Anda di halaman 1dari 34

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KSM BEDAH
TAHUN 2018
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
KSM BEDAH
BAGIAN ILMU BEDAH

APPENDISITIS AKUT
RSUD Taman
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 01/KOM B-B/RSUD

Revisi ke
01 dr. I Gusti Made Suardika SpA, MPH
PENGERTIAN BATASAN :
Adalah proses keradangan akut pada usus buntu.
PATOFISIOLOGI :
Belum jelas. ada 2 teori yang diajukan :
1. Adanya kotoran (tinja-fekalit), biji-bijian lain yang terperangkap
didalam lumen dan kemudian menimbulkan keradangan (obstruktif
apendikuler).
2. Hematogen dari proses infeksi di luar usus buntu (tampak serosa lebih
merah dari pada mukosa).
ANAMNESIS GEJALA KLINIS :
1. Sering dimulai dengan nyeri di daerah epigastrium, setelah
beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di fosa iliaka kanan.
2. Gejala ini disusul dengan anoreksia, mual dan muntah-muntah.
□ Suhu badan sub-febril 37,5-38,5 sampai terjadi penyulit, dimana suhu
badan akan meningkat sampai 40 derajat Celsius.
PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS :
1. Klinis didapatkan gejala rangsangan peritoneum dengan pusat didaerah
Mc. Burney.
 Nyeri pada tekanan intra abdominal yang naik (batuk, jalan).
 Nyeri tekan dengan defans muskuler.
 Rebound fenomen : Menekan perut bagian kiri dan dilepas
mendadak. dirasa nyeri pada perut sebelah kanan bawah.
 Rovsine sign : Menekan daerah kolon descendens/ transversum
 udara akan menekan sekum hingga timbul sakit.
 Ten Horn Sign : menarik testis kanan, timbul nyeri perut kanan
bawah.
 Psoas sign : Mengangkat tungkai kanan dalam ekstensi, timbul
nyeri perut kanan bawah. Gejala-gejala diatas tidak semua akan
positif.
2. Colok dubur : Nyeri pada jam 10.00-11.00.
3. Lekositosis tidak terlalu tinggi (kurang dari 10.000/ m3).
4. Sedimen urin perlu untuk menyingkirkan kelainan dan ureter.
5. Foto polos abdomen menunjukkan adanya udara di daerah sekum dan
ileum distal (tidak mutlak dibuat kecuali untuk menyingkirkan kelainan
ureter). misalnya : batu ureter.
KRITERIA DIAGNOSIS Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING A. Golongan Gastro-Enteritis : Pada GE biasanya dimulai dengan mual
dan muntah, baru disusul dengan rasa sakit. Sebaliknya pada
appendicitis akut dimulai dengan sakit dan disusul dengan mual/
muntah.
1. Limfadenitis mesenterik : Jarang dan biasanya dijumpai pada
anak-anak dan dewasa muda.
2. Entero-kolitis : Biasanya kronis, ada faktor psikosomatik.
3. Ileitis Terminalis : Jarang dijumpai di Asia;
Rontgenologis menunjukkan gambaran sarang lebah.
B. Kelainan organ-organ pelvis wanita.
1. Pecahnya follikel ovarium yang terjadi pada pertengahan
siklus menstruasi.
2. Keradangan : Salphingitis. lokalisasi nyeri lebih rendah dan
pada R-F/ VT didapatkan nyeri pada genitalia interna.
3. Torsi kista oyarium.
4. Kehamilan di luar kandungan, amenorrhoe, cairan bebas dalam
rongga peritoneum dan anemia.
C. Kelainan saluran air kemih.
1. Batu ginjal/ ureter : Nyeri berupa kolik, terutama didaerah
pinggang. Sedimen urine menunjukkan kelainan pada BOF
sering tampak batu yang radioopaque.
2. Pielonefritis : Gejala sepsis dan adanya pyuria.
D. Kelainan-kelainan lain di dalam abdomen
1. Ulkus peptikum.
2. Kolesistitis.
3. Pankreatitis.
4. Divertikulitis.
5. Perforasi karsinoma kolon.
E. Penyakit-penyakit diluar abdomen
1. Pnemonia.
2. Pleuritis.
3. Infark miokard.
PEMERIKSAAN
1. Laboratorium darah lengkap, faal hemostatis
PENUNJANG
2. HbsAg, Anti HIV, anti HCV, LED, CRP, PCT jika ada kecurigaan
3. Rontgen dada AP bila diperlukan
4. Ekokardiografi bila diperlukan
Pada wanita :
- Tes kehamilan, dapat tes pack atau plano test
- USG abdomen
TERAPI PENATALAKSANAAN :
Prinsip pengobatan adalah appendiktomi dengan persiapan-persiapan
pra bedah sebagai berikut :
1. Infus larutan garam fisiologis atau ringer lactat.
2. Ceftriaxon inj 1gram.
3. Metronidazole inj 500mg.
Bila pada operasi ternyata didapatkan appendiks yang sudah
mengalami perforasi, maka langsung dibuat pembiakan kuman dan
kepekaan kuman terhadap antibiotika.
Pasca bedah :
1. Infus diteruskan dengan komposisi 2 garam fisioloais dan 3
dextrose 5% dalam 24 jam, sampai makan per oral dapat dimulai.
2. Bila bising usus mulai terdengar dapat dimulai minum sedikit-
sedikit (3 sendok makan/ jam).
3. Bila flatus sudah terjadi dan perut tidak kembung maka makan
cairan dapat dimulai.
4. Fisioterapi dapat dimulai segera pasca bedah.
5. Pada appendicitis yang tidak mengalami penyulit, Gentamicin 2 x
80 mg. Bila sudah perforasi maka perlu diberikan terapi
tambahan : Metronidazole : 2 x 1 gr. Anal supositoria sampai 5
hari. Antibiotika diubah sesuai dengan test kepekaan kuman (bila
sudah ada hasil).
KOMPLIKASI PE NYUL IT :
Dengan medikamentose sebagian dapat sembuh, tetapi sering disusul
dengan krisis berikutnya yang biasanya lebih berat.
Yang sering adalah timbul penyulit berikut :
1. Pembentukan infiltrat, dapat berlanjut dengan pembentukan abses.
2. Timbul perforasi hingga terjadi peritonitis umum, timbul gejala-
gejala sepsis dengan febris tinggi dan lekositosis sampai 20.000/
mm 3 . Morbiditas dan mortalitas menjadi lebih tinggi.
3. Foie appendiculare : terjadi emboli kuman-kuman lewat sistem
porta ke hepar sehingga timbul mikro-mikro abses di hepar.
Penderita jatuh dalam keadaan toksis dengan ikterus. Prognosis
sangat jelek.
PROGNOSIS 1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanationam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN 1. Lawrence W, Gerard M. 2003. Current Surgical Diagnosis and
Treatment Eleven Edition. United States of America: The Mc Graw-Hill
Companies, Inc
2. Ellison E, Zollinger R. 2016. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations
Tenth Edition. New York: Mc Graw Hill
3. Michael J Ziner. 2017. Maingot’s Abdominal Operation 11th Edition.
New York : Mc Graw Hill.
4. Townsend C, Mattox K. 2017. Sabiston Textbook of Surgery 20th
edition. Philadelphia : Elsevier.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
KSM BEDAH
BAGIAN ILMU BEDAH

BATU EMPEDU
RSUD Taman
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 02/KOM B-B/RSUD

