Anda di halaman 1dari 31

PENGUJIAN BAKTERI JENIS Staphylococcus aureus PADA

IKAN LAYANG SEGAR ( Decapterus Sp)

TUGAS AKHIR

Oleh:

SUTRIANI
152203021

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL


PERIKANAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP
2018

1
i
ii
RINGKASAN

SUTRIANI, 15 22 030 212. Pengujian Bakteri Jenis Staphylococcus aureus Pada


Ikan Layang segar ( Decapterus Sp.) dibimbing oleh Tasir Pammula dan A. Muh
Yuslim Patawari

Ikan secara alami mengandung komponen gizi seperti lemak, protein,


karbohidrat, dan air yang sangat disukai oleh mikroba perusak, Staphylococcus
aureus salah satu bakteri penyebab kerusakan pada ikan. Keracunan makanan
dapat disebabkan kontaminasi enterotoxin dari Staphylococcus aureus. Gejala
keracunan ditandai dengan oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare hebat tanpa
disertai demam. Untuk memberikan jaminan dan keamanan pada konsumen maka
perlu dilakukan pengujian Staphylococcus aureus.
Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah untuk menganalisa kandungan
Staphylococcus aureus pada ikan Layang dengan metode cawan hitung agar
sebar. Adapun kegunaan penulisan tugas akhir ini adalah sebagai sumber
informasi tentang pengujian Staphylococcus aureus.
Penulisan tugas akhir ini berdasarkan Pengalaman Praktek Kerja
Mahasiswa yang dilaksanakan mulai tanggal 31 Januari sampai 30 April 2018, di
UPT PMP2KP, Banyuwangi Jawa Timur, literature, dan instansi yang terkait
sebagai bahan perbandingan.Pengujian Staphylococcus aureus merupakan
kualitatif untuk menentukan ada tidaknya bakteri Staphylococcus aureus pada
produk yag diuji berdasarkan SNI 2332.9:2015.
Tahap-tahap pengujian Staphylococcus aureus meliputi preparasi sampel,
isolasi bakteri Staphylococcus aureus, uji koagulase dan uji tambahan. Pengujian
Staphylococcus aureus pada sampel ikan layang pada tahap isolasi
Staphylococcus aureus tidak ada koloni yang memiliki ciri-ciri seperti bakteri
Staphylococcus aureus yang tumbuh pada media BPA (10-1 – 10-3) sehingga tidak
dilakukan uji koagulase dan uji tambahan dan dapat disimpulkan hasil yang
diperoleh pada pengujian Staphylococcus aureus pada sampel ikan layang adalah
negatif (-). Berdasarkan hasil pengujian tersebut ikan layang aman dikomsumsi,
dan memenuhi standar mutu.
Kata kunci : Ikan Layang, Staphylococcus aureus, Kualitas mutu

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkkaat

limpahan Rahmat da Hidayah-Nya sehingga penulisan laporan tugas akhir ini

berdasarkan hasil Praktek Kerja Lapangan di PMP2KP Banyuwangi Provinsi

Jawa Timur dengan judul “ Pangujian Bakteri Jenis Staphylococcus aureus

pada ikan layang Segar (Decapterus Sp)” yang dilaksanakan mulai bulan

Januari sampai dengan bulan Maret.

Penulisan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat terakhir dalam

proses program studi Teknologi pengolahan Hasil Perikanan, Politeknik Pertanian

Negeri Pangkep. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang

tua ayahanda Sudirman dan Ibunda Misbahyang senantiasa memberi dukungan

secara materi, semangat, moril, dan doa selama penulis memulai pendidikan

hingga selesai. Terima kasih pula untuk Ir. Tasir, M. si selaku pembimbing I dan

A. Muh. Yuslim P, S .ST. Pi., MP selaku pembimbing II.

Selesainya tugas akhir ini penulis banyak mendapat bimbingan dan


dukungan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada :

1. Ir. Dr. Darmawan, MP selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri


Pangkajene kepulauan.
2. Ir. Nurlaeli Fattah, M.si selaku ketua jurusan Tekologi Pengolahan Hasil
Perikanan dan Tita Sulistyawati, S.Si selaku pembimbing lapangan.
3. Tanoto Herlambang, S.Pi. MMA selaku pimpinan UPT. PMP2KP
Banyuwangi.

iv
4. Seluruh rekan-rekan di UPT. PMP2KP banyuwangi yang telah membantu
dan membimbing saya selama praktek di UPT. PMP2KP Banyuwangi.
5. Rekan – rekan seperjuangan Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan Angkatan XXVII yang telah banyak memeberikan motivasi dan
saran dalam penyelesaian tugas akhir.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini mungkin masih ada
kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun guna melengkapi tugas akhir. Semoga tugas
akhir ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan terutama bagi penulis
sendiri.

