Anda di halaman 1dari 11

Laporan Tugas Sejarah

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kemudahan bagi Saya untuk
dapat meyelesaikan laporan sejarah dengan baik dan tepat waktu. Dengan laporan saya yang
menjelaskan tentang upaya bangsa Indonesia dalam menghadapi disintegrasi bangsa serta tokoh
pahlawan, tempat, waktu, tanggal kejadian dan berbagai upaya pahlawan Indonesia menyatukan
persatuan untuk negeri indonesia.

Laporan ini Saya dapatkan sebagian dari internet dan apa yang sudah saya pelajari dari buku-buku.
Kita dapat melihat dan mengenang sejarah upaya disintegrasi yang dilakukan oleh pihak yang ingin
memecah belah persatuan Indonesia tetapi disamping itu ada pahlawam yang ingin mempersatukan
Indonesia kembali. Dengan terbuatnya laporan ini semoga dapat menjadi bahan membuat soal dan
bahan belajar.

Dalam penyusunan laporan ini saya menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang dibuat baik
sengaja maupun tidak sengaja, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan wawasan serta
pengalaman yang saya miliki. Untuk itu penulis mohon maaf atas segala kekurangan tersebut.

Palangka Raya, 5 November 2018


 

Penyusun
PKI MADIUN 1948

17 Tokoh yang namanya disebut sebagai 'Korban Keganasan PKI Tahun 1948 yang Gugur di Desa
Kresek' tersebut di antaranya:

1. Kolonel Inf Marhadi


2. Letkol Wiyono
3. Insp Pol Suparbak
4. May Istiklah
5. R.M. Sardjono (Patih Madiun)
6. Kiai Husen (Anggota DPRD Kabupaten Madiun)
7. Mohamad (Pegawai Dinas Kesehatan)
8. Abdul Rohman (Assisten Wedono Jiwan)
9. Sosro Diprodjo (Staf PG Rejo Agung)
10. Suharto (Guru Sekolah Pertama Madiun) 
11. Sapirin (Guru Sekolah Budi Utomo)
12. Supardi (Wartawan freelance Madiun)
13. Sukadi (Tokoh masyarakat)
14. KH Sidiq
15. R. Charis Bagio (Wedono Kanigoro)
16. KH Barokah Fachrudin (Ulama)
17. Maidi Marto Disomo (Agen Polisi).

Latar Belakang
Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir
Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak disepakatinya Perjanjian Renville.
Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, namun Amir
beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian kabinet tersebut.
Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis
Indonesia yang lama tinggal di Uni Soviet (sekarang Rusia) ini menjelaskan tentang “pekerjaan dan
kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menawarkan gagasan yang disebutnya “Jalan
Baru untuk Republik Indonesia”. Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama
yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-
Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil
fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut
"Komite Front Nasional".
Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet
presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerja sama internasional,
terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk menyebarkan gagasannya,
Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya berencana untuk menguasai daerah-daerah
yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang,
Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi,
dan aksi-aksi pengacauan lainnya.[1]
Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di
kota Surakarta, serta mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan Siliwangi
yang ada di sana.
Mengetahui hal itu, pemerintah langsung memerintahkan kesatuan-kesatuan TNI yang tidak terlibat
adu domba untuk memulihkan keamanan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini dipimpin oleh
kolonel Gatot Subroto.

Pemberontakan
Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta, pada 18
September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa Timur, dan pada
hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari berikutnya, PKI/FDR
mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun, PKI juga mengumumkan hal
yang sama pula di Pati, Jawa Tengah.[2] Pemberontakan ini menewaskan Gubernur Jawa Timur RM
Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa petugas polisi dan tokoh agama.

Akhir
Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat. Provinsi
Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai gubernur
militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh Kolonel A. H.
Nasution.[3]

September 1949, Proses introgasi terhadap simpatisan PKI.

September 1948, tampak TNI bersenjata dan masyarakat yang menangkap terduga simatisan PKI.

Interogasi yang dilakukan oleh seorang prajurit TNI kepada simpatisan PKI.
Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi Belanda, namun
dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuan-kesatuan lainnya
yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak akhirnya dapat dimusnahkan. [4]

Kondisi korban sebelum dieksekusi.

Korban eksekusi

September 1948, Kondisi korban setelah eksekusi.

September 1948, Foto setelah dilakukannya eksekusi terbuka kepada terduga simpatisan PKI.

