Anda di halaman 1dari 27

Referat

AVIAN INFLUENZA

Oleh
okik
0000000000

Pembimbing

dr. Joni anwar, Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


SRIWIJAYA DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT
DALAM RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2019

i
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................ 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
2.1 Definisi....................................................................................... 3
2.2. Virus Avian Influenza............................................................... 3
2.3. Patogenesis ............................................................................... 5
2.4. Manifestasi Klinis .................................................................... 7
2.4.1. Influenza tanpa Komplikasi.......................................... 7
2.4.2. Influenza dengan Komplikasi....................................... 7
2.5. Diagnosis................................................................................... 10
2.6. Tatalaksana................................................................................ 15
2.6.1. Tindakan Pencegahan Standard.................................... 15
2.6.2. Terapi Antiviral............................................................ 16
2.6.3. Terapi Suportif.............................................................. 22
2.7. Pencegahan................................................................................ 22
BAB 3. KESIMPULAN ............................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 25

ii
BAB 1. PENDAHULUAN

Berdasarkan Sejarah yang ditemukan telah terjadi beberapa kali kasus


pendemi dari penyakit influenza yang mana masing-masing disebabkan oleh virus
yang berasal dari unggas (avian). Kasus pandemi pada tahun 1957 (H2N2), 1968
(H3N2), dan 1977 (H1N1), virus yang ditemukan tersebut memiliki campuran
komponen yang berasal baik dari virus manusia dan virus avian .1 Flu burung yang
sangat patogenik (HPAI) adalah penyakit virus zoonosis pada burung, babi, dan
manusia yang terjadi di seluruh dunia.2 HPAI disebabkan oleh virus influenza tipe
A, terutama subtipe H5 dan H7.3 Virus influenza dari subtipe ini adalah penyebab
paling penting dari wabah HPAI di Eropa, Asia, Afrika, dan Pasifik di mana
mereka menyebabkan kematian dan kehancuran unggas yang tinggi pada
peternakan unggas dan margasatwa.4,5
Untuk infeksi manusia dengan virus avian influenza H5N1, penyakit ini
menunjukkan serangkaian manifestasi klinis dari demam dan batuk hingga
pneumonia berat, pernapasan sulit, syok, dan kematian. 6 Tanda-tanda klinis
gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare juga telah dilaporkan.7
Pada tahun 2005 di bulan juni-juli diketahui ada 3 kasus kematian di
Tangerang yang sebabkan oleh pneumonia dengan gejala klinis yang sesuai
infeksi virus H5N1. Pada tahun 2013 bulan febuari di Cina ditemukan infeksi
virus avian H7N9 pada manusia yang terdapat kontak dengan peternakan 3-8 hari
sebelum onset penyakit.8

1
Dengan ditemukannya data-data epidemiologi tersebut, Departemen
Kesehatan RI berkolaborasi dengan WHO menyarankan peningkatan
kewaspadaan berupa: surveillance terhadap penyakit dengan gejala seperti
influenza, penelitian terhadap adanya wabah, isolasi dan perawatan tersendiri
untuk penderita yang dicurigai, anjuran pemakaian alat pelindung personal (APP)
bagi para pekerja peternakan dan petugas kesehatan, penggunaan obat-obatan anti
viral untuk pencegahan dan terapi, dan penyuluhan mengenai kewaspadaan umum
(sering mencuci tangan, menghindari kontak dengan unggas atau ternak yang
sakit, tatacara mengolah dan memasak hasil-hasil peternakan dengan sehat dan
aman) dan lainnya. 1

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Avian influenza merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
avian influenza tipe A.8 Virus ini secara umum ada pada burung akuatik liar dan
dapat menginfeksi unggas dan spesies hewan lainnya.

2.2. Virus Avian Influenza


Virus influenza merupakan virus RNA berbungkus (envelope), memiliki
genom yang bersegmen (terdiri dari 8 gena) dan menunjukkan beragam
antigenetik yang sangat luas. Strain virus influenza mempunyai nama berdasarkan
protein inti (core) nya (misalnya, A, B, atau C), sumber atau hostnya (misalnya
unggas, atau babi), daerah geografi asal isolasinya, nomer serial, dan subtipe
glikprotein antigenik permukaannya. Molekul glikoprotein antigenik permukaan
utama yang dimiliki virus influenza A dan B ada 2 yaitu hemaglutinin (HA) dan
neuramidase (NA). HA adalah glikoprotein yang berikatan dengan residu asam
sialat pada glikoprotein sel epitel saluran nafas. Ikatan ini sangat penting sebagai
penanda suatu infeksi, tanpa ikatan tersebut tidak akan terjadi infeksi. Setelah
replikasi virus, virion keturunannya juga masih terikat pada sel inang (host).
Kemudian NA akan memutuskan ikatan itu dan membebaskan virion-virion
tersebut. NA juga bertindak menetralkan agregasi virion pada sekret saluran nafas
yang dimediasi oleh HA. Baik HA maupun NA mampu merangsang terbentuknya
antibodi pada manusia dan inang lainnya. 1
Virus influenza A diketahui sebagai penyebab wabah setiap tahun,
sedangkan virus influenza B tercatat menyebabkan wabah setiap 2-4 tahun sekali.
Di antara virus influenza A, hingga saat ini diketahui ada 15 subtipe HA dan 9
subtipe NA. Kombinasi subtipe glikoprotein antigenik yang beraneka ragam
ditemukan terutama pada kelompok burung, khususnya jenis unggas air yang
bermigrasi, tetapi hanya 3 subtipe HA (H1, H2, dan H3) dan 2 subtipe NA (N1
dan N2) yang dapat menyebabkan penyebaran infeksi saluran nafas pada
manusia.1

