Anda di halaman 1dari 18

Nama : Rico Dharma Prasetiya

Nim : 044033363

• DEFINISI dari kepemimpinan: Kepemimpinan berarti melibatkan orang lain, yaitu


bawahan atau karyawan yang akan dipimpin. Kepemimpinan juga melibatkan
pembagian kekuasaan (power). Pemimpin mempunyai power yang lebih besar
dibandingkan dengan yang dipimpin.
Berikut ini sumber- sumber kekuatan
1. Kekuatan balasan (Reward Power)
Kekuasaaan ini datang dari kemampuan seseorang memberikan balasan balasan
kepada orang lain yang melakukan pekerjaan tertentu. Manajer dapat menggaji
karyawannya agar karyawan menjalankan tugas tugas yanfg diperlukan.
2. Kekuasaan paksaan ( coercive power)
Kekuasaan ini datang dari kemampuan seorang menghukum orang lain. Jika orang
orang tersebut tidak dapat mengerjakan sesuatu. Kekuasaaan ini merupakan sisi
negatif dari kekuasaaan balasan.
3. Kekuasaan legitimasi (legitimate power)
Kekuasaan ini datang jika seseorang mempunyai “hak” atau secara hukum
“diperbolehkan” memengaruhi orang lain dalam wilayah tertentu. Dalam
organisasi, kekuasaan semacamini sering disebut juga sebagai wewenang formal
(resmi). Manajer memounyai wewenang resmi memerintah bawahan untuk
mencapai tujuan organisasi.
4. Kekuasaan referensi (referent power)
Kekuasaan ini datang karena seseorang atau satu kelompok ingin meniru atau
mengidentifikasikan dirinya sebagai orang tertentu. Manajer yang popular akan
mempunyai kekeuasaan referensi karena bawahan akan berusaha meniru perilaku
manajer tersebut.
5. Kekuasaan kepakaran ( Expert Power)
Kekuasaan ini datang dari kepakaran atau keahlian seseorang. Orang tertentu
dipercaya mempunyai keahlian dalam bidang tertentu dan dapat memengaruhi
orang lain yang tidak mempunyai keahlian dibidang tersebut.

Teori-teori yang membahas kemimpinan dapat dirangkum kedalam tiga macam :


1. Teori bakat
2. Teori perilaku
3. Teori situasi

A. Teori bakat
Teori bakat berusaha mengidentifikasi karakteristik pribadi dari seorang
pemimpin. Tidak hanya itu, teori ini juga ingin melihat karakteristik-
karakteristik apa yang membedakan pemimpin yang efektif dengan
pemimpin yang tidak efektif. Kebanyakan studi dalam teori bakat tersebut
memfokuskan pada sifat-sifat apa yang ada pada pemimpin dan yang tidak
ada pada pemimpin. Sifat-sifat yang sering disebutkan dipunyai oleh
pemimpinan adalah lebih cerdas, lebih extrovert, lebih percaya diri. Lebih
bertanggung jawab dan lebih jangkung(untuk Amerika Serikat)
dibandingkan dengan sifat para bukan pemimpin.

B. Teori Perilaku
Teori perilaku kemimpinan memfokuskan pada perilaku apa yang dipunyai
oleh pemimpin, yang membedakan dirinya dari nonpemimpin. Fungsi
pemimpin mencakup dua hal :
1. Fungsi yang berkaitan dengan tugas (task-related fubctions)
2. Fungsi yang berkaitan dengan kehidupan social (genap maintenance
atau social functions),

Fungsi yang pertama berkaitan dengan pekerjaan, seperti mengarahkan


bawahan atau mendorong bawahan agar dapat menyelesaikan tugasnya
dengan baik. Fungsi yang kedua berkaitan persoalan hubungan antar
manusia, seperti menjadi pencegah dan menjaga hubungan antar anggota.