Pangkep, Juli 2018

Penulis

v
DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI .................................................... ii

RINGKASAN ................................................................................................. iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL........................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x

I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan ...................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1 Komoditi Ikan Layang (Decapterus sp.) ......................................... 3
2.2 Proses Penurunan Mutu Ikan ........................................................... 5
2.3 Kriteria dan Penilaian Organoleptik pada Ikan Segar ..................... 8
2.4 staphylococcus Aureus .................................................................... 9
2.5 Sumber dan Bahaya Staphylococcus aureus ................................... 12
2.6 Cara Penyebab Pada Pangan............................................................ 15
2.7 Pencegahan ...................................................................................... 15
2.8 Prinsip Pengujian (Staphylococcus aureus) .................................... 16
III. METODOLOGI ...................................................................................... 17
3.1 Waktu dan Tempat........................................................................... 17
3.2 Metode Pengumpulan Data ............................................................. 17

vi
3.3 Alat dan Bahan ................................................................................ 18
3.4 Prosedur Kerja ................................................................................. 18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 21
4.1 Hasil ................................................................................................. 21
4.2 Pembahasan ..................................................................................... 22
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 26
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 26
5.2 Saran .................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27
LAMPIRAN .................................................................................................... 29
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ 37

vii
DAFTAR TABEL
Hal
1.1.Komposisi Kimia Daging Ikan Layang................................................ 4
1.2.Hasil Pengujian Staphylococcus aureus............................................... 21

viii
DAFTAR GAMBAR

Hal

1.1.Ikan Layang (Decapterus sp.) .............................................................. 3


1.2.Staphylococcus aureus ......................................................................... 9
1.3.Penghitungan Koloni ............................................................................ 19

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Diagram Pengujia Staphylococcus aureus .................................. 30


Lampiran 2. Lembar Penilaian Organoleptik pada ikan segar ......................... 31
Lampiran 3. Alat Dan Bahan Pengujia Staphylococcus aureus....................... 33
Lampiran 4. Proses Pengujian Staphylococcus aureus .................................... 35

x
I. PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang

Negara indonesia dikenal sebagai negara bahari dimana wilayah lautnya


mencakup tiga perempatan luas indonesia atau 5,8 juta km2 dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km, sedangkan luas daratannya hanya mencapai 1,9 juta km 2.
Wilayah laut yang sangat luas tersebut mengandung sumber daya alam
perikanan yang sangat berlimpah, salah satuya adalah ikan layang. Sumberdaya
ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang
cukup melimpah dan banyak ditangkap untuk dijadikan komsumsi masyarakat
(Merta ,1998 dan suyedi, 2001).

Ikan layang (decapterus Sp.) merupakan salah satu jenis ikan pelagis
yang cukup banyak ditangkap. Disamping memiliki nilai ekonomis penting
juga banyak disukai oleh masyarakat. Jenis ikan ini biasanya dipasarkan dalam
bentuk segar dan olahan (Prihartini, 2006). Potensi ikan layang di provinsi
sulawesi selatan tengah cukup besar. Pada tahun 2014 tercatat produksi ikan
layang di sulawesi tengah sebesar 25.480,9 ton/tahun (Dinas Kelautan dan
Perikanan, 2014).Oleh karena itu produksi ikan layang (decaperus Sp.) yang
cukup tinggi di sulawesi tengah, maka pengujian terhadap ikan layang tersebut
perlu dilakukan. Pengawasan mutu bertujuan untuk mengetahui bahwa ikan
layang beredar dipasaran layak komsumsi dan bebas dari cemaran mikroba
khususnya bakteri Staphylococcus aureus.

Kerusakan pada produk perikanan segar dapat terjadi secara biokimia


maupun secara mikrobiologi. Kerusakan biokimia disebabkan oleh adanya
enzim-enzim dan reaksi-reaksi biokimia yang masih berlangsung pada tubuh
ikan segar. Sementara itu kerusakan mikrobiologi disebabkan karena aktivitas
mikrobia, terutama bakteri (Hadiwiyono, 1993).

1
Staphylococcus aureus salah satu bakteri penyebab kerusakan pada ikan
layang. Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari
Staphylococcus aureus. Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-
muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Ryan,1994 dan jawetz
,1995). Tuntutan konsumen terhadap jaminan dan keamanan pangan pada
produk perikanan semakin meningkat. Untuk memberikan jaminan dan
keamanan mutu salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah melakukan
pengujian mikrobiologi salah satunya melakukan pengujian Staphylococcus
aureus.

I.2. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penulisan tugas akhir ini untuk menganalisa kandungan


Staphylococcus aureus pada ikan layang segar.

Kegunaan penulisan tugas akhir ini adalah sebagai sumber informasi


tentang pengujian pengujian Staphylococcus aureus.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komoditi Ikan Layang (Decapterus Sp.)

