempertimbangkan hal
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hal yang disepakati bisa dalam berbagai
aspek, seperti jangka waktu namun untuk beberapa barang yang dikhawatirkan basi
atau melewati masa kadaluarsa maka cenderung memiliki masa khiyar syarat yang
singkat.
3. Terakhir adalah Khiyar ‘aibi (cacat) yaitu hak memilih melakukan atau membatalkan
jual beli jika terdapat suatu kerusakan atau cacat pada barang dagangan yang tidak
diketahui oleh pihak pembeli pada saat melakukan akad jual beli. Jadi pembeli
diperbolehkan mengembalikan atau menukarkan barang yang cacat tersebut kepada
penjual, dan penjual harus menerima barang tersebut serta menggantinya dengan
barang yang sama dengan kondisi baik atau mengganti dengan barang lain yang
memiliki nilai yang sama. Selain itu penjual juga bisa mengembalikan uang pembelian
barang tersebut. Tentu saja keputusan-keputusan tersebut harus disepakati oleh kedua
belah pihak. Namun penjual juga dapat tidak menerima barang cacad tersebut dari
pembeli, dengan catatan pihak penjual sudah menjelaskan sebelumnya tentang cacat
atau kekurangan barang kepada pembeli. Hukum menjual barang yang memiliki
kerkurang, cacat, atau kerusakan tanpa memberikan suatu peringatan atau penjelasan
kepada konsumen adalah haram.
C. Larangan Riba
Secara Bahasa riba artinya bertambah, tumbuh, naik, dan tinggi. Adapun riba menurut
istilah istilah adalah suatu bentuk melebihkan keuntungan atau tambahan pembayaran
dalam transaksi jual beli tanpa ada ganti atau suatu imbalan terhadap melebihkan itu, atau
menambah jumlah yang harus dibayar oleh pihak yang berhutang untuk melunasi sehingga
melebihi jumlah pinjamannya. Menurut salah satu pengarang tafsir fi dzilalil al-qur’an yang
bernama Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan “riba adalah penambahan-penambahan
yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya
atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.” 1
Dasar hukum terkait pengharaman riba dapat ditemukan dalam firman Allah Swt.
tercantum disurah al-baqarah ayat 275:
ِّۗ ِ ‫شي ْٰطنُ ِمنَ ْال َم‬
‫س ٰذلِكَ بِاَنَّ ُه ْم قَالُ ْْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬ ِ َ‫اَلَّ ِذيْنَ يَأ ْ ُكلُ ْون‬
ْ ‫الر ٰبوا ََل يَقُ ْو ُم ْونَ ا ََِّل َك َما يَقُ ْو ُم الَّذ‬
ُ َّ‫ِي يَتَ َخب‬
َّ ‫طهُ ال‬
٢٧٥ . . . ‫وا‬ ِّۗ ‫الر ٰب‬
ِ ‫ّٰللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
‫وا َواَ َح َّل ه‬ ۘ ‫الر ٰب‬
ِ
“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali
seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena
mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
Pada umumnya para ulama fikih membagi riba menjadi empat macam bagian, yaitu
sebagai berikut.
1. Riba fadhl, yaitu kegiatan tukar-menukar atau jual-beli antar dua barang yang
memiliki jenis yang sama, namun disertai tambahan baik berupa uang atau hal
lainnya seta tidak diisyaratkan oleh orang yang menukarnya. Atau jual beli yang
mengandung riba antar dua barang yang sejenis namun tidak sama ukurannya
sehingga tidak sesuai dengan apa yang diisyaratkan. Hal ini juga tersambung dengan
hadis Rasulullah saw. yang memiliki arti sebagai berikut:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum putih dengan gandum putih,
gandum merah dengan gandum merah, kurma dengan kurma, (dalam memperjual-
belikannya), harus dengan ukuran yang sama, dan diterima secara langsung” (HR
Ahmad dan Muslim)
2. Riba nasi’ah adalah tukar-menukar antar jual-beli antar dua barang sejenis atau tidak
sejenis dengan penambahan pembayaran oleh pihak pemberi dari pihak kepada
pihak penerima sebagai imbalan atas pembayaran yang waktunya telah dilambatkan.
Allah Swt. telah melarang hal tersebut sebagaimana dengan firmannya pada al-qur’an
surah al-baqarah ayat 280.
٢٨٠ َ‫ص َّدقُ ْوا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تَ ْعلَ ُم ْون‬ َ ‫عس َْرةٍ فَن َِظ َرة ٌ ا ِٰلى َم ْي‬
َ َ‫س َرةٍ ِّۗ َواَ ْن ت‬ ُ ‫َوا ِْن َكانَ ُذ ْو‬
“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai
dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu lebih baik
bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).” (Q.S Al-Baqarah: 280).