Dua fungsi yang disebutkan diatas akan tercermin pada dua gaya
kepemimpinan (leaderships style), beberapa atau penelitian mengenai
perilaku kemimpinan pemimpin diatas. Gaya kepemimpinan manusiawi
(employee oriented style) akan memberi perhatian pada masalah kepuasan
pekerja atau perkembangan pekerja/bawahan. Sedangkan gaya pemimpinan
pekerjaan (task oriented style) akan lebih mementingkan pekerjaan dengan
jalan mengendalikan dan mengawasinkaryawah secara dekat.
1. Teori Tannenbaum dan Wareen H. Schimidt
Kedua orang akademisi tersebut mencoba menjelaskan faktor-faktor
apa saja yang memengaruhi gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan
dapat dijelaskan melalui dua titik ekstrem, yaitu focus pada atasan
(pemimpin) dan focus pada bawah. Kemudian ada garis kontinum yang
menghubungkn kedua titik ekstrem tersebut. Menurut kedua orang
akademis tesebut, gaya kemimpinan akan ditentukan opeh beberapa
faktor
a. Factor dari manajer
b. Factor dari karyawan
c. Factor dari situasi
2. Teori Studi Ohio State University
Penelitian di Ohio State University melihat efektivitas kemimpinan
melalui dua variable yang disebut sebagai
a. Struktur inisiatif (initiating structure)
b. Perhatian (consideration)
Penelitian tersebut menemukan bahwa kepemimpinan yang mempunyai
perhatian yang tinggi, yang berarti memperhatikan karyawan,
menghasilkan tingkat kepuasan karyawan yang paling tinggi dan
tingkat absensi serta perpindahan kerja yang rendah. Sebaliknya,
kepemimpinan yang mempunyai perhatian rendah, menghasilkan
keluhan. dan tingkat perpindahan kerja yang tinggi. Dengan demikian,
penelitian tersebut berkesimpulan bahwa kepemimpinan dengan
perhatian tinggi merupakan kepemimpinan yang efektif.
3. Studi The Universitas Of Michigan
Studi yang dilakukan oleh University of Michigan yang dipelopori oleh
Rensis Likert menggunakan dua variabel yang mirip dengan studi Ohio
State University.
Variabel yang dipakai sebagai berikut.
a. Fokus pada produksi (production centered): manajer menetapkan
standar kerja yang keras, menentukan metode kerja yang harus
dilakukan, mengorganisir kerja dengan terperinci, dan mengawasi
pekerjaan karyawan dengan ketat.
b. Fokus pada karyawan (employee centered): manajer mendorong
partisipasi dalam penentuan tujuan dan masalah pekerjaan,
mendorong rasa percaya dan menghargai antar anggota.
Studi tersebut menemukan bahwa gaya kepemimpinan yang berfokus
pada karyawan (employee centered) merupakan gaya kepemimpinan
yang lebih efektif dibandingkan dengan fokus pada produksi. Penelitian
tersebut juga menemukan bahwa kebanyakan pemimpin yang efektif
mempunyai hubungan yang baik dengan bawahan dan dalam
pengambilan keputusan bergantung pada kelompok. bukan pada
individu.Pemimpin tersebut juga mendorong karyawan menentukan dan
mencapai sasaran dan prestasi yang tinggi.
Secara rinci. gaya kepemimpinan yang diajukan oleh Likert
dikelompokkan kedalam cmpat sistem berikut.
a. Sistem 1: Otoriter-Eksploitatif (Exploirative-Authoritative)
Manajer tipe ini sangat otoriter, mempunyai kepercayaan yang rendah
terhadap bawahannya, memotivasi bawahannya melalui ancaman atau
hukuman, tetapi kadang-kadang melalui balasan (reward). komunikasi
yang dilakukan satu arah ( kebawah atau top -down). Dan membatasi
pengambilan keputusan hanya untuk manajer.
b. Sistem 2: (Benevotent-Authoritative)
Manajer ini mempercayai bawahan sampai tingkat tertentu. memotivasi
bawahan melalui ancaman dan hukuman meskipun tidak selalu,
membolehkan komunikasi ke atas, memperhatikan ide atau pendapat
dari bawahan, dan mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan
meskipun masih melakukan pengawasan dengan ketat.
c. Sistem 3: Konsultatif (Consultative)
Manajer ini mempunyai kepercayaan terhadap bawahan yang cukup
besar, meskipun tidak sepenuhnya. Biasanya memanfaatkan pendapat