Klasifikasi ikan layang (decapterus sp.) menurut klasifikasi saanin


(2004) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : pisces

Oeder : Percomorphi

Family : carangidae

Genius : Decapterus

Species : Decapterus Sp.

Nama Decapterus terdiri dari dua suku kata yaitu deca artinya sepuluh
dan pteron bermakna sayap. Jadi Decapterus mempunyai sepuluh sayap. Nama
ikan ini berkaitan erat dengan ikan layang yang berarti ikan yang mampu
bergerak cepat di dalam air laut. Kecepatan tinggi ini memang dapat dicapai
karena bentuknya seperti cerutu dan sisiknya sangat halus (Prihartini, 2007).

Gambar 1.1. Ikan Layang (Decapterus sp.)


Sumber : Chairita (2008)

3
Ikan layang (Decapterus sp.) termasuk ikan pelagis, berdasarkan
ukurannya dikelompokkan sebagai ikan pelagis kecil. Ikan ini tergolong suku
carangidae ini bisa hidup bergerombol. Warna tubuh ikan layang (Decapterus
sp.) pada bagian punggungnya biru kehijauan dan putih perak pada bagian
perutnya. Bentuk tubuh ukurannya mencapai 30 cm, rata-rata panjang badan
ikan layang pada umumnya adalah 20-25 cm dan warna sirip-siripnya kuning
kemerahan. Ikan layang memilki dua sirip punggung, ciri khas yang sering
dijumpai pada ikan layang ialah terdapatnya sirip kecil (finlet) dibelakang sirip
punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik berlingin yang tebal (lateral scute)
pada bagian garis sisi (lateral line) (Nontji, 2002).

Komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergatung spesies, jenis


kelamin, umur, musim, dan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut ditangkap.

Ikan layang memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Pada umumnya,
komposisi kimia daging ikan terdiri dari air 66-84%, protein 15-24%, lemak
0,1-22%, karbohidrat 1-3%, dan bahan organik 0,8-2%. (suban, 2004).

Komposisi kimia daging ikan layang (Decapterus sp.) dapat dilihat pada Tabel
berikut ;

Tabel 1.1. Komposisi Kimia Daging Ikan Layang (Decapterus Sp.) dalam 100g
Parameter Nilai

Kadar air (%) 78.58

Kadar abu(%) 1.03

Lemak (%) 1.90

Protein (%) 18.13

PH 5.98

TVB (mg N/100%) 9.79

Sumber : Chairita (2008)

4
2.2. Proses Penurunan Mutu Ikan

Komoditi hasil perikanan umumnya mempunyai sifat mudah megalami


kerusakan (perishable). Ikan secara alami mengandung komponen gizi seperti
lemak, protein, karbohidrat, dan air sangat disukai oleh mikroba perusak
sehingga ikan sangat mudah mengalami kemunduran mutu bila tidak dilakukan
penanganan dengan baik. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran mutu
ikan segar yaitu cara penangkapan, faktor biologis, dan cara penanganan
(Nurarisma dan Fatmasari, 2012).

Secara umum ikan diperdagangkan dalam keadaan sudah mati dan


seringkali dalam keadaan masih hidup. Pada kondisi hidup tentu saja ikan
dapat diperdagangkan dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya dalam
kondisi mati ikan akan segera mengalami kemunduran mutu.

Segera setelah mati, maka akan terjadi prubahan-perubahan yang


mengarah kepada terjadinya pembusukan. Perubahan-perubahan tersebut
terutama disebabkan adanya aktivitas enzim, mikroorganisme, dan oksidasi
dalam tubuh ikan itu sendiri. Perubahan-perubahan yang timbul seperti bau
busuk, daging menjadi kaku, sorot mata pudar dan adanya lendir pada insang
maupun tubuh bagian luar (Adawyah, 2014).

Kenyataannya proses kemunduran mutu berlangsung sangat kompleks.


Satu dengan yang lain saling kait mengait, dan bekerja secara simultan. Untuk
mencegah terjadinya kerusakan secara cepat, maka harus selalu dihindarkan
terjadinya ketiga aktivitas secara bersamaan.

Peoses perubahan pada tubuh ikan terjadi karena adanya aktivitas


enzim, mikroorganisme dan kimiawi. Penurunan tingkat kesegaran ikan terlihat
dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik ikan. Setelah ikan mati
proses perubahan tersebut berlangsung dengan cepat yang akhirnya ke
pembusukan (Riyanto, dkk, 2009).

5
Menurut Riyanto dkk,(2009) bahwa fase penurunan mutu yang terjadi
pada ikan setelah mati meliputi fase prerigor mortis (Hyperaemia), rigor
mortis, aktivitas enzim (Autolisis), dan pembusukan oleh bakteri.

a. Fase Prerigor Mortis (Hyperaemia)

Perubahan prerigor mortis merupakan fase ikan setelah mati. Aliran


oksigen didalam jaringan predaran darah terhenti karena aktivitas jantung dan
kontrol otak terhenti. Perubahan ini ditandai dengan terlepasnya lendir dari
kalenjar-kalenjar didalam kulit membentuk lapisan bening yang tebal
disekeliling tubuh ikan.