3
Infeksi bersamaan pada satu sel yang sama (pada manusia atau inang
perantara) oleh 2 virus dari spesies yang berbeda (misalnya virus manusia dan
virus avian) memungkinkan terjadinya percampuran materi genetik antara kedua
jenis virus tersebut, menghasilkan jenis virus baru yang dapat menyebar secara
pendemik.1 Virus avian influenza tidak dapat bereplikasi secara baik dalam tubuh
manusia, beberapa subtipe ternyata dapat menembus saluran nafas dan
menyebabkan penyakit, antara lain H5N1, H9N2, dan H7. Bagan transmisi
interspesies dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.

Gambar 1. Transmisi interspesies virus influenza A5

4
Gambar 2. Alur infeksi dari unggas ke manusia11

2.3. Patogenesis
Virus avian influenza subtipe H5 dan H7 memiliki kemampuan untuk
berkembang menjadi strain virus yang sangat patogenik. Untuk dapat
membedakan antara “low pathogenic H5 atau H7” dan ”high pathogenic H5 atau
H7” berdasarkan sifat-sifat genetik virusnya maupun dari derajat beratnya
penyakit yang ditimbulkan. Virulensi virus avian influenza pada mamalia belum
sepenuhnya dipahami. Jenis perubahan genetik yang besar (mayor) pada virus
influenza A disebut antigenic shift, sedangkan perubahan yang kecil (minor)
disebut antigenic drift.
Antigenic shift terjadi jika seorang manusia atau seekor inang perantara
terinfeksi oleh 2 jenis virus dari spesies yang berbeda (misalnya virus manusia
dan virus avian). Genom virus yang tersegmentasi memungkinkan terjadinya
percampuran materi genetik antar kedua jenis virus tersebut dan menghasilkan
virus baru dengan glikoprotein permukaan (HA dan NA) yang berbeda dari virus
yang sebelumnya sudah pernah menyerang manusia.

5
Karena belum pernah disebabkan oleh sistem imun manusia, maka jenis
virus baru ini dapat menyebabkan penyakit, menular antar sesama manusia, dan
menimbulkan wabah.1
Antigenic drift terjadi akibat mutasi noktah (point mutations) pada segmen
gena RNA yang menyandi HA atau NA, akibat terjadinya perubahan molekul
glikoprotein permukaan yang disintesisnya. Mutasi tersebut diduga terjadi secara
mendadak pada saat virus menyebar pada populasi yang rentan dan hanya
menimbulkan wabah lokal yang tidak begitu berat.1
Virus avian influenza dapat menyerang manusia melalui dua cara (a) secara
langsung dari unggas atau lingkungan yang tercemar virus, dan (b) melalui
perantara. Walaupun penentu virulensi dibawa oleh beberapa gen (polygenic
traits), dan yang terpenting adalah molekul HA. Molekul HA pada virus yang
sangat patogen memiliki urutan multibasa asam amino tertentu, yang
memungkinkan terjadinya pembagian oleh protease-protease di berbagai jaringan
yang akhirnya menyebabkan infeksi multisistemik.
Pada sel-sel epitel saluran nafas babi, virus H5N1 manusia hasil isolasi
tahun 1997 ternyata relatif resisten terhadap efek hambatan sitokin-sitokin
antivirus inang. Hal ini mungkin factor yang penting, karena infeksi virus H5N1
pada kultur sel makrofag manusia juga mampu merangsang sekresi sitokin yang
lebih tinggi dibandingkan dengan strain virus manusia lainnya. Virus H5N1 hasil
isolasi tahun 2003 mampu menginduksi peningkatan kadar kemokin serum yang
sangat tinggi. Data-data tersebut menunjukkan bahwa derajat keparahan infeksi
virus H5N1 pada manusia sangat ditentukan oleh kadar sitokin-sitokin pro
inflamasi yang diinduksinya, yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan
pada berbagai jaringan.1