atau ide dari bawahan. menggunakan balasan (insentif) untuk
memotivasi bawahan dengan kadang-kadang menggunakan ancaman
dan hukuman untuk memotivasibawahan, menjalankan komunikasi dua
arah (atas bawah dan sebaliknya), membuat keputusan yang umum pada
tingkat utas dan membolehkan keputusan yang lebih spesifik dibuat
pada tingkat bawah, dan mau berkonsultasi pada beberapa situasi.
d. Sistem 4: Panisipatif (Participative-Group)
Manajer ini merupakan manajer yang paling partisipatif. Manajer ini
mempunyai kepercayaan yang scpcnuhnya terhadap karyawan. sclalu
memanfaatkan idc dan pendapat karyawan, menggunakan insentif
ekomomi untuk memotivasi karyawan, mendorong partipasi dalam
penentuan tujuan dan penilaian kemajuan dalam pencapaian tujuan
tersebut. Komunikasi dilakukan dua arah, mendorong pengambilan
keputusan dalam scmua bagian organisasi, dan menjadikan
karyawan menjadi kelompok kerja.
4. Kisi-kisi manajerial (Grib)
Berbeda dengan studi Tannenbaum dan Schmidt. studi Ohio State
University dan University of Michigan menyimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan tidak berdimensi tunggal, tetapi multidimensional.
Manajer tidak hanya mempunyai salah satu orientasi tugas atau
karyawan, tctapi dapat mempunyai kcduanya. Keduanya penting untuk
meningkatkan prestasi yang superior. Kisi-kisi manajemen yang
dikembangkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton (1964) bertujuan
untuk mendorong manajer agar mempunyai dua kualitas kepemimpinan,
yaitu orientasi tugas atau karyawan sekaligus. Ada lima kombinasi yang
terlihat pada gambar di atas. Gaya kepemimpinan 1.1(kiri bawah)
berarti manajer mempunyai perhatian yang rendah terhadap karyawan
dan kerja, Manajemen tersebut dinamakan sebagai impoverished
management atau laissez-faire management karcna manajcmcn tidak
menjalankan pcran kecpcmimpinan. Gaya kepemimpinan 1.9 (country
club management) mempunyai perhatian yang tinggi terhadap
karyawan, tetapi rendah terhadap produksi. Sebaliknya, gaya
kepemimpinan 9,1 (ask or authoritarian management) mempunyai
perhatian yang tinggi terhadap produksi, tetapi rendah terhadap
karyawan. Gaya kepemimpinan 5.5 merupakan tcngah-tangah (middle
of the road management), yang mempunyai perhatian terhadap
karyawan dan produksi yang sedang. Gaya kepemimpinan 9.9 (team
atau democratic management) mempunyai perhatian yang tinggi baik
terhadap karyawan maupun kerja. Blake dan Mouton berpendapat
bahwa gaya kepemimpinan 9,9 ini merupakan gaya kepemimpinan yang
paling efektif untuk hampir semua situasi. Gaya kepemimpinan ini akan
mengurangi absensi atau perpindahan kerja, meningkatkan prestasi, dan
meningkatkan kepuasan
karyawan. Gaya kepemimpinan seorang manajer seharusnya diubah
menjadi 9.9. Kisi-kisi manajerial tersebut banyak dipakai untuk
pelatihan manajer.
C. TEORI SITUASI (CONTINGENCY)
Penelitian-penelitian terdahulu yang mencoba melihat karakteristik dan
gaya kepemimpinan tidak dapat mencmukan karakteristik atau gaya yang
berlaku untuk semua siluasi. Situasi dengan demikian memainkan peranan
penting dalam efektivitas kepemimpinan. Pendekatan situasional
(contingency) dalam teori kepemimpinan mencakup beberapa faktor:
1. Pekerjaan,
2. Pengharapan dan perilaku teman sekerja.
3. sifat atau karakteristik. pengharapan. dan perilaku karyawan.
4. budaya dan kebijaksanaan organisasi. Bagian berikut ini
menjelaskan teori-teori situasional dalam kepemimpinan.
1. Model Kemimpinan Hersey dan Blanchard
Paul Hershey dan Kenneth H. Blanchard (1969) membuat model
kepemimpinan di mana cfektivitas kepemimpinan tergantung dari
kesiapan bawahan. Kesiapan terscbut mencakup kemauan untuk mencapai
prestasi. untuk menerima tanggung jawab, kemampuan mengerjakan
tugas, dan pengalaman bawahan. Variabel-variabel tersebut akan
memengaruhi cfcktivitas kepemimpinan.

Mereka kemudian membagi gaya kepemimpinan ke dalam empat kotak


dengan sumbu mendatar perilaku kerja dan sumbu legak tegak adalah
perilaku hubungan antar manusia. Pada awal perjalanan organisasi. gaya
kepemimpinan nomor | adalah yang paling efektif. Pada masa-masa
tersebut, karyawan belum tahu banyak. pengalaman masih kurang. Gaya
kepemimpinan nomor 1 (kerja tinggi. hubungan rendah) memberikan
instruksi yang lebih rinci mengenai peraturan dan prosedur organisasi
sehinggamemperjelas situasi kerja karyawan. Apabila gaya kepemimpinan
yang longgar (misalnya nomor 4) dijalankan, karyawan akan semakin
tidak terarah dalam pekerjaannya dan kepemimpinan tidak akan efektif.
Ketika karyawan mulai belajar dan semakin terbiasa dengan organisasi,
instruksi kerja yang rinci masih dibutuhkan, tetapi manajer perlu
meningkatkan hubungan manusiawi dengan memberi dorongan atau
dukungan (gaya kepemimpinan nomor 2). Pada tahap ketiga.
kesiapankaryawan menjadi semakin baik sehingga manajer tidak
memerlukan lagi gaya kepemimpinan yang tegas dan mengarahkan
(directive). Bahkan barangkali gaya kepemimpinan yang memerintah
(directive) tidak disukai lagi oleh karyawan pada tahap ini, Pada tahap ini
manajer dapat menerapkan gaya kepemimpinan nomor 3. Tahap
selanjutnya, ketika karyawan sudah mulai berpengalaman, dapat
mengarahkan diri mereka sendiri, semakin percaya dalam menjalankan
tugasnya, manajer tidak perlu lagi memberikan dorongan atau pengarahan
pada mereka. Pada tahap ini karyawan sudah mulai “dilepas”. Gaya
kepemimpinan nomor 4 dilakukan oleh manajer pada tahap ini.
Menurut model tersebut, manajer atau pemimpin harus secara
konstanmengevaluasi kondisi karyawan. Kemudian setelah kondisi
karyawan diketahui manajer menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar
sesuai dengan kondisi tersebut. Dengan demikian, gaya kcpcmimpinan
akan efekktif tergantung bagaimana situasi karyawan. Jika gaya
kepemimpinan yang tepat diterapkan maka manajer tidak hanya
memotivasi karyawan, tetapi juga mengembangkan profesionalisme
karyawan. Barangkali yang menjadi pertanyaan atau masalah adalah
apakah manajer dapat mengubah-ubah gaya kcpemimpinannya dengan
mudah” Jika manajer fleksibel maka model kepemimpinan seperti yang
dibicarakan di atas tidak menimbulkan masalah yang berarti. Tetapi jika
manajer tidak begitu fleksibel, tidak gampang untuk mengubah-ubah gaya
kepemimpinan, efektivitas kepemimpinan akan berkurang dan
perkembangan karyawan bahkan akan terhambat.
2. Model Fledler
Fred E. Fiedler dari University of Illinois membuat model kepemimpinan
situasional yang lain. Teori tersebut mendasarkan pada pendapat bahwa
seseorang menjadi pemimpin tidak hanya karena karakteristik individu
mereka, tetapi juga karcna beberapa variabel situasi dan interaksi antara
pemimpin dengan bawahan. Ficdler (1967) menjelaskan tiga dimensi
kritis yang menjelaskan situasi kepemimpinan yang efektif. Dengan ketiga
dimensi tersebut Fiedler mengembangkan teori kepemimpinannya scbagai
berikut.
1) Kekuasaan posisi (power position). Dimensi ini menjelaskan
kekuasaan (power) yang dimiliki oleh pemimpin, seperti keahlian
atau kepribadian, yang mampu membuat bawahan mengikuti
kemauan pemimpin. Pemimpin yang mempunyai kekuasaan dari
posisinya yang jelas dun besar dapat memperoleh kepatuhan
bawahan yang lebih besar.
2) Struktur pekerjaan. Dimensi ini menjelaskan scjauh mana
pekerjaan dapat dirinci atau dijelaskan dan membuat bawahan
bertanggung jawab untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Jika
struktur pekerjaan tersebut jelas, pekerjaan dapat dilakukan dengan
mudah, bawahan dapat diserahi tanggung jawab pelaksanaan
pekerjaan tersebut lebih baik.
3) Hubungan antara pemimpin-bawahan. Dimensi ini berkaitan
dengan hubungan antara bawahan dengan pemimpin: apakah
bawahan percaya dan menyukai pemimpinnya dan bersedia
mengikuti pemimpinnya. Dimensi ini dianggap paling penting
karena kedua dimensi sebelumnya. yaitu kekuasaan posisi dan
struktur pekerjaan dapat dikendalikan oleh organisasi.
Untuk menganalisis pendekatannya, Ficdler kemudian membuat dua gaya
kepemimpinan. yaitu (1) orientasi kerja (ask-oriented) dan (2) orientasi
hubungan karyawan. Fiedler kemudian menjelaskan istilah kunci, yaitu
situasi yang baik (favorableness of situation). Gaya kepemimpinan diukur
dengan teknik yang tidak biasa, yaitu pertama. skala teman kerja yang
paling tidak disukai (least preferred coworker alau LPC). Manajer diminta
memberi rating (skor) teman kerja yang paling tidak disukai untuk bekerja
sama. Kcdua kcsamaan yang diasumsikan antara pihak yang berlawanan.
Manajer diminta memberi rating sejauh mana kesamaan antara bawahan
dengan rnereka (manajer). Asumsi yang dipakai adalah seseorang
menyenangi dan akan senang bekerja dengan orang yang mempunyai
banyak kesamaan dengan orang tersebut.

Fiedler menemukan bahwa orang yang memberi rating baik pada teman
kerja yang paling disukai untuk bekerja (yang berarti LPC tinggi)
cenderung mempunyai gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
hubungan manusia. Orang tersebut memperoleh kepuasan dari hubungan
pribadi (interpersonal) yang sukses. Orang yang memberi rating orang
yang tidak disukai dengan rendah (LPC rendah) akan cenderung
mempunyai gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas. Orang
tersebut akan memperoleh kepuasan dari pelaksanaan suatu tugas. Metode
kedua kesamaan yang diasumsikan antara pihak yang berlawanan juga
memberi hasil yang sama dengan metode pertama. Orang yang
memandang kesamaan yang tinggi antara pemimpin dengan bawahan
akan cenderung mempunyai gaya kepemimpinan berorientasi pada
hubungan manusia, dan sebaliknya.
3. Teori jalur- Tujuan (part-goal Theory)
Teori Paih-Goal yang diformulasikan oleh Martin G. Evans (1970) dan
Robert House (1971) didasarkan pada teori pengharapan motivasi, yang
mengatakan bahwa motivasi sescorang tergantung dari harapan mengenai
balasan (reward) dan kekuatan (valence) daya tarik balasan tersebut.
Tugas manajer adalah menjelaskan balasan apa yang akan diperoleh
karyawan dan cara (sarana) yang dapat ditempuh oleh karyawan tersebut
agar dapat memperoleh balasan yang dijanjikan tersebut. Faktor-faktor
lain yang memengaruhi efektivitas kepemimpinan juga perlu
dipertimbangkan, yaitu
a. karakteristik bawahan yang meliputi kemampuan yang
dipersepsikan dan pengendalian diri (locus of control).
b. lingkungan kerja meliputi pekerjaan (struktur tugas). Struktur
wewenang. serta hubungan antar karyawan (kelompok kerja).
Perilaku pemimpin dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok
berikut.
1) Kepemimpinan yang suportif (mendukung). Pemimpin ini
memberi perhatian terhadap kebutuhan bawahan, kesejahteraan
bawahan. dan menciptakan suasana organisasi yang
menyenangkan.
2) Kepemimpinan yang partisipatif. Pemimpin ini memberi
kesempatan kepada bawahan untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
3) Kepemimpinan yang instrumental (directive). Pemimpin ini
memberikan pengarahan yang spesifik dan menjelaskan apa
yang diharapkan dari hawahan.
4) Kepemimpinan yang berorientasi pada pencapaian prestasi.
Pemimpin ini menetapkan tujuan, mencari cara untuk
meningkatkan prestasi. dan mendorong kepercayaan pada
bawahan bahwa mercka dapat mencapai sasaran atau tujuan.
Teori ini berpendapat bahwa gaya kepemimpinan akan tergantung
situasi yang
dihadapi. Pemimpin diasumsikan mempunyai fleksibilitas untuk
mengubah-ubah gaya
kepemimpinan. Sebagai contoh. jika manajer baru memulai proyck
baru. gaya directive
dapat dipakai. Manajer menetapkan prosedur dan standar yang
diinginkan untuk mengerjakan tugas tersebut. Jika manajer
kemudian ingin meningkatkan kesatuan dan kekompakan
kelompok. digunakan gaya kepemimpinan suportif. Jika bawahan
sudah mahir dalam pekerjaannya, gaya kepemimpinan
parricipative. Dan apabila manajer ingin ada peningkatan prestasi.
gaya kepemimpinan orientasi pencapaian prestasi.
4. Model Vroom-Yetton dan Vroom
Victor Vroom dan Arthur Jago mengkritik teori path-goal karena
gagal
memperhitungkan situasi di mana keterlibatan bawahan diperlukan.
Model tersebut pertama kali dikembangkan oleh Victor Vroom dan
Philip Yetton (1973). Yang kemudian diperbaiki dan diperluas pudu
tahun 1988 oleh Vroom dan Arthur G. Jago (1988). Model tersebut
lebih sempit dibandingkan teori situasional lainnya karena hanya
memfokuskan pada salah satu bagian proscs kcpemimpinan. yaitu
scjauh mana partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan
diperbolehkan. Model memperkenalkan lima gaya kepemimpinan
yang mencerminkan garis kontinum dari pendekatan otoriter sampai
ke pendekatan partisipatif. Untuk mengukur efektivitas pengambilan
keputusan, dua kriteria dapat digunakan, yaitu kualitas keputusan dan
penerimaan keputusan oleh karyawan. Keputusan dengan kualitas
tinggi biasanya merupakan keputusan yang paling baik atau ideal,
bukan keputusan “kompromi”, meskipun bawahan barangkali tidak
menyukai keputusan tersebut. Penerimaan keputusan oleh karyawan
mencerminkan sejauh mana bawahan bersedia menerima dan
mendukung keputusan yang dibuat. Situasi yang menentukan gaya
kepemimpinan didefinisikan melalui serangkaian pertanyaan
mengenai karakteristik masalah yang sedang dianalisis. Manajer dapat
menggunakan pohon keputusan untuk memilih gaya yang sesuai. Dari
pohon keputusan yang bisa dibuat, akan tampak bahwa jawaban untuk
setiap rangkaian pertanyaan dapat menghasilkan lebih dari satu gaya
kepemimpinan. Gaya-gaya tersebut merupakan gaya yang layak
(feasible). Untuk memilih gaya mana yang paling sesuai dari gaya-
gaya yang layak tersebut, manajer dapat memakai dua kriteria:
keputusan harus diambil dengan cepat (waktu dihemat) dan usaha
mendorong keterampilan pengambilan keputusan bawahan (investasi-
waktu). Pada kriteria pertama, gaya kepemimpinan otoriter lebih
sesuai. Hasil gaya tersebut terlihat dalam jangka pendek, berupa
keputusan yang lebih cepat dan efisien. Pada kriteria kedua, gaya
kemimpinan yang partisipatif lebih sesuai. Hasil gava tersebut terlihat
dalam jangka panjang. berupa bawahan yang lebih efektif dan suasana
atau hubungan kerja yang lebih baik. Pada gambar di atas, gaya
kepemimpinan yang dilingkari merupakan gaya kepemimpinan yang
paling efisien, sedangkan gaya kepemimpinan pada urutan terakhir
merupakan gaya yang paling partisipatif.
Model Vroom-Yetton-Jago memperuleh dukungan empiris
yang lebih baik dibandingkan dengan model kepemimpinan
situasional lainnya. Yang menjadi masalah adalah kompleksnya
model tersebut bagi scorang manajer. Untuk membantu manajer,
program komputer model VYJ sudah mulai dikembangkan sehingga
dapat membantu manajer dalam menggunakan model tersebut.
D. TEORI-TEORI KEMIMPINAN
Perkembangan penelitian dan teori kemimpinan berkembang menuju
banyak arah. Beberapa perkembangkan baru akan dibahas dalam bagian
ini.
1. Kemimpinan Trasformasional atau Karismatik
Bernard 'M. Bass (1985) membedakan kepemimpinan transaksional
(ransactional leadership) dengan kepemimpinan transformasional
(ransformarional leadership). Pemimpin transaksional menentukan apa
yang harus dikerjakan oleh karyawan agar mereka dapat mencapai
tujuan mereka sendiri atau organisasi dan membantu karyawan agar
memperoleh kepercayaan dalam mengerjakan tugas tersebut.
Sebaliknya, pemimpin transformasional memotivasi bawahan untuk
mengerjakan lebih dari yang diharapkan semula dcngan meningkatkan
rasa pentingnya bawahan dan nilai pentingnya pekerjaan. Pemimpin ini
mampu membuat bawahan menyadari perspektif yang lebih luas
sehingga kepentingan individu akan disubordinasikan terhadap
kepentingan tim, organisasi, atau kepentingan lain yang lebih luas.
Pemimpin semacam itu juga mampu meningkatkan kebutuhan
bawahan menuju kebutuhan yang paling tinggi, yaitu kebutuhan
aktualisasi diri.
2. Teori Kemimpinan Psikoanalisis
Kcts de Vrics berusaha menggunakan pendekatan psikoanalisis
(psikologi)
Sigmund Freud untuk menjelaskan perilaku pemimpin. Menurut
Sigmund Freud,

seseorang berperilaku karena ingin memenuhi kebutuhan bawah


sadarnya. Kebutuhan
tersebut bahkan tidak disadari oleh yang bersangkutan. Kebutuhan
tersebut kadang-

kadang dapat ditclusuri pada masa kecil scscorang. Scscorang yang


pada masa kecilnya

tidak permah mendapatkan mainan akan sangat senang mengumpulkan


mainan pada masa dewasanya. Orang tersebut barangkali tidak sadar
mengapa saat ini suka mengumpulkan mainan. Mainan tersebut
ternyata untuk memenuhi kebutuhan mainan yang belum pernah
terpenuhi pada waktu ia masih kecil. Seorang pemimpin berperilaku
tertentu barangkali bukan karena untuk memenuhi kepentingan
bawahannya, tetapi barangkali untuk mengkompensasi epribadiannya
yang frustasi. Seorang pemimpin barangkali malah bertingkah seperti
anak berumur tiga tahun. Napolcon Bonaparte, jenderal Perancis yang
mahir perang, barangkali bukan karena tujuan nasionalisme, tetapi
karena ingin memenuhi kebutuhan bawah sadar, misalnya karena
beliau dilarang bermain perang-perangan pada masa kecil. Menurut
teori ini perilaku manusia sangat kompleks. Penampilan luar tidak
dapat dijadikan pegangan. Analisis perlu kembali pada teori
alam/manusia yang paling dasar untuk memahami perilaku manusia
atau pemimpin yang sangat kompleks.
3. Teori Kemimpinan Romantis
Menurut teori ini, pemimpin ada karena ada pengikutnya. Para
pengikut ini mengembangkan pandangan “Romantis” (ideal) mengenai
adanya seorang pemimpin yang dapat membantu mereka mencapai
tujuannya atau memperbaiki hidup mereka. Pemimpin dibutuhkan
untuk membantu mereka menyederhanakan permasalahan dunia yang
sangat kompleks. Jika bawahan sudah tidak mempercayai
pemimpinnya, efektivitas kepemimpinan akan hilang. tidak peduli
dengan tindakan pemimpin tersebut. Jika bawahan sudah mampu
mengorganisir mereka sendiri maka pemimpin tidak akan diperlukan
lagi. Teori ini mencoba menyimbangkan antara sisi atasan dengan sisi
bawahan sehingga porsi keduanya menjadi kurang lebih seimbang.

Sumber referensi : EKMA4116 Modul 8 KB 1

Pengambilan keputusan merupakan bagian dari fungsi-fungsi manajemen. Jadi fungsi-


fungsi manajemen terdiri dari planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian),
staffing (memenuhi kebutuhan dan mengatur Sumber Daya Manusia), controlling
(melakukan kontrol), directing (mengarahkan), dan decision making (pengambilan
keputusan). Perencanaan adalah serangkaian petunjuk dan ketetapan apa yang
dibutuhkan untuk dicapai, menetapkan prioritas dan target kinerja. Pengorganisasian
adalah semua rancangan organisasi atau devisi khusus, unit, atau pelayanan yang
menjadi tanggungjawab manajer, merancang hubungan pelaporan dan pola interaksi
yang diinginkan. Menetapkan posisi, memberi tugas pada team work,
mendistribusikan wewenang dan tanggungjawab adalah komponen yang sangat
penting dari fungsi pengorganisasian. Staffing adalah memenuhi kebutuhan sumber
daya manusia dan mempertahankannya, mengembangkan dan memelihara tenaga
kerja melalui berbagai strategi dan taktik. Controling adalah mengontrol aktivitas dan
kinerja, serta melakukan tindakan yang tepat untuk melakukan perbaikan dan
meningkatkan kinerja. Directing adalah memulai tindakan di dalam organisasi melalui
kepemimpinan yang efektif, motivasi, dan komunikasi dengan bawahan. Decision
making adalah fungsi yang sangat penting untuk semua fungsi manajemen yang telah
disebutkan sebelumnya dan cara-cara fungsi manajemen pengambilan keputusan yang
efektif berdasarkan pada pertimbangan manfaat dan ditarik dari berbagai alternative.
(Thompson et al., n.d.)
urpin dan Marais membandingkan Antara teori dan praktek pembuatan keputusan
dengan melakukan penelitian pada enam orang pengambil keputusan terkemuka
tentang gaya pengambilan keputusannya dan teknologi pendukung dalam
pengambilan keputusannya. Ditemukan variasi yang signifikan dalam gaya
pengambilan keputusan secara individual, tetapi ada tema sentral yang muncul yaitu
pentingnya sensitivitas dalam konteks pengambilan keputusan, informasi yang dapat
dikumpulkan dan penggunaan intuisi. Ada beberapa model dalam pengambilan
keputusan (Turpin and Marais, 2004).

Rasional Model (The Rational Model)


Manajer yang rasional melihat asumsi bahwa seorang pengambil keputusan yang
rasional dan dengan informasi yang lengkap. Proses pengambilan keputusan yang
rasional terdiri dari beberapa langkah sebagaimana diberikan oleh Simon pada tahun
1977 (Turpin and Marais, 2004):
Intelligence: menemukan kesempatan untuk membuat keputusan
Design: menemukan, mengembangkan dan menganalisis kemungkinan jalur-jalur
untuk melakukan tindakan.
Choice: memilih jalur tertentu untuk melakukan tindakan dari alternative yang
tersedia; dan
Review: menilai pilihan-pilihan yang lalu.
Di dalam rasionalitas yang sempurna atau klasik, metode analisis keputusan
digunakan untuk menilai manfaat pada setiap pilihan selama fase pemilihan dengan
menggunakan nilai numerik. Alternatif dengan manfaat yang paling tinggi yang
dipilih (Turpin and Marais, 2004). Dengan demikian manajer harus mempunyai
informasi yang lengkap tentang semua alternative, tentang manfaat dan
konsekuensinya, kemudian dihitung mana alternative yang lebih baik, dan urutan
prioritasnya.

The Model of Bounded Rationality (Model Rasional yang Terbatas) (Simon’s, 1979)
Salah satu model pengambilan keputusan adalah The Model of Bounded Rationality.
Manajer yang rasional tidak selalu mempunyai informasi yang lengkap dan pilihan
yang optimal tidak selalu diperlukan. Menurut Simon (1979) “perilaku rasional
manusia dibentuk oleh sebuah gunting yang mempunyai dua pisau yang terbentuk
dari lingkungan tugas dan kemampuan menghitung dari aktornya”. Gunting ini
memotong masalah yang besar menjadi masalah yang jauh lebih kecil yang ketika
dicari nampak. Rasionalitas yang terbatas (bounded rationality) ditandai dengan
aktivitas mencari dan memuaskan. Alternatif dicari dievaluasi secara berurutan. Jika
sebuah alternative telah memenuhi kriteria minimum secara implisit maupun eksplisit,
maka dikatakan memuaskan dan pencarian selesai. Proses pencarian mungkin lebih
mudah dengan mengidentifikasi aturan di lingkungan tugas. Meskipun Simon telah
mengklaim teori bounded rationality (rasionalitas yang terbatas), tetap saja perilaku
rasionalitas. Untuk alasan ini, sejumlah peneliti seperti Huber (1981) dan Das dan
Tang (1999) tidak memisahkan antara rationalitas sempurna dan rasionalitas yang
terbatas di dalam klasifikasi model –model pengambilan keputusan (Turpin and
Marais, 2004).

The Incrementalist View


Pandangan incremental logis melibatkan proses langkah demi langkah tindakan
incremental (sedikit demi sedikit) dan tetap menggunakan strategi yang terbuka untuk
menyesuaikan.

The Organisational Procedures View


Pandangan prosedur organisasional mencari untuk mengerti keputusan-keputusan
sebagai output dari standard operating procedures (SOP) yang diminta oleh subunit
organisasi.

The political view


Pandangan politik melihat pengambilan keputusan sebagai proses tawar-menawar
secara pribadi, digerakkan oleh agenda-agenda partisipan dari pada proses rasional.
Orang dibedakan berdasarkan pada tujuan organisasi, nilai-nilai dan relevansi dari
informasi. Proses pengambilan keputusan tidak pernah berakhir, tetapi peperangan
tetap berlangsung antara koalisi yang berbeda. Setelah satu kelompok menang dalam
peperangan itu, partai –partai lainnya mungkin membentuk kelompok baru atau
bahkan menjadi lebih menentukan untuk menang pada perputaran berikutnya.
Pengaruh dan kekuatan memegang dengan cara yang disengaja dan lebih jauh untuk
kepentingan sendiri. Tujuan dari koalisis didefinisikan oleh kepentingan diri sendiri
dari pada oleh apa yang bagus untuk organisasi secara keseluruhan.
The garbage can model
Pandangan kaleng sampah (The garbage can view) menjelaskan pengambilan
keputusan di dalam sebuah anarkhi yang terorganisir dan didasarkan pada karya
Cohen, March and Olsen (1972) (Turpin and Marais, 2004). Semacam pandangan
politik, model itu diasumsikan lingkungan yang pluaris dengan berbagai jenis actor,
tujuan dan pandangan. Model tong sampah menekankan pada frakmentasi dan sifat
alamiah yang membingungkan dari pengambilan keputusan di dalam organisasi-
organisasi, dari pada manipulasi yang disengaja sebagai implikasi dari pandangan
politik. Di dalam model tong sampah sebuah pengambilan keputusan adalah sebuah
luaran atau intepretasi dari beberapa arus independent yang relative di dalam sebuah
organisasi. Arus-arus penyelesaian masalah mencari solusi dan kesempatan untuk
mendapatkan udara. Model tersebut (mencari isu yang dengannya mereka
memberikan jawaban) dan partisipan (yang perhatiannya terbagi dan siapa yang
datang dan siapa yang pergi), bertemu satu sama lain pada kesempatan pilihan, yang
digambarkan dengan tong sampah. Ketika keputusan dibuat, tong sampah
dipindahkan. Hal ini mungkin terjadi tanpa semua masalah mendapatkan solusinya
atau beberapa masalah yang terkait di dalam tong sampah. Karena partisipan adalah
mereka yang menghasilkan sampah atau masalah dan solusi, pembuat keputusan
secara total dependent atau tergantung pada perbaikan dari tim partisipan di dalam
tong itu (Turpin and Marais, 2004).

The individual differences perspective


Perspektif perbedaan individu focus perhatiannya pada perilaku pemecahan masalah
manajer secara individual, dipengaruhi oleh gaya pengambilan keputusan manajer,
latar belakang dan kepribadiannya. Perspektif perbedaan indinidu ini mencoba
menjelaskan bagaimana manajer mungkin menggunakan cara-cara yang berbeda atau
menghasilkan luaran yang berbeda karena kepribadian yang berbeda(Turpin and
Marais, 2004).

Naturalistic decision-making
Pembuatan keputusan yang natural konsen dengan investigasi dan pemahaman
pengambilan keputusan di dalam konteks yang natural (alamiah). Fondasi empiris
pembuatan keputusan naturalis yang berbeda dengan model yang lain seperti the
organisational procedures, garbage can or political views. Model pengambilan
keputusan naturalis ini dikenal juga dengan Recognition-Primed Decision (RPD)
model menurut Klein’s (1998) yang telah melakukan penelitian terhadap 600
keputusan yang dibuat orang dalam berbagai situasi seperti pada pemadam
kebakaran, perawat dan tentara. Hal yang utama dari RPD adalah mengenal situasi
yang mirip dengan pengalaman sebelumnya. Bagian yang harus dikenali terlebih
dahulu adalah tujuan yang berhubungan dengan situasi itu, isarat penting dan apa
yang diharapkan. Selain itu juga jalur yang digunakan untuk bertindak dan
kemungkinan keberhasilannya (Turpin and Marais, 2004).
Sumber referensi : http://nurhidayah.staff.umy.ac.id/pengambilan-keputusan-teori-
dan-praktek/

Anda mungkin juga menyukai