Lama waktu berlangsungnya proses ini adalah kurang dari 1 jam. Pada
fase ini sifat dari ikan masih menyerupai ikan hidup/masih bersifat segar. Ciri
dari ikan segar yakni bola mata yang menonjol, warna bola mata cerah dan
bening, insang berwarna merah cemerlang, terkstur daging elastis, sedikit
berlendir pada tubuh ikan, serta baunya spesifik jenis.

b. Rigor Mortis

Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian


perubahan kimia yang kompleks didalam otot ikan setelah kematiannya.
Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplay oksigen berkurang
sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat, pH tubuh ikan
menurun, dan diikuti pula dengan penurunan jumlah Adenosin Tri Phosfat
(ATP) serta ketidak mampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalan.

Perubahan rigor mortis disebabkan karena pH ikan menurun hingga


6,2-6,5. Setelah fase ini berakhir pH akan naik perlahan hingga basa. Hal ini
terjadi karena adanya penguraian senyawa dala tubuh ikan akibat menurunnya
kekuatan penyangga. Selain itu kelenturan pada tekstur ikan dikarenakan
terputusnya jaringan pengikat daging dan dinding selnya banyak yang rusak.

6
Perubahan warna insang menjadi kecoklatan disebabkan oleh terhentinya
peredaran darah dan suplay dari insang.

c. Aktivitas Enzim (Autolisis)

Autolisis adalah proses penguraian organ-organ tubuh ikan oleh enzim-


enzim yang terdapat didalam tubuh ikan itu sendiri. Setelah ikan mati enzim
masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif. Namun, sistem
kerjanya menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi.
Akibatnya enzim dapat merusak organ tubuh lainnya, seperti daging, usus, otot,
daging dan insang.

Ciri yang terjadi perubahan secara autolisis ini adalah dengan


dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir. Proses penguraian protein dan
lemak oleh enzim protease dan lipase yang terdapat didalam tubuh ikan
menyebabkan perubahan rasa, tekstur, dan penampilan ikan.

d. Pembusukan Oleh Bakteri

Fase pembusukan berikutnya adalah perubahan yang diakibatkan oleh


aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri. Selama ikan masih dalam keadaan
segar, bakteri-bakteri tersebut tidak mengganggu, akan tetapi jika ikan mati,
suhu tubuh ikan menjadi naik, mengakibatkan bakteri-bakteri tersebut segera
menyerang. Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi target serangan
bakteri adalah permukaan tubuh, isi perut dan insang. Sejumlah bakteri semula
bersarang pada target tersebut dan secara bertahap memasuki daging ikan,
sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif setelah selesainya
tahap rigormortis, yaitu setelah daging menjadi lunak dan cela-celah seratnya
terisi cairan. Segera terjadi pengrusakan jaringan-jaringan tubuh ikan, sehingga
lama kelamaan akan terjadi komposisi daging. Akibat serangan bakteri ikan

7
mengalami berbagai perubahan yaitu lendir menjadi pekat, bergetah, amis,
mata terbenam dan pudar, serta bau membusuk.

Meskipun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang


terbaik baginya hasil hidrolisis yang terbentuk selama autolisis dan senyawa-
senyawa nitrogen non protein dari pada ikan air tawar, dengan demikian air
laut cepat diuraikan oleh bakteri.

2.3. Kriteria dan Penilaian organoleptik Ikan segar

Berdasarkan SNI 01-2346-2006 kriterian mutu dan penilaian


organoleptik pada ikan segar adalah sebagai berikut.

a. Mata : Cerah, bola mata menonjol, kornea mata jernih untuk nilai 9. Cerah,
bola mata rata, kornea jernih untuk nilai 8. Agak cerah, bola mata rata,
pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh untuk nilai 7.
b. Insang : Warna merah cemerlang, tanpa lendir untuk nilai 9. Warna merah
kurang cemerlang, tanpa lendir untuk nilai 8. Warna merah agak kusam,
tanpa lendir untuk nilai 7.
c. Lendir permukaan Badan : Lapisan Lendir jernih, transparan, mengkilat
cerah untuk nilai 9. Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada
perubahan warna untuk nilai 8. Lapisa lendir mulai agak keruh, warna
agak putih, kurang transparan untuk nilai 7.
d. Daging (warna dan Kenampakan) : Sayatan daging cemerlang, spesifik
jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut
daging utuh untuk nilai 9. Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis, tidak
ada pemerahan sepanjang tulang belakang, daging perut utuh untuk nilai 8.
Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada
pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh untuk
nilai 7.
e. Bau : Bau sangat segar, spesifik jenis untuk nilai 9. Segar, spesifik jenis
untuk nilai 8. Netral Untuk nilai 7.

