Referat Avian Influenza
Referat Avian Influenza
AVIAN INFLUENZA
Oleh
okik
0000000000
Pembimbing
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................ 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
2.1 Definisi....................................................................................... 3
2.2. Virus Avian Influenza............................................................... 3
2.3. Patogenesis ............................................................................... 5
2.4. Manifestasi Klinis .................................................................... 7
2.4.1. Influenza tanpa Komplikasi.......................................... 7
2.4.2. Influenza dengan Komplikasi....................................... 7
2.5. Diagnosis................................................................................... 10
2.6. Tatalaksana................................................................................ 15
2.6.1. Tindakan Pencegahan Standard.................................... 15
2.6.2. Terapi Antiviral............................................................ 16
2.6.3. Terapi Suportif.............................................................. 22
2.7. Pencegahan................................................................................ 22
BAB 3. KESIMPULAN ............................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 25
ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1
Dengan ditemukannya data-data epidemiologi tersebut, Departemen
Kesehatan RI berkolaborasi dengan WHO menyarankan peningkatan
kewaspadaan berupa: surveillance terhadap penyakit dengan gejala seperti
influenza, penelitian terhadap adanya wabah, isolasi dan perawatan tersendiri
untuk penderita yang dicurigai, anjuran pemakaian alat pelindung personal (APP)
bagi para pekerja peternakan dan petugas kesehatan, penggunaan obat-obatan anti
viral untuk pencegahan dan terapi, dan penyuluhan mengenai kewaspadaan umum
(sering mencuci tangan, menghindari kontak dengan unggas atau ternak yang
sakit, tatacara mengolah dan memasak hasil-hasil peternakan dengan sehat dan
aman) dan lainnya. 1
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Avian influenza merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
avian influenza tipe A.8 Virus ini secara umum ada pada burung akuatik liar dan
dapat menginfeksi unggas dan spesies hewan lainnya.
3
Infeksi bersamaan pada satu sel yang sama (pada manusia atau inang
perantara) oleh 2 virus dari spesies yang berbeda (misalnya virus manusia dan
virus avian) memungkinkan terjadinya percampuran materi genetik antara kedua
jenis virus tersebut, menghasilkan jenis virus baru yang dapat menyebar secara
pendemik.1 Virus avian influenza tidak dapat bereplikasi secara baik dalam tubuh
manusia, beberapa subtipe ternyata dapat menembus saluran nafas dan
menyebabkan penyakit, antara lain H5N1, H9N2, dan H7. Bagan transmisi
interspesies dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.
4
Gambar 2. Alur infeksi dari unggas ke manusia11
2.3. Patogenesis
Virus avian influenza subtipe H5 dan H7 memiliki kemampuan untuk
berkembang menjadi strain virus yang sangat patogenik. Untuk dapat
membedakan antara “low pathogenic H5 atau H7” dan ”high pathogenic H5 atau
H7” berdasarkan sifat-sifat genetik virusnya maupun dari derajat beratnya
penyakit yang ditimbulkan. Virulensi virus avian influenza pada mamalia belum
sepenuhnya dipahami. Jenis perubahan genetik yang besar (mayor) pada virus
influenza A disebut antigenic shift, sedangkan perubahan yang kecil (minor)
disebut antigenic drift.
Antigenic shift terjadi jika seorang manusia atau seekor inang perantara
terinfeksi oleh 2 jenis virus dari spesies yang berbeda (misalnya virus manusia
dan virus avian). Genom virus yang tersegmentasi memungkinkan terjadinya
percampuran materi genetik antar kedua jenis virus tersebut dan menghasilkan
virus baru dengan glikoprotein permukaan (HA dan NA) yang berbeda dari virus
yang sebelumnya sudah pernah menyerang manusia.
5
Karena belum pernah disebabkan oleh sistem imun manusia, maka jenis
virus baru ini dapat menyebabkan penyakit, menular antar sesama manusia, dan
menimbulkan wabah.1
Antigenic drift terjadi akibat mutasi noktah (point mutations) pada segmen
gena RNA yang menyandi HA atau NA, akibat terjadinya perubahan molekul
glikoprotein permukaan yang disintesisnya. Mutasi tersebut diduga terjadi secara
mendadak pada saat virus menyebar pada populasi yang rentan dan hanya
menimbulkan wabah lokal yang tidak begitu berat.1
Virus avian influenza dapat menyerang manusia melalui dua cara (a) secara
langsung dari unggas atau lingkungan yang tercemar virus, dan (b) melalui
perantara. Walaupun penentu virulensi dibawa oleh beberapa gen (polygenic
traits), dan yang terpenting adalah molekul HA. Molekul HA pada virus yang
sangat patogen memiliki urutan multibasa asam amino tertentu, yang
memungkinkan terjadinya pembagian oleh protease-protease di berbagai jaringan
yang akhirnya menyebabkan infeksi multisistemik.