September 1948, proses eksekusi massal terhadap terduga simpatisan PKI.

Eksekusi dilakukan dengan cara ditembak.

Eksekusi dilakukan dengan cara ditembak.


Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso yang melarikan diri ke Sumoroto,
sebelah barat Ponorogo. Dalam peristiwa itu, Musso berhasil ditembak mati. Sedangkan Amir
Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Amir sendiri
tertangkap di daerah Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan sisa-sisa pemberontak yang tidak tertangkap
melarikan diri ke arah Kediri, Jawa Timur

PRRI
Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta adalah sebuah
gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia
bagian timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat ini berada di Makassar yang
pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassarmendukung gerakan ini.
Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun kemudian,
pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Di sini timbul kontak senjata dengan
pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu
tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga
mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang
sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian
Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur
dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur. Pemerintah pusat Republik Indonesia yang
dideklarasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1945 kemudian menggunakan operasi-operasi militer untuk
menghentikan gerakan-gerakan yang mengarah kepada kemerdekaan.

Daftar isi

 1Latar Belakang
 2Awal Gerakan
 3Operasi Militer
 4Campur tangan asing
 5Kembali ke NKRI
 6Bacaan
 7Pranala luar
 8Catatan kaki

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]


Pemberontakan PRRI di barat dan Permesta di timur menumbuhkan berbagai macam alasan.
Utamanya bahwa kelompok etnis tertentu di Sulawesi dan Sumatera Tengah waktu itu merasa bahwa
kebijakan pemerintahan dari Jakarta stagnan pada pemenuhan ekonomi lokal mereka saja, di mana
dalam gilirannya membatasi setiap kesempatan bagi pengembangan daerah regional lainnya. [1]Juga
ada rasa kebencian terhadap kelompok suku Jawa, yang merupakan suku dengan jumlah terbanyak
dan berpengaruh dalam negara kesatuan Indonesia yang baru saja terbentuk. [2] Efeknya konflik ini
sedikit menyoal pikiran tentang pemisahan diri dari negara Indonesia, tetapi lebih menitikberatkan
tentang pembagian kekuatan politik dan ekonomi yang lebih adil di Indonesia. [3]

Awal Gerakan[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Letkol.Ventje Sumual memproklamirkan berdirinya Piagam