8
f. Tekstur : Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging
dari tulang belakang untuk nilai 9. Agak padat, elastis bila ditekan dengan
jari, sulit menyobek dari tulang belakang untuk nilai 8. Agak padat, agak
elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek dari tulang belakang untuk
nilai 7.

2.4. Staphylococcus aureus

Menurut Tasir, dkk (2014) mengatakan bahwa S. aureus adalah gram


positif berbentuk bola yang tersusun berkelompok seperti buah anggur, tak
bergerak, fakultatif aerob dan dapat tumbuh pada produk-produk yang
mengandung garam (NaCl) sampai 16 %. Mekanisme pencemarannya melalui
kulit, hidung dan tenggorokan manusia. Klasifikasi Staphylococcus aureus
meliputi :

a. Berdasarkan Morfologi

Gambar 1.2. Staphylococcus Aureus (Lenda, 2014)

Bentuknya bulat (cocus) atau lonjong (0,8 smapai 0,9), jenis yang
tidak bergerak, tidak berspora dan gram positif. Tersusun dalam kelompok
seperti buah anggur. Pembentukan kelompok ini terjadi karena pembelahan sel
terjadi dalam tiga bidang dan sel anaknya cenderung dekat dengan sel
induknya. Bersifat aerob dan tumbuh baik pada pembenihan yang sederhana
pada temperatur optimum 37°C dan pH 7,4.

9
b. Berdasarkan Filogenik (garis keturunan) menurut Syahrurahman (2010).

Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Bacilli

Oeder : Bacillales

Family : Staphilococcaceae

Genius : Staphilococcus

Species : S.aureus

c. Berdasarkan sifat pewarnaan

Staphylococcus aureus (S. Aureus) adalah bakteri gram positif yang


menghasilan pigmen kuning, bersifat aerob-fakultatif, tidak menghasilkan
spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok,
dengan diameter 0,8-1,0µm. Staphylococcus aureus tumbuh dengan optimum
pada suhu 37°C dengan waktu pembelahan 0,47 jam (Foster, 2008).
Staphylococcus aureus merupakan mikroflora normal manusia. Bakteri ini
biasanya terdapat pada saluran pernapasan atas dan kulit. Keberadaan
Staphylococcus aureus pada saluran pernapasan atas dan kulit pada individu
jarang menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan sebaai
karier. Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah karena
adanya perubahan hormon, adanya penyakit, luka, atau perlakuan
menggunakan steroid atau obat lain yang memengaruhi imunitas sehingga
terjadi pelemahan inang.

Menurut K. A. Buckle, R. A. Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton (1987).


Secara ekologi Staphylococcus aureus erat sekali hubungannya dengan
manusia dan hewan lainnya terutama pada bagian kulit, hidung dan
tenggorokan. Dengan demikian makanan kebanyakan tercemar melalui
pengolahan oleh manusia. Secara keseluruhan, organisme ini tidak kuat

10
bersaing dengan lainnya dan akibatnya bakteri ini tidak mempunyai peran yang
berarti pada bahan-bahan pangan yang dimasak. Akan tetapi, dalam makanan
yang dimasak atau diasin, dimana organisme-organisme yang telah rusak oleh
pemanasan atau pertumbuhannya terhambat oleh bakteri konsentrasi garam sel-
sel Staphylococcus aureus dapat berkembang mencapai tingkat yang
membahayakan. Batas suhu untuk pertumbuhan S. aureus adalah antara 15°C
hingga 45°C dan bakteri ini dapat tumbuh pada lempeng agar yang
mengandung NaCl sehingga konsentrasi 15% (Todar, 2012).

d. Berdasarkan Aktivitas Metabolisme


1. Kebutuhan akan O2

Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media


bakteriologi di bawah suasana aerobic atau microaerofilik. Koloni akan tumbuh
dengan cepat pada temperatur 37°C namun pembentukan pigmen yang terbaik
adalah pada temperatur kamar (20°C-35°C) koloni pada media padat akan
berbebtuk bulat, lembut dan mengkilat.
Pada pembenihan cair menyebabkan kekeruhan yang merata tidak
membentuk pigmen. Pada nutrien agar setelah di inkubasi selama 24 jam
kolonin berpigmen kuning emas, kurang 2-4 mm, bulat, cembung tapi rata.
Pada agar darah atau media BPA sekeliling koloni akan terlihat zona beta
hemolisa (zona jernih) yang lebar.

2. Produksi toksin dan enzim

Staphylococcus Aureus dapat menimbulkan penyakit melalui


kemampuan berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan dan melalui
pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Beberapa zat ini adalah enzim
sedangkan yang lain diduga toksin, meskipun berfungsi sebgai enzim
kebanyakan toksin berada dibawah pengendalian genetik plasmid atau DNA
yang berbentuk cekuler yang terdapat dalam kromosom.