6
2.4. Manifestasi Klinis
2.4.1. Influenza tanpa Komplikasi
Gejala awal influenza biasanya berupa demam, nyeri kepala, nyeri otot dan
malaise yang muncul dengan onset mendadak, disertai gejala-gejala peyakit
saluran nafas seperti batuk-batuk atau nyeri tenggorokan. Tetapi influenza juga
menunjukkan gejala yang beragam, seperti gejala respirasi tanpa demam yang
menyerupai selesma, samapi gejala dan tanda sistemik yang hanya sedikit sekali
mengindikasikan keterlibatan saluran nafas.
Pemeriksaan fisik pada biasanya tidak menunjukkan kelainan berarti pada
influenza tanpa komplikasi. Penderita mengalami demam, hiperemia faring, dan
pembesaran ringan kelenjar getah bening leher (terutama pada penderita usia
muda). Pemeriksaan dada juga tidak menunjukkan kelainan, walaupun pada
beberapa penderita didapatkan gangguan ventilasi ringan dan peningkatan
gradien tekanan oksigen alveolar-arterial.
Penderita tanpa komplikasi biasanya berangsur-angsur membaik dalam 2-5
hari, tetapi kadang-kadang dapat berlanjut hingga lebih dari satu minggu.
Beberapa penderita mengalami kelemahan/kelelahan (postinfluenza asthenia)
yang menetap hingga beberapa minggu.

2.4.2. Influenza dengan Komplikasi


Komplikasi yang paling sering dijumpai adalah pneumonia, tetapi dapat
juga terjadi komplikasi yang mengenai otot dan susunan saraf pusat.

7
Pneumonia
Komplikasi ini sering terjadi pada penderita tertentu yang memiliki dasar
penyakit kronis dan dikategorikan beresiko tinggi, meliputi: penderita penyakit
paru-paru atau kardiovaskular, diabetes melitus, penyakit ginjal,
hemoglobinopati, mendapatkan obat imunosupresi, penghuni panti-panti
perawatan, dan penderita berusia > 50 tahun.
Jenis pneumonia dapat dikelompokkan menjadi pneumonia influenza virus
(primer), pneumonia bakterial (sekunder), atau campuran dari keduanya.
Pneumonia influenza virus primer terjadi bila infeksi virus langsung menyerang
paru-paru dan menyebabkan pneumonia yang parah. Demam tinggi, sesak nafas,
dan bahkan sianosis sering dijumpai. Pneumonia ini adalah komplikasi influenza
yang paling parah.
Virus influenza menyerang epitel trakeobronkial, menyebabkan
berkurangnya jumlah sel dan rusaknya silia. Hal itu menjadi predisposisi
terjadinya infeksi bakterial sekunder. Bakteri patogen yang paling sering
dijumpai adalah Streptococcus pneumonia (48% kasus), disusul oleh
Staphylococcus aureus (19%), dan Haemophylus influenza. Gambaran klinis
utama pneumonia bakterial sekunder adalah meningkatnya kembali demam dan
gejala-gejala pernafasan setelah pada awalnya terjadi perbaikan. Didapatkan
demam tinggi, batuk, dahak purulen, dan gambaran infiltrat paru pada foto
toraks.
Tidak jarang penderita mengalami campuran gejala pneumonia virus dan
bakterial. Pada kasus semacam itu gejala mungkin progresif secara perlahan-
lahan atau transien kemudian disusul memburuknya kondisi klinis. Baik virus
influenza maupun bakterial patogen selalu ditemukan dalam dahak. Pemeriksaan
fisik menunjukkan adanya tanda-tanda konsolidasi, sedangkan foto toraks
menunjukkan adanya infiltrat paru.

8
Miositis dan Rabdomiolisis
Baik misositis atau rabdomiolisis sering didapatkan pada anak-anak.
Mialgia merupakan gejala yang menonjol pada hampir semua kasus influenza,
tetapi miositis yang sebenarnya tidak terlalu banyak ditemukan. Patogenesisnya
masih belum dipahami sepenuhnya, tetapi ada beberapa hal yang
dipertimbangkan antara lain: invasi langsung oleh virus pada sel-sel otot,
pelepasan sitokin-sitokin miotoksik sebagai reaksi terhadap infeksi virus, atau
proses imunologis lainnya yang terjadi akibat infeksi virus yang menyebabkan
kerusakan otot.
Gejala utama miositis akut berupa rasa nyeri pada otot yang terkena
(terutama pada tungkai). Serum creatine phosphokinase (CK) sedikit meningkat,
ditemukan juga adanya mioglobinuria yang mengakibatkan gagal ginjal.

Sindroma Reye
Merupakan komplikasi influenza ekstrapulmonar yang lebih banyak
dijumpai pada infeksi virus influenza B. Terutama mengenai anak-anak usia 2-16
tahun. Gejalanya berupa mual, muntah selama 1-2 hari, diikuti beberapa gejala
dan tanda gangguan susunan saraf pusat seperti perubahan status mental,
kelelahan umum, delirium, koma, hingga kejang. Ditemukan hepatomegali,
peningkatan nyata SGOT/SGPT, LDH, dan peningkatan ringan bilirubin serum
serta amonia. Tatalaksana utama pada penderita sindroma Reye adalah
mengatasi edema otak dan hipoglikemia. Prognosis sangat ditentukan oleh
tingkat kesadaran pada saat penderita dibawa ke rumah sakit. Mortalitas berkisar
10%.