1
Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, h. 57-58
Dalam ayat tersebut, dapat disimpulkan jika orang yang berhutang kesulitan
dalam membayar hutang hendaklah pihak yang memberi pinjaman bersabar dan
memberi tenggang waktu. Sedangkan jika pihak yang berhutang telah memiliki dan
dalam keadaan cukup maka wajib segera melunasi hutangnya tersebut, dan tidak
perlu menambahkan nilai dari tanggungan yang telah dipinjamnya meskipun pihak
yang berutang telah memiliki uang. Bahkan dalam firman Allah tersebut disebutkan
bahwa jika membebaskan hutang dan mengikhlaskannya maka Allah menggantinya
dengan rezeki yang melimpah dan pahala bersedekah, terlebih lagi jika orang yang
berhutang sedang mengalami kesulitan.
3. Riba qardi, yaitu kegiatan meminjamkan barang atau uang dengan meminta imbalan
atau keuntungan atau tambahan kepada pihak yang dipinjami. Contoh kasus ini
misalnya Sultan meminjamkan uang kepada ahmad Rp100.000,00 dengan syarat
ahmad harus melunasi hutang dengan tambahan Rp5000,00. Sehingga ahmad harus
melunasi hutangnya kepada Sultan sebesar Rp 105.000,00. Dari kasus tersebut,
meminta tambahan Rp5000,00 tersebut adalah perbuatan riba yang hukumnya
haram.
4. Riba Yad, yaitu salah satu pihak jual-beli pergi dari tempat akad jual-beli sebelum
terjadi kesepakatan atau transaksi yang tidak mencantumkan nilai atau harga barang.
Contoh riba yad, missal penjual menawarkan sepeda motor dengan harga 65 juta
secara cash atau tunai namun jika secara kredit atau cicilan harganya menjadi 71 juta.
Kemudian ada seorang membeli motor tersebut, akan tetapi sampai akad terjadi
tidak ada kesepakatan terkait harga motor tersebut.
D. Utang-piutang
Utang piutang merupakan perjanjian atau kesepakatan untuk meminjam atau
meminjamkan sesuatu yang dilakukan antar perorangan atau kelompok atau antara
perorangan dengan kelompok dengan syarat akan mengembalikannya dalam jangka waktu
yang sudah disepakati. Hutang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu uang
yang dipinjamkan dari orang lain.1 Sedangkan piutang mempunyai arti uang yang
dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).2
Hukum hutang-piutang dalam ekonomi islam yakni diperbolehkan. Sesuai dengan
firman Allah Swt.
ُ ُۖ ‫ْص‬
٢٤٥ َ‫ط َواِلَ ْي ِه ت ُ ْر َجعُ ْون‬ ُ ِ‫ّٰللاُ يَ ْقب‬
ُ ‫ض َويَب‬ ْ َ‫سنًا فَيُضٰ ِعفَهٗ لَهٗ ْٓ ا‬
‫ضعَافًا َكثِي َْرة ً َِّۗو ه‬ ً ‫ّٰللا قَ ْر‬
َ ‫ضا َح‬ َ‫ض ه‬ ْ ‫َم ْن َذا الَّذ‬
ُ ‫ِي يُ ْق ِر‬

