Anda di halaman 1dari 7

ARTIKEL

Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu yang diampu
oleh dosen:

Prof. Dr. Edi Suryadi, M.Si.


Dr. Tutik Inayati, MSM.

Disusun oleh :
Anggis Wahyu Saepulloh (2012947)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PERKANTORAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2021
1. Plotinus
Plotinus adalah salah satu tokoh filsafat yang muncul diabad
pertengahan (204- 270). Ia adalah filosof pertama yang mencetuskan teori
penciptaan alam semesta. Kebahagiaan manusia otentik untuk Plotinus adalah
untuk mengidentifikasi dengan yang terbaik di alam semesta. Karena
kebahagiaan itu melampaui bentuk fisik, Plotinus menekankan bahwa
keberuntungan duniawi tidak mengendalikan kebahagiaan manusia yang sejati,
dan dengan demikian "... tidak terdapat manusia tunggal yang yang tidak baik
atau efektif berpotensi memiliki hal yang kita pegang untuk membentuk
kebahagiaan." (Enneads I.4.4).
Plotinus dilahirkan di Lycopolis Mesir pada tahun 205 M., dan
meninggal dunia di Italia pada tahun 270 M. Pada dasarnya dia tidak
bermaksud mengemukakan teori filsafat sendiri, tetapi dia memperdalam teori
– teori yang dikemukakan oleh Plato. Oleh karena itu, dia dianggap sebagai
seorang Neoplatonis. Pada kenyataannya, teori yang dikemukakan oleh
Plotinus berpijak pada paham dualisme Plato yang berpendapat bahwa dunia
ini ada yang dapat diamati dan ada yang tidak dapat diamati yaitu dunia idea.
Teori dualism Plato ini oleh Plotinus dinaikkan tingkatannya dalam satu
kesatuan yang lebih tinggi yaitu dalam“Arus Ilahi”.Dengan demikian, kalau
teori dualisme Plato bersifat antroposentris, maka dualisme Plotinus bersifat
teosentris.
Pemikiran teosentris Plotinus dikemukakan melalui pendapatnya
bahwa asal-usul dan sumber bagi segalayang“ada” dan “yang satu” itu
bukanlah “ada” tetapi “adi-ada” yang tak terhingga dan absolut.
Dari “Yang satu” itu terjadi idea yang merupakankesatuan azali yang
disebut dengan “Yang satu” (to hen). Dan proses emanasi atau radiasi yang
melahirkan “nous”atau roh.Nousmerupakan “ada yang berfikir” dan dalam
proses berfikir itu, ia menimba dari “Yang satu” sebagai sumbernya.Nous juga
aktif berfikir lagi dan memancarkan jiwa (psyche). Dan psyche inilah yang
menjadi sebab terciptanya alam semesta ini. (Hasbi, 2010, p. 367)
Filsafat Plotinus mengombinasikan ajaran mistis dan cara praktis dan
memiliki pengaruh yang sangat kuat pada teologi Kristen. Filsafatnya
bertujuan untuk membantu para muridnya kembali menyatu atau bergabung
kepada “Yang Esa” dengan cara kontemplasi. Mirip dengan teologi trinitas
dalam agama Kristen, ia percaya pada tiga hal yang bersifat surgawi, yaitu
Yang Esa, Intelektualitas dan Jiwa. Perbedaannya adalah ketiga hal yang
diajukan Plotinus tidak berdiri sendiri tetapi merupakan hanya urutan pada saat
kontemplasi.
Yang Esa adalah sesuatu yang bersifat serba baik tanpa batas dari tidak
dapat dideskripsikan mengikuti filsafat Plato. Deskripsi menggunakan bahasa
hanya dapat menunjuk Yang Esa. Walaupun segala macam sebutan bagi Yang
Esa dari berbagai macam kebudayaan dan ragam manusia, semua itu bukan
nama yang sebenarnya.
Plotinus menggambarkan bahwa “Yang Esa” adalah sebagai cahaya
ditengah kegelapan. Plotinus mengajarkan bahwa dari semua yang ada, ada
satu yang tertinggi, sepenuhnya transeden “Yang Esa” tidak mengandung
divisi, keragaman atau perbedaan . “Yang Esa” bukanlah jumlah dari semua
hal tetapi dia ada dari ebelum semuanya ada. Yang esa ini adalah sumber
realitas. Yang Esa ini mendatangkan Intelektualitas yang artinya berhubungan
dengan pengetahusan intuitif.
Yang Esa, melampaui segala sifat termasuk keberadaan, semua itu
adalah sumber dari dunia tapi tidak melalui tindakan penciptaan secara sengaja
ataupun sebaliknya. Yang Esa ini adalah sumber realitas dimana hal ini
mendatangkan intelektualitas yang artinya berhubungan dengan pengetahuan
intuitif. Intelktualitas ini juga sulit dijelaskan dengan bahasa. Plotinus
menganalogikan Intelektualitas dan Yang Esa seperti cahaya dan matahari.
Intelektualitas merupakan cahaya dari Yang Esa dan alat Yang Esa untuk
mengabarkan diri-Nya.
Level berikutnya adalah Intelektualitas, sebagai sumber dan landasan
benruk dan materi dunia yang dalam istilah Plato disebut form. Pikiran dan
objek yang dipikir menyatu dalam Intelektualitas, tidak ada pemisahan antara
subjek dan objek, yang memahami dan yang dipahami. Level berikutnya dari
realitas adalah Jiwa, yang berhubungan dengan rasionalitas atau pikiran yang
berwacana: Jiwa ini memiliki dua level, level atas jiwa menghadap ke dalam
dan melihat hal-hal surgawi dengan Intelektualitas, sedangkan level bawah
Jiwa menghadap ke luar kepada yang disebut alam. Level inilah yang
bertanggung jawab terhadap alam materi. Kedua level ini ada dalam diri
manusia. Manusia dapat memilih apakah akan berkonsentrasi ke dalam untuk
melihat hal-hal surgawi atau keluar ke alam materi.
Kunci untuk memahami konsep filsafat kosmologi Plotinus adalah Tiga
realitas (Yang Esa, Intelektualitas, dan Jiwa) adalah level kentemplasi atau
perkembangan level logika dari Realitas Abadi Yang Esa dan bukan
perpindahan atau perubahan satu realitas kepada realitas yang lain secara
temporal. Matahari dan Cahanya adalah satu realitas, bukan Matahari berubah
menjadi Cahaya. Waktu hanyalah hasil dari ketidakmampuan dari alam
memahami surgawi.
Plotinus juga mengimplementasikan filsafatnya secara praktis untuk
mencapai penyatuan ekstatis dengan Yang Esa dan mencapai tahap ektase.
Porphyry, murid yang menulis karya-karya Plotinus, mencatat pernah empat
kali melihat gurunya mencapai kondisi ekstase.

2. Augustinus
Ajaran Augustinus dapat dikatakan berpusat pada dua pusat, yaitu
Tuhan dan manusia. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa seluruh ajaran
Augustinus berpusat pada Tuhan. Kesimpulan ini diambil karena ia
mengatakan bahwa ia hanya ingin mengenal Tuhan dan Roh, tidak lebih
dari itu. Ia sangat yakin bahwa pemikiran (akal) dapat mengenal kebenaran,
karena itu ia menolak skeptisisme. Ia mengatakan bahwa setiap pengertian
tentang kemungkinan pasti mengandung kesungguhan (hati). Augustinus
sependapat dengan Plotinus yang mengatakan bahwa Tuhan itu diatas
segalanya. Augustinus mempercayai dengan akal bahwa Tuhan tidak terbatas,
maha tahu, maha sempurna dan tidak dapat diubah. Dia lebih jauh
mengatakan bahwa Tuhan itu kuno tetapi selalu baru, Tuhan adalah suatu
kebenaran yang abadi.
3. Anselmus
Anselmus ( 1033-1109) merupakan salah satu tokoh filsafat di abad
pertengahan. Anselmus lahir di Aosta, Burgundi, yang sekarang ini dikenal
dengan nama daerah Italia Utara. Nama aslinya adalah Anselmo d’Aosta.
Ayahnya bernama Gundulf de Candia, sedangkan ibunya bernama Ermenbega
of Geneva. Di masa kecilnya, Anselmus adalah anak yang taat beragama.
Ketika ia menginjak usia 15 tahun, ia menyatakan keinginannya untuk
menjalani hidupnya di biara. Tetapi keinginanya tersebut ditentang oleh
ayahnya sendiri. Setelah ibunya meninggal, ia pergi mengembara ke Abbey,
Bec, dan di sana ia belajar di bawah bimbingan Prior Lanfranc. Pada tahun
1060, Anselmus diangkat menjadi biarawan, seperti yang ia cita-citakan. Tiga
tahun kemudian, ketika Lanfranc dilantik menjadi Abbot, Anselmus
menggantikan posisi Lanfranc menjadi prior, mengalahkan para seniornya.
Selama 30 tahun kemudian, Anselmus menulis filsafat dan teologi dan
ditetapkan sebagai Abbot di Bec.
Anselmus dikenal sebagai Bapak Tradisi Skolastik dan uskup besar
(Archbishop) di Canterbury dari tahun 1093 hingga meninggal.
Ketertarikannya pada bidang filsafat adalah argumentasi logis yang
menyangkut Monologion dan Proslogion. Monologion merupakan solilokui
atau berbicara pada diri sendiri, sedangkan proslogion adalah discourse atau
berwacana. Keduanya memberikan argumentasi yang bertujuan untuk
membuktikan keberadaan Tuhan. (Astuti, n.d.) Anselmus mengundang untuk
berwacana. Anselmus berwacana tentang keberadaan Tuhan secara ontologis.
Ketika kita bertemu dengan istilah Tuhan, yang ada di benak kita adalah Yang
Maha Besar, tidak ada lagi yang lebih dari-Nya yang dapat kita pikirkan. Di
dalam benak Anselmus, sudah ada konsep tentang “definisi” Tuhan. Anselmus
meyakini bahwa Tuhan itu memang benar-benar ada dan tidak ada yang lebih
besar dai-Nya. Anselmus menjuluki orang yang tidak percaya akan keberadaan
Tuhan dengan sebutan” Si Bodoh”.
Argumen ontologis Anselmus ini terlihat jenius karena
kesederhanaannya. Argumen Anselmus ini kemudian mendapat kritikan.
Kritikan terhadap arguman. Anselmus ini pertama datang dari seorang
biarawan Benedictine yang bernama Gaunilo dari Marmoutiers. Gaunilo
mengemukakan pendapatnya yang menyatakan bahwa jika argumen Anselmus
benar, maka orang dapat berpikir tentang adanya pulau yang hilang, pulau itu
yang paling sempurna keindahannya. Karena secara definisi pulau hilang itu
adalah yang paling sempurna,maka harus ada eksistensi ulau itu juga. Karena
kalua kurang sempurna, maka pulau itu tidak ada seperti yang dipikirkan. Pada
intinya, Gaunilo mengajukan keberatan pendapat Anselmus yang memberi
lisensi pada keberadaan barang-barang imajinatif dan menganggapnya ada, dan
itu tidak benar. Untuk menjawab kritikan ini, Anselmus mengajukan syarat
bahwa kualitas kesempurnaan hanya dapat ditujukan pada Tuhan dan tidak
dapat diaplikasikan pada objek di luar Tuhan. Jadi, argumen ontolog miliknya
hanya boleh digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan Yang Maha
Sempurna dan tidak boleh digunakan untuk membuktikan eksistensi pulau
sempurna karena secara ontologis tidak ada hal yang sempurna di luar
Tuhan.(Astuti, n.d.)(Hasbi, 2010)

4. Thomas Aquinas
Berdasarkan pemikirannya pada kepastian adanya Tuhan. Aquinas
meneatahui banyak ahli teolog yang percaya pada keberadaan Tuhan yang
hanya didasari pendapat publik. Menurut Aquinas, keberadaan Tuhan dapat
kita ketahui dengan akal dan pikiran. Untuk membuktikannya, Ia mengajukan
lima argumen untuk membuktikan bahwa eksistensi Tuhan dapat diketahui
dengan akal tanpa perlu melibatkan hati. Ke lima argument tersebut adalah:
Argumen gerak, sebab yang mencukupi, kemungkinan dan keharusan,
memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam, keteraturan alam, dan
tentang jiwa.
Karakteristik pemikiran masa abad pertengahan dikenal dengan aliran
filsafat patristik dan skolastik jika dilihat berdasarkan Theos. Agustinus (354-
43 SM) dan Thomas Aquinas (1225-1275) yang memunculkan ajaran Tomisme
merupakan dua filsuf yang terkenal di zamannya (Herman, 2007). Lebih jauh
lagi Herman memaparkan bahwa di masa abad pertengahan terdapat
beberapa tokoh/filosof yang memiliki beberapa pendapat mengenai agama,
tuhan,akal, serta hati antara lain : Plotinus, Augustinus, Anselmus, Bhoetius,
dan Thomas Aquinas.

Referensi

Astuti, F. (n.d.). Anselmus; tokoh filsafat abad pertengahan. 1–3.


Hasbi, M. (2010). Pemikiran Emanasi dalam Filsafat Islam… Muhammad Hasbi.
Al-Fikr, 3, 365–376.

Anda mungkin juga menyukai