9
Gejala Susunan Saraf Pusat
Kelainan dapat berupa ensefalitis, transverse myelitis, aseptic meningitis,
dan sindroma Guillain-Barré, meskipun keterkaitan etiologis antara influenza
dengan kelainan-kelainan susunan saraf pusat tersebut belum sepenuhnya
mantap (established).

Komplikasi Lain
Miokarditis dan perikarditis pernah dilaporkan pada pandemi tahun 1918
tetapi akhir-akhir ini jarang ditemukan lagi. Perubahan EKG kadang-kadang
didapatkan pada penderita influenza tetapi lebih sering disebabkan oleh penyakit
jantung yang diderita sebelumnya.

2.5. Diagnosis
Pada saat wabah influenza, setiap demam akut disertai gejala pernafasan
hampir pasti dapat didiagnosis secara klinis sebagai influenza. Prediktor
multivariat terbaik adalah kombinasi gejala demam dan batuk-batuk selama 48
jam setelah gejala awal muncul (nilai prediksi positif 79%). Disisi lain gejala
influenza virus sporadis tidak dapat dibedakan dengan gejala infeksi oleh virus
respirasi lainnya hanya secara klinis . Dalam suatu survey terhadap 497 kasus
infeksi saluran nafas pada penderita lanjut usia antara 1992-1994, kuman
penyebab berhasil ditemukan pada 43% kasus. Kuman penyebab terbanyak yang
ditemukan adalah Rhinovirus (52%) dan Coronavirus (26%), sedangkan influenza
A atau B hanya sekitar 10%. Untuk kepentingan epidemiologi, WHO
mengeluarkan petunjuk untuk definisi kasus avian influenza

10
Pembagian Kasus
Penderita dalam Penyelidikan
Setiap penderita dengan demam (temperatur ≥ 380C) dan satu atau lebih
gejala berikut ini:
o Batuk
o Nyeri tenggorokan
o Sesak nafas
Dimana pengawasan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium masih sedang
dikerjakan.
Kasus Possible Avian Influenza (H5N1)
Setiap penderita dengan demam (temperatur ≥ 380C) dan satu atau lebih
gejala berikut ini:
o Batuk
o Nyeri tenggorokan
o Sesak nafas
Dan satu atau lebih kondisi berikut ini:
o Bukti laboratoris adanya infeksi virus Influenza A yang tidak menyebutkan
secara spesifik subtipe virusnya
o Kontak dengan kasus Confirmed Avian Influenza A/H5 (pada periode
infeksius) dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal
o Kontak dengan unggas, termasuk ayam, yang mati oleh karena suatu penyakit
dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal
o Bekerja dalam laboratotium yang memproses sampel dari penderita atau
hewan yang dicurigai menderita infeksi highly pathogenic avian influenza
(HPAI) dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal atau
Setiap penderita yang meninggal oleh sebab suatu penyakit saluran
pernafasan yang belum dapat dijelaskan dan salah satu atau lebih kondisi berikut
ini:
o Tinggal atau mengunjungi daerah yang dicurigai atau dipastikan terjangkit
HPAI dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal

11
o Kontak dengan kasus Confirmed Avian Influenza A/H5 (pada periode
infeksius) dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal

Kasus Probable Avian Influenza (H5N1)


Setiap penderita dengan demam (temperatur ≥ 380C) dan satu atau lebih
gejala berikut ini:
o Batuk
o Nyeri tenggorokan
o Sesak nafas
Dan bukti laboratoris terbatas adanya infeksi virus Influenza A/H5 (antibodi
spesifik terhadap H5 dideteksi pada spesimen serum tunggal)

Kasus Confirmed Avian Influenza (H5N1)


Setiap penderita (hidup atau sudah meninggal) yang pemeriksaan
laboratoriumnya menunjukkan satu atau lebih hasil berikut ini:
o Kultur virus Influenza A/H5 positif
o Pemeriksaan polumerase chain reaction (PCR) untuk virus Influenza A/H5
positif
o Tes Immunofluorescence antibody (IFA) dengan antibodi monoklonal anti
Influenza A/H5 positif
o Peningkatan 4 kali lipat titer antibodi spesifik terhadap virus Influenza A/H5
pada pemeriksaan sampel serum ulangan

