Anda di halaman 1dari 9

BAB V

MASA AKHIR PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

Kebijakan de etatisasi dan liberalisasi yang dilakukann sejak tahun 1860 ternyata telah
membawa kemajuan ekonomi yang sangat besar di Hindia Belanda. Akan tetapi kemajuan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi ternyata tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan
penduduk daerah jajahan. Kebijakan emansipasi yang ingin diwujutkan oleh kelompok liberal,
justru terjadi yang sebaliknya. Usaha untuk melepaskan orang pribumi dari kungkungan adat
mereka, justru berakibat munculnya berbagai kesulitan ekonomi yang seolah tidak
berkesudahan. Berkembangnya usaha swasta justru yang terjadi adalah ekploitasi yang lebih
menekan kehidupan mereka sebagai akibat oleh praktek-praktek eksploitasi. Praktek eksploitasi
ini tetap berlangsung, yang berubah hanyalah subjek pelakunya, dari yang semula negara
berubah menjadi swasta kapitalis.
Dua dasa warsa terahir abad ke 19 terjadi krisis ekonomi yang amat dalam di Hindia
Belanda. Titik nadir krisis ini terjadi pada tahun 1890-an. Harga produk perkebunan yang bdi
ekspor ternyata harganya turun di pasaran dunia. Harga kopi, gula jatuh walaupun jumlah ekspor
masih bisa ditingkatkan dari tahun ke tahun. Sehingga investasi di bidang perkebunan dianggap
tidak lagi menguntungkan. Sehingga dana investasi dialihkan ke sektor pertambangan untuk
sedikit banyak menyelamatkan keadaan.
Turunnya harga produk perkebunan di dunia, semakin memerosotkan tingkat kehidupan
orang pribumi. Kemerosotan ini lebih disebabkan oleh berubahnya pola tanam yang berorientasi
pada ekspor, sehingga tanaman yang membuat sediaan pangan diabaikan. Kehidupan
masyarakat pribumi yang hanya bertarap subsistem tanpa adanya kemungkinan membentuk
modal kerja yang cukup menyebabkan mereka semakin tidak berdaya. Sedangkan tatanan sistim
swadaya masyarakat pedesaan yang selama ini amat dihandalkan telah rusak, sehingga mereka
semakin terjejas dalam kemelaratan yang kronis. Keadaan ini telah menimbulkan konsekuenasi-
konsekuensi dalam percaturan politik sosial-ekonomi di Hindia Belanda.
Kegagalan kelompok liberal radikal, telah mencuatkan kelompok liberal konservativ yang
ideal-humanistik untuk menyuarakan pentingnya upaya pemerintah untuk segera memperbaiki
nasib golongan pribumi. Mereka menyuarakan agar pemerintah bertanggung jawab untuk
melaksanakan kewajiban moralnya yaitu menghentikan dan mencegah terulangnya eksploitasi
terhadap rakyat pribumi. Sebagai gantinya mereka menawarkan kebijakan perwalian.

1. Politik humanisasi.
Politik perwalian yang diusulkan oleh kelompok liberal konservativ, sebagai upaya untuk
meningkatkan martabat kesusilaan masyarakat pribumi sebagai politik balas budi dari hasil
eksploitasi pemerintah Hindia Belanda. Demi kehormatan bangsa Belanda hasil eksploitasi harus
dikembalikan ke rakyat pribumi dalam bentuk restitusi yang dapat dipakai untuk membiayai
usaha peningkatan tarap hidup rakyat pribumi. Suara-suara ini tidak saja disampaikan oleh tokoh-
tokoh politik berpengaruh saja, akan tetapi juga disuarakan oleh penulis-penulis dari luar dunia
politik akan tetapi suara ini mampu membangun opini publik. Ofensih etik dalam kebiajakan ini
semakin mencuat ketika terbukti bahwa kesejahteraan penduduk pribumi pada akhir abad ke 19
justru semakin menurun, sedangkan defisit total yang diderita dalam anggaran daerah jajahan
justru semakin meningkat terus. Pada akhir tahun 1899 defisit tercatat telah mencapai $
60.400.000. melihat kenyataan ini maka pada tahun 1901 Raja menitahkan secara resmi perlunya
pemerintah menanggapi dengan opsitif apa yang dinamakan “panggilan moral” (‘de zederlijke
roepeing’) dalam hubungannya dengan daerah jajahan.