11
Hemolisa : Staphylococcus aureus dapat dibedakan menjadi 3 hemolisa
yang disebut alfa, beda dan gama. Semua hemolisa ini antigennya berbeda.
Hemolisa alfa dapat menyebabkan hemolisa sel darah merah kelinci dan domba
dengan cepat, hemolisa alfa disbabkan oleh jenis koagulase positif dan penting
pada patogenesis infeksi pada manusia.

Koagulase: Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase suatu


protein yang mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang telah diberi
oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat pada banyak
serum. Faktor serum bereaksi dengan koagulase untuk menghasilkan enterase
dan menyebabkan aktivitas pembekuan. Koagulase dapat mendapatkan fibrin
pada permukaan Staphylococcus. Staphylococcus aureus membentuk
koagulase positif dianggap mempunyai potensi menjadi patogen invasive.

Katalase: Staphylococcus menghasilkan katalase yang mengubah


hyrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan oksigen. Tes katalase membedakan
Staphylococcus positif dari Streptococcus yang negatif.

Enterotoksin: adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap


suasana basa didalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam
keracunan makanan, terutama terutama pada makanan yang mengandung
karbohidrat dan protein.

2.5. Sumber dan Bahaya Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada kulit, saluran


pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. S. Aureus yang
patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan
mampu meragikan manitol.

Menurut (lawley, 2008) menyatakan bahwa salah satu sumber


kontaminasi Staphylococcus aureus adalah kulit manusia yang sebagian besar
dibagian tangan dan hidung. Secara tidak langsung kontaminasi bakteri ini

12
dapat terjadi ketika aktivitas pengolahan bahan pangan dilakukan langsung
dengan tangan, tanpa penggunaan alat sanitasi seperti sarung tangan atau
larutan antibakteri, selain itu kontaminasi juga dapat terjadi melalui respirasi
atau pernapasan manusia.

Menurut Rahmi Y, Darmawi, Mahdi A, Faisal J, Fakhrurrazi, dan


Yudha F. 2015 menyatakan bahwa Staphylococcus aureus dapat menyebabkan
terjadinya berbagai jenis infeksi mulai dari infeksi kulit ringan, keracunan
makanan sampai dengan infeksi sistematik. Infeksi yang terjadi misalnya
keracunan makanan karena Staphylococcus salah satu jenis faktor virulensi
yaitu Staphylococcus enterotoxin.

Menurut Ryan (1994) berpendapat bahwa keracunan makanan dapat


disebabkan kontaminasi enterotoksin dari Staphylococcus aureus. Waktu onset
dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan
tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat
menyebabkan keracunan adalah 1,0µg/gr makanan. Gejala keracunan ditandai
oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam.
Beberapa gejala seterusnya adalah berkeringat, kedinginan sakit kepala, dan
dehidrasi ( Ray, 2004).

Pendapat lain menurut Fardiaz, (1989) menyatakan bahwa gejala-


gejala keracunan Staphylococcus meliputi perasaan letih, muntah, diare, mual,
kejang-kejang ringan maupun berat, shok, pingsan, kadang-kadang terjadi
terjadi penurunan suhu badan, dan jika lebih parah lagi akan menyebabkan
kematian. 6 jam setelah menelan toksin, dengan rata-rata 2-4 jam atau mungkin
lebih cepat lagi jika jumlah toksin yang tertelan tinggi sekali. Gejala lainnya
yang sering timbul adalah penurunan tekanan darah. Selama menderita
keracunan, tubuh mengadakan reaksi dengan jalan mengeluarkan cairan dari
semua jaringan tubuh. Hal ini mengakibatkan penderita mendapat gangguan
dalam keseimbangan kadar garam didalam darah dan cairan tubuh, akibatnya
penderita menjadi lemah dan kadang-kadang mengalami shok sampai pingsan.

13
Enterotoksin Staphylococcus adalah suatu toksin bakteri yang sangat tahan
panas.

Menurut Menurut K. A. Buckle, R. A. Edwards, G. H. Fleet, M.


Wootton (1987). Gejala-gejala dari keracunan bahan pangan yang tercemar
oleh Staphylococcus aureus adalah bersifat intoksikasi. Pertumbuhan
organisme ini dalam bahan pangan menghasilkan racun enterotoksin, dimana
apabila termakan dapat mengakibatkan serangan mendadak yaitu kekejangan
pada perut dan muntah-muntah yang hebat. Diare dapat juga terjadi.
Penyembuhannya cukup cepat dan umumnya sehari. Untuk menghasilkan
enterotoksin yang cukup dalam produk yang bersifat meracuni dibutuhkan
kira-kira 106 sel/g.