Revisi ke
01

dr. I Gusti Made Suardika SpA, MPH


PENGERTIAN BATASAN :
Terdapatnya batu didalam kantong, empedu dan atau dalam saluran
empedu.
PATOFISIOLOGI :
80% batu empedu terdiri dari kolesterol (kolesterol tidak larut dalam
air). Kelarutan kolesterol didalam cairan empedu dipengaruhi asam
empedu dan phosfolipid. Bilamana karena suatu hal terjadi gangguan
keseimbangan ini, terjadi presipitasi dari kholesterol (empedu litogenik)
dan berbentuk batu empedu.
Pembentukan batu ini dipengaruhi beberapa faktor :
 Hormon terutama estrogen dan progesterone
 Nutrisi dan obat-obatan.
 Kehamilan.
Adipositas.
ANAMNESIS GEJALA KLINIS :
Kurang lebih 10% penderita batu empedu bersifai asimptomatis. Gejala-
gejala yang dapat timbul :
 Nyeri
Bersifat kronik. mulai daerah epigastrium atau hipokondrium kanan
dan menjalar ke bahu kanan. Nyeri ini sering timbul karena
rangsangan makanan berlemak. Nyeri dapat terus. bila terjadi
penyumbatan atau keradangan.
 Demam
Timbul bila terjadi keradangan, sering disertai menggigil.
 Ikterus
Ikterus obstruksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran
empedu utama (duktus hepatikus/ Choledochus)
PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Fisik
Bila terjadi penyumbatan duktus sistikus atau kholesistitis dijumpai
nyeri tekan hipokondrium kanan. terutama waktu penderita menarik
nafas dalam (MURPHY'S SIGN)..
KRITERIA DIAGNOSIS
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING  Gastritis.
 Tukak peptic
 Pancreatitis.
Pada ikterus obstruksi :
 Kolangio karsinoma.
 Karsinoma pancreas (sindroma Courvoisier)..
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS :
PENUNJANG 1) Laboratorium :
i) Pada ikterus obstruksi terjadi :
ii) Adanya peningkatan kadar dal am dari bahan-bahan :
2) Billirubin.
3) Kholesterol.
4) Alkali phosfatase.
5) Gamma glucoronyl transferase.
6) Ultrasonografi.
7) Kholesistografi oral.
8) Pemeriksaan khusus ikterus obstruksi :
a) Kolangiografi perkutan transhepatik (PTC).
b) Endoskopik Retrograd Cholangio Pankreografi (ERCF).
c) Computerized Tomografi Scanning (CT Scan).
TERAPI PENATALAKSANAAN :
Kuratif pada :
 Batu kantong empedu : Kolesistektomi (ICOPIH 5.511).
 Disertai batu saluran empedu : Kolesistektomi + koledokolitotomi
(ICOPIM 5.513)
 Disertai keradangan (kolesistitis/ kolangitis) :
 Antibiotika : Sefalosporin 3 x 1 gr/ hari intravena.
KOMPLIKASI KOMPLIKASI :
 Kolesistitis akut  Empiema.
 Ikterus obstruksi karena saluran empedu (ICD 574.5)
 Kolangitis (ICD 576.1).
PROGNOSIS 4. Ad vitam : dubia ad bonam
5. Ad sanationam : dubia ad bonam
6. Ad fungsionam : dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN 1. Lawrence W, Gerard M. 2003. Current Surgical Diagnosis and
Treatment Eleven Edition. United States of America: The Mc Graw-Hill
Companies, Inc
2. Ellison E, Zollinger R. 2016. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations
Tenth Edition. New York: Mc Graw Hill
3. Michael J Ziner. 2017. Maingot’s Abdominal Operation 11th Edition.
New York : Mc Graw Hill.
4. Townsend C, Mattox K. 2017. Sabiston Textbook of Surgery 20th
edition. Philadelphia : Elsevier.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
KSM BEDAH
BAGIAN ILMU BEDAH

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


RSUD Taman
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 03/KOM B-BRSUD

Revisi ke
01 dr. I Gusti Made Suardika SpA, MPH
PENGERTIAN BATASAN :
BPH yaitu pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena
hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat, meliputi antara lain :
 Jaringan kelenjar.
 Jaringan fibro-muskuler : menyebabkan penyumbatan uretra para
prostatika.
PATOFISIOLOGI :
BPH diderita laki-laki 55-70 tahun (80%), penyebab BPH belum diketahui
secara pasti diduga pengaruh hormonal, dimana ratio estrogen dibanding
testosteron meningkat
ANAMNESIS 1. Keluhan langsung
Frekuensi -->
Produksi urin :1/2 - 1 cc/kgBB/jam (30-50)
Kapasitas buli : Kapasitas  300 cc
2. Nokturia
3. Disuria
4. Stranguria
5. Mengedan
6. Pancaran: diameter dan jarak
7. Warna urin
8. Riwayat kecing keluar batu
PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Inspeksi buli-buli : Ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah suprapubik
(bull-buli penuh/ kosong).
Palpasi bull-buli : Tekanan di daerah suprapubik menimbulkan
rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi/ penuh terasa massa yang
kontraktil dan "Ballotement''.
Perkusi : bull-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup.
2. Rectal Toucher :
3. Laboratorium : Darah lengkap. urin lengkap, kultur urin, Creatinin,
BUN.
4. Radiologi : IVP, dengan foto buli-buli pre dan post miksi AP dan
Oblique.
5. Kateterisasi : Mengukur "rest-urine".
"Urethro-cystoscopy.
KRITERIA DIAGNOSIS GEJALA KLINIS :
"Prostatism" :
 Gejala obstruktif : kelemahan pancaran urin, hesitasi, proses
kencing berlangsung lebih lama, rasa tak puas pada akhir kencing,
 Gejala "irritative" : "Prequency", "Urgency", Nocturia, Dysuria.
Lama-larna residu urin makin banyak dan terjadi retensi urin, kencing spontan
tidak mungkin lagi/ urin menetes (dysuria paradoxa).
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING  Prostatitis :
Keluhan :
 Dysuri, "Urgency".
Pemeriksaan fisik :
 Colok dubur  prostat tak membesar.
 Setelah kencing  ’’rest urine"(-).
 Keganasan prostat.:
Keluhan : - Dysuri; Urgency, hematuri. retensi urine.
Pemriksaan Fisik :
Colok dubur  prostat membesar, benjolan padat dan keras
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS :
PENUNJANG  Darah lengkap
 Faal hemostasis
 Urine lengkap
 USG Urology (transrectal atau transabdoinal)
 uroflowmetri
TERAPI PENATALAKSANAAN :
1. Tanpa keluhan progresif : Konservatif.
2. Operatif : Mecilinam
Prostatektomi terbuka.
3. Terapi : Propil gentamicyn (aminoglikoside), Cefalosporin
(kultur steril) atau sesuai kultur kuman.
KOMPLIKASI KOMPLIKASI :
 Infeksi saluran air kemih (ISK).
 Obstruksi infravesikel :
Pada buli-buli : Trabekulasi, divertikuli, terbentuknya batu buli-buli.
Pada ginjal : Hydronefrosis.
PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN 1. Michael J Ziner. 2017. Maingot’s Abdominal Operation 11th Edition.
New York : Mc Graw Hill.
2. Townsend C, Mattox K. 2017. Sabiston Textbook of Surgery 20th
edition. Philadelphia : Elsevier.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
KSM BEDAH
BAGIAN ILMU BEDAH

CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CTEV)