12
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis secara laboratorik dinyatakan berhasil bila didapatkan virus atau
antigen pada virus pada spesimen hapusan tenggorok, bilasan hidung, dahak, atau
bilasan bronkoalveolar (BAL). Dalam satu penelitian dinyatakan bahwa
pemeriksaan dahak dan bilasan hidung lebih unggul dibandingkan hapusan
tenggorok dalam mengisolasi virus influenza. Walaupun kultur/biakan virus
merupakan baku emas untuk diagnosis laboratorik, pemeriksaan itu membutuhkan
waktu 48-72 jam sebelum efek sitopatik virus terhadap kultir jaringan dapat
diamati.
Diagnosis secara cepat dapat dilakukan dengan telah tersedianya teknik
diagnostik imunologis dan biomolekuler. Beberapa pilihan yang tersedia meliputi:
immunofluorescence (IF), enzyme immunoassay (EIA), dan polymerase chain
reaction (PCR). Semuanya cukup cepat (bervariasi dari 15 menit hingga 2 hari)
walaupun beberapa jenis tes membutuhkan peralatan canggih dan keterampilan
laboratorik tertentu. Quick-Vue Influenza A+B dan ZstatFlu adalah dua tes yang
diijinkan untuk digunakan secara bebas di setiap tempat penlayanan kesehatan
dalam Clinical Laboratory Improvement Amendments, sedangkan satu-satunya tes
yang diijinkan secara bebas untuk membedakan influenza A dan B dalam
amandemen tersebut adalah Quick Vue A+B. Tes-tes tersebut (termasuk
Directigen Flu A, FLU OIA, Quick Vue Influenza Test, dan ZstatFlu) telah
dibandingkan dengan biakan virus standard referensi, dan memiliki sesitivitas
berkisar antara 72-95% dan spesifisitas berkisar antara 76-84%. ZstatFlu
mempunyai sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan tes-tes lainnya.
Pemeriksaan PCR (RT-PCR) dapat mendeteksi RNA virus dalam jumlah
yang sedikit pada spesimen seperti misalnya aspirat nasofaring, BAL, hapusan
tenggorok, atau bilasan hidung. Pemeriksaan ini pada umumnya lebih sensitif
dibandingkan kultur dan bersifat spesifik baik untuk influenza A maupun B,
namun mahal biayanya sehingga sebaiknya hanya digunakan pada situasi klinis
dimana diagnosis virologi spesifik dianggap perlu.

13
Diagnosis serologis biasanya menggunakan metode inhibisi hemaglutinasi.
Spesimen serum diperika 2 kali, pada awal infeksi akut dan 10-14 hari kemudian.
Peningkatan titer antibodi sebesar 4 kali lipat atau lebih dianggap positif. Metode
serologis lainnya menggunakan tehnik ELISA atau fiksasi komplemen.
Pemeriksaan ini dan kultur virus hanya dapat dilakukan pada laboratorium dengan
standard fasilitas biosafety level 3+.

Rekomendasi yang berlaku dewasa ini adalah sebagai berikut:


o Pada saat wabah influenza berjangkit, sebagian besar penderita dapat
didiagnosis secara klinis
o Kultur virus hanya digunakan terutama untuk tujuan epidemiologis guna
melacak virus jenis mana yang beredar pada suatu musim tertentu
o Pada kasus flu-like illness sporadis dimana diperlukan diagnosis penyakit
virus lainnya (misalnya Coronavirus yang menyebabkan SARS), maka
pemeriksaan secara cepat menggunakan EIA atau PCR lebih dianjurkan.

Semua spesimen yang menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan di atas


dan berasal dari penderita yang dicurigai mengidap avian influenza harus dikirim
untuk pemeriksaan lebih lanjut dan verifikasi di Laboratorium Referensi H5 WHO
yang telah ditentukan. Keuntungan digunakannya metode diagnosis secara cepat
adalah agar obat antivirus bisa diberikan secepat mungkin, agar tindakan
kewaspadaan dan isolasi, serta penelusuran kontak segera bisa dilakukan. Dari
segi kepentingan masyarakat diagnosis cepat dapat meminimalisir ketidakpastian
yang dirasakan oleh para penderita, keluarganya, maupun para petugas kesehatan
yang merawat.

14
2.6. Tatalaksana
Semua penderita yang dibawa ke tempat pelayanan kesehatan dengan gejala
demam dan gejala pernafasan harus dirawat sesuai rekomendasi CDC/WHO dan
diperlakukan seperti halnya penderita yang diketahui mengidap SARS. Petugas
kesehatan diharapkan waspada dan menjalankan beberapa tindakan pencegahan.

2.6.1. Tindakan Pencegahan Standard


Perhatikan dengan seksama kebersihan tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan semua penderita atau bahan-bahan yang berpotensi terkontaminasi sekret
pernafasan.

Tindakan Pencegahan Kontak


Disarankan untuk mengenakan sarung tangan dan pakaian/gaun pelindung
sebelum kontak dengan penderita. Gunakan stetoskop tersendiri, manset pengukur
tensi disposable, termometer disposable, dan sebagainya.

Perlindungan Mata
Disarankan untuk mengenakan kacamata pelindung (goggle), dan pelindung
wajah (face shield) pada saat mendekati penderita dengan jarak kurang dari 3 kaki
(sekitar 1 meter).