Menurut Winarno F.G (2007) keracunan makanan oleh staphylococcus


merupakan (type) jenis toksin yang disebabkan oleh enterotoksin, yang
diproduksi oleh bakteri pathogen. Enterotoksin yang dihasilkan dapat
menyebabkan keracunan makanan dan bersifat sangat tahan panas, dan racun
tersebut tidak dapat dihambarkan (detoxitised) oleh pemanasan pada suhu
100°C selama 30 menit. Staphylococcus aureus yang berpoliferasi dalam
makanan. S. Aureus mampu menguraikan manitol menjadi coagulase, dan
coagulase tersebut kemudian dapat dibagi menjadi coagulase type I sampai
VIII oleh immune specificity of coagulace. Gejala umum adalah, kepala pusing,
muntah, perut sakit, dan diare serta selalu terjadi muntah-muntah. Tetapi
biasanya tidak ada gejala (pyrexia).

Keracunan Staphylococcus merupakan gejala intoksikasi yang paling


banak dilaporkan di AS, gejala keracunan ini disebabkan oleh tertelannya suatu
toksin yang disebut enterotoksin yang mungkin terdapat didalam makanan
setelah diproduksi oleh galur tertentu dari Staphylococcus aureus yang
mengkontaminasi makanan tersebut. Toksin ini disebut enterotoksin karena
dapat menyebabkan gastroenteritis atau inflamasi pada saluran usus.

14
2.6. Cara Penyebab Pada Pangan

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang secara alami ada pada


manusia terdapat pada kulit, saluran pencernaan, rambut, dan hidung.
Penanganan dan pengolahan yang tidak baik akan menyebabkan kontaminasi
bakteri Staphylococcus aureus pada produk yang diolah.

Staphylococcus aureus disebarkan oleh para pengelola pangan, selama


penanganan, pengolahan, dan penyimpanan. Penanganan dan pengolahan
pangan dengan tangan, yang tidak menggunakan peralatan memadai (sarung
tangan) merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika orang
yang menangani pangan mengalami infeksi atau luka pada tangannya. Batuk
dan bersin dekat dengan pangan dapat menyebabkan kontaminasi, dan rambut
yang jatuh pada makanan atau menggantung (terurai) dekat dengan makanan
juga dapat menimbulkan bahaya.

2.7. Pencegahan

Upaya pencegahan agar tidak terjadi kontaminasi Staphylococcus


aureus pada bahan pangan pengolahan dilakukan dengan menerapkan Good
Manufacturing Practice (GMP) dan Standar Sanitation Operational Procedure
(SSOP).

Good Manufacturing Practice (GMP) merupakan suatu pedoman cara


berproduksi makanan yang bertujuan untuk memenuhi standar yang telah
ditentukan untuk menghasilkan produk makan bermutu dan aman untuk
dikomsumsi. Standar Sanitation Operational Procedure (SSOP) adalah upaya
pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangnya jasad renik
pembusuk pada produk perikanan, peralatan dan bangunan yang dapat merusak
hasil perikanan dan membahayakan manusia.

15
Menurut F.G. Winarno, (2004) (GMP) Good Manufacturing Practice
secara luas berfokus dan berakibat pada banyak aspek, baik aspek operasional
pelaksanaan tugas yang terjadi didalam pengolahan, sedangkan (SSOP)
Standar Sanitation Operational Procedure adalah prosedur atau tata cara yang
digunakan oleh industri untuk membantu mencapai tujuan yang diharapkan.

2.8. Prinsip Pengujian Staphylococcus aureus

Berdasarkan SNI 2332,9:2011, Metode cawan hitung agar sebar dengan


cara menuangkan media Baird Parker Agar ke dalam cawan petri steril, biarkan
membeku, kemudian contoh sebanyak 1 ml disebar diatas permukaan media.
Konfirmasi koloni terduga Staphylococcus aureus dilakukan dengan uji
koagulase dan uji tambahan. Metode ini sesuai untuk menganalisa makanan
yang diduga mengandung koloni lebih dari 100 Staphylococcus aureus/g

16
III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penulisan tugas akhir ini berdasarkan hasil dari pelaksanaan


Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM), mulai Januari hingga Maret
2018 di UPT. PMP2KP Banyuwangi Jawa Timur.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam Laporan Tugas Akhir


meliputi data primer dan data sekunder.

1. Data Primer :
a. Partisipasif
Yaitu mengikuti dan melaksanakan pengujian Staphylococcus
aureus pada ikan layang.
b. Observasi
Metode yang dilakukan dengan mengamati dan mencatat
langsung objek-abjek yang berhubunga dengan pengujian
Staphylococcus aureus.
c. Wawancara
Pengumpulan data yang bersumber dari hasil wawancara dengan
analis yang memiliki kompetensi dalam bidang pengujian
Staphylococcus aureus.
2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari orang lain atau
sumber sekunder dan telah tersusun dalam bentuk dokumren. Data ini
diperoleh dari materi kuliah, studi literature, dan instansi yang terkait
sebagai bahan perbandingan.