Perjuangan Semesta. Gerakan ini meliputi hampir seluruh wilayah IndonesiaTimur serta mendapat
dukungan dari tokoh-tokoh Indonesia Timur. Ketika itu keadaan Indonesia sangat bahaya dan hampir
seluruh pemerintahan di daerah diambil oleh militer. Selain itu mereka juga membekukan segala
aktivitas Partai Komunis Indonesia, serta menangkap kader-kader PKI. Keadaan semakin genting
tatkala diadakan rapat di gedung Universitas Permesta yang membicarakan pemutusan hubungan
dengan pemerintah pusat.
Pada pukul 07.00 diadakan pertemuan di ruang rapat gedung Universitas Permesta di Sario, Manado,
dengan tokoh-tokoh politik, masyarakat, dan cendekiawan. Saat itu, KaptenWim Najoan, Panglima
Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, memberikan gambaran tentang perkembangan
di Sumatera dan putusan agar dibentuknya PRRI. Selanjutnya ia memberikan sebuah pernyataan,
"Permesta di Sulutteng menyatakan solidaritas dan sepenuhnya mendukung pernyataan PRRI. Oleh
sebab itu, mulai saat ini juga Permesta memutuskan hubungan dengan Pemerintah Republik
Iindonesia, Kabinet Djuanda."
Seketika pula para peserta rapat berdiri dan menyambutnya dengan pekik, "Hidup PRRI! Hidup
Permesta! Hidup Somba!" Setelah itu rapat diskors 30 menit untuk menyusun teks pemutusan
hubungan dengan pusat oleh tiga orang: Mayor Eddy Gagola, Kapten Wim Najoan, dan kawan-
kawan. Setelah selesai menyusun teks pemutusan hubungan degan Pemerintah Pusat, rapat
dilanjutkan dan teks tersebut dibacakan kepada para hadirin. Respon peserta rapat sangat antusias,
dengan ramai mereka mendengungkan pekik, "Hidup Permesta! Hidup PRRI! Hidup Somba-
Sumual!" Setelah itu Mayor Dolf Runturambi bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara-saudara
setuju?" Serentak menjawab, "Setuju! Setuju!"
Kembali suasana yang sangat ramai dari para hadirin. Setelah rapat tersebut, Kolonel D. J.
Somba selaku pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah mengadakan rapat di Lapangan Sario,
Manado. Ia membacakan teks pemutusan hubungan dangan Pemerintah Pusat yang isinya: "Rakyat
Sulawesi Utara dan Tengah termasuk militer, solider pada keputusan PRRI dan memutuskan
hubungan dengan Pemerintah RI."
Hari itu juga Pemerintah Pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat
atas Letkol H.N. Ventje Sumual, Mayor D.J. Somba, dan kawan-kawannya, dari Angkatan Darat. Saat
itu pula para pelajar, mahasiswa, pemuda, dan ex-KNIL mendaftarkan diri untuk menjadi pasukan
dalam Angkatan Perang Permesta. Bagi mereka yang telah mendaftar, langsung diberi latihan
di Mapanget. Dalam hal ini pula keterlibatan Amerika Serikat benar-benar terlihat, dengan
mendatangkan penasehat militernya.serta memberikan sejumlah bantuan berupa
amunisi, mitraliur anti pesawat terbang, juga bantuan untuk memperkuat Angkatan Perang
Revolusioner (AUREV).
Amerika Serikat juga mendatangkan sejumlah pesawat terbang, antara lain: pesawat pengangkut DC-
3 Dakota, pesawat pemburu P-51 Mustang, Beachcraft, Consolidated PBY Catalina, dan pembom B-
26 Invader. Di sisi lain juga Permesta membentuk suatu badan dan satuan kepolisian yaitu, pertama,
Polisi Revolusioner. Kedua, Pasukan Wanita Permesta (PWP), dan ketiga Permesta Yard, yaitu
sebuah badan intelejen.
Selain dari Amerika Serikat, Permesta juga mendapat bantuan dan dukungan dari sekutu pro Barat,
seperti Taiwan, Korea Selatan, Filipina, serta Jepang. Dengan dukungan yang begitu besar, Permesta
tidak pernah kehabisan perbekalan ketika bertempur. Sejumlah besar anggota Komando Pemuda
Permesta wilayah Sulawesi Utara dan Tengah dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota
pasukan Permesta Komando Pemuda Permesta. Sebelumnya tugas mereka adalah untuk membantu
pemerintah daerah guna mengerahkan tenaga dan dana untuk melancarkan pembangunan di daerah-
daerah.
Pergolakan ini pun terus berlanjut dan semakin menuju terjadinya Perang Saudara. Ketika
itu Republik Indonesia, yang baru berdiri kurang lebih 10 tahun setelah pengakuan kedaulatan, benar-
benar berada di ujung tanduk. Keutuhan Negara Republik Indonesia sangat membahayakan terlebih
saat itu di daerah lainnya juga muncul pemberontakan terhadap Pemerintah RI,
yaitu PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) dan Republik Maluku Selatan.
Selain itu, di dalam tubuh pemerintahan RI banyak terjadi pergolakan politik.terutama dengan silih
bergantinya kabinet seiring dengan penerapan Demokrasi Liberal. Di sisi lain, hubungan Dwi-
Tunggal Soekarno dan Hatta mengalami keretakan. Hal ini terjadi akibat dari kedekatan Soekarno
dengan Partai Komunis Indonesia yang selalu memusuhi Hatta. Akhirnya dengan berat hati, Hatta
mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia di kala suasana negara
yang kritis. Akibat pemutusan hubungan Permesta dengan pusat, Kota Manado menjadi sangat
mencekam. Kegelisahan meghantui setiap penjuru Manado. Warga seakan tak bisa tenang untuk
sesaat pun karena khawatir akan adanya serangan dari Pemerintah Pusat yang diperkirakan tak lama
lagi akan datang menyerbu daerah yang dikuasai Permesta.
Banyak masyarakat Manado yang mengungsi ke luar kota untuk menghindari Perang Saudara yang
tampaknya akan menjadi sebuah kenyataan, Di lain pihak juga dukungan terhadap Permesta semakin
besar. Dengan masuknya Kolonel Alexander Evert Kawilarang setelah berhenti sebagai Atase Militer
RI pada Kedubes RI di Washington, DC, Amerika Serikat, ia berhenti dari dinas militer, dengan
Pangkat Brigadir Jenderal. Selanjutnya pulang ke Sulawesi Utara untuk bergabung dengan Permesta.
Disana ia mendapat jabatan sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI dan
Kepala Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat Mayor
jenderaldan selanjutnya ia menjadi Panglima Besar Permesta.
Presiden Taiwan Chiang Kai Shek pernah merencanakan untuk mengirimkan 1 resimen marinir dan 1
skuadron pesawat tempur untuk merebut Morotai bersama sama dengan Permesta,
namun Menteri Luar Negeri Taiwan Yen Kung Chau menentang gagasan itu.karena
khawatir Republik Rakyat Tiongkok akan ikut serta membantu Pemerintah Pusat di Jakarta dan
mungkin akan memiliki alasan untuk mengintervensi. terhadap Taiwan. walaupun demikian. Taiwan
sebelumnya memang sudah membantu Permesta dengan mengirimkan persenjataan dan dua squadron
pesawat tempur ke Minahasa untuk Angkatan Udara Revolusioner. Bantuan Taiwan akhirnya tercium
oleh Pemerintah Pusat. Bulan Agustus 1958, militer mengambil alih bisnis yang dipegang oleh
penduduk WNI asal Taiwan dan sejumlah surat kabar, sekolah ditertibkan.