Pada sel-sel epitel saluran nafas babi, virus H5N1 manusia hasil isolasi
tahun 1997 ternyata relatif resisten terhadap efek hambatan sitokin-sitokin
antivirus inang. Hal ini mungkin factor yang penting, karena infeksi virus H5N1
pada kultur sel makrofag manusia juga mampu merangsang sekresi sitokin yang
lebih tinggi dibandingkan dengan strain virus manusia lainnya. Virus H5N1 hasil
isolasi tahun 2003 mampu menginduksi peningkatan kadar kemokin serum yang
sangat tinggi. Data-data tersebut menunjukkan bahwa derajat keparahan infeksi
virus H5N1 pada manusia sangat ditentukan oleh kadar sitokin-sitokin pro
inflamasi yang diinduksinya, yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan
pada berbagai jaringan.1
6
2.4. Manifestasi Klinis
2.4.1. Influenza tanpa Komplikasi
Gejala awal influenza biasanya berupa demam, nyeri kepala, nyeri otot dan
malaise yang muncul dengan onset mendadak, disertai gejala-gejala peyakit
saluran nafas seperti batuk-batuk atau nyeri tenggorokan. Tetapi influenza juga
menunjukkan gejala yang beragam, seperti gejala respirasi tanpa demam yang
menyerupai selesma, samapi gejala dan tanda sistemik yang hanya sedikit sekali
mengindikasikan keterlibatan saluran nafas.
Pemeriksaan fisik pada biasanya tidak menunjukkan kelainan berarti pada
influenza tanpa komplikasi. Penderita mengalami demam, hiperemia faring, dan
pembesaran ringan kelenjar getah bening leher (terutama pada penderita usia
muda). Pemeriksaan dada juga tidak menunjukkan kelainan, walaupun pada
beberapa penderita didapatkan gangguan ventilasi ringan dan peningkatan
gradien tekanan oksigen alveolar-arterial.
Penderita tanpa komplikasi biasanya berangsur-angsur membaik dalam 2-5
hari, tetapi kadang-kadang dapat berlanjut hingga lebih dari satu minggu.
Beberapa penderita mengalami kelemahan/kelelahan (postinfluenza asthenia)
yang menetap hingga beberapa minggu.
7
Pneumonia
Komplikasi ini sering terjadi pada penderita tertentu yang memiliki dasar
penyakit kronis dan dikategorikan beresiko tinggi, meliputi: penderita penyakit
paru-paru atau kardiovaskular, diabetes melitus, penyakit ginjal,
hemoglobinopati, mendapatkan obat imunosupresi, penghuni panti-panti
perawatan, dan penderita berusia > 50 tahun.
Jenis pneumonia dapat dikelompokkan menjadi pneumonia influenza virus
(primer), pneumonia bakterial (sekunder), atau campuran dari keduanya.
Pneumonia influenza virus primer terjadi bila infeksi virus langsung menyerang
paru-paru dan menyebabkan pneumonia yang parah. Demam tinggi, sesak nafas,
dan bahkan sianosis sering dijumpai. Pneumonia ini adalah komplikasi influenza
yang paling parah.
Virus influenza menyerang epitel trakeobronkial, menyebabkan
berkurangnya jumlah sel dan rusaknya silia. Hal itu menjadi predisposisi
terjadinya infeksi bakterial sekunder. Bakteri patogen yang paling sering
dijumpai adalah Streptococcus pneumonia (48% kasus), disusul oleh
Staphylococcus aureus (19%), dan Haemophylus influenza. Gambaran klinis
utama pneumonia bakterial sekunder adalah meningkatnya kembali demam dan
gejala-gejala pernafasan setelah pada awalnya terjadi perbaikan. Didapatkan
demam tinggi, batuk, dahak purulen, dan gambaran infiltrat paru pada foto
toraks.