2
Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,2003), h.1136
“Siapakah yang mau memberi Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat. Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Al-Baqarah:
245)
Dalam firman Allah Swt. Tersebut, dapat disimpulkan bahwa barang siapa yang
memberikan pinjaman kepada sesama, maka Allah akan melipatgandakan rezeki hingga
berkali-kali lipat. Selain itu dasa hukum utang piutang juga terdapat pada sabda rasulullah
“Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali kecuali
seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya dua kali” (HR. Ibnu Majah)
Dalam Ekonomi Islam, utang-piutang adalah kegiatan ekonomi yang memiliki nilai
tolong menolong atau disebut juga dengan ta’awun. Sehingga memberikan pinjaman kepada
sesama dapat dikatakan sebagai ibadah yang senilai dengan bersedekah. Utang-piutang juga
memiliki nilai sosial yang tinggi sebab berguna membantu sesama yang tidak mampu atau
sedang mengalami kesulitan dalam perekonomian.
Utang-piutang memiliki beberapa adab yang harus dicapai agar utang-piutang tersebut
barokah dan membawa manfaat bagi kedua pihak. Yaitu:
1. Kegiatan dan proses utang piutang harus memiliki saksi atau ditulis. Hal ini
bertujuan agar suatu utang piutang terlaksan secara jelas, jujur, dan transparan.
Adab ini juga sesuai dengan firman Allah Swt:
ْٓ
َ ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْْٓوا اِ َذا تَ َدا َي ْنت ُ ْم ِب َدي ٍْن ا ِٰلى اَ َج ٍل ُّم‬
. ‫س ًّمى فَا ْكتُب ُْو ِّۗهُ َو ْل َي ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم َكات ٌِۢبٌ ِب ْال َع ْد ُۖ ِل‬
٢٨٢ . .
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di
antara kamu menuliskannya dengan benar. . . .” (Q.S. Al-baqarah: 282)
2. Diharamkan mengambil keuntungan dari meminjamkan barang atau uang. Karena
mengambil keuntungan dari hal tersebut termasuk riba.
3. Hutang dengan niat baik serta berniat akan melunasi utang tersebut. Sebab
dijelaskan Abu Hurairah ra., bahwa nabi Muhammad saw. Bersabda: “Barangsiapa
yang mengambil harta orang lain dengan tujuan untuk mengembalikannya, makai
Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk
menghabiskannya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya.” (HR.
Bukhari)
4. Berhutang hanya jika dalam keadaan terpaksa atau terdesak.
5. Utang-piutang tidak diperbolehkan disertai dengan transaksi jual-beli
6. Bersegera melunasi hutang jika sudah memiliki dan dalam keadaan cukup. Karena
jika seseorang memperlambat dalam melunasi hutangnya padahal sedang dalam
keadaan baik atau cukup maka hal tersebut merupakan zhalim.
7. Melunasi utang dengan cara yang baik
8. Komunikasi kepada pemberi utang bila ingin terlambat melunasi hutang, dengan
catatan dalam keadaan terdesak atau mengalami masalah perekonomian. Serta
tidak boleh dengan unsur pemaksaan atau bahkan ancaman karena hal tersebut
bergantung kepada keputusan pemberi utang itu sendiri
9. Dan yang terakhir adalah pihak pemberi utang diperbolehkan memberi bantuan
baik berupa penangguhan atau membebaskan utang pihak piutang jika mengalami
kesulitan melunasi. Seperti dalam firman Allah Swt.:
٢٨٠ َ‫ص َّدقُ ْوا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تَ ْعلَ ُم ْون‬ َ ‫عس َْرةٍ فَنَظِ َرة ٌ ا ِٰلى َم ْي‬
َ َ ‫س َرةٍ ِّۗ َوا َ ْن ت‬ ُ ‫َوا ِْن َكانَ ذُ ْو‬
“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai
dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu lebih baik
bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).” (Q.S. albaqarah: 280)
Utang merupakan pedang bermata dua yang artinya dapat membantu sekaligus bahaya
bagi seorang yang melakukannya. Sebab dapat menimbulkan sikap-sikap yang merugikan,
baik bagi diri sendiri dan juga orang lain. Meskipun Islam mengizinkan untuk berhutang.
Namun dengan syarat-syarat yang sepatutnya dipenuhi, seperti berhutang hanya jika dalam
keadaan terdesak. Kebiasaan berhutang meski dalam keadaan tidak terdesak akan
menimbulkan dampak yang buruk. Antara lain:
1. Merusak akhlak, karena kebiasaan berhutang bukanlah perbuatan yang baik dan
cenderung menyebabkan seorang bersifat pembohong dan selalu ingkar janji. Nabi
Muhammad Saw bersabda “sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia
sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas mengingkari.” (HR. al-Bukhari)
2. Dapat menjadi penghambat masuk Surga. Hutang adalah beban yang ditanggung
pihak piutang bahkan sampai meninggal, hutang masih mengikat sampai hutang
dapat dilunasinya. Dari Tsauban, Nabi Muhammad saw. Bersabda: “Barang siapa
yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya
ia akan masuk surga, yaitu: bebas dari sombong, bebas dari khianat, dan bebas dari
tanggungan hutag”
3. Penghapus pahala, karena bila seseorang meninggal dengan keadaan masih
menangung hutang maka pahala kebaikannya akan dikonversikan untuk melunasi
hutang-hutangnya.
4. Penyebab Stress. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kebiasaan berhutang dapat
membebani pikiran. Terlebih lagi jika hutang semakin menumpuk dan tidak
sanggup untuk melunasinya.
E. Sewa-menyewa

Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu atau berarti ganti.Dalam
Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan
jalan penggantian sejumlah uang.3 Jadi dari pengertian diatas Sewa-menyewa adalah
pengangambilan manfaat atau hak guna suatu benda atau jasa dari seseorang sesuai
kesepakatan kedua belah pihak dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini benda tersebut
dapat berupa apa saja seperti rumah, kendaraan atau dapat juga berupa jasa dari orang
tersebut.
Sewa-menyewa juga termasuk kegiatan tolong-menolong antar sesama, sebab dapat
meringankan salah-satu atau bahkan saling meringankan semua pihak. Dalam firman Allah
Swt. Yang merupakan dasar hukum ekonomi islam juga searah dengan pernyataan tersebut.
Yakni dalam surah Al-Baqarah ayat 233:
‫ّٰللا َوا ْعلَ ُم ْْٓوا اَ َّن‬ ِ ِّۗ ‫سلَّ ْمت ُ ْم َّما ْٓ ٰاتَ ْيت ُ ْم بِ ْال َم ْع ُر ْو‬
َ ‫ف َواتَّقُوا ه‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم اِ َذا‬ ِ ‫ َوا ِْن اَ َر ْدت ُّ ْم اَ ْن تَ ْست َْر‬. . .
َ ‫ضعُ ْْٓوا اَ ْو ََل َد ُك ْم فَ ََل ُجنَا َح‬
٢٣٣ ‫صي ٌْر‬ ِ َ‫ّٰللا بِ َما تَ ْع َملُ ْونَ ب‬
َ‫ه‬
“Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu
jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-
Baqarah: 233)
Selain itu, juga terdapat dalam surah At-Talaq ayat 6:
٦ . . . ٍۚ‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَ ٰات ُ ْوه َُّن ا ُ ُج ْو َره ۚ َُّن َوأْت َِم ُر ْوا بَ ْينَ ُك ْم بِ َم ْع ُر ْوف‬
َ ‫ فَا ِْن اَ ْر‬. . .
“. . . kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya
kepada mereka, . . . ” (Q.S. At-talaq: 6).
Sewa-menyewa jika dilihat dari segi objeknya dapat dibedakan manjadi dua macam
yaitu ijirah barang dan ijirah jasa. Sewa menyewa barang misalnya menyewa tanah untuk
digunakan sebagai laha pertanian, mobil, pakaian, dan perhiasan. Sedangkan sewa menyewa
jasa, misalnya menyewa atau menyuruh atau mempekerjakan seseorang untuk melakukan
seuatu pekerjaan seperti buruh bangunan, guru, baruh tani dan lain-lain.
F. Qiradh

3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13, terj. Kamaludin A. dan Marzuki (Bandung: PT al Ma’arif,
2007), h. 15
Qiradh adalah perjanjian atau kontrak atau kesepakatan antara pemilik dengan pihak
perorangan maupun kelompok untuk memperdagangkan hartanya, yang dimana
keuntungan yang diperoleh akan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian yang
sudah dibuat sebelumnya. Allah Swt berfirman:
٢٨٣ . . . ٗ‫ّٰللا َربَّه‬
َ‫ق ه‬ ِ َّ ‫ضا فَ ْلي َُؤ ِد الَّذِى اؤْ ت ُ ِمنَ اَ َمانَتَهٗ َو ْليَت‬
ً ‫ض ُك ْم بَ ْع‬
ُ ‫ فَا ِْن اَ ِمنَ بَ ْع‬. . .
“ . . . Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. . . ” (Q.S Albaqarah: 283)

