Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Disusun Oleh:
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, karna berkat rahmat beliaulah
makalah ini dapat kami selesaikan. Terima kasih kepada dosen yang mengajar mata
kuliah Ushul Fiqih yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini
yang membahas tentang Qaul Shahaby dan Syar’u Man Qablana . Makalah ini
berasal dari tugas mata kuliah Ushul Fikih dari jurusan Ekonomi Syariah di Program
Studi Ekonomi Syariah, STAI Persis Bandung.
Sesuai dengan materi yang akan kami diskusikan yaitu “Qaul Shahaby dan Syar’u
Man Qablana” maka kami mencoba mengeluarkan makalah yang mungkin
keberadaannya kurang sempurna. Maka kami selaku mahasiswa yang masih dalam
proses pencarian ilmu, mengharapkan masukan dan saran kepada dosen yang
bersangkutan. Karna kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami sangat jauh
dari kesempurnaan dalam segala hal. Untuk itu kepada para pembaca kami juga
sangat mengharapkan saran dan kritiknya demi kesempurnaan makalah kami ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………I
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..……...II
BAB I PENDHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………...…IV
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………....…V
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB III PENUTUPAN
A. Kesimpulan……………………………………………………………………….22
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..……24
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
iv
B. Rumusan Masalah
1.1 Apa itu Qaul Shahaby?
1.2 Bagaimana Qaul Shahaby sebagai dalil Syara'?
1.3 Bagaimana kehujjahan Qaul Shahaby?
1.4 Bagaimana Qaul Shahaby sebagai ijtihad tekstual?
v
BAB II
PEMBAHASAN
1
Dr. H. Dedeng Rosidin, M.Ag., Rizki Abdurahman, M. Pd., Ilmu Ushul Fiqih Metodologi
Mengungkap Hukum Islam, Insan Rabbani, Bandung, 2014-2015, hal 199-200.
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 1172.
3
Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fikh, (Jakarta: Kencana, 2012), 156.
1
berasal dari kata shubhah yang berarti pertemanan dan persahabatan 4. Dalam
termonologi ushul fiqih, shahaby merupakan bentuk tunggal dari kata shahib,
yang berarti sekelompok orang yang menemani Rasulullah SAW dari
golongan Anshar dan Muhajirin dan generasi setelahnya yang mati dalam
keadaan islam.
Qaul shahaby dalam terminology ushul fiqih berarti perihal satu orang
shahabah mengemukakan sebuah pendapat kemudian menyebar di kalangan
shahaby lainnya, tanpa diketahui seorang sahabatpun yang menentang.
Terdapat istilah lain yang dapat dikatakan sama dengan qaul shahaby, yakni
madzhab shahaby. Jika diartikan secara etimologi mdzhab berarti pendapat,
teori, dokrin dan kepercayaan. Artinya, ada kesamaan antara istilah qaul
shahaby dengan madzhab shahabi yaitu keduanya dapat berarti pendapat yang
disandarkan kepada sahabat Nabi. Namun terdapat perbedaan istilah antara
keduanya. Perbedaan keduanya terletak pada kuantitas sahabat yang
berpendapat. Jika Qaul shahaby merupakan pendapat perorangan yang
dimungkinkan berbeda antara satu sahabat dengan yang lain. Sedangkan
madzhab shahabi merupakan pendapat kolektif sahabat. Dalam hal ini,
madzhab shahabi juga dikenal dengan istilah ijma’ shahabi.5
Sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat, tidak semua sahabat
ahli dalam hukum islam. Bakat dan keahliannya pun berbeda-beda. Sebagian
sahabat mendalami dan menekuni masalah-masalah hukum. Sehingga tidak
mengherankan, jika sebagian sahabat popular dengan fatwa-fatwa hukumnya.
Diantara beberapa sahabat yang popular namanya dalam bidang hukum islam
antara lain: Umar ibn Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit,
4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus...., 762.
5
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2010), 225.
2
Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka ini
adalah sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum islam.6
Ulama sepakat menjadikan Qaul Shahaby sebagi hujjah dalam permasalahan
yang non ijtihad (bukan wilayah ijtihad) dan tidak membutuhkan peran ra’yu
(logika). Ulama juga sepakat qaul shahaby yang telah menjadi ijma’ sahabat
baik sharih maupun sukuti seperti bagian waris seperenam bagi nenek. Ulama
juga sepakat bahwa qaul shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan
tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lain. Ikhtilaf terjadi ketika qaul shahabi
menjadi hujjah bagi generasi Tabi’in dan sesudahnya.7
Menurut Tarhib Ad Dusiri, qaul sahabat yang masyhur dan bertepatan
dengan pendapat para sahabat lain maka menjadi ‘ijma sahabat. Qaul shahabat
yang masyhur namun bertentangan dengan pendapat para sahabat hanya dapat
menjadi hujjah ketika dikuatkan oleh dalil lain. Qaul shahabat yang tidak
masyhur atau tidak diketahui kemasyhurannya inilah yang merupakan
subtansi dan ikhtilaf ulama’ yang terjadi.
6
Satria Effendi,M.Zein, Ushul Fiqh,(Jakarta;Kencana,2009), 169.
7
Wahbah Az Zuhaili, Ushul al Fikh, 851.
3
itu kemudian memicu timbulnya permasalahan-permasalahan baru yang
dialami oleh umat islam. 8Ketika muncul beberapa permasalahan baru,
sedangkan informasi yang dapat diakses dari teks-teks yang ada ternyata
terbatas, maka hal ini lah yang kemudian memicu timbulnya perkembangan
ijtihad. Beberapa kasus baru tersebut kemudian menimbulkan fatwa-fatwa
dari para sahabat.
Pada mulanya, masih dimungkinkan terjadi kesepakatan antara beberapa
orang sahabat dalam satu permasalahan. Namun ketika kekuasaan islam
semakin bertambah luas, dan para sahabat semakin terpencar pada wilayah
kekuasaan islam yang saling berjauhan, maka yang terjadi kemudian ialah,
tiap-tiap sahabat melakukan ijtihad dengan kasar permasalahan yang mereka
hadapi. Disinilah kemudian muncul dan berkembang pesat qaul shahaby.
Diantara beberapa qaul shahaby yang terkenal antara lain:
2. Qaul Anas yang diikuti Imam Abu Hanifah tentang rentang waktu minimal
haid perempuan yaitu tiga hari.
8
Ahmad Kholiq, Melacak Sejarah Metodologi Ijtihad, (Bandung: Sahifa, 2009), 54.
9
Musthafa Said al Khin, Atsar al Ikhtilaf fi al qawa’id al Ushuliyyah fi ikhtilaf al Fuqaha’, (Beirut: Ar
Risalah, 1998), 535-538.
4
C. Ikhtilaf Ulama dalam Kehujjahan Qaul Shahaby
Diantara ulama yang setuju dalam qaul shahaby untuk menjadikan hujjah