Tidak jarang penderita mengalami campuran gejala pneumonia virus dan
bakterial. Pada kasus semacam itu gejala mungkin progresif secara perlahan-
lahan atau transien kemudian disusul memburuknya kondisi klinis. Baik virus
influenza maupun bakterial patogen selalu ditemukan dalam dahak. Pemeriksaan
fisik menunjukkan adanya tanda-tanda konsolidasi, sedangkan foto toraks
menunjukkan adanya infiltrat paru.
8
Miositis dan Rabdomiolisis
Baik misositis atau rabdomiolisis sering didapatkan pada anak-anak.
Mialgia merupakan gejala yang menonjol pada hampir semua kasus influenza,
tetapi miositis yang sebenarnya tidak terlalu banyak ditemukan. Patogenesisnya
masih belum dipahami sepenuhnya, tetapi ada beberapa hal yang
dipertimbangkan antara lain: invasi langsung oleh virus pada sel-sel otot,
pelepasan sitokin-sitokin miotoksik sebagai reaksi terhadap infeksi virus, atau
proses imunologis lainnya yang terjadi akibat infeksi virus yang menyebabkan
kerusakan otot.
Gejala utama miositis akut berupa rasa nyeri pada otot yang terkena
(terutama pada tungkai). Serum creatine phosphokinase (CK) sedikit meningkat,
ditemukan juga adanya mioglobinuria yang mengakibatkan gagal ginjal.
Sindroma Reye
Merupakan komplikasi influenza ekstrapulmonar yang lebih banyak
dijumpai pada infeksi virus influenza B. Terutama mengenai anak-anak usia 2-16
tahun. Gejalanya berupa mual, muntah selama 1-2 hari, diikuti beberapa gejala
dan tanda gangguan susunan saraf pusat seperti perubahan status mental,
kelelahan umum, delirium, koma, hingga kejang. Ditemukan hepatomegali,
peningkatan nyata SGOT/SGPT, LDH, dan peningkatan ringan bilirubin serum
serta amonia. Tatalaksana utama pada penderita sindroma Reye adalah
mengatasi edema otak dan hipoglikemia. Prognosis sangat ditentukan oleh
tingkat kesadaran pada saat penderita dibawa ke rumah sakit. Mortalitas berkisar
10%.
9
Gejala Susunan Saraf Pusat
Kelainan dapat berupa ensefalitis, transverse myelitis, aseptic meningitis,
dan sindroma Guillain-Barré, meskipun keterkaitan etiologis antara influenza
dengan kelainan-kelainan susunan saraf pusat tersebut belum sepenuhnya
mantap (established).
Komplikasi Lain
Miokarditis dan perikarditis pernah dilaporkan pada pandemi tahun 1918
tetapi akhir-akhir ini jarang ditemukan lagi. Perubahan EKG kadang-kadang
didapatkan pada penderita influenza tetapi lebih sering disebabkan oleh penyakit
jantung yang diderita sebelumnya.
2.5. Diagnosis
Pada saat wabah influenza, setiap demam akut disertai gejala pernafasan
hampir pasti dapat didiagnosis secara klinis sebagai influenza. Prediktor
multivariat terbaik adalah kombinasi gejala demam dan batuk-batuk selama 48
jam setelah gejala awal muncul (nilai prediksi positif 79%). Disisi lain gejala
influenza virus sporadis tidak dapat dibedakan dengan gejala infeksi oleh virus
respirasi lainnya hanya secara klinis . Dalam suatu survey terhadap 497 kasus
infeksi saluran nafas pada penderita lanjut usia antara 1992-1994, kuman
penyebab berhasil ditemukan pada 43% kasus. Kuman penyebab terbanyak yang
ditemukan adalah Rhinovirus (52%) dan Coronavirus (26%), sedangkan influenza
A atau B hanya sekitar 10%. Untuk kepentingan epidemiologi, WHO
mengeluarkan petunjuk untuk definisi kasus avian influenza
10
Pembagian Kasus
Penderita dalam Penyelidikan
Setiap penderita dengan demam (temperatur ≥ 380C) dan satu atau lebih
gejala berikut ini:
o Batuk
o Nyeri tenggorokan
o Sesak nafas
Dimana pengawasan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium masih sedang
dikerjakan.