َ ُ‫اض ِم ْن ُك ْم ِّۗ َو ََل تَ ْقتُلُ ْْٓوا اَ ْنف‬


ِّۗ ‫س ُك ْم‬ ٍ ‫ع ْن ت ََر‬ َ ‫َِل اَ ْن تَ ُك ْونَ تِ َج‬
َ ً ‫ارة‬ ِ َ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل تَأ ْ ُكلُ ْْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
ْٓ َّ ‫اط ِل ا‬
٢٩ ‫ّٰللا َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬
َ ‫ا َِّن ه‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan
cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara
kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (Q.S An-Nisa’: 29)
Dalam hukum perekonomian Islam, Qiradh memiliki beberapa syarat agar kerja sama
tersebut sah. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Harta atau modal yang diserahkan berbentuk tunai atau legal dan nilai
substansinya jelas. Apabila modal yang diberikan berbentuk emas, perhiasan,
binatang, dan barang lainnya, maka tidak absah qiradh
2. Pihak penerima maupun pemberi diisyaratkan berakal dan mampu mengelola
harta. Qiradh yang dilakukan oleh anak-anak, orang gila, maka qirdh dianggap
tidak absah
3. Modal yang dipinjamkan merupakan harta pribadi dan dibawah penguasaanya,
bukan harta yang akan dimiliki atau bahkan pinjaman dari orang lain.
4. Pembagian keuntungan antara pemilik barang atau modal dengan penerima atau
pengelola harus jelas. Misalnya sepertiga, seperempat, sepuluh persen, atau
limabelas persen.
5. Telah mengucapkan Ijab dan Kabul.
G. Musaqah

Musaqah adalah kerja sama yang dilakukan oleh pemilik yang memberikan lahan atau
tanaman kepada orang lain agar dipelihara sehingga hasil menjadi maksimal, dan hasi
keuntungan dari tanaman tersebut akan dibagi sesuai akad yang telah disepakati. Menurut
Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan tanaman dalam muamalah ini adalah tanaman tua,
atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya. Perawatan disini
mencakup mengairi (inilah arti sebenarnya musaqah) menyiangi, merawat dan usaha lain
yang berkenaan dengan buahnya.4
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara‟ah dimana pihak penerima
hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penerima
berhak atas keuntungan dari hasil panen.5
Dasar hukum musaqah yang berumber dari Al-qur’an adalah surah al-maidah ayat 2 dan
surah al- Baqarah 282. Sebagai berikut:
ْٓ
َ ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْْٓوا اِ َذا تَ َدايَ ْنت ُ ْم ِب َدي ٍْن ا ِٰلى اَ َج ٍل ُّم‬
٢٨٢ . . .‫س ًّمى فَا ْكتُب ُْو ِّۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم كَات ٌِۢبٌ ِب ْال َع ْد ُۖ ِل‬
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu
menuliskannya dengan benar.” (Q.S. Al-baqarah: 282)
Pada ayat ini Allah Swt. Memerintahkan hambanya, dalam melakukan kegiatan
kerjasama hendaklah dilakukan tidak hanya secara lisan, melainkan juga melakukannya
secara tertulis untuk meminimalisir hal-hal yang merugikan.6

ِ ‫علَى ْاَلِثْ ِم َو ْالعُد َْو‬


٢ . . . ُۖ ‫ان‬ َ ‫علَى ْال ِب ِر َوالت َّ ْق ٰو ُۖى َو ََل تَ َع َاونُ ْوا‬
َ ‫وتَ َع َاونُ ْوا‬.
َ ..
“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (Q.S. Al-Ma’idah: 2)
Dasar hukum Musaqah juga terdapat pada hadis nabi Muhammad saw. yang terdapat
dalam Riwayat Imam Muslim kepada dari Ibnu Amr ra. “Bahwa Rasuluallah saw. memberikan
tanah Khaibar dengan separuh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian
(tanaman)”.