Operasi Militer[sunting | sunting sumber]


Pemerintah Pusat melalui KSAD Mayor Jenderal Nasution melakukan pesiapan guna
melakukan operasi militer terhadap kedudukan Permesta di Sulawesi. operasi ini di sebut Operasi
Militer IV dengan pimpinan Letkol Bardosono dengan rincian sasaran Sulawesi
Utara bagian Tengah pada bulan Maret 1958. Palu dan Donggala telah direbut oleh APRI(Angkatan
Perang Republik Indonesia) dan Pasukan Mobile Brigade, di bawah pimpinan Kapten Frans
Karangan. Dikabarkan bahwa akhir Maret 1958, Permesta mendapatkan bantuan gerombolan Jan
Timbuleng (Pasukan Pembela Keadilan/PPK) juga turut bergabung gerombolan pemberontak lainnya,
kurang lebih 300 orang dari satu kelompok (Sambar Njawa) yang dipimpin Daan Karamoy serta
bekas istri Jan Timbuleng, Len Karamoy sebagai komandan pasukan, menawarkan diri untuk melatih
sebuah laskar wanita untuk Permesta (PWP).
serta mereka Pula melakukan rencana untuk menyerang Jakarta. Namun secara bertahap. rencana ini
di beri nama Operasi Djakarta II. Rencana Operasi Djakarta II itu adalah sebagai berikut: a. merebut
kembali daerah Palu/Donggala yang telah dikuasai Tentara pusat, lalu menyerang dan menduduki
Balikpapan. b. sasaran kedua adalah Bali; c. sasaran ketiga adalah Pontianak; d. sasaran terakhir
adalah Jakarta.
Operasi ini bertujuan untuk menekan Pemerintah Pusat agar mau berunding dengan PRRI. Dan pada
13 April 1958 pesawat pesawat milik AUREV menyerang lapangan udara Mandai, Makassar, serta
tempat tempat lainya seperti Ternate, Balikpapan dan Donggala dan serangan yang paling fatal adalah
serangan terhadap Kapal Hang Tuah yang sedang bersandar di pelabuhan Balikpapan enyebabkan
Kapal tersebut tenggelam. Pada tanggal 18 mei 1958 dilakukanlah Operasi Mena II di bawah
Komando Letkol. KKO Huhnholzuntuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.
Soedomo selaku Kepala Staf memerintahkan untuk berlayar ke Pulau Tiaga di lepas Pantai Ambon
dengan di dukung Pesawat P-51 Mustang dan B-26 serta Pasukan Gerak Cepat, Pasukan Angkatan
Darat dan Gabungan Marinir. Lalu Datanglah serangan dari Allen Pope menggunakan Pesawat B-26
Invader. Sebelumya ia telah menyerang Ambonsetelah terbang dari Mapanget. Seketika pun Allen
Pope menukikan pesawatnya untuk menyerang kedudukan Pasukan APRI. Melihat tanda bahaya, para
awak yang berada di dalam kapal dengan serentak melakukan tembakan balasan. Hampir seluruh
pasukan yang ada di dalam kapal melakukanya. Mulai dengan penangkis udara, senapan serbu,
senapan otomatis, senapan infanteri bahkan pistol.
Di sisi lain bantuan untuk Pemerintah Pusat pun datang dari penerbang bernama Ignatius
Dewanto dengan menggunakan Pesawat kopkit P-51. Dewanto langsung memacu pesawatnya dan
lepas landas untuk membantu iring-iringan ALRI yang diserang. Tetapi dia tidak menemukan B-26
AUREV. Ferry Tank (Tangki bahan bakar cadangan) dilepas di laut. Lalu terlihatlah konvoi kawan-
kawanya yang diserang B-26 milik AUREV buruannya. Dengan cepat ia mengejar Dewanto lalu
mengambil posisi di belakang lawan. Roket ditembakkan namun, berkali-kali lolos, disusul dengan
tembakan 6 meriam 12,7 karena jaraknya lebih dekat, memungkinkan ia dapat mengenainya lebih
besar.
Dewanto yakin tembakannya mengenai sasaran. Lalu semua awak yang berada di dalam kapal melihat
pesawat milik AUREV itu terbakar lalu terlihatlah dua buah parasut yang jatuh, ada yang jatuh di
sebuah pohon, serta luka terhempas karang. Kedua orang itu adalah Allen Pope dan Harry Rantung,
Pope adalah seorang penerbang bayaran asal Amerika Serikat yang sedang melakukan tugas untuk
membantu Permesta. Akibatnya adalah melemahnya kekuatan Permesta di udara, menyebabkan Apri