Kasus Possible Avian Influenza (H5N1)
Setiap penderita dengan demam (temperatur ≥ 380C) dan satu atau lebih
gejala berikut ini:
o Batuk
o Nyeri tenggorokan
o Sesak nafas
Dan satu atau lebih kondisi berikut ini:
o Bukti laboratoris adanya infeksi virus Influenza A yang tidak menyebutkan
secara spesifik subtipe virusnya
o Kontak dengan kasus Confirmed Avian Influenza A/H5 (pada periode
infeksius) dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal
o Kontak dengan unggas, termasuk ayam, yang mati oleh karena suatu penyakit
dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal
o Bekerja dalam laboratotium yang memproses sampel dari penderita atau
hewan yang dicurigai menderita infeksi highly pathogenic avian influenza
(HPAI) dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal atau
Setiap penderita yang meninggal oleh sebab suatu penyakit saluran
pernafasan yang belum dapat dijelaskan dan salah satu atau lebih kondisi berikut
ini:
o Tinggal atau mengunjungi daerah yang dicurigai atau dipastikan terjangkit
HPAI dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal
11
o Kontak dengan kasus Confirmed Avian Influenza A/H5 (pada periode
infeksius) dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal
12
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis secara laboratorik dinyatakan berhasil bila didapatkan virus atau
antigen pada virus pada spesimen hapusan tenggorok, bilasan hidung, dahak, atau
bilasan bronkoalveolar (BAL). Dalam satu penelitian dinyatakan bahwa
pemeriksaan dahak dan bilasan hidung lebih unggul dibandingkan hapusan
tenggorok dalam mengisolasi virus influenza. Walaupun kultur/biakan virus
merupakan baku emas untuk diagnosis laboratorik, pemeriksaan itu membutuhkan
waktu 48-72 jam sebelum efek sitopatik virus terhadap kultir jaringan dapat
diamati.
Diagnosis secara cepat dapat dilakukan dengan telah tersedianya teknik
diagnostik imunologis dan biomolekuler. Beberapa pilihan yang tersedia meliputi:
immunofluorescence (IF), enzyme immunoassay (EIA), dan polymerase chain
reaction (PCR). Semuanya cukup cepat (bervariasi dari 15 menit hingga 2 hari)
walaupun beberapa jenis tes membutuhkan peralatan canggih dan keterampilan
laboratorik tertentu. Quick-Vue Influenza A+B dan ZstatFlu adalah dua tes yang
diijinkan untuk digunakan secara bebas di setiap tempat penlayanan kesehatan
dalam Clinical Laboratory Improvement Amendments, sedangkan satu-satunya tes
yang diijinkan secara bebas untuk membedakan influenza A dan B dalam
amandemen tersebut adalah Quick Vue A+B. Tes-tes tersebut (termasuk
Directigen Flu A, FLU OIA, Quick Vue Influenza Test, dan ZstatFlu) telah
dibandingkan dengan biakan virus standard referensi, dan memiliki sesitivitas
berkisar antara 72-95% dan spesifisitas berkisar antara 76-84%. ZstatFlu
mempunyai sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan tes-tes lainnya.
Pemeriksaan PCR (RT-PCR) dapat mendeteksi RNA virus dalam jumlah
yang sedikit pada spesimen seperti misalnya aspirat nasofaring, BAL, hapusan
tenggorok, atau bilasan hidung. Pemeriksaan ini pada umumnya lebih sensitif
dibandingkan kultur dan bersifat spesifik baik untuk influenza A maupun B,
namun mahal biayanya sehingga sebaiknya hanya digunakan pada situasi klinis
dimana diagnosis virologi spesifik dianggap perlu.
13
Diagnosis serologis biasanya menggunakan metode inhibisi hemaglutinasi.
Spesimen serum diperika 2 kali, pada awal infeksi akut dan 10-14 hari kemudian.
Peningkatan titer antibodi sebesar 4 kali lipat atau lebih dianggap positif. Metode
serologis lainnya menggunakan tehnik ELISA atau fiksasi komplemen.
Pemeriksaan ini dan kultur virus hanya dapat dilakukan pada laboratorium dengan
standard fasilitas biosafety level 3+.
14
2.6. Tatalaksana
Semua penderita yang dibawa ke tempat pelayanan kesehatan dengan gejala
demam dan gejala pernafasan harus dirawat sesuai rekomendasi CDC/WHO dan
diperlakukan seperti halnya penderita yang diketahui mengidap SARS. Petugas
kesehatan diharapkan waspada dan menjalankan beberapa tindakan pencegahan.