Adapun Syarat-syarat musaqah sebagai berikut:


1. Dalam musaqah menyampaikan akad dilakukan sebelum membuat perjanjian,
sebab musaqah adalah akad pekerjaan.
2. Lahan dan tanaman yang dipelihara hendaknya diinformasikan dengan jelas.
Seperti luas lahan, jenis tanaman, dan lain sebagainya.
3. Pejanjian terkait waktu pemeliharaan hendaknya jelas tahunan, bulanan, sekali
panen dan sebagainya

4
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 243.
5
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 100.
6
Mesi Mejita Sari, Analisis Kerjasama Musaqah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat, 2017, hlm 24
4. Pembagian lahan yang dipelahara jelas, apakah seluruhnya, separuh, dan
sebagainya
H. Syirkah

Menurut Bahasa syirkah memiliki arti percampuran atau persekutuan. Yang dimaksud
percampuran tersebut adalah pencampuran hartanya dengan harta orang atau kelompok
lain. Sedangkan menurut definisi, syirkah adalah Kerjasama antar dua orang atau lebih
dalam menjalankan suatu usaha maupun jasa dengan tujuan mencari keuntungan dan
membaginya sesuai kesepakatan yang telah dibuat. Jadi, dalam Syirkah selalu berorientasi
pada mendapat keuntungan Bersama, namun, selain itu apabila usaha atau jasa tersebut
mengalami kerugian, maka kerugian tersebut juga ditangung Bersama-sama.
Hukum melaksanakan syirkah adalah mubah atau diperbolehkan. Imam al-Bukhari
meriwayatkan bahwa Abu Manhal pernah mengatakan:
“Aku dan syirkah ku pernah membeli sesuatu secara tunai dan hutang. Kemudian kami
didatanggi oleh Barra’ bin Azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Ia menjawab, “Aku dan Zaid
bin Arqam juga mempraktikkan hal yang demikian. Selanjutnya kami bertanya kepada Nabi
saw tentang tindakan kami tersebut. Beliau menjawab, “Barang yang diperoleh secara tunai,
silahkan kalian ambil, sedangakan yang diperoleh secara hutang silahkan kalian kembalikan.”
(HR al-Bukhari)
Sabda nabi Muhammad saw. dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Dawud dari Abu
Hurairah.
“Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman , “Aku jadi yang ketiga antara dua orang yang
berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat
kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku darinnya.” (HR Abu Dawud)
Syirakah terbagi menjadi banyak macam, tapi secara garis besar terbagi atas dua macam
yaitu Syirkah hak milik (syirkah Al-Amlak) dan syirkah transaksi (syirkah al-uqud).
1. Syirkah Amlak adalah kerjasama antara dua orang atau lebih yang diterapkan pada
usaha dalam memiliki suatu barang. Syirkah Amlak dibagi lagi menjadi dua macam
yang lebih spesifik.
- Syirkah milik ikhtiar, yaitu Kerjasama yang muncul karena adanya kontrak
penggabungan kepemilikan barang oleh dua orang atau lebih. Misalnya ada dua
orang atau lebih yang ingin membeli barang dengan menggunakan dana
Bersama. Oleh karena itu status kepemilikan barang tersebut dibagi sesai
persentase dana masing-masing
- Syirkah milik al-jabr, adalah Kerjasama antara dua orang atau lebih dalam
kepemilikan barang tanpa adanya kontrak. Contoh kasus syirkah milik al-jabr
adalah kepemilikan suatu barang warisan.
2. Syirkah al-uqud, merupakan Kerjasama penggabungan modal antara dua orang atau
lebih yang disertai akad untuk mecapai keuntungan. Syirkah uqud ini juga terdiri
dari empat macam syirkah lain. Sebagai berikut.
- Syirkah ‘Inan (perserikatan harta), yaitu penggabungan usaha dimana pihak-
pihak yang terlibat sama-sama menyediakan modal yang diperlukan untuk
menjalankan usaha tersebut.
- Syirkah Mufawadah, adalah Kerjasama dalam menciptakan usaha dengan
ketentuan memiliki jumlah modal sama, keahlian sama, serta pembagian
keuntungan dan kerugian ditanggung dan dibagi rata secara adil.
- Syirkah Wujuh, Kerjasama antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan
sesuatu tanpa modal atau menggunkan modal pinjaman dari pihak lain
- Syirkah Abdan (perserikatan kerja), Kerjasama antara dua orang atau lebih
dengan menggabungkan tenaga atau keahlian untuk melakukan suatu usaha.
Adapun syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya suatu syirkah, dibagi menjadi
lima bagian berikut ini.
1. Orang-orang yang melakukan syirkah harus sudah baligh, berakal sehat, dan
merdeka.
2. Modal yang digunakan dalam syirkah adalah dari alat pembayaran atau juga bisa
benda lain namun tetap memiliki nilai yang jelas dan dapat ditukar dengan uang.
Apabila modal barang yang digunakan jenisnya berbeda maka dianjurkan mengubah
dalam bentuk yang sama seperti uang sehingga modal antar anggota tidak bisa
dibedakan lagi.
3. Pembagian untung dan rugi diatur menurut besar kecilnya nilai modal masing-
masing
4. Mencampurkan modal atau harta agar tidak bisa dibedakan satu dengan yang
lainnya, baik berupa uang atau bentuk lainnya
5. Setiap anggota atau orang yang terlibat dalam syirkah harus dapat dipercaya dan
saling mempercayai.