dengan mudah menguasai setiap Wilayah yang semula diduduki Permesta. Kemudian
Pasukan RPKAD bersiap untuk menyerang Mapanget namun mengalami kegagalan serta
menewaskan Miskan, seorang Prajurit dan Sersan Mayor Tugiman,
Setelah Pasukan RPKAD gagal kemudian AURI menyerang Mapanget dengan Pesawat P-51 Mustang
dengan sasaran menembak awak kanon anti udara. Pertempuran sengit pun terjadi para awak kanon
anti udara, Permesta terus melakukan penembakan terhadap pasukan AURI secara Terus menerus.
Bahkan, dari merka ada yang sampai terpental namun tidak mengalami luka, lalu kembali memegang
kanon anti udara mereka maisng masing dan akhirnya serangan ini kembali tidak membuahkan hasil.
Para kanon anti udara Permesta menjadi Pahlawan karena berhasil mengusir setiap serangan yang
selalu datang.sebelumnya, mereka juga sempat merontokan tiga pesawat milik AURI.
AURI pun mengakui keunggulan Pertahanan udara Permesta yang mereka nilai paling tersulit selama
melakukan operasi militer. Kebanyakan dari mereka adalah pasukan Ex-KNIL jadi sudah sangat
terlatih walaupun umur mereka banyak yang sudah tua, namun berkat pengalaman yang mereka miliki
mereka dapat berbuat banyak. Sementara itu Gubernur Sulawesi, Andi Pangerang menyatakan
pembekuan segala aktivitas yang Berkaitan dengan Permesta dan kemudian Amerika Serikat menarik
segala bantuannya terhadap Permesta.
Karena malu terhadap Pemerintah Pusat setelah pesawat yang di kemudikan Pope terjatuh yang
membongkar segala bantuan Amerika terhadap Permesta. Sebelum pesawat itu jatuh, Amerika Serikat
dengan sangat bersikeras menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak terlibat dengan PRRI maupun
Permesta. Seperti yang dikutip oleh John Foster Dulles, “Apa yang terjadi di Sumatera adalah urusan
dalam negeri Indonesia. AS tidak ikut campur dalam urusan dalam Negeri Negara lain.”
Kemudian, Eisenhower selaku Presiden Amerika Serikat, mengadakan jumpa pers terkait Peristiwa
yang terjadi di Sumatera dan Sulawesi serta penemuan beberapa senjata buatan AS.
Isi dari jumpa pers itu adalah, “Senjata-senjata yang ditemukan oleh ABRI adalah senjata yang
dengan mudah dapat ditemukan di pasar gelap dunia. Di samping itu, sudah biasa di mana ada konflik
pasti akan ditemukan tentara bayaran.” Tetapi tuduhan bahwa Amerika Serikat terlibat disini semakin
nyata, setelah tubuh Pope digeledah dan terdapat beberapa identitas tentang dirinya. seperti surat
keterangan yang mengizinkan Pope memasuki semua fasilitas militer AS di Philpina. Juga ada kartu
klub perwira di pangkalan itu.
Hal ini membuat Amerika benar-benar kehilangan muka di dunia bahkan segala buku yang
mengisahkan sepak terjang CIA selalu memojokan Amerika. Untuk meraih hati Presiden Soekarno,
Amerika menawarkan bantuan senjata serta bersedia mengimpor beras kepada Indonesia dengan
bayaran rupiah, selain itu dengan sangat terpaksa, Amerika menghentikan segala bantuannya kepada
PRRI dan Permesta sehingga membuat keduannya semakin melemah. Sementara itu peperangan
antara pemerintah pusat dan Permesta semakin gencar saling menguasai beberapa tempat terjadi.
Pada tanggal 17 Pebruary 1959 Permesta secara serentak melakukan serangan besar besaran yang di
beri nama operasi Operation Djakarta Special One. Tujuan dari serangan itu adalah. menduduki
beberapa Kota Srategis seperti Langowan, Tondano dan Amurang-Tumpaan. untuk menghancurkan
segala prasarana musuh. Namun, operasi tersebut mengalami kegagalan walaupun Permesta sempat
menduduki beberapa tempat hanya untuk beberapa jam saja karena tempat tersebut berhasil direbut
oleh Pasukan APRI dan AURI. Setelahnya pasukan APRI dan AURI berhasil menduduki beberapa
tempat yang sebelumnya merupakan basis terkuat dari Permesta.