Jika periode 1860-1900 dapat dikatakan sebagai periode yang di dominasi oleh kebijakan
liberalisasi ekonomi dan kebijakan untuk menghentikan monopoli dalam hal usaha-usaha
ekonomi di Hindia Belanda, maka tahun 1900-1940 dapat dilihat sebagai suatu periode yang
disominasi oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang menganut garis kebijakan politik etik.
Pemahaman garis politik ini juga beragam. Locher-Scholten menginventarisasi sedikitnya ada 4
pengertian, yang tentu saja semuanya tepat semakna dengan apa yang dimaksud oleh pencetus
istilah tersebut.
Pengertian 1: cenderung diartikan sebagai kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan
ekonomi dan sosial penduduk pribumi melalui kebijakan perwalian, pengasuhan (voogdij). Dalam
rencana dan implementasinya, demi keberhasilan jangka panjang, politik etik dilaksanakan
dengan pola peningkatan tarap keterpelajaran penduduk. Maka sejak awal kebijakan ini
pendidikan untuk anak pribumi mulai diadakan, diselenggarakan dan dikembangkan. Kebijakan
ini diselenggaran pada dasa warsa pertama abad ke 20.
Pengertian 2: pada periode dasa warsa kedua abad ke 20, nampaknya ada perubahan yang
nyata dari semula berwarna ekonomi, sosial dan kebudayaan, ke kebijakan-kebijakan yang
bersifat politik. Pada masa ini politik etik didominasi oleh pemikiran-pemikiran yang lebih bersifat
politik. Politik etik lebih ditujukan untuk meyiapkan hidup kenegaraan masyarakat Hindia
Belanda di kemudia hari. Suatu pemerintahan sendiri yang disebut dengan “zelfbestuur” sebagai
bagian dari kerajaan Belanda. Volksraad sebagai badan (kuasi) legislatif mulai diadakan dan
dikembangkan pada masa ini. Penataan ulang organisasi pemerintahan juga dipikirkan dan
direalisasi untuk mengefisienkan dan mengefektifkan administrasi pemerintahan eksekutif.
Kebijakan untuk menata lebih lanjut badan-badan peradilan, khususnya yang menyangkut
peningkatan profesionalitasnya, serta pengadaan hukum perundang-undangan untuk
meningkatkan kepastian hukum.
Keberhasilan kebijakan pada dasa warsa pertama, telah melahirkan lapisan kelompok elit
pribumi baru yang disebut dengan kaum intelektual nasionalis yang mampu berperan serta untuk
mendengarkan pendapat dan kemauannya menurut cita politiknya sendiri. Melihat kenyataan
ini, politik kolonial di bidang pendidikan justru semakin konservatif untuk menahan laju kelompok
tertidik ini. Konservatifme semacam ini yang kemudian memunculkan gerakan kaum terpelajar
nasionalis yang kehilangan kesabaran dan tidak percaya lagi dengan iktikat dan kerelaan
pemerintah kolonial untuk mewujudkan zelfbestuur di Hindia Belanda, dimana golongan pribumi
akan memperoleh statusnya yang lebih pantas.
Pengertian 3: eropanisasi pendidikan. Sebetulnya tujuan peningkatan pendidikan bukanlah
untuk melahirkan gerakan politik kaum nasionalis, namun melihat pengemb angan pendidikan
“chiefly as a cultural asset” yang diharapkan pemerintah kolonial sebagai “may bridge the chasm
between different cultural worlds” dimana pendidikan berbasis pada budaya barat akan mudah
diapresiasi dan disambut oleh masyarakat non-Eropa. Pendidikan dimaksud akan memberikan
keuntungan materiel dan ekonomik, dalam arti bahwa hanya melalui pendidikan sajalah orang
akan lebih mampu memperoleh kehidupan yang lebih makmur, layak dan berkepastian.
Pengertian 4: politik etik sebagai membatasi tujuan pada soal-soal ekonomi dan politik
melalui kemajuan pendidikan. Pada awalnya pengambil kebijakan hanya mengejar tujuan
ekonomi dan kultural saja, namun kebijakan ini membawa implikasi politik, yaitu berkembangnya
tuntutan terselenggaranya zelfbestuur di Hindia Belanda. Pola yang kemudian ditawarkan adalah
pola yang universalis yang percaya bahwa eropanisasi kultur penduduk jajahan akan membawa
kemajuan dan peningkatan taraf hidup. Sedangkan kelompok yang menawarkan pola partikularis
yang berkeyakinan bahwa kemajuan dan peningkatan tarap hidup penduduk dapat diupayakan
tanpa perlu eropanisasi terlebih dahulu secara paksa dan semena-mena kehidupan penduduk
itu. Kontroversi ini pula yang melahirkan perbedaan konsep dalam kebijakan pendidikan sebagai
bagian dari akulturasi peradaban eropa dan mereka yang bermaksud mendayagunakan
pendidikan sebagai strategi dari perbaikan status sosial-ekonomi penduduk dengan
memperhitungkan situasi dan kondisi setempat.
