Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kewajiban Menuntut dan Hukum Menuntut Ilmu Dalam Islam


Menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu perintah sehingga dapat dikatakan suatu
kewajiban. Harus kita sadari bahwa agama adalah merupakan pedoman bagi kebahagiaan dunia
akhirat,sehingga ilmu yang tersimpul dalam agama tidak semata ilmu yang menjurus
kepadaurusan ukhrawi, tetapi juga ilmu yang mengarah kepada duniawi. Manusia dituntut untuk
menuntut ilmu, dan hukumnya wajib. Jika tidak menuntut ilmu berdosa.

Disebutkan dalam  hadist, bahwasanya ilmu yang wajib dicari seorang muslim ada 3,
sedangkan yang lainnya akan menjadi fadhlun (keutamaan). Ketiga ilmu tersebut adalah ayatun
muhkamatun (ayat-ayat Al-Qur’an yang menghukumi), sunnatun qoimatun (sunnah dari Al-
hadist yang menegakkan) dan faridhotun adilah (ilmu bagi waris atau ilmu faroidh yang adil.

Pengertian yang kita petik dari kata ini bahwasanya menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu
perintah sehingga dapat dikatakan suatu kewajiban. Harus kita sadari bahwa agama adalah
merupakan pedoman bagi kebahagiaan dunia akhirat, sehingga ilmu yang tersimpul dalam agama
tidak semata ilmu yang menjurus kepada urusan ukhrawi, tetapi juga ilmu yang mengarah
kepada duniawi. Manusia dituntut untuk menuntut ilmu, dan hukumnya wajib. Jika
tidak menuntut ilmu berdosa. Selain hukum tersebut menuntut ilmu bermanfaat untuk mencapai
kecerdasan atau disebut ulama (orang yang memiliki ilmu). Namun di balik itu, orang yang
memiliki ilmu (ilmuwan) akan berdosa jika ilmunya tidak diamalkan.

B. Sumber Ilmu Pengetahuan

Sebagai umat manusia,kita diciptakan oleh Allah SWT dengan bekal akal sejak kita
dilahirkan dan ditakdirkan untuk hidup di dunia. Akal yang umat manusia miliki ini merupakan
karunia yang Allah SWT berikan sebagai pembeda antara kita dengan makhluk-makhluk lain
ciptaan-Nya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Akal  berarti daya pikir (untuk
memahami sesuatu dan sebagainya); pikiran; ingatan. Menurut Harun Nasution, kata akal berasal
dari kata Arab "al-Aql" yang menjadi kata Indonesia, dalam bentuk kata benda tidak ada dalam
Al-quran, hanya bentuk kata kerja al-Aqaluh 1 ayat, ya'qiluha 1 ayat, ya'qilun 22 ayat, ta'qilun 24
ayat dan na'qilu 1 ayat, dalam arti mengertian dan paham. Selain itu menurut ahli Kant juga
mengungkapkan pendapatnya bahwa apa yang kita katakan rasional itu adalah ide yang masuk
akal tapi menggunakan ukuran hukum alam. Dengan kata lain, pikiran rasional adalah kebenaran
yang diukur dengan hukum alam. Akal yang kita miliki ini tentunya harus digunakan untuk dapat
lebih jauh lagi mendalami ilmu-ilmu pengetahuan.

Di dalam agama Islam, baik di dalam Alqur'an , sunnah  Nabi SAW, maupun semua ajaran
dari tokoh-tokoh agama Islam terdahulu menekankan bahwa kedudukan ilmu sangatlah penting.
Firman Allah SWT dalam QS.Thaha:98 yang artinya sebagai berikut "Sesungguhnya Tuhanmu
hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu"
,menjelaskan  bahwa Allah SWT ialah sumber dan segala sesuatu, tidak ada satu hal pun yang
dapat luput dari pengawasan-Nya, juga kekuasaan-Nya baik itu yang ada di langit maupun yang
ada di akhirat serta baik itu yang nyata maupun yang tak terlihat (gaib).

a. Sumber ilmu primer dalam epistimologi Islam adalah wahyu yang diterima oleh nabi
yang berasal dari Allah SWT, sebagai sumber dari segala sesuatu. Al-Wahyu atau wahyu
merupakan masdar (infinitive) yang memberikan dua pengertian dasar, yaitu tersembunyi
dan cepat. [3] Epistimologi Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah juga
mengambil sumber ilmu lainnya, yaitu Akal ('aql) dan hati (qalb) serta indra -indra yang
terdapat dalam diri manusia Al-Qur'an

Sebagai umat muslim sudah seharusnya kita mengakui bahwasanya segala ilmu
pengetahuan yang kita dapati bersumber dari Allah SWT melalui firman-Nya di dalam kitab suci
Al-quran sebagai pedoman umat manusia agar senantiasa mendapatkan keselamatan hidup di
dunia maupun di akhirat kelak.

Banyak sekali di dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan mengenai


ilmu-ilmu pengetahuan seperti mengenai  ilmu bumi dan alam, seperti yang ada di dalam Al-
Quran surah Qaf ayat 7-8 yaitu, "Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya
gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah
dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali
(mengingat Allah)." (Qs Qaf: 7-8)
Menurut Muhammad Al-ghazali, pada dasarnya Al-Quran memberikan kepada umat Islam
wawasan yang luas dan metode pemikiran yang jelas yang dapat digunakan oleh setiap generasi
serta ilmu yang dibarengi dengan iman, yang sama sekali tidak ada pertentangan diantara
keduanya.

b. Hadist

Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 15 yang artinya "Sebagaimana (Kami telah
menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu
yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui", menjelaskan bahwa Allah SWT mengutus nabi Muhammad SAW sebagai sumber ilmu
yang akan mengajarkan Al-Quran kepada umat manusia.

Selain dijadikan sebagai pedoman hidup, Al-Qur'an dan Hadist juga sebagai sumber ilmu dan
sumber hukum serta ajaran islam yang mana Al-Qur'an dan Hadist tersebut tidak dapat
dipisahkan karena merupakan satu kesatuan. Bagi umat muslim, tidak hanya Al-Quran dan hadist
saja yang dijadikan sebagai sumber ilmu, akal dan indra pun dijadikan sebagai sumber ilmu. Al
Qur'an mengajak manusia untuk menggunakan indra dan akal sekaligus dalam pengalaman
manusia, baik yang bersifat fisik maupun metafisik karena indra dan akal saling
menyempurnakan.

c. Keutamaan Orang Berilmu


Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan
masyarakat. Al-Quran menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran mulia dan terhormat
yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah SWT dan
makhluk-Nya. Mereka digelari sebagai “al-Raasikhun fil Ilm” (Al Imran : 7), “Ulul al-Ilmi” (Al
Imran : 18), “Ulul al-Bab” (Al Imran : 190), “al-Basir” dan “as-Sami' “ (Hud : 24), “al-
A'limun” (al-A'nkabut : 43), “al-Ulama” (Fatir : 28), “al-Ahya' “ (Fatir : 35) dan berbagai nama
baik dan gelar mulia lain.
Dalam surat ali Imran ayat ke-18, Allah SWT berfirman: "Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang  berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang- orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada  Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi  Maha Bijaksana".
Dalam ayat ini ditegaskan pada golongan orang berilmu bahwa mereka amat  istimewa di
sisi Allah SWT . Mereka diangkat sejajar dengan para  malaikat yang menjadi saksi Keesaan
Allah SWT. Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras terhadap kalangan yang
menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan
petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati
Allah dan dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (Al-Baqarah: 159)
Rasulullah SAW juga bersabda: "Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, akan dikendali
mulutnya oleh Allah pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka." (HR Ibnu Hibban di
dalam kitab sahih beliau. Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim. Al Hakim dan adz-Dzahabi
berpendapat bahwa hadits ini sahih) Jadi setiap orang yang berilmu harus mengamalkan ilmunya
agar ilmu yang ia peroleh dapat bermanfaat. Misalnya dengan cara mengajar atau mengamalkan
pengetahuanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
d. Urgensi Mengamalkan Ilmu
Ilmu yang telah kita peroleh membutuhkan lahan agar ilmu tersebut dapat menjadi penolong
bagi kita, yaitu dengan cara mengamalkannya, baik dengan mengajarkannya maupun yang
lainnya. Jika anda memahamkan sesuatu secara lisan kepada seseorang ,maka sesungguhnya
orang itu tidak belajar selamanya . Hal ini merupakan fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Mengingat
adanya ancaman-ancaman di dalam al-Qur’an bagi orang-orang yang tidak mengamalkan
ilmunya padahal ia mengetahui ilmu tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ى يَسْأ َ َل َع ْن ِع ْل ِم ِه َما فَ َع َل بِ ِه‬


َّ ‫الَ تَ ُز ْو ُل قَ َد َما َع ْب ٍد يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة َحت‬
”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia
ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi
nomor 537 dengan sanad shahih) .

e. Hukum Mengamalkan Ilmu dan Ancaman


Mengamalkan ilmu merupakan suatu kewajiban pokok setiap Muslim. Adapun
meninggalkannya memilki konsekuensi yang beragam, tergantung hukum dari amalan yang
ditinggalkan, hukumnya bisa jadi kufur, maksiat, makruh, atau mubah.
Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan kekufuran, seperti meninggalkan untuk
mengamalkan tauhid. Seseorang mengetahui bahwasanya wajib mentauhidkan Allah dalam
ibadah dan tidak boleh berbuat syirik, tetapi dia meninggalkan tauhid ini dengan melakukan
perbuatan syirik, Maka dengan demikian dia telah terjatuh dalam kekufuran.
Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan maksiat, seperti melanggar salah satu
larangan Allah. Seseorang mengetahui bahwasanya khamr itu diharamkan. Tetapi dia malah
meminumnya atau menjualnya. Maka orang ini telah jatuh dalam keharaman dan telah berbuat
maksiat.
Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan perbuatan makruh, seperti menyelisihi
tuntunan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah tatacara ibadah. Seseorang telah
mengetahui bahwasanya Rasulullah melakukan shalat dengan cara tertentu kemudian dia
menyelisihinya, maka dengan penyelisihannya itu dia telah jatuh dalam perkara yang makruh.
Meninggalkan beramal dengan ilmu bisa jadi mubah. Seperti tidak mengikuti Rasulullah
dalam perkara-perkara yang merupakan kebiasaan Rasulullah yang tidak disunnahkan atau
diwajibkan bagi kita untuk menirunya, seperti tatacara berjalan, warna suara dan semisalnya.

f. Ciri ilmuan dan syarat ilmuan


Ciri yang menonjol pada ilmuwan terletak pada cara berpikir yang dianut serta dapat dilihat
pula pada perilaku ilmuwan tersebut. Para ilmuwan memilih bidang keilmuan sebagai profesi,
dengan demikian harus tunduk pada wibawa ilmu karena ilmu merupakan alat yang paling
mampu untuk dimanfaatkan dalam mencari dan mengetahui kebenaran.
Seorang ilmuwan tidak cukup hanya dengan mempunyai daya kritis yang tinggi ataupun
pragmatis, namun juga harus jujur, memiliki jiwa yang terbuka dan tekad besar dalam mencari
atau menunjukkan kebenaran, netral, yang tidak kalah penting adalah penghayatan terhadap etika
serta moral ilmu yang harus di junjung tinggi. 
g. Tanggung Jawab Ilmuan
Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar
tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan
yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang
mewariskannya itu.
Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan melanjutkan peranan
dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga
melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti
rasul-rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan
petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.

Anda mungkin juga menyukai