Tindakan Pencegahan Penularan Melalui Udara


Penderita sudah semestinya dirawat dalam ruangan khusus untuk mencegah
penularan melalui udara [airborne isolation room (AIR)], dengan koridor
bertekanan udara negatif, penggantian udara 6-12 kali setiap jam, saluran
pengeluaran udara atau resirkulasi udara yang disaring dengan filter khusus [high
efficiency particulate air (HEPA)]. Gunakan masker yang ukurannya sesuai
(misalnya masker N-95) setiap akan memasuki ruangan.

15
2.6.2 Terapi Antiviral
Terapi antiviral memegang peranan penting dalam pemberantasan infeksi
virus avian influenza. Karena sedikitnya jumlah penderita terinfeksi yang telah
diteliti, efektivitas obat-obat antivirus sebenarnya belum diketahui secara
meyakinkan. Virus H5N1 manusia hasil isolasi tahun 1997 sensitif terhadap obat
antiviral Amantadine dan Rimantadine. Ribavirin juga telah dicoba digunakan
tetapi tidak memberikan manfaat apapun.
Sebagian besar virus H5N1 manusia hasil isolasi tahun 2004 didapatkan
resisten terhadap Amantadine dan Rimantadine tetapi sensitif terhadap obat-
obatan inhibitor neuraminidase seperti Oseltamivir dan Zanamivir. Obat ini harus
diberikan secara dini, jika diberikan pada saat infeksi sudah berjalan lanjut tidak
akan bermanfaat. Untuk saat ini belum pernah dilakukan penelitian tetapi
pemberian Oseltamivir untuk pencegahan juga dianggap bermanfaat karena obat
tersebut terbukti dapat mengatasi infeksi dan mampu menurunkan pelepasan
virus-virus baru.

Amantadine dan Rimantadine


Kedua obat ini merupakan obat yang memikiki struktur yang hampir serupa,
dan hanya aktif terhadap influenza A. Keduanya bekerja dengan cara merusak
protein M2 virus influenza A, yang membentuk saluran proton pada dinding
membran virus yang sangat diperlukan utnuk replikasi virus yang efisien. Obat-
obat ini lebih murah harganya dibandingkan inhibitor neuraminidase. Dalam
beberapa penelitian acak pada penderita influenza A dewasa muda tanpa
komplikasi, obat-obat tersebut ternyata dapat mengurangi durasi gejala penyakit,
mengurangi tingkat keparahan penyakit hingga 50% bila diberikan dalam 48 jam
sejak gejala awal influenza muncul. Belum diketahui apakah keduanya
bermanfaat pada infeksi yang parah atau dapat mencegah komplikasi influenza
seperti pneumonia.

16
Dosis yang disarankan untuk dewasa adalah 2x100 mg/hari. Dosis harus
diturunkan pada penderita lanjut usia atau pada penderita gangguan fungsi ginjal.
Untuk mengurangi timbulnya resistensi Advisosry Comittee on Immunization
Practices (ACIP) tahun 2004 menganjurkan agar keduanya dihentikan sesegera
mungkin, biasanya setelah 3-5 hari, atau 24-48 jam setelah gejala dan tanda
influenza menghilang.
Tingginya angka kejadian efek samping Amantadine (13-17%)
dibandingkan plasebo (4-8%), terutama efek samping saraf pusat berupa
kegelisahan, insomnia, gangguan konsentrasi, kebingungan, rasa melayang, dan
halusinasi. Efek samping tersebut sering dijumpai pada penderita lanjut usia. Efek
samping Rimantadine tidak berbeda jika dibandingkan dengan plasebo.
Kombinasi salisilat dengan Amantadine dan Rimantadine terutama pada anak usia
< 18 tahun harus dihindari karena sering menyebabkan timbulnya sindroma Reye.
Keduanya juga harus diberikan dengan perhatian lebih untuk penderita dengan
riwayat epilepsi, dan tidak peruntukan untuk penderita glaukoma sudut sempit.
Sampai saat ini belum ada penelitian untuk menilai keamanan pada wanita hamil.
Amantadine bersifat teratogenik dan embriotoksik pada penelitian hewan.

Zanamivir dan Oseltamivir


Keduanya berasal dari satu golongan obar inhibitor beuraminidase, dan
terbukti aktif terhadap virus influenza A maupun B. Obat-obat tersebut
merupakan analog asam sialat yang secara kompetitif menghambat neuraminidase
(NA) pada permukaan virus influenza A dan B. Pemutusan residu asam sialat
terminal pada sel-sel inang akan merusakkan resptor yang digunakan dan dikenali
oleh hemaglutinin (HA) virus. Hal ini akan menghalangi infeksi virus ke dalam
sel. Hambatan pada NA juga akan mengurangi pelepasan virus-virus baru dari sel
yang terinfeksi, dan dengan demikian akan mengurangi tingkat penularan.