Apapun motifnya, pengembangan pendidikan rakyat secara terencana lebih tampak nyata
sebagai upaya liberal yang lebih sabar untuk mengubah wajah tanah jajahan dibandingkan
dengan usaha serupa dilakukan melalui usaha-usaha yang menggunakan pola bewuste rechts-
politiek pada pertengan abad ke 19. Proses pendidikan adalah proses yang lebih alami dan lebih
didasari oleh kesukarelaan dibandingkan dengan proses melalui perundang-undangan yang lebih
instruktif dan koersif. Atau boleh dikatakan proses melalui pendidikan lebih conditioning
daripada enginering meskipun upaya kelompok liberal untuk mengupayakan rekayasa sosial
tidak pernah berhenti.

2. Upaya unifikasi hukum masih berlanjut.


Pada tahun 1904, P. J. Idenburg, pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Koloni,
mengajukan rancangan undang-undang yang memungkinkan pengkodifikasian hukum perdata
materiel untuk seluruh golongan penduduk berdasarkan Burgerlijk Wetboek dengan beberapa
pengecualian, misalnya aspek hukum tanah, hukum keluarga dan waris bagi mereka yang
beragama islam. Rancangan UU yang diajukan oleh Idenburg ini mengalami banyak perubahan
dan penyempurnaan yang memungkinkan tertampungnya kekhususan-kekhususan hukum yang
hidup dan berlaku di kalangan orang pribumi. Terutama amandemen yang diajukan oleh J.W.H.M
van Idsinga. Walaupun pada tahunn 1906 RUU Idenburg disetujui dan sempat diumumkan oleh
pemerintah, akan tetapi sampai saat-saat terahir ternyata tidak pernah di implementasikan.
Perlawanan terhadap pemberlakuan terhadap upaya pemberlakuan hukum Eropa ke masa
pribumi datang dari seorang akademisi tulen C van Vollenhoven. Ia mereaksi rancangan Idenburg,
pada saat yang sama juga ramai dalam perbincangan di parlemen, van Vollenhoven menyebar
luaskan kritiknya yang menyatakan bahwa hukum yang di cita-citakan Idenburg adalah hukum
yang asing bagi orang pribumi, sama seperti dulu hukum Perancis dipaksakan untuk orang
Belanda. Kritik van Vollenhoven yang menginspirasi amandemen dari van Idsinga.
Pada tahun 1914, berlawanan dengan semangat yang terkandung dalam amandemen van
Idsinga, pemerintah Belanda menerbitkan rancangan rancangan KUHPerdata untuk seluruh
golongan penduduk Hindia Belanda, tanpa kecuali. Kembali van Vollenhoven menulkiskan
pendapatnya untuk membela dan memperjuangkan pengakuan atas hukum adat. Entah apa
alasannya, RUU yang mendasarkan pada cita unifikasi hukum ini ditinggalkan dan tidak pernah
diajukan ke parlemen.
Pada tahun 1919 atas prakarsa Th. B. Pleyte diajukan suatu RUU yang mencoba untuk
mengatur nhak kepemilikan tanah oleh orang-orang pribumi menurut asas-asas hukum eropa.
Reaksi van Vollenhoven muncul dalam bentuk tulisan tentang konsep-konsep pertanahan dan
hak-hak atas tanah sebagaimana dimengerti menurut adat pribumi. Disini ven Vollenhoven
mempertanyakan kebijakan pemerintah yang mengingkari beschikkingrechts desa-desa atas
tanah-tanah yang belum di garap, dan mempertanyakan pula sejauh mana keabsyahan tindakan
pemerintah dalam memberikan hak erfpacht kepada perusahaan-perusahaan perkebunan atas
tanah-tanah kosong yang belum digarap rakyat.