Campur tangan asing[sunting | sunting sumber]


Selama 1957 pihak Amerika meningkatkan perhatian bahwa Indonesia akan sangat rapuh di bawah
komunisme akibat meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia. Pada January 1958, Central
Intellegence Agency mulai mengembangkan jaringan dukungan misi rahasia kepada pemberontak
PRRI dan Permesta. CIA mendukung pemberontak Permesta dalam bentuk pemberian 15
buah bomber B-26 dan fighter P-51 Mustang yang membentuk pemberontak angkatan udara
bernama Angkatan Udara Revolusioner dengan markas di lapangan udara Manado, jumlah besar
senjata dan peralatan lainnya, dana yang signifikan, ditambah agen CIA internasional dan tentara
bayaran dari Taiwan, Filipina, dan Amerika.[4] Merasa berani dengan suplai dari CIA, para
pemberontak memulai serangkaian serangan udara di Sulawesi dan Maluku yang dipegang
pemerintah pusat. Kota-kota tersebut dibom oleh pesawat-pesawat pemberontak yang dipiloti CIA,
termasuk Balikpapan, Makassar, dan Ambon. Pada 15 Mei 1958, para pesawat pemberontak membom
pasar Ambon, membunuh sejumlah besar warga sipil yang menghadiri hari kenaikan Yesus di hari
minggu.
Menanggapi serangan para pemberontak, Presiden Sukarno memerintahkan militer Indonesia untuk
menghancurkan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-Permesta. Sejumlah
serbuan Angkatan Udara Republik Indonesia di Manado menghancurkan pesawat-pesawa B-26.
Sementara itu, seorang dari mereka ditembak jatuh pada 18 Mei 1958 oleh pilot Indonesia diatas
Kepulauan Ambon. Pilot B-26, agen CIA Amerika Allen Pope, tertangkap hidup, yang menyorot
keterlibatan lebih dalam CIA di pemberontakan tersebut. Konsekuensinya CIA memulai menarik
dukungannya pada pemberontakan. Pope sudah berusaha mengakui dan dihukum mati di Jakarta,
sebelum dilepaskan di kemudian hari.
Setelah menyingkirkan pemberontak Angkatan Udara Revolusioner, tentara pemerintah pusat
meluncurkan serangan amfibi dan udara di jantung kota pemberontakan Manado yang
dinamakan Operasi Merdeka. Tentara Indonesia dengan cepat mengeluarkan para pemberontak dari
Manado, setelah mereka bertahan melakukan pertahanan gerilya sekitar area Danau Tondano.
Bagaimanapun, pemerintah pusat memulai kampanye keberhasilan menawarkan amnesti untuk
mereka yang menyerah secara sukarela. Para pemberontak yang mempunyai hubungan kekeluargaan
dan keramahan dengan banyak prajurit pemerintah pusat mulai menyerah. Prajurit Permesta terakhir
menyerah dan menyatakan sumpah kesetiaannya kepada pemerintah pusat pada 1961.