RSUD Taman
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 04/KOM B-B/RSUD

Revisi ke
01

dr. I Gusti Made Suardika SpA, MPH


PENGERTIAN BATASAN :
CTEV adalah cacat bawaan yang merupakan kombinasi kelainan yang terdiri
dari :
 Kaki depan (forefoot) aduksi dan supinasi melalui sendi midtarsal.
 Tumit varus melalui sendi subtalar dan equines melalui sendi kaki
(ankle).
 Deviasi ke medial seluruh kaki dipandang dari sendi lutut.
ETIOLOGI :
Penyebab pasti tidak/ belum diketahui, ada beberapa teori :
1. Faktor genetic. kadang-kadana didapatkan familiar (Nvyne davis).
2. Faktor mekanis (denis brown).
3. Terhentinya pertumbuhan jenis (Bohm).
4. "Dysplasia "dari otoi-otot sehingga terjadi ketidak seimbangan
("imbalance") otot (Garcean).
5. Caput dan Collum tali mengecil deviasi ke medial dan kearah plantar
dari korpus talus (Adam. Sctile. Irani dan Sherman).
PATOFISIOLOGI :
Jaringan lunak :
 Otot gastrocnemius mengecil.
 Tendo Achilles memendek dengao arah mediocaudal dan menyebabkam
varus begitu pula : Tendon-tendon hallucis longus dengan digitorum
communis.
 Tendon tihialis anterior dan posterior memendek, sehingga kaki bagian
depan (forefoot) menjadi adduksi dan inversi.
 Ligamen-ligamen antara calus, calcaneus, navicular menebal dan
memendek. Fascia plantaris menebal dan memendek.
Tulang :
MC Kay : Deformitas utama pada CTEV adalah terputarnya ke medial
midtarsal dan subtalar pada talus, kalau tidak diobati dini, talus akan menjurus
ke bawah (equines), calcaneus menjadi valrus. os naviculare terletak sebelah
medial dengan talus cuneiforme dan cuboid terbentuk wajik (wedge).
Metatarsal melengkung ke medial, tibial torsi ke dalam mengikuti deformitas
bagian distal.
ANAMNESIS Deformitas pada kaki dan tumit sejak lahir
PEMERIKSAAN FISIK Inspeksi :
 Betis mengecil, kaki sering rotasi ke medial.
 Equinus pada pergelangan kaki.
 Letak tumit tinggi. kadang mengecil.
 Valrus pada subtalar.
 Adiksi dan valrus pada midtarsal dan forefoot.
Palpasi dan pergerakan :
 Bagaimana derajat ketegangan.
 Bayi yang baru lahir (24 jam) harus dilakukan test dorsofleksi.
KRITERIA DIAGNOSIS GEJALA KLINIS :
 Bayi baru lahir harus ditentukan diagnosenya apakah bentuk kaki
fisiologis (karena posisi dalam uterus) test dorsofleksi pada pergelangan
kaki. Bila ibu jari kaki bisa menyentuh crista tibia. ini adalah fisiologis.
bukan CTEV.
 Anak jalan terlambat.
 Kalau sudah jalan, bentuk kaki valrus + equines, penebalan (collocitv)
pada bagian lateral atau depan lateral dari pada kaki (calloaty).
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING Cacat bawaan :
1. Spina bifida : Defek nada lumbosacral, kadang-kadang disertai dengan
gangguan sensibilitas dan defekasi, miksi.
2. Arthrogryposis multiplex congenital, kelainan meliputi beberapa sendi.
3. Congenital stenosis band (constriction band lympahyc stenosis).
4. Congenital absence distal tibia.
Didapat :
1. Post poliomyelitis.
2. Cerebral palsy.
3. Kontraktur achiles karena trauma, combustio dan lain-lain.
PEMERIKSAAN X-Ray :
PENUNJANG  Foto AP dan lateral.
Untuk mengetahui posisi talus sebagai penuntun pengobatan. hubungan talus
dengan tulang-tulang sekitarnya : Calcaneus, navicular metatarsalia.
TERAPI PENATALAKSANAAN :
 Pengobatan sedini mungkin.
 Dalam waktu 24 jam sudah diterapi, memberikan hasil yang tc:rbaik.
 Apabila ditunda akan mcrnpersulit pengobatan tidak jarang memerlukan
tindakan operasi.

Macam cara pengobatan :


1. Konservatif :
 Koreksi manipulasi, sistemis, dengan gips, bertahap tanpa
kekerasan, tanpa bius.
 Aduksi dan valrus sampai diatas lutut, lutut dalam fleksi 90°.
 Lama pemasangan gips yang bertahap, sampai kedudukan stabil.
2. Operasi :
 CTEV recurrence.
 Secara konservatif selama 3 bulan tidak/ sedikit sekali
menunjukkan hasil.
 CTEV terlambat (late CTEV).
KOMPLIKASI
PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN 1. Staheli, Lynn. Clubfoot: Ponseti Management Third Edition [internet].
Global Health Education Low-cosr Publications; 2009 [diakses tanggal
27 Maret 2017]; 4-8(3);175-193. Tersedia dari: www.global-help.org

2. Faulks, S., Richard, B. Clubfoot treatment: ponseti and french fungtional


methods are equally effective. Clinical orthopaedics and related research
[internet]. 2009. [diakses tanggal 27 Maret 2017];467(5);1278-1282.
Tersedia dari: www.the journal of bone and join surgery.org.

3. Harris, E. Key Insight To Treating Talipes Equinovarus. Podiatry


[internet]. 2008. [diakses taggal 27 maret 2017];17(4);1-5. Tersedia dari:
www.podiatry. com.

4. Wim de Jong, Sjamsuhidajat, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.
EGC. Jakarta;2015.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
KSM BEDAH
BAGIAN KESEHATAN THT

BENDA ASING JALAN NAFAS (Laring, Trakea,


RSUD Taman Bronkhus)
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 01/KOM B-THT/RSUD

Revisi ke
01 dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
PENGERTIAN Benda asing jalan nafas adalah adanya benda atau bahan asing dijalan nafas.
ANAMNESIS  Adanya batuk yang mendadak hebat dan bertubi-tubi
karena iritasi benda asing yang bergerak di trachea mengenai laring,
sering sampai biru oleh karena tidak sempat inspirasi .riwayat tersedak
pada anamnesis kadang-kadang tidak didapatkan karena anak tidak dapat
bercerita, atau pada saat kejadian tidak ada yang mengetahui.
 Setelah benda asing berhenti disalah satu cabang
bronkus batuk reda atau tidak ada, saat ini disebut fase tenang.
 Dispneu inspiratoir dapat ada/dapat tidak tergantung
besarnya benda asing (penyumbatannya).
PEMERIKSAAN FISIK
 Dispneu inspiratoir (dapat ada dapat tidak).
 Kalau benda asing pada satu sisi paru tampak pada sisi
tersebut gerak nafas berkurang, suara nafas berkurang.
Bila sudah lanjut benda asing jalan nafas dapat mengakibatkan emfisema
karena “check valve mechanism”, bila obstruksi total dapat terjadi atelektasis,
bronchitis, pnemoni.
KRITERIA DIAGNOSIS - Riwayat tersedak yang diikuti batuk bertubi-tubi
- Tampak benda asing pada fiberlaringoskop
DIAGNOSIS Dengan bronchoskopi sekaligus untuk terapi. Pada bayi dan anak (oleh karena
tidak/belum dipunyai bronchoskop kecil, terkecil bagi anak 10 tahun 0 mm)
diagnose dan terapi digunakan laringoskop dengan bantuan teleskop.
DIAGNOSIS BANDING  Laringitis akut.
 Trakeitis.
 Bronkitis.
 Pnemoni.
 Asma bronchiale.
PEMERIKSAAN Benda asing metal: rontgen foto polos toraks PA/ lateral
PENUNJANG
TERAPI - Jika posisi benda asing berada di atas corda vocalis dilakukan
Helmich manuver yaitu dengan menekan epigastrium supaya sisa
udara di paru dapat mendorong keluar benda asing yang terjepit di
korda vokalis. Helmich manuver tak berguna bila benda asing sudah
berada di trachea/ bronchus.
- Berikan oksigen.
- Tindakan bronchoskopi merupakan diagnostic sekaligus terapi,. Pada
bronkoskopi, jika ditemukan benda asing sekaligus dilakukan
ekstraksi. Lama tindakan tidak ada lebih dari ½ jam. Diameter
bronkoskop disesuaikan dengan umur pasien. Dapat dengan atau
tanpa Trakheostomi
EDUKASI Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasinya

KOMPLIKASI
 Obstruksi total laring / trakea meninggal
 Bronkhitis.
 Emfisema.
 Atelektasis
PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN Mohz RM. Endoscopy and foreign body removal. In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3 rd ed. Vol.
III Head and Neck. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:
2399-428
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
KSM BEDAH
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT

KARSINOMA NASOFARING
RSUD Taman
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 02/KOM B-THT/RSUD