17
Dalam meta-analisis terhadap penelitian-penelitian acak buta ganda, dengan
kontrol plasebo yang dilaksanakan sebelum tahun 2002, baik Zanamivir maupun
Oseltamivir terbukti dapat mengurangi lamanya gejala penyakit pada kelompok
penderita anak-anak, dewasa muda, maupun lanjut usia dengan penyakit-penyakit
komorbid. Selain itu Oseltamivir ternyata juga mampu menurunkan derajat
keparahan penyakit sebesar 50%, serta mengurangi terjadinya komplikasi
sekunder (pneumonia, bronkitis, sinusitis, dan otitis media).
Zanamivir memiliki bioavailibilitas yang rendah bila diberikan secara oral,
dan karenanya diberikan dalam bentuk inhalasi. Sekitar 13% obat akan terdeposisi
si bronkus dan paru, sedangkan 78% terdeposisi di orofaring. Konsentrasi pada
epitel trakeobronkial dan dahak pada 12 jam setelah inhalasi berkisar 100-1000
kali lipat lebih tinggi daripada IC50 neuraminidase. Dosis umumnya adalah 2x10
mg perhari. Oseltamivir merupakan prodrug ester ethyl dari GS4071 yang
memiliki bioavailibilitas oral sekitar 80%. Dosis umumnya adalah 2x75 mg/hari.
Tidak diperlukan penyesuaian dosis untuk penderita usia lanjut. Lama pemberian
yang dianjurkan adalah 5 hari.
Baik Zanamivir maupun Oseltamivie pada umumnya dapat diterima dengan
baik, namun Zanamivir pernah dilaporkan menimbulkan gangguan pernafasan
pada penderita PPOK dan asma. Karena itu pemberian pada penderita PPOK atau
asma harus diawasi dengan seksama. Efek samping utama Oseltamivir berupa
mual dan muntah, terjadi pada 15% penderita, biasanya ringan dan menghilang
setelah 1-2 hari kemudian. Data-data penelitian untuk menilai keamanan pada
wanita hamil masih sangat terbatas, karena itu ACIP merekomendasikan agar obat
ini hanya diberikan pada wanita hamil apabila dipertimbangkan keuntungannya
lebih besar daripada kerugiannya. Gambar 2.3 berikut

18
Gambar 3 : Terapi antiviral untuk pengobatan dan pencegahan influenza.12

19
Gambar 4 : Rekomendasi dosis dan durasi dari terapi antiviral untuk tatalaksana
atau kemoprofilaksis

20
Gambar 5. Rekomendasi dosis antiviral osetalmivir dan permivir sebagai
tatalaksana atau kemoprofilaksis dari pasien dewasa dengan gangguan ginjal.12

21
2.6.3. Terapi Suportif
Pengobatan suportif meliputi terapi simptomatik untuk mengatasi demam,
nyeri kepala, dan mialgia, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi dan oksigen. Obat
penurun panas dan analgesik yang dianjurkan adalah parasetamol. Penggunaan
salisilat harus dihindari (terutama pada anak-anak < 18 tahun) karena beresiko
menimbulkan sindroma Reye. Antitusif boleh diberikan bila batuk dirasakan
mengganggu. Penderita dianjurkan untuk banyak beristirahat selama periode
infeksi akut. Aktivitas penuh sebaiknya ditunda dulu hingga gejala penyakit
benar-benar telah sembuh sepenuhnya.
Antibiotika hanya diberikan untuk komplikasi-komplikasi tertentu seperti
pneumonia bakterial, otitis media, sinusitis. Pilihan antibiotika sebaiknya
ditentukan berdasarkan hapusan/pengecatan Gram atau kultur dahak dan spesimen
lainnya. Bila bakteri penyebab tidak diketahui dari pemeriksaan spesimen, maka
antibiotika empirik yang efektif untuk mengatasi kuman patogen utama
(Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Haemophilus
influenzae) harus dipilih, misalnya sefalosporin generasi-3 (Ceftriaxone, dll) atau
quinolon spektrum luas (Levoflixacin, Gatifloxacin, Moxifloxacin)
dikombinasikan dengan Nafcillin, Oxacillin, atau Vancomycin bila ada
kecurigaan kuat adanya infeksi S. aureus.

2.7. Pencegahan
Pencegahan paripurna tentunya meliputi perbaikan higiene dan sanitasi
peternakan unggas yang menjadi sumber penularan virus, pemusnahan ternak
unggas yang sakit/diduga mengidap avian influenza dan hewan kontak lainnya
serta pembersihan lingkungan sekitar yang terkontaminasi sesuai prosedur yang
disarankan CDC/WHO, penyuluhan kepada pada pekerja peternakan untuk selalu
waspada dan menggunakan alat pelindung pribadi (APP) yang dianjurkan
CDC/WHO.