Perlindungan Mata
Disarankan untuk mengenakan kacamata pelindung (goggle), dan pelindung
wajah (face shield) pada saat mendekati penderita dengan jarak kurang dari 3 kaki
(sekitar 1 meter).
15
2.6.2 Terapi Antiviral
Terapi antiviral memegang peranan penting dalam pemberantasan infeksi
virus avian influenza. Karena sedikitnya jumlah penderita terinfeksi yang telah
diteliti, efektivitas obat-obat antivirus sebenarnya belum diketahui secara
meyakinkan. Virus H5N1 manusia hasil isolasi tahun 1997 sensitif terhadap obat
antiviral Amantadine dan Rimantadine. Ribavirin juga telah dicoba digunakan
tetapi tidak memberikan manfaat apapun.
Sebagian besar virus H5N1 manusia hasil isolasi tahun 2004 didapatkan
resisten terhadap Amantadine dan Rimantadine tetapi sensitif terhadap obat-
obatan inhibitor neuraminidase seperti Oseltamivir dan Zanamivir. Obat ini harus
diberikan secara dini, jika diberikan pada saat infeksi sudah berjalan lanjut tidak
akan bermanfaat. Untuk saat ini belum pernah dilakukan penelitian tetapi
pemberian Oseltamivir untuk pencegahan juga dianggap bermanfaat karena obat
tersebut terbukti dapat mengatasi infeksi dan mampu menurunkan pelepasan
virus-virus baru.
16
Dosis yang disarankan untuk dewasa adalah 2x100 mg/hari. Dosis harus
diturunkan pada penderita lanjut usia atau pada penderita gangguan fungsi ginjal.
Untuk mengurangi timbulnya resistensi Advisosry Comittee on Immunization
Practices (ACIP) tahun 2004 menganjurkan agar keduanya dihentikan sesegera
mungkin, biasanya setelah 3-5 hari, atau 24-48 jam setelah gejala dan tanda
influenza menghilang.
Tingginya angka kejadian efek samping Amantadine (13-17%)
dibandingkan plasebo (4-8%), terutama efek samping saraf pusat berupa
kegelisahan, insomnia, gangguan konsentrasi, kebingungan, rasa melayang, dan
halusinasi. Efek samping tersebut sering dijumpai pada penderita lanjut usia. Efek
samping Rimantadine tidak berbeda jika dibandingkan dengan plasebo.
Kombinasi salisilat dengan Amantadine dan Rimantadine terutama pada anak usia
< 18 tahun harus dihindari karena sering menyebabkan timbulnya sindroma Reye.
Keduanya juga harus diberikan dengan perhatian lebih untuk penderita dengan
riwayat epilepsi, dan tidak peruntukan untuk penderita glaukoma sudut sempit.
Sampai saat ini belum ada penelitian untuk menilai keamanan pada wanita hamil.
Amantadine bersifat teratogenik dan embriotoksik pada penelitian hewan.
17
Dalam meta-analisis terhadap penelitian-penelitian acak buta ganda, dengan
kontrol plasebo yang dilaksanakan sebelum tahun 2002, baik Zanamivir maupun
Oseltamivir terbukti dapat mengurangi lamanya gejala penyakit pada kelompok
penderita anak-anak, dewasa muda, maupun lanjut usia dengan penyakit-penyakit
komorbid. Selain itu Oseltamivir ternyata juga mampu menurunkan derajat
keparahan penyakit sebesar 50%, serta mengurangi terjadinya komplikasi
sekunder (pneumonia, bronkitis, sinusitis, dan otitis media).
Zanamivir memiliki bioavailibilitas yang rendah bila diberikan secara oral,
dan karenanya diberikan dalam bentuk inhalasi. Sekitar 13% obat akan terdeposisi
si bronkus dan paru, sedangkan 78% terdeposisi di orofaring. Konsentrasi pada
epitel trakeobronkial dan dahak pada 12 jam setelah inhalasi berkisar 100-1000
kali lipat lebih tinggi daripada IC50 neuraminidase. Dosis umumnya adalah 2x10
mg perhari. Oseltamivir merupakan prodrug ester ethyl dari GS4071 yang
memiliki bioavailibilitas oral sekitar 80%. Dosis umumnya adalah 2x75 mg/hari.