Revisi ke
01 dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
PENGERTIAN Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel nasofaring
atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring.
ANAMNESIS  Benjolan di leher yang semakin membesar
 Lamanya benjolan
 Hidung tersumbat
 Riwayat mimisan
 Gangguan pendengaran
 Telinga terasa tersumbat, mendenging
 Penglihatan ganda
 Sakit kepala
 Riwayat mengkonsumsi ikan
asin/makanan yang diawetkan
 Riwayat minum alcohol, merokok
 Riwayat keluarga menderita tumor ganas
PEMERIKSAAN FISIK a. Benjolan di leher lateral
b. Pemeriksaan THT
 Secret bercampur darah pada pemeriksaan rinoskopi anterior.
 Rinoskopi posterior :
1. Tumor endofitik, sering kali tumor kecil sekali kadang-
kadang tersembunyi, yang tampak hanya mukosa tak rata,
udem, vaskularisasi meningkat.
2. Tumor eksofitik : Tumor tampak menonjol.
 Telinga : Otoskopi.
- Memb
rana timpani (retraksi, perforasi)
KRITERIA DIAGNOSIS Ditemukannya karsinoma nasofaring WHO tipe I, II, atau III melalui
pemeriksaan jaringan nasofaring
DIAGNOSIS Karsinoma Nasofaring
 Superior wall of nasofaring (ICD 10: C11.0)
 Posterior wall of nasofaring (ICD 10: C11.1)
 Lateral wall of nasofaring (ICD 10: C11.2)
 Anterior wall of nasofaring (ICD 10: C11.3)
Overlapping lesion of nasofaring (ICD 10: C11.8)
DIAGNOSIS BANDING  Tumor limfoma Hodgkin/ non hodgkin,
 TBC nasofaring.
 Adenoid persisten.
 Nasofaringitis
 Angiofibroma Nasofaring
 Limfoma
PEMERIKSAAN CT Scan nasofaring potongan coronal, pemeriksaan histopatplpgi jarinag
PENUNJANG nasofaring, foto thorax
TERAPI 1. Radioterapi : stadium I dan IIa
2. Kemoradiasi : stadium II b, III, Iva,IVb
3. Kemoterapi ; stadium IVc
4. Penanganan suportif
 Bila ada nyeri kepala hebatsesuai protocol nyeri
 Kesulitan makan NGT/Gastrostomi
 Infeksi telinga  antibiotic
 Obstruksi jalan napas sesuai protocol obtruksi jalan
napas atas
EDUKASI Penjelasan tentang tujuan dan resiko biopsy, stadium tumor, hasil biopsy,
rencana terapi serta resiko dan efek samping pengobatan.
KOMPLIKASI Akibat perluasan dan metastasis tumor
 strabismus, diplopia, kebutaan
 cefalgia hebat
 disfagia
 OME/OMSK
PROGNOSIS 1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanationam : dubia
3. Ad fungsionam : dubia
KEPUSTAKAAN Bernadetta Brennan. 2009 Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet J rare
Disease. June 2009.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
KSM BEDAH
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT

KERATOSIS OBSTURANS
RSUD Taman
Husada Bontang
Ditetapkan oleh Direktur
Tanggal Terbit : No. Dokumen :
30 Januari 2018 03/KOM B-THT/RSUD

Revisi ke
01
dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
PENGERTIAN Adalah massa epitel deskuamasi yang menyumbat kanal bagian tulang. Massa
ini menyerupai kolesteatoma yang terdapat pada telinga tengah.
ANAMNESIS kurang pendengaran, sering disertai rasa nyeri ditelinga
PEMERIKSAAN FISIK Massa seperti kolesteatoma yang berada pada kanal bagian tulang.
KRITERIA DIAGNOSIS Sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
DIAGNOSIS Kolesteatom Eksterna/ Keratosis Obsturans (ICD 10: H 60.4)
DIAGNOSIS BANDING Impacted cerumen (ICD 10: 61.2)
PEMERIKSAAN Mikroskop atau endoskopi telinga bila diperlukan
PENUNJANG
TERAPI -Keluarkan dengan instrumen (kait, sendok ataupun forsep), tanpa atau bila
perlu dengan bius umum terutama bila nyeri sekali.
-Untuk mencegah rekurensi yang sering terjadi disini berikan substansi
keratolitik seperti : Bikarbonas natrikus tetes telinga, asam salisilat 2 % dalam
alkohol.
EDUKASI Menjelaskan pilihan rencana tatalaksana
PROGNOSIS 1. Ad vitam : bonam
2. Ad sanationem : bonam
3. Ad fungsionam : bonam
KEPUSTAKAAN Alfian F.Hafil,dkk.Keratosis obturan. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
THTKL ed.7.Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta. 2012

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


KSM BEDAH
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT
OTITIS MEDIA KRONIK
(Chronic suppurative otitis media, Chronic purulent otitis
media)
RSUD Taman
Husada Bontang

Tanggal Terbit : No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur ,


30 Januari 2018 04/KOM B-THT/RSUD

Revisi ke
01 dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
PENGERTIAN Otitis media kronik (OMK) adalah radang kronik mukoperiosteum celah telinga
tengah, disertai perforasi membran timpani yang lama, dengan atau tanpa disertai
otore. Beradasarkan lokasi aktifitas penyakit, embriologik dari lokasi ini dan
kecendrungannya mengalami komplikasi, OMK diklasifikasikan :
1. Tipe tubotimpanal/ aman/ jinak/ benigna, yang terdiri :
a. Sindrom perforasi permanen.
b. Penyakit mukosa persisten.
2. Tipe atikoantral / berbahaya /ganas / maligna, yang terdiri :
a. Penyakit timpanomastoid
b. Kolesteatom
Berdasarkan status aktifitasnya OMK diklasifikasikan :
1. OMK aktif, yaitu saat terjadi serangan (otore)
2. OMK tenang, yaitu saat tidak aktivitas (otore) diantara
dua serangan yang jaraknya tidak terlalu lama.
3. OMK inaktif, yaitu suatu keadaan tenang lebih dari 6
bulan atau keadaan sembuh tetapi perforasi belum menutup.
4. OMK sembuh yaitu keadaan tenang (tidak aktifitas)
dan membrana timpani telah menutup baik secara spontan atau karena operasi.

ANAMNESIS  Anamnesis : Keluar cairan dari telinga yang telah berlangsung lebih dari
2 bulan baik terus menerus atau hilang timbul.
PEMERIKSAAN FISIK -Perforasi membrana timpani tanpa atau dengan otore (bervariasi dalam
jumlah, jenis mocus/ mukopurulent/ purulent, warna maupun baunya,
-pada audiometri akan didapatkan kurang pendengaran yang derajatnya
bervariasi, tergantung kerusakan yang terjadi.
KRITERIA Riwayat keluar cairan dari telinga terus menerus atau hilang timbul lebih dari 2
DIAGNOSIS bulan disertai perforasi membrane timpani.
DIAGNOSIS Chronic tubotympanic sup otitis media (ICD 10:H66.1)
DIAGNOSIS BANDING Acute suppurative otitis media (ICD 10: H66.0)
PEMERIKSAAN CT.Scan temporal bone
PENUNJANG
TERAPI 1. Tipe Tubotimpanal :
a. Aktif :
- Prinsip terapi adalah medikamentosa :
- Aural toilet : harian oleh penderita sendiri, mingguan oleh dokter
pada waktu kontrol.
- Berikan antibiotik (sesuai hasil tes sentivitas) lokal
- Cari dan atasi kemungkinan adanya fokal infeksi (tonsilitis, adenoiditis,
sinusitis).
 Dengan cara di atas sebagian besar akan mengering, untuk selanjutnya
juga agar telinga tidak kemasukan air dan penderita tidak meniup
teerlalu keras. Sebagian kecil akan tetap basah, untuk selanjutnya
apabila :
 Tanpa komplikasi, cukup perawatan terus menerus, mengingat
operasi juga tidak akan bisa mengangkat mukosa tuba.
 Ada komplikasi (mastoiditis, polip), perlu dilakukan operasi.
 Untuk menghilangkan bau, yang pada tipe tubotimpanal ini jarang
terjadi, dapat diberikan :
R / Ethyl alcohol 5%
Glycerin 3%
Geranium oil 2%
Aqua ad 30
b. Tenang :
 Prinsip terapi adalah observasi/pengawasan :
 Penderita dinasehati untuk menjaga agar telinganya tidak
kemasukan air dan tidak meniup terlalu keras.
 Kontrol sebulan sekali.
 Kemungkinan dilakukan miringoplasti dapat dipertimbangkan, tetapi
lebih dianjurkan apabila status tenang ini telah berlangsung 6 bulan
(masuk kategori inaktif).
c. Inaktif :
 OMK disebut inaktif apabila perforasi tersebut tidak keluar discaj lagi
(otore) sedikitnya 6 bulan.
Permasalahan disini adalah :
1. Membrana timpani yang terbuka, memudahakan terjadinya re infeksi,
baik dari telinga luar maupun dari saluran napas atas ( waktu meniup
atau batuk udara nasoparinks menjadi lebih mudah ke telinga tengah).
2. Adanya kurang pendengaran.
Demikian disini merupakan indikasi untuk miringoplasti maupun
tympanoplasti.
 Miringoplasti maupun timpanoplasti tidak akan memberikan
kemajuan pendengaran apabila efek transformer, fungsi tuba dan
fungsi kohlea jelek. Demikian pula bila derajat kurang
pendengaran mencapai 50 dB atau lebih, hasil
miringoplasti/timpanoplasti juga disangsikan.
 Untuk miringoplasti sebaiknya dilakukan estimasi pra-operasi
dengan cara menutup perforasi dengan kertas sigaret yang
dibasahi parafin steril, ditest audiometric.
2. Tipe atikoantral :
a. Aktif :
1. Dengan kolesteatom :
 Tipanotomi anterior (untuk eksplorasi kavum timpani) maupun
timpanotomi posterior (untuk eskplorasi abtrum, atik dan reses
fasialis). Bila perlu, lakuakn mastoidektomi radikal.
 Untuk timpanoplasti (osikuloplasti dan miringoplasti) lakukan
sebagai prosedure kedua, setelah infeksi benar-benar teratasi.
2. Dengan polip aural :
- Setiap polip aural yang ekstrusi atau menutup perforasi harus
diangkat, demi kelancaran drainase.
- Pengangkatan polip sebaiknya dengan anestesi umum dan
menggunakan mikroskop operasi.
3. Dengan granulasi/grnuloma :
- Seperti polip, grnuloma dapat menghambat drainase, sehingga
jaringan patologik yang sebenarnya masih reversible kurang
memberikan respons terhadap toilet maupun medikasi topikal.
- Granulasi kecil dapat dihilangkan dengan kauter berulang dengan
AgNo3, yang besar perlu porsef dibawah anestesi local/umum.
4. Hanya discaj pus dari perforasi atik atau posterior :
- Coba dahulu dengan terapi konservatif, karena sebagian dari
bentuk isi kenyataannya cukup responsive terhadap pengobatan
konservatif.
- Bila pengobatan konservatif tidak membawa hasil, perlu
dilakukan pembedahan guna eradikasi dan restorasi fungsi
konduksi.
5. Dengan komplikasi :
- Pada OMK dengan ancaman komplikasi, terlebih nyata-nyata
telah ada komplikasi keluar batas celah telinga luar, segera
dilakukan operasi eksplorasi.
b. Tenang :
- Pada OMK tipe atikoantral yang telah tenang, baik spontan atau
karena terapi konservatif, perlu diobservasi setiap 3-4 minggu selama
6 bulan.
- Bila dalam 6 bulan ini :
+ Tetap kering : Lakukan timpanoplasti/pasang ADB.
+ Timbul discaj lagi : Lakukan operasi eradikasi.
c. Inaktif :
 Tawari penderita untuk timpanoplasti/miringoplasti atau alat Bantu
dengar.
 Bila penderita menolak timpanolpasti/miringoplasti, nasehati untuk tetap
menjaga telinganya agar tidak terjadi re infeksi.

EDUKASI Berobat segera bila batuk pilek


KOMPLIKASI Penurunan pendengaran,parese facialis, mastoiditis, abses otak, meningitis
PROGNOSIS 1. ad vitam : bonam
2. ad sanatinem : dubia
3. ad fungsionam : dubia

KEPUSTAKAAN Helmi. Otitis media suppuratif kronis. Dalam:Helmi, editor. Otitis media suppuratif
kronis. Edisi ke 1. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2005. H. 55-68
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
KSM BEDAH
BAGIAN PENYAKIT OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

PEMANTAUAN DENYUT JANTUNG JANIN DALAM


PERSALINAN
RSUD Taman “INTRAPARTUM FETAL HEART RATE
Husada Bontang MONITORING”
Tanggal Terbit : No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur
30 Januari 2018 01/KOM B-OG/RSUD

Revisi ke :
01 Dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
BATASAN Pemantauan DJJ dengan KTG selama persalinan.
TUJUAN Untuk mengurangi hasil persalinan yang buruk akibat hipoksia atau asidosis yang
dapat dialami janin selama persalinan.
PEMANTAUAN DJJ - Dilakukan pada ibu bersalin resiko rendah yang ditentukan saat masuk
SECARA kamar bersalin dengan admission test
INTERMITEN - Pemantauan/pemeriksa harus terlatih
- Pemantauan harus dapat menginterpretasikan hasil pemantauannya sesuai
dengan panduan yang berlaku

Pada kala I :
- Pada kala I fase laten, pemantauan DJJ secara intermitten dilakukan setiap
jam.
- Pemantauan dengan dopler lebih dianjurkan daripada pemakaian stetoskop
pinard.
- Auskultasi DJJ intermitten dilakukan minimal setiap 30 menit kala I fase
aktif.
Pada Kala II :
- Auskultasi DJJ dilakukan setiap 5 menit setelah kontraksi/setelah ibu selesai
meneran.
PEMANTAUAN DJJ Dilakukan pada ibu hamil dengan resiko tinggi yakni
SECARA KONTINYU Masalah ibu :
- Riwayat seksio sesarea sebelumnya
- Preeklamsi
- Kehamilan lewat waktu (>42 minggu)
- Ketuban pecah lama (<24 jam)
- Induksi persalinan
- Diabetes
- Perdarahan antepartum
- Penyulit medis ibu lainnya
Masalah janin :
- Pertumbuhan janin terhambat
- Kehamilan multiple prematuritas
- Cairan ketuban terwarnai mekonium
- Oligohidramnion
- Letak sungsang
- Doppler velocimetry yang tidak normal
PEMANTAUAN Pembacaan hasil pemantauan kardiotokografi didasarkan 4 kriteria yakni:
HASIL DJJ SECARA 1. Baseline (frekuensi dasar denyut jantung janin)
ELEKTRONIK 2. Variabilitas (amplitudo DJJ)
3. Ada tidaknya deselerasi (penurunan frekuensi DJJ pada saat adanya gerakan
janin atau kontraksi)
NORMAL Apanila ke empat criteria masuk dalam kategori reassuring.
MENCURIGAKAN Apabila dua atau lebih criteria non-reassuring atau satu atau lebih criteria masuk
(SUSPICIOUS kategori abnormal
PATOLOGIS)
Klarifikasi Pola Denyut Jantung Janin
Denyut Variabilitas Deselerasi Akselerasi
Jantung Dasar
(Dpm)
Reassuring 110-160 ≥ 5dpm Tidak ada ada
Non 100-109 <5 -≥40 dpm Deselerasi
Reassuring 161-180 selama <90 dini,
menit deselerasi
variabel
Abnormal <100 <5 menit dpm Deselerasi
>180 selama≥90 variable
Pola menit atipik,
sinusoidal deselerasi
lambat,
deselerasi
memanjang
>3 menit

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


KSM BEDAH
BAGIAN PENYAKIT OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUPTURA UTERI

RSUD Taman
Husada
Bontang
Tanggal Terbit : No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur
30 Januari 2018 02/KOM B-OG/RSUD

Revisi ke :
01 dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
PENGERTIAN Robeknya dinding rahim, pada saat kehamilan atau persalinan dengan atau tanpa
(DEFINISI) robeknya peritoneum.
ANAMNESIS - Nyeri perut mendadak.
- Riwayat operasi pada uterus
PEMERIKSAAN Pada rupture komplit :
FISIK - Perdarahan pervaginam bisa sedikit atau banyak.
- Syok dengan gambaran klinis yang biasanya tidak sesuai dengan jumlah darah
yang keluar, karena adanya perdarahan intra abdominal.
- Kadang-kadang disertai sesak nafas/nafas cuping hidung atau nyeri bahu
- His tidak ada.
- Tanda-tanda adanya perdarahan intra abdominal.
- Bagian janin teraba langsung dibawah kulit dinding perut.
- Bunyi jantung janin tidak terdengar.
- Urin bercampur darah.

Pada rupture inkomplit :


- Nyeri perut mendadak.
- Tidak jelas ada tanda perdarahan intra abdominal.
- Perdarahab pervaginam.
- Dapat terjadi syok.
- His bisa ada atau tidak.
- Bagian janin tidak teraba langsung dibawah kulit dinding perut.
- Bunyi jantung janin bisa terdengar atau tidak.
- Urin bisa bercampur darah.
Pada eksplorasi rahim setelah janin lahir terdapat robekan dinding rahim tanpa ada
robekan perimetrium.
KRITERIA Rupture uteri komplit bila robekan uterus sampai perimetrium.
DIAGNOSIS Rupture uteri komplit bila robekan tidak sampai perimrtrium.
DIAGNOSIS -
BANDING
PEMERIKSAAN USG, Fungsi abdomen
PENUNJANG
TERAPI Laparotomi, Histerorafi, Histerektomi.
EDUKASI Fungsi reproduksi
PROGNOSIS Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
KSM BEDAH
BAGIAN PENYAKIT OBSTETRI DAN
GINEKOLOGI

EKLAMSI
RSUD Taman
Husada Bontang

Tanggal Terbit : No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


30 Januari 2018 03/KOM B-OG/RSUD

Revisi ke :
01 dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
PENGERTIAN Eklamsi adalah kelainan akut pada preeklamsi atau preeklamsi berat, dalam
(DEFINISI) kehamilan, persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya
kejangdengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan saraf pusat).
Eclamsia sine eclamsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan
kesadaran tanpa kejang.
ANAMNESIS 1. Umur kehamilan >20 minggu.
2. Hipertensi.
3. Kejang.
4. Penurunan kesadaran.
5. Penglihatan kabur.
6. Nyeri kepala hebat.
7. Nyeri ulu hati.
PEMERIKSAAN FISIK 1. Kesadaran : Somnolen sampai koma
2. Tanda vital : Tekanan darah >140/90 mmHg
3. Proteinuria minimal +1
4. Penurunan kesadaran tanpa disertai kejang.
5. Tetanus.
KRITERIA DIAGNOSIS Penderita preeklamsi berat disertai kejang.
DIAGNOSISI BANDING 1. Epilepsi.
2. Ensefalitis.
3. Meningitis.
4. Kejang karena kelainan SSP.
PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan Hb, Ht, Lekosit, Trombosit, Urin lengkap, fungsi hati,
PENUNJANG fungsi ginjal.
2. Pemeriksaaan foto rintgen thoreks.
3. Pemeriksaan CT Scan bila ada dugaan perdarahan otak.
4. Punksi lumbal, bila ada indikasi.
5. Pemeriksaan elektrolit Na, K, Ca dan Cl; kadar glukosa, ures N,
Kreatinin, SGOT, SGPT, analisa gas darah, asam urat untuk mencari
penyebab kkejang yang lain, atas indikasi.
6. Pemeriksaan USG, KTG.
TERAPI - Pengobatan medisinal :
1. Infuse larutan Ringer Laktat
2. Pemberian obat : MgSo4
- Perawatan pasien dengan serangan kejang :
Bila timbul kejang-kejang ulangan maka dapat diberikan 2g MgSO4
20% IV selama 2 menit, sekurang0kurangnya 20 menit setelah
pemberian loading dose. Dosis tambahan 2 gr hanya diberikan sekali
saja. Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang maka
diberikan amobarbital 3-5mg/Kg/BB/IV pelan-pelan atau segera
perawatan intensif.

- Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada :


1. Perawatan dikamar isolasi yang cukup terang.
2.
- Antihipertensi diberikan sesuai dengan preeklamsia berat :
- Kardiotonika :
- Lain-lain :
- Pengobatan obstetrik :
- Perawatan rumah sakit :
- Penyulit :
- Informed consent :
- Catatan medik :
- Pengobatan Obstetri
- Pengelolaan :
EDUKASI
PROGNOSIS

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


KSM BEDAH
BAGIAN MATA
MIOPIA
RSUD Taman
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 01/KOM B-MA/RSUD

Revisi ke
01 dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
PENGERTIAN Kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke dalam mata dalam
keadaan tanpa akomodasi dibiaskan pada satu titik fokus didepan retina.
ANAMNESIS 1. Menanyakan kepada penderita apakah ada gejala penglihatan kabur
jika melihat jauh
2. Menanyakan penderita apakah sering memicingkan mata jika melihat
jauh
3. Menanyakan penderita atau orangtua penderita lebih suka kegiatan
membaca
PEMERIKSAAN FISIK a. Pemeriksaan Subyektif
Menggunakan metode trial and error menggunakan alat bantu kartu
Snellen dan alat trial lens
b. Pemeriksaan Obyektif
Menggunakan alat streak retinoscopy atau alat auto refraktrokeratometer
KRITERIA DIAGNOSIS 1. Anamnesis : keluhan peng;ihatan kabur untuk melihat jauh, sering
memicingkan mata dan kebiasaan membaca
2. Pemeriksaan subyektif : tajam penglihatan membaik dengan koreksi
lensa sferis negatif
3. Pemeriksaan obyektif ; didapatkan hasil sferis negatif
DIAGNOSIS Miopia (H52.1)
DIAGNOSIS BANDING 1. Hipermetropia
2. Astigmat
3. Presbiopia
4. Pseudomyiopia
5. Katarak
6. Kelainan retina
7. Glaukoma
PEMERIKSAAN 1. Slit lamp
PENUNJANG 2. Oftalmoskopi
3. Tonometri
4. Refraksi sikloplegik
TERAPI 1.Pemberian kacamata lensa sferis negatif atau minus terkecil yang memberi
penglihatan terbaik
2. pemberian lensa kontak
3. bedah refraktif
KOMPLIKASI 1. Degerasi retina perifer
2. Patogik myopia
3. Rhegmatogenous retinal detachment
PROGNOSIS Advitam :dubia ad bonam
Adsanationam :dubia ad bonam
Adfungsionam :dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN 1. Abrams D. 1993. Duke Elder’s Practice of Refraction. 10th
edition.Churcill Livingstone. London.pp45-51
2. Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2011. Clinical Optics . In Basic
and Cinical Science Corse. American Academy of Ophthalmology.
Pp103-120
3. Carlson N.1996. In  Refractive Management of Ametropia (ed
Brookman KE). Butterworth Heinemann Elsevier. USA.pp45-71
4. Cheng D., SchmidKL., Woo GC., Drobe B., 2010. Randomized Trial
of Effect of Bifocal and Prismatic Bifocal Spectacles on Myopic
Progression-Two Years Result. Arch Ophthalmology 2010; 128(1);
12-19
5. Fotouhi A., Morgan Ian G., Iribarren R., Khabazkhoob M., Hashemi
H., 2012. Validity of noncycloplegic refraction in the assessment of
refractive errors: the Tehran Eye Study. Acta Ophthalmologica 2012;
90(4); 380-386
6. Grosvenor T. 2007. Primary Care Optometry. 5th edition.
Butterworth Heinemann Elsevier. Missouri.pp68-73
7. Gwiazda J, Marsh-Tootle WL, Hyman L, Hussein M, and Norton TT.
2002. Baseline Refractive and Ocular Component Measures of
Children Enrolled in the Correction of Myopia Evaluation Trial
(COMET). 
Invest. Ophthalmol. Vis. Sci.; 43: 314.
8. Maldonado-Bas A., Onnis R., 1998. Result of Laser in situ
keratomileusis in different degrees of myopia. Ophthalmology 1998;
105(4); 606-611
9. Riordan-Eva P, WhitcherJP. 2007. Vaughn & Asburry’s general
ophthalmology, 17th edition. The McGrawHill Companies
10. Sloane AE, Garcia GE. 1979. Manual of Refraction. 3rd edition.
Little Brown n Company. USA.pp31-37
11. WallineJJ.,Mutti D., Zadnik K., 2001. The contact lens and myopia
progression study. Vision Science and its Applications 2001; vol. 53

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


KSM BEDAH
BAGIAN MATA
HIPERMETROPIA
RSUD Taman
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 02/KOM B-MA/RSUD

Revisi ke
01 dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
PENGERTIAN Pedoman praktis klinis penatalaksanaan kelainan refraksi yaitu berkas sinar
sejajar yang masuk ke dalam mata pada keadaan tanpa akomodasi dibiaskan
di suatu titik fokus di belakang retina
ANAMNESIS 1. Menanyakan kepada penderita adakah gejala penglihatan jauh dan dekat
yang kabur
2. Menanyakan kepada penderita apakah didapatkan penglihatan tidak
nyaman (asthenopia)
3. Menanyakan kepada penderita apakah didapatkan sakit kepala di daerah
frontal
4. Menanyakan kepada penderita apakah ada sensitivitas yang meningkat
terhadap cahaya
5. Menanyakan kepada penderita apakah di dapatkan spasme akomodasi
6. Menanyakan kepada penderita apakah ada sensasi mata juling
PEMERIKSAAN FISIK c. Pemeriksaan Subyektif
Menggunakan metode trial and error menggunakan alat bantu kartu
Snellen dan alat trial lens
d. Pemeriksaan Obyektif
Menggunakan alat streak retinoscopy atau alat auto refraktrokeratometer
KRITERIA DIAGNOSIS 1. Anamnesis: Penglihatan kabur disertai keluhan penglihatan tidak nyaman
(astenopia), sakit kepala di daerah frontal, sensitivitas yang meningkat
terhadap cahaya, dan spasme akomodasi
2. Pemeriksaan subjektif: tajam penglihatan membaik dengan koreksi lensa
sferis positif
3. Pemeriksaan objektif: didapatkan hasil sferis positif
DIAGNOSIS Hipermetropia (H 52.0)
DIAGNOSIS BANDING 1. Miopia
2. Hipermetropia
3. Presbiopia
4. Kelainan retina
5. Katarak
6. Glaukoma kron
PEMERIKSAAN 1. Slitlamp biomikroskopi
PENUNJANG 2. Oftalmoskopi
3. Tonometri
4. Refraksi sikloplegik I-B/A (Chen J et al, 2011)
TERAPI 1. Pemberian kacamata lensa sferis positif atau plus terkuat yang
memberikan tajam penglihatan terbaik II-B/B (Cho YA et al, 2009)
2. Lensa kontak II-B/B (Sorbara L & Lu F, 2011)
3. Bedah refraktif I-A/A (Kanellopouloset al, 2005
KOMPLIKASI 1.Degerasi retina perifer
2.Rhegmatogenous retinal detachment
PROGNOSIS 1. Ad vitam : dubia ad bonam
2.Ad sanationam : dubia ad bonam
3.Ad fungsionam : dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN 1. Abrams D. 1993. Duke Elder’s Practice of Refraction. 10th
edition.Churcill Livingstone. London.pp45-51
2. Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2011. Clinical Optics . In Basic and
Cinical Science Corse. American Academy of Ophthalmology. Pp103-120
3. Atkinson J, Anker S, Bobier W, Braddick O, Durden K, Nardini M, and
Watson P. 2000.Normal Emmetropization in Infants with
Spectacle Correction forHyperopia. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci; 41:
3726.
4. Carlson N.1996. In Refractive Management of Ametropia (ed Brookman
KE). Butterworth Heinemann Elsevier. USA.pp45-71
5. Chen J., Xie A., Hou L., Lu F., Thom F., 2011. Cocloplegican non
cycloplegic refractions of Chinese neonatal infants. Invest Ophthalmology
and Visual Science 2011; 52(5); 2456-61
6. Cho YA., Yi S., Kim SW., 2009. Clinical evaluation of cessation of
hyperopic in 123 children with accommodative esotropia treated with
glasses for best corrected vision. Acta Ophthalmology 2009; 87(5); 532-
537
7. Grosvenor T. 2007. Primary Care Optometry. 5th edition. Butterworth
Heinemann Elsevier. Missouri.pp68-73
8. Kanellopoulos JA., Conway J., PeLH., 2006. LASIK for Hyperopia With
the WaveLightExcimer Laser. Journal of Refractive Surgery 2006; vol 22;
1-5
9. Riordan-Eva P, WhitcherJP. 2007. Vaughn & Asburry’s general
ophthalmology, 17th edition. The McGrawHill Companies
10. Sloane AE, Garcia GE. 1979. Manual of Refraction. 3rd edition. Little
Brown n Company. USA.pp31-37
11. Sorbara L., Lu F., 2011. Corneal refractive therapy gas permeable lens for
the correction of hyperopia after one night of lens wear. Eye Contact Lens
2011; 37(1); 26-30

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


KSM BEDAH
BAGIAN MATA

ASTIGMATISME
RSUD Taman
Husada Bontang
No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur
Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 03/KOM B-MA/RSUD

Revisi ke
01 dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH
PENGERTIAN Pedoman Praktis Klinis penatalaksanaan kelainan refraksi dimana berkas
sinar sejajar yang masuk ke dalam mata, pada keadaan tanpa akomodasi,
dibiaskan pada lebih dari satu titik fokus. Pada keadaan ini pembiasan dari
berbagai meridian tidak sama
ANAMNESIS 1. Menanyakan kepada penderita apakah di dapatkan keluhan Penglihatan
kabur
2. Menanyakan kepada penderita apakah di dapatkan distorsi bayangan
3. Menanyakan kepada penderita apakah didapatkan keluhan mata lelah
4. Menanyakan kepada penderita adakah nyeri kepala di bagian frontal
PEMERIKSAAN FISIK 1. Pemeriksaan subjektif : Dengan metode Trial and Error dengan
menggunakan alat bantu kartu Snellen
2. Pemeriksaan objektif
2.1. Dengan alat retinoskopi atau autorefraktokeratometer
2.2 Dengan juring astigmat untuk menentukan aksis
KRITERIA DIAGNOSIS 1. Anamnesis: penglihatan kabur, distorsi bayangan, mata lelah, nyeri kepala
2. Pemeriksaan subjektif dengan metode Trial and Error menggunakan alat
bantu kartu Snellen didapatkan tajam penglihatan membaik dengan
koreksi lensa silinder .
3. Pemeriksaan objektif: dengan alat retinoskopi atau alat
autorefraktokeratometer didapatkan hasil silinder
DIAGNOSIS Astigmat (H 52.2)
DIAGNOSIS BANDING 1. Miopia
2. Hipermetropia
3. Presbiopia
4. Katarak
5. Kelainan retina
PEMERIKSAAN 1. Funduskopi
PENUNJANG 2. Juring Astigmat
3. Cakram PlacidoIII/C ( Ramoz-Lopez D et al, 2011)
4. Cross cylinder III/C ( O Leary DJ, 2009)
5. Topografi kornea
TERAPI 1. Kacamata I-B/A (Treacy MP et al, 2013)
2. Lensa kontak II-A/B (Kurna SA et al, 2010)
3. Bedah refraktif I-A/A ( Waring GO 3rdet al, 2008
KOMPLIKASI 1.Degerasi retina perifer
2.Rhegmatogenous retinal detachment
PROGNOSIS 1.Ad vitam : dubia ad bonam
2.Ad sanationam : dubia ad bonam
3.Ad fungsionam : dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN 1.Abrams D. 1993. Duke Elder’s Practice of Refraction. 10th edition.Churcill
Livingstone. London.pp45-51

2.Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2011. Clinical Optics . In Basic and
Cinical Science Corse. American Academy of Ophthalmology. Pp103-120

3.Carlson N.1996. In  Refractive Management of Ametropia (ed Brookman


KE). Butterworth Heinemann Elsevier. USA.pp45-71
4.Cheng D., SchmidKL., Woo GC., Drobe B., 2010. Randomized Trial of
Effect of Bifocal and Prismatic Bifocal Spectacles on Myopic Progression-
Two Years Result. Arch Ophthalmology 2010; 128(1); 12-19

5.Fotouhi A., Morgan Ian G., Iribarren R., Khabazkhoob M., Hashemi H.,
2012. Validity of noncycloplegic refraction in the assessment of refractive
errors: the Tehran Eye Study. Acta Ophthalmologica 2012; 90(4); 380-386

6.Grosvenor T. 2007. Primary Care Optometry. 5th edition. Butterworth


Heinemann Elsevier. Missouri.pp68-73

7.Gwiazda J, Marsh-Tootle WL, Hyman L, Hussein M, and Norton TT. 2002.


Baseline Refractive and Ocular Component Measures of Children Enrolled in
the Correction of Myopia Evaluation Trial (COMET). 
Invest. Ophthalmol. Vis. Sci.; 43: 314.

8.Maldonado-Bas A., Onnis R., 1998. Result of Laser in situ keratomileusis in


different degrees of myopia. Ophthalmology 1998; 105(4); 606-611

9Riordan-Eva P, WhitcherJP. 2007. Vaughn & Asburry’s general


ophthalmology, 17th edition. The McGrawHill Companies

10.Sloane AE, Garcia GE. 1979. Manual of Refraction. 3rd edition. Little
Brown n Company. USA.pp31-37

11.WallineJJ.,Mutti D., Zadnik K., 2001. The contact lens and myopia
progression study. Vision Science and its Applications 2001; vol. 53

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


KSM BEDAH
BAGIAN MATA

PRESBIOPIA
RSUD Taman
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 04/KOM B-MA/RSUD
Revisi ke
01

dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH


PENGERTIAN Panduan praktis klinis penatalaksanaan berkurangnya kemampuan akomodasi
mata dengan makin bertambahnya usia
ANAMNESIS 1. Menanyakan usia penderita apakah lebih dari 40 tahun
2. Menanyakan kepada penderita adakah gangguan untuk pengllihatan dekat
dan kesulitan membaca cetakan-cetakan kecil
3. Menanyakan kepada penderita apakah sering menegakkan punggung atau
menjauhkan obyek yang dibaca.
4. Menanyakan kepada penderita apakah mata mudah lelah
PEMERIKSAAN FISIK 1. Refraksi subjektif dengan kartu Snellen untuk koreksi dahulu penglihatan
jauhnya sampai dengan 6/6
2. Dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan kartu Jaeger dengan jarak 0,33 m
atau sesuai kebutuhan pasien

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis: Melihat dekat kabur, Usia lebih dari 40 tahun
2. Tajam penglihatan dekat membaik dengan koreksi lensa sferis positif
sesuai
DIAGNOSIS Presbiopia
DIAGNOSIS BANDING 1. Miopia
2. Hipermetropia
PEMERIKSAAN 1. Funduskopi
PENUNJANG
TERAPI
1. Kacamata dengan penambahan lensa sferis positif sesuai pedoman umur :
umur 40 tahun diberikan sferis + 1.00 dan setiap kenaikan 5 tahun
ditambahkan lagi dengan sferis + 0.50 .Bila koreksi jauhnya tidak 6/6
maka penambahan lensa sferis (+) tidak terikat pedoman umur, yang
terpenting penderita dapat membaca dekat dengan jelas. I-A/A
(Marmamula S et al, 2013)
2. Lensa Kontak I-B/A (Madrid-Costa D et al, 20
KOMPLIKASI -
PROGNOSIS 1.Ad vitam : dubia ad bonam
2.Ad sanationam : dubia ad bonam
3.Ad fungsionam : dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN 1.Abrams D. 1993. Duke Elder’s Practice of Refraction. 10th edition.Churcill
Livingstone. London.pp45-51

2.Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2011. Clinical Optics . In Basic and
Cinical Science Corse. American Academy of Ophthalmology. Pp103-120

3.Carlson N.1996. In  Refractive Management of Ametropia (ed Brookman


KE). Butterworth Heinemann Elsevier. USA.pp45-71

4.Cheng D., SchmidKL., Woo GC., Drobe B., 2010. Randomized Trial of
Effect of Bifocal and Prismatic Bifocal Spectacles on Myopic Progression-
Two Years Result. Arch Ophthalmology 2010; 128(1); 12-19
5.Fotouhi A., Morgan Ian G., Iribarren R., Khabazkhoob M., Hashemi H.,
2012. Validity of noncycloplegic refraction in the assessment of refractive
errors: the Tehran Eye Study. Acta Ophthalmologica 2012; 90(4); 380-386

6.Grosvenor T. 2007. Primary Care Optometry. 5th edition. Butterworth


Heinemann Elsevier. Missouri.pp68-73

7.Gwiazda J, Marsh-Tootle WL, Hyman L, Hussein M, and Norton TT. 2002.


Baseline Refractive and Ocular Component Measures of Children Enrolled in
the Correction of Myopia Evaluation Trial (COMET). 
Invest. Ophthalmol. Vis. Sci.; 43: 314.

8.Maldonado-Bas A., Onnis R., 1998. Result of Laser in situ keratomileusis in


different degrees of myopia. Ophthalmology 1998; 105(4); 606-611

9Riordan-Eva P, WhitcherJP. 2007. Vaughn & Asburry’s general


ophthalmology, 17th edition. The McGrawHill Companies

10.Sloane AE, Garcia GE. 1979. Manual of Refraction. 3rd edition. Little
Brown n Company. USA.pp31-37

11.WallineJJ.,Mutti D., Zadnik K., 2001. The contact lens and myopia
progression study. Vision Science and its Applications 2001; vol. 53

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


KSM BEDAH
BAGIAN MATA

ANISOMETROPIA
RSUD Taman
Husada Bontang

No. Dokumen : Ditetapkan oleh Direktur


Tanggal Terbit :
30 Januari 2018 05/KOM B-MA/RSUD
Revisi ke
01

dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A, MPH


PENGERTIAN Pedoman praktis klinis penatalaksanaan kelainan refraksi anisometropia
dimana terdapat perbedaan derajat kelainan refraksi pada kedua mata lebih
dari 3 dioptri. Dapat kedua mata miopia, kedua mata hipermetropia atau satu
mata miopia dan mata yang lain hipermetropia
ANAMNESIS 1. Menanyakan kepada penderita adakah penglihatan kabur
2. Menanyakan kepada penderita adakah sakit kepala
3.Menanyakan kepada penderita adakah gejala Astenopia (keadaan lelah,
panas pada mata, berair, mata sakit, rasa tertekan)
4.Menanyakan kepada penderita adakah gangguan melihat ruang (dimensi)
PEMERIKSAAN FISIK 1. Pemeriksaan Subyektif
Menggunakan metode trial and error menggunakan alat bantu kartu
Snellen dan alat trial lens
2. Pemeriksaan Obyektif
Menggunakan alat streak retinoscopy atau alat auto refraktrokeratometer
KRITERIA DIAGNOSIS 1. Anamnesis: Penglihatan kabur, sakit kepala, astenopia dan gangguan
melihat ruang
2. Pemeriksaan subjektif: didapatkan kelainan refraksi lebih dari 3 dioptri
antara kedua mata
3. Pemeriksaan objektif: didapatkan kelainan refraksi lebih dari 3 dioptri
antara kedua mata
DIAGNOSIS Anisometropia (H52.3)
DIAGNOSIS BANDING 1. Miopia
2. Hipermetropia
3. Astigmatisme
4. Ambliopia
5.Strabismus
PEMERIKSAAN funduskopi
PENUNJANG
TERAPI 1. Pemberian kacamata dengan perbedaan ukuran kedua mata tidak lebih
dari 3 dioptri I-A/A (Lee JY et al, 2013)
2. Lensa kontak II-B/B (Winn B et al, 1988)
3. Bedah refraktif II-B/B (Althomali TA, 2013)
KOMPLIKASI 1.Degerasi retina perifer
2.Rhegmatogenous retinal detachment
PROGNOSIS 1. Ad vitam : dubia ad bonam
2.Ad sanationam : dubia ad bonam
3.Ad fungsionam : dubia ad bonam
KEPUSTAKAAN 1.Abrams D. 1993. Duke Elder’s Practice of Refraction. 10th edition.Churcill
Livingstone. London.pp45-51
2.Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2011. Clinical Optics . In Basic and
Cinical Science Corse. American Academy of Ophthalmology. Pp103-120
3.Atkinson J, Anker S, Bobier W, Braddick O, Durden K, Nardini M, and
Watson P. 2000.Normal Emmetropization in Infants with
Spectacle Correction forHyperopia. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci; 41:
3726.
4.Carlson N.1996. In Refractive Management of Ametropia (ed Brookman
KE). Butterworth Heinemann Elsevier. USA.pp45-71
5.Chen J., Xie A., Hou L., Lu F., Thom F., 2011. Cocloplegican non
cycloplegic refractions of Chinese neonatal infants. Invest Ophthalmology and
Visual Science 2011; 52(5); 2456-61
5.Cho YA., Yi S., Kim SW., 2009. Clinical evaluation of cessation of
hyperopic in 123 children with accommodative esotropia treated with glasses
for best corrected vision. Acta Ophthalmology 2009; 87(5); 532-537
6.Grosvenor T. 2007. Primary Care Optometry. 5th edition. Butterworth
Heinemann Elsevier. Missouri.pp68-73
7.Kanellopoulos JA., Conway J., PeLH., 2006. LASIK for Hyperopia With
the WaveLightExcimer Laser. Journal of Refractive Surgery 2006; vol 22; 1-5
8.Riordan-Eva P, WhitcherJP. 2007. Vaughn & Asburry’s general
ophthalmology, 17th edition. The McGrawHill Companies
9.Sloane AE, Garcia GE. 1979. Manual of Refraction. 3rd edition. Little
Brown n Company. USA.pp31-37
10.Sorbara L., Lu F., 2011. Corneal refractive therapy gas permeable lens for
the correction of hyperopia after one night of lens wear. Eye Contact Lens
2011; 37(1); 26-30

Anda mungkin juga menyukai