Kembali ke NKRI[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1960 Pihak Permesta Menyatakan kesediaanya untuk berunding dengan pemerintah pusat.
Perundingan pun dilangsungkan Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan Perang Permesta,
Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang serta pemerintah pusat diwakili oleh Kepala Staf Angkatan
Darat Nicolas Bondan. Dari perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu bahwa pasukan
Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa. Pada
tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi amnesti dan abolisi bagi siapa saja
yang terlibat PRRI dan Permesta tetapi bukan untuk itu saja bagi anggota DI/TII baik di Jawa Barat,
Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan juga berhak menerimanya.
Sesudah keluar keputusan itu, beramai-ramai banyak anggota Permesta yang keluar dari hutan-hutan
untuk mendapatkan amnesti dan abolisi. Seperti Kolonel D.J. Somba, Mayor Jenderal A.E.
Kawilarang, Kolonel Dolf Runturambi, Kolonel Petit Muharto Kartodirdjo, dan Kolonel Ventje
Sumual beserta pasukannya menjadi kelompok paling akhir yang keluar dari hutan-hutan untuk
mendapatkan amnesti dan abolisi. Pada tahun itu pula Permesta dinyatakan bubar.

ANDI AZIS
Peristiwa Andi Azis adalah upaya pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis, seorang mantan
perwira KNIL, yang berusaha untuk mempertahankan keberadaan Negara Indonesia Timur dan
enggan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Andi Azis, para perwira APRIS
(ABRI) (dari kalangan mantan anggota KNIL) harus bertanggung jawab terhadap gangguan
keamanan di wilayah Negara Indonesia Timur yang menurutnya didalangi oleh pemerintah.

Awal gerakan[sunting | sunting sumber]


Andi Azis adalah seorang mantan perwira KNIL yang bergabung menjadi perwira APRIS (ABRI),
kemudian beliau diterima sebagai perwira APRIS. Pelantikannya disaksikan oleh Letkol Ahmad
Yunus Mokoginta, yang merupakan Panglima Tentara Teritorium Negara Indonesia Timur. Namun
kemudian, beliau justru menggerakkan pasukannya dari para mantan perwira KL/KNIL lainnya untuk
menyerang markas APRIS dan menyandera sejumlah perwira APRIS, termasuk Letkol A. Y.
Mokoginta. Setelah menguasai Makassar, beliau menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus
dipertahankan. Ia menuntut agar para perwira APRIS (dari kalangan mantan anggota KNIL) harus
bertanggung jawab terhadap gangguan keamanan di wilayah Indonesia Timur yang menurutnya
didalangi oleh pemerintah.
Pada tanggal 8 April 1950, pemerintah membuat ultimatum yang meminta Andi Azis agar segera
datang ke Jakarta. Karena, apabila beliau tidak mengindahkan ultimatum tersebut, maka Kapal
Angkatan Laut Hang Tuah akan mem-bom kota Makassar. Selain itu, ultimatum pemerintah tersebut
juga meminta agar Andi Azis mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam waktu 4 x 24 jam,
namun ultimatum tersebut tetap juga tidak diindahkan. Setelah batas waktu terlewati, pemerintah
mengirimkan pasukan di bawah Kolonel Alex Kawilarang. Dan akhirnya, pada tanggal 15 April 1950,
Andi Azis datang ke Jakarta dengan perjanjian dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX bahwa beliau
tidak akan ditangkap. Tetapi, ketika Andi Azis datang ke Jakarta, beliau justru langsung ditangkap.

Pertempuran[sunting | sunting sumber]
Gerakan ini diawali dengan kegiatan pasukan APRIS (ABRI) yang diganggu oleh KL/KNIL dan
kerap kali melakukan provokasi serta konflik dengan pasukan APRIS. Pertempuran keduanya meletus
pada tanggal 5 Agustus 1950. Tentara KL/KNIL berhasil ditaklukkan oleh APRIS dengan
mengerahkan seluruh kekuatan pasukan dari angkatan darat, laut, dan udara.

Anda mungkin juga menyukai