Tidak diperlukan penyesuaian dosis untuk penderita usia lanjut. Lama pemberian
yang dianjurkan adalah 5 hari.
Baik Zanamivir maupun Oseltamivie pada umumnya dapat diterima dengan
baik, namun Zanamivir pernah dilaporkan menimbulkan gangguan pernafasan
pada penderita PPOK dan asma. Karena itu pemberian pada penderita PPOK atau
asma harus diawasi dengan seksama. Efek samping utama Oseltamivir berupa
mual dan muntah, terjadi pada 15% penderita, biasanya ringan dan menghilang
setelah 1-2 hari kemudian. Data-data penelitian untuk menilai keamanan pada
wanita hamil masih sangat terbatas, karena itu ACIP merekomendasikan agar obat
ini hanya diberikan pada wanita hamil apabila dipertimbangkan keuntungannya
lebih besar daripada kerugiannya. Gambar 2.3 berikut
18
Gambar 3 : Terapi antiviral untuk pengobatan dan pencegahan influenza.12
19
Gambar 4 : Rekomendasi dosis dan durasi dari terapi antiviral untuk tatalaksana
atau kemoprofilaksis
20
Gambar 5. Rekomendasi dosis antiviral osetalmivir dan permivir sebagai
tatalaksana atau kemoprofilaksis dari pasien dewasa dengan gangguan ginjal.12
21
2.6.3. Terapi Suportif
Pengobatan suportif meliputi terapi simptomatik untuk mengatasi demam,
nyeri kepala, dan mialgia, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi dan oksigen. Obat
penurun panas dan analgesik yang dianjurkan adalah parasetamol. Penggunaan
salisilat harus dihindari (terutama pada anak-anak < 18 tahun) karena beresiko
menimbulkan sindroma Reye. Antitusif boleh diberikan bila batuk dirasakan
mengganggu. Penderita dianjurkan untuk banyak beristirahat selama periode
infeksi akut. Aktivitas penuh sebaiknya ditunda dulu hingga gejala penyakit
benar-benar telah sembuh sepenuhnya.
Antibiotika hanya diberikan untuk komplikasi-komplikasi tertentu seperti
pneumonia bakterial, otitis media, sinusitis. Pilihan antibiotika sebaiknya
ditentukan berdasarkan hapusan/pengecatan Gram atau kultur dahak dan spesimen
lainnya. Bila bakteri penyebab tidak diketahui dari pemeriksaan spesimen, maka
antibiotika empirik yang efektif untuk mengatasi kuman patogen utama
(Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Haemophilus
influenzae) harus dipilih, misalnya sefalosporin generasi-3 (Ceftriaxone, dll) atau
quinolon spektrum luas (Levoflixacin, Gatifloxacin, Moxifloxacin)
dikombinasikan dengan Nafcillin, Oxacillin, atau Vancomycin bila ada
kecurigaan kuat adanya infeksi S. aureus.
2.7. Pencegahan
Pencegahan paripurna tentunya meliputi perbaikan higiene dan sanitasi
peternakan unggas yang menjadi sumber penularan virus, pemusnahan ternak
unggas yang sakit/diduga mengidap avian influenza dan hewan kontak lainnya
serta pembersihan lingkungan sekitar yang terkontaminasi sesuai prosedur yang
disarankan CDC/WHO, penyuluhan kepada pada pekerja peternakan untuk selalu
waspada dan menggunakan alat pelindung pribadi (APP) yang dianjurkan
CDC/WHO.
22
Pemberian vaksin untuk para pekerja peternakan dan kelompok lain yang
beresiko tinggi tertular virus avian influenza (termasuk para petugas kesehatan),
pemberian obat antiviral profilaksis untuk para pekerja peternakan dan kelompok
beresiko lainnya selama kontak dengan hewan/manusia yang sakit atau
lingkungan yang tercemar, anjuran untuk mengolah daging dan telur unggas
hingga mencapai temperatur internal > 1080F (>830C).
Satu-satunya obat antiviral yang direkomendasikan oleh FDA untuk
pencegahan virus influenza adalah Oseltamivir, walaupun data-data yang tersedia
sebenarnya menunjukkan efektivitas yang sama antara keempat obat antiviral.
Pada meta-analisis terhadap 7 penelitian prevensi, profilaksis dengan Oseltamivir
atau Zanamivir berhasil menurunkan risiko terjangkitnya influenza sebesar 70-
90%.
23
BAB 3. KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25