PENUTUP
Perekonomian merupakan kegiatan penting dalam mengelola dan menyalurkan
sumber daya kepada individua tau kelompok lain. Dalam menjalankan kegiatan
perekonomian baik dari sisi operasional maupun transaksi haruslah tetap berkiblat
mengikuti syariat Islam Sebab sumber hukumnya berlandaskan firman Allah Swt. melalui
surah-surah Al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad saw.
Berbeda dengan perekonomian konvensional yang berlandas hanya filsafat atau buah
pemikiran seseorang, perekonomian islam lebih menyempurnakannya dengan berpedoman
kepada Allah Swt. dalam Al-qur’an dan hadis Rasulullah saw. sehingga tidak melanggar
kaidah dan sumber hukum islam.
Dalam perekonomian Islam telah mencakup fenomena-fenomena dan permasalahan
serta segala aspek ekonomi manusia. Salah satunya adalah nilai instrumen ekonomi dalam
pandangan islam yang meliputi. Jual Beli, Khiyar, Larangan Riba, Utang Piutang, Sewa
Menyewa, Qiradh, Musaqah,serta Syirkah atau Kerjasama ekonomi. Diamana dalam
perekonomian islam telah dijelaskan bahwa hukum Jual beli, khiyar, utang piutang, sewa
menyewa, qiradh serta syirkah adalah diperbolehkan bahkan digolongkan sebagai
perbuatan tolong menolong antar sesame. Sehingga barang siapa yang melaksanakannya
akan diberi pahala dan rezeki yang dilipat gandakan oleh Allah Swt. Namun ada juga suatu
larangan yaitu ribah atau melebihkan biaya dari nilai yang seharusnya dibayakan. Karena
hal tersebut sangat merugikan dan sudah dilarang oleh Allah Swt dalam Al-quran dan hadis
rasulullah saw.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ruslan. 2013. Pengantar Islamic Economics: Mengenal konsep dan Praktek
Ekonomi Islam. LIPa (Lumbung Informasi Pendidikan)
Al-Qur’an dan Al-Hadist
Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani.
Efyanti, Yasni. 2015. “Islam Dan Ekonomi.” Jurnal Islamika 15, no. 1
Rozalinda. 2014. Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. Rajawali
Pers
Sabiq, Sayyid. (2007). Fiqih Sunnah Jilid 13, terj. Kamaludin A. dan Marzuki, Bandung: PT al
Ma’arif.
Sari, Mesi Mejita. 2017. Analisis Kerjasama Musaqah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat.
Setiawan, Deny. 2013. "Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam." Jurnal Ekonomi 21, no.
03.
Suhendi, Hendi. 2007. Fiqh Mu‟amalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqih, Prenada Media, Jakarta.
Tehuayo, R. (2018). Sewa Menyewa (Ijarah) Dalam Sistem Perbankan Syariah. Jurnal
Tahkim, 14(1), 87.
Tho’in, M. (2016). Larangan Riba Dalam Teks Dan Konteks (Studi Atas Hadits Riwayat
Muslim Tentang Pelaknatan Riba). Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 2(02).

Anda mungkin juga menyukai