17
3.3 . Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada pengujian Staphylococcus Aureus pada


ikan layang dengan metode cawan agar sebar adalah sebagai berikut:
autoclave, alat penghitung koloni (coloni counter), timbangan analitik dengan
ketelitian ± 0,000 1, botol pengencer 20 ml, stomacher, plastik
stomacher,pinset, gunting, vortex cawan petri 15 mm × 90 mm, gelas ukur 250
ml, inkubator (35±1°C), pipet gelas atau pipetor 0,1 ml dan 1 ml, pipet boy,
water bath.

Bahan yang digunakan adalah sebagai berikut sampel (ikan layang),


alkohol, Baird Parker Agar, Brain Heart Infusion Broth, Coagulase plasma
(Rabbit) dengan EDTA, larutan Butterfield Phosphate Buffered, parafin Oil
Steril, pereaksi katalase (3% H2O2), media TSA miring, Purple Carbohydrate
Broth (masing-masing mengandung glukose dan manitol 0,5%)

3.4 . Prosedur Kerja


Prosedur kerja pengujian Staphylococcus aureus berdasarkan SNI
2332.9:2011 meliputi :
1.4.1. Preparasi Sampel
- Sampel ditimbang 25 gram dengan menggunakan timbangan analitik
dimasukkan kedalam botol pengencer yang telah berisi larutan BFP 225
ml, diblender selama 1 menit. Larutan ini merpakan pengencer 10-1.
- Secara aseptik dipindahkan 1 ml dari pengenceran 10 -1 kedalam tabung
reaksi yang telah berisi 9 ml larutan BFP ini merupakan pengenceran
10-2, dan dilakukan hal yang sama untuk mendapatkan pengenceran 10 -3
3.4.2. Tahap Isolasi Staphylococcus aureus
- Secara aseptis dipindahkan 1 ml dari setiap pengenceran 10 -1, 10-2, dan
seterusnya kedalam 3 cawan petri masing-masing 0,3;0,3; dan 0,4 yang
sudah berisi media BPA, sambil diratakan dengan pipet agar terserap
dengan baik. Kemudian diinkubasi selama 45-48 jam pada suhu 35±
1°C .

18
3.4.3. Perhitungan koloni
- Setelah diinkubasi cawan petri yang mempunyai koloni yang
mempunyai ciri S. Aureus dihitung dan dicatat. Ciri-ciri koloni S.
Aureus adalah koloni bundar, licin/halus, cembung, warna abu-abu
hingga kehitaman, sekeliling tepi koloni bening (terbentuk halo).
- Diambil 2 atau lebih koloni yang positif untuk uji selanjutnya,

Gambar 1.3. Penghitungan koloni


3.4.4. Uji koagulase
- Diinokulasi koloni yang positif Staphylococcus aureus kedalam 2 ml
BHI Broth dan inkubasi 24 jam pada suhu 35 °C.
- Dipindahkan 0,2 ml inokulum kedalam tabung steril dan tambahkan 0,5
ml koagulase plasma kemudian divortex supaya tercampur dan
kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam. Tipe reaksi uji
koagulase ada 4 yaitu :
- 1+ positif (Koagulan tidak terkumpul dan sedikit)
- 2+ positif (Koagulan terkumpul dibagian atas dan sedikit)
- 3+ positif (Koagulan terkumpul dibagian bawah dan banyak)
- 4+ positif (Koagulan pada tabung jika dibalik tidak jatuh)
3.4.5. Uji Tambahan
1. Uji katalase
- Diambil 1 ose inokulum dari BHI Broth goreskan ke dalam media
TSA miring dan inkubasi selama 18 jam-24 jam pada suhu (35 ±
1)°C.

19
- Setelah diinkubasi diambil 1 ose inokulum tersebut dan letakkan
diatas gelas preparat, tetesi dengan H2O2 untuk melihat
pembentukan gelembung – gelembung gas
2. Fermentasi secara anaerob
a. Uji glukosa anaerob
- Diambil 1 ose inokulum dari BHI Broth inokulasikan ke tabung
reaksi yang berisi media karbohidrat mengandung 0,5 % glukosa,
tutup lapisan atas dengan paraffin oil steril setebal 25 mm.
- Diinkubasi selama 5 hari pada suhu (35 ± 1)°C. Kondisi asam
dihasilkan secara anaerob jika terjadi perubahan warna media dari
ungu menjadi kuning, ini menunjukkan adanya Staphylococcus
aureus
b. Uji manitol secara anaerob
Dilakukan seperti uji glukosa, gunakan manitol sebagai karbohidrat
dalam media Staphylococcus aureus biasanya memberikan hasil
positif yang ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna dari
ungu menjadi kuning, tetapi beberapa strain memberikan hasil
negatif.

20

Anda mungkin juga menyukai