RUU pleyte ini ahirnya ditarik. Namun ide unifikasi hukum yang secara persisten diusahan
pemerintah tidaklah hendak berahir dengan ditariknya prakarsa Pleyte. Ketika unifikasi hukum
pidana berhasil terlaksana pada tahun 1918. Selanjutnya F. J. H. Cowan (Direktur Kehakiman pada
pemerintahan kolonial Batavia) pada tahun 1923 mengajukan RUU Hak Perdata untuk unifikasi
KUHPerdata untuk Hindia Belanda. Sebetulnya rancangan ini telah berhasil ditulis pada tahun
1920, akan tetapi baru diumumkan pada tahun 1923. Seperti pada waktu yang lalu, van
Vollenhoven menuliskan gagasannya dan mengajak publik untuk berpolemeik.
Dalam tulisannya yang dimuat pada tahun 1925, Cowan mengemukakan dua alasan
pembenar untuk memperkuat argementasi rancangannya.
1) Pertama, bahwa hukum adat yang tidak tertulis itu menimbulkan ketidak pastian
hukum. Dan jikamhanyanbersandar pada hukum adat maka sulit baginya untuk
memperkirakan apa yang sekiranya akan diputuskan hakim.
2) Penerapan berbagai ragam hukum untuk berbagai ragam golongan penduduk akan
melahirkan situasi yang membingungkan dan kisruh.
Cowan bersikukuh bahwa motifnya bukanlah sekali-kali motif politik atau ekonomik. Motif
menggunakan hukum Eropa sebagai dasar unifikasi bertolak dari argumen bahwa dalam praktek
ternyata masyarakat timur lebih banyak mengambil alih pranata barat daripada sebaliknya, dan
karena hukum perdata itu selalu mengikuti pranata sosial, maka rujukan pe pranata dan hukum
eropa dapat dipertanggungjawabkan sebagai masuk akal.
Kritik van Vollenhofen terhadap pandangan Cowan, menyatakan bahwa Cowan telah
mengabaikan sepenuhnya kenyataan hukum adat sebagai hukum yang hidup. Hukum yang hidup
tidak mungkin bisa direkayasa dengan menerbitkan aturan dalam staadblad. Ide Cowan adalah
ini yang lahir pada jaya-jayanya inlektualisme yuridis yang dogmatik, dan terlahir di benak
sejumlah pejabat elit di Batavia dan den Haag yang percaya bahwa hukum yang hidup dapat
dipesan dan dibuat dengan cara mengundangkannya semata. Perlawanan van Vollenhofen ini
menyebabkan gugurnya usulan RUU Cowan.
Sebetulnya van Vollenhofen bukanlah seorang yang anti unifikasi, karena pada dasarnya ia
berpendapat pada ahirnya akan terwujud unifikasi hukum karena memang dikendaki secara
bersama. Yang tidak disukai oleh van Vollenhofen adalah cara untuk menundukkan hukum
kelompok minoritas ke hukum kelompok mayoritas
Nampaknya dualisme hukum abad ke 19 dipertahankan kembali dengan catatan bahwa
hukum adat harus dipelajari dan diteliti untuk kelak pada suatu ketika dikodifikasikan. Dualisme
hukum menjadi semakin kokoh setelah kebijakan ini mendapatkan pengukuhan dari pemerintah
dengan diundangkannya Indische Staadsregeling (IS) pada tahun 1925 yang mengukuhkan
kembali sistim dualisme hukum. Hukum yang tadinya bersifat unifikasi seperti Koelie Ordonantie
pada tahun 1927 dicabut dan dinyatakan hanya berlaku bagi golongan Eropa atau yang
dipersamakan.
3. Pengembangan Hukum Adat melalui kebijakan Ter Haar.
Van Vollenhoven dari belakang mimbarnya di Universitas Leiden berperan besar dalam
menghidupkan ide tentang eksistensi dan potensi hukum adat untuk menjaga kesejahteraan
hidup bangsa-bangsa pribumi. Selepas tahun 1925, para eksponen hukum adat mulai berhimpun
pula di Hindia Belanda. Dan sebagian dari mereka adalah anak-anak pribumi yang pada tahun
1920-an mulai dibakar dengan api semangat nasionalisme. Para yuris murid van Vollenhoven
yang se ide dengannya telah dengan sungguh-sungguh meneruskan perjuangan untuk
melestarikan hukum adat. Salah satu murid van Vollenhoven yang kemudian berperan dalam
pengembangan hukum adat dengan arahan agar dapat berfungsi sebagai hukum modern adalah
B. Ter Haar Bzn seorang guru besar di Universitas Leiden yang pada tahun 1930 bertugas di
Rechtshogeschool di Batavia.