22
Pemberian vaksin untuk para pekerja peternakan dan kelompok lain yang
beresiko tinggi tertular virus avian influenza (termasuk para petugas kesehatan),
pemberian obat antiviral profilaksis untuk para pekerja peternakan dan kelompok
beresiko lainnya selama kontak dengan hewan/manusia yang sakit atau
lingkungan yang tercemar, anjuran untuk mengolah daging dan telur unggas
hingga mencapai temperatur internal > 1080F (>830C).
Satu-satunya obat antiviral yang direkomendasikan oleh FDA untuk
pencegahan virus influenza adalah Oseltamivir, walaupun data-data yang tersedia
sebenarnya menunjukkan efektivitas yang sama antara keempat obat antiviral.
Pada meta-analisis terhadap 7 penelitian prevensi, profilaksis dengan Oseltamivir
atau Zanamivir berhasil menurunkan risiko terjangkitnya influenza sebesar 70-
90%.

23
BAB 3. KESIMPULAN

Ditemukannya beberapa kasus di Asia oleh virus avian influenza H5N1


disusul dengan ditemukannya kasus pada manusia tahun 1997 dan tahun
setelahnya (2004-2005) telah menjadi sorotan akan ancaman wabah di tahun-
tahun yang akan datang. Dua tanda khas pada wabah avian influenza H5N1
adalah: menyerang anak-anak dan dewasa muda, dan mempunyai angka
mortalitas yang tinggi. Faktor yang diduga menjadi penyebab adalah adanya
perubahan genetik virus yang dikenal dengan antigenic shift. Sumber (host) yang
diduga berperan adalah babi.
Gambaran klinis infeksi virus avian influenza A pada manusia beragam
mulai dari influenza ringan tanpa komplikasi hingga penyakit parah disertai
beberapa komplikasi antara lain pneumonia, miositis, rabdomiolisis, sindroma
Reye, dan gangguan saraf pusat. Setiap penderita kasus tersangka atau yang sudah
dikonfirmasi harus dirawat dalam ruangan khusus dan diperlakukan seperti halnya
penderita yang diketahui mengidap SARS. Terapi antiviral yang ada saat ini
adalah Amantadine, Rimantadine, Zanamivir, dan Oseltamivir. Selain perawatan
penderita, tindakan pencegahan penularan adalah hal yang sama pentingnya. Dan
diharapkan kasus avian influenza tidak lagi menjadi ancaman bagi umat manusia.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Jusuf, M., & Winariani, H. S. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit


Paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo:
Surabaya.
2. O. G. Fasanmi, I. A. Odetokun, F. A. Balogun, and F. O. Fasina, “Public
health concerns of highly pathogenic avian influenza H5N1 endemicity in
Africa,” Veterinary World, vol. 10, no. 10, pp. 1194–1204, 2017
3. E. Spackman, “A brief introduction to the avian influenza virus,” in Avian
Influenza Virus, E. Spackman, Ed., Humana Press, Totowa, NJ, USA, 2008.
4. O. B. Akanbi and V. O. Taiwo, “Mortality and pathology associated with
highly pathogenic avian influenza H5N1 out- breaks in commercial poultry
production systems in Nigeria,” International Scholarly Research Notices,
vol. 2014, Article ID 415418, 7 pages, 2014.
5. OIE (World Organisation for Animal Health), “OIE Situation Report for
Avian Influenza,” 2017
6. M. Uiprasertkul, R. Kitphati, P. Puthavathana et al., “Apoptosis and
pathogenesis of avian influenza A (H5N1) virus in humans,” Emerging
Infectious Diseases, vol. 13, no. 5, pp. 708–712, 2007.
7. J. S. M. Peiris, M. D. De Jong, and Y. Guan, “Avian influenza virus (H5N1):
a threat to human health,” Clinical Microbiology Reviews, vol. 20, no. 2, pp.
243–267, 2007
8. 3Chen, Y., Liang, W., Yang, S., Wu, N., Gao, H., Sheng, J., & Li, Y. 2013.
Human infections with the emerging avian influenza A H7N9 virus from wet
market poultry: clinical analysis and characterisation of viral genome. The
Lancet, 381(9881), 1916-1925.
9. 4CDC. 2017. Information on Avian Influenza. [Diakses tanggal 1 Desember
2017] https://www.cdc.gov/flu/avianflu/index.htm
10. 5Peiris, J. M., De Jong, M. D., & Guan, Y. 2007. Avian influenza virus
(H5N1): a threat to human health. Clinical microbiology reviews, 20(2), 243-
267.
11. 6Van Kerkhove, M. D., Mumford, E., Mounts, A. W., Bresee, J., Ly, S.,
Bridges, C. B., & Otte, J. 2011. Highly pathogenic avian influenza (H5N1):
pathways of exposure at the animal‐human interface, a systematic
review. PloS one, 6(1), e14582.
12. 7CDC. 2017. Influenza Antiviral Medications: Summary for Clinicians.
[diakses tanggal 3 Desember 2017]
https://www.cdc.gov/flu/professionals/antivirals/summary-clinicians.htm

25

Anda mungkin juga menyukai