Anda di halaman 1dari 3

Sejarah singkat berdirinya NU

Ada seorang santri(KH. As'ad Syamsul Arifin) yang mendapatkan amanah dari gurunya(Mbah
kholil bangkalan),beliau disuruh memberikan tasbih oleh gurunya tersebut kepada Kh. Hasyim
Asy'ari namun ketika akan menerima tasbih tersebut beliau tidak menerimanya dengan tangan
tapi dengan langsung dikalungkan oleh gurunya(mbah kholil bangkalan),setibanya di Tebuireng,
santri As’ad (KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo) menyampaikan tasbih yang dikalungkan oleh
dirinya dan mempersilakan KH Muhammad Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari
leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari,
melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada
KH Hasyim Asy’ari.
Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad selama berjalan kaki dari
Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad:
“Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya
Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru.
Setelah mendengar lantunan itu, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah
memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, 2010: 72)
Riwayat tersebut merupakan salah satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah petunjuk
berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil
untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya
Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan
kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.
Petunjuk sebelumnya, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk
mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai
seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.
Awalnya, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian
Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan.
Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat
istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut permintaan Kiai Wahab juga
dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak
Umat Islam Indonesia (Jawa). Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh
pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kiai Hasyim Asy’ari itu membuat ide
untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.
Hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin. Kiai As’ad
mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di
tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga
guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.
Dari petunjuk tersebut, Kiai As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai
mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh
Kiai As’ad sebagai penghubung atau washilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada
Mbah Hasyim.
Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggamabarkan bahwa lika-liku
lahirnya NU tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya
pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide
dan gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT
melalui ikhtiar lahir dan batin.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah
perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan,
peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat.
Digawangi oleh KH Wahab Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan
organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut
Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918.
Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu 1914 juga mendirikan kelompok diskusi yang ia beri
nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang menyebutnya
Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas
dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen
yang lebih luas.

Komite Hijaz
Embrio lahirnya NU juga berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Problem keagamaan
global yang dihadapi para ulama pesantren ialah ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin
membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh Muslim di
dunia yang dianggap bid’ah. Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan untuk
menolak praktik bermazhab di wilayah kekuasaannya. Karena ia hanya ingin menerapkan
Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan.

Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di
Makkah. Bgai ulama pesantren, sentimen anti-mazhab yang cenderung puritan dengan
berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman
bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri.

Choirul Anam (2010) mencatat bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat
Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang
kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC)—dibentuk tahun 1925--akan
mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926.

Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di
Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi
akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara lain: “Delegasi CCC
yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Makkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk
melindungi kebebasan bermazhab. Sistem bermazhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz
harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”.
Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W.
Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkatti. Namun,
diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud
selalu berkahir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis
tersebut.

Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia
tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926. Pembentukan Komite
Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari.

Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31
Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan
mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim
Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai
delegasi Komite Hijaz.

Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang
berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH
Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.

Riwayat-riwayat tersebut berkelindan satu sama lain, yaitu ikhtiar lahir dan batin. Peristiwa
sejarah itu juga membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi rakyat yang
sedang terjajah, problem keagamaan, dan problem sosial di tanah air, tetapi juga menegakkan
warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi
Muhammad dan para sahabatnya.

Tepat pada 31 Januari 2020, Nahdlatul Ulama berusia 94 tahun dalam hitungan tahun masehi.
Sedangkan pada 16 Rajab 1441 mendatang, NU menginjak umur 97 tahun. Selama hampir satu
abad tersebut, NU sejak awal kelahirannya hingga saat ini telah berhasil memberikan
sumbangsih terhadap kehidupan beragama yang ramah di tengah kemajemukan bangsa
Indonesia. Setiap tahun, Harlah NU diperingati dua kali, 31 Januari dan 16 Rajab.

Anda mungkin juga menyukai