Perbedaan dalam cara pendekatan dan penggarapan hukum adat antara van Vollenhoven
dengan ter Haar membawa perbedaan dalam hal mengkonsepkan hukum adat. Van Vollenhoven
melihat hukum adat sebagai gedragsregel (aturan perilaku/milik rakyat) sedangkan ter Haar
mengkonsepkan hukum adat sebagai de beslissingen van de adatrechts fungsionarissen
(keputusan pemerintah, bagian dari kebijakan penguasa).
Konsep van Vollenhoven yang lebih populis ini rupanyan memang cocok untuk dianut
semasa hukum adat belum memperoleh pengakuan dan tidak dipandang sebagai hukum yang
memenuhi syarat untuk keperluan kehidupan modern. Konsep hukum adat sebagai hukum
rakyat memberikan kesan konseptual dikhotomik terhadap hukum kodifikasi. Dan kesan seperti
itu yang mendorong van Vollenhoven untuk membela kelestarian hukum adat dari tekanan
kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang hendak menggusur hukum adat yang hukum
rakyat itu.
Ter Haar bekerja untuk hukum adat dalam suasana yang berbeda dengan suasana van
Vollenhoven menuliskan perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan pemerintah di Negeri
Belanda yang miskeningen (salah paham) terhadap hukum adat. Sementara ter Haar berada
dalam puncak kariernya sebagai orang yang disegani di dalam bidang hukum adat, hukum adat
telah mempunyai dan memperoleh tempat dan pengakuan dalam tata hukum Hindia Belanda.
Dualisme hukum tidak lagi dipermasalahkan, bahkan memperoleh makna baru dalam arti apa
yang disebut Jhon Ball sebagai the enlightened dualism, dimana hukum adat dan hukum
kodifikasi dihargai setara, dengan konflik-konflik hukum diantara keduanya diselesaikan dengan
ajaran hukum intergentil atau hukum antar golongan. Hukum adat bukan hanya terpraktekkan
akan tetapi juga teresmikan sebagai yurisprudensi.
Ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup, terpakai di
badan-badan pengadilan negara Landraad yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa
perkara-perkaya orang pribumi. Ter Haar berhasil mengukuhkan hukum adat atas dasar kekuatan
preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad. Dalam masalah ini ter
Haar telah berhasil menghimpun dan menyusun pengertian-pengertian dan konsep-konsep
hukum adat tanpa meracukan dengan pengertian-pengertian serta konsep-konsep yang semula
hanya dikenali dalam terminologi Belanda.
Di tangan ter Haar dan murid-muridnya, hukum adat berhasil memenuhi fungsinya sebagai
hukum yang dapat dipakai di pengadilan-pengadilan negara yang modern. Mereka juga berhasil
membangun profesionalitas pengadilan hukum adat, perawatan literatur, pengembangan studi
dan metode penelitiannya. Secara diam-diam dan tidak banyak diketahui orang, ter Haar
mengembangkan pola kerja yang tersusun menurut tradisi common law Anglo Saxon sehingga
tak banyak disadari oleh mereka yang bekerja dalam pola civil law Continental.
Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki
kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior).
Pengkodifikasiannya menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan
menghilangkan kekuatan dinamiknya. Ter Haar memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal
forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi substansinya kepada pengalaman
masyarakat itu sendiri. Ter Haar merintis berfungsinya hukum adat menurut aliran realisme.
Hukum adat akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut
konsep legal realism dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep
analitical jurisprudence. Kodifikasi dan unifikasi bisa saja dilakukan akan tetapi celah perbedaan
akann selalu terkuak lebar antara apa yang dikaedahkan dengan apa yang terwujud sebagai
perilaku aktual. Pengalaman dalam mengunifikasikan hukum tanah dan hukum perkawinan telah
membuktikan hal itu.
Akhir-akhir ini banyak pemikiran dan dan kenyataan yang terungkap bahwa hukum tidak
selamanya mampu memenuhi fungsinya sebagai penata kehidupan masyarakat. Sebagai
gantinya dalam masyarakat selalu didapati apa yang disebut dengan self regulating mechanism
yang bekerja secara informal namun otonom. Sekalipun informal, mekanisme ini seringkali juga
berfungsi sebagai penyelesai sengketa dan/atau sebagai pemulih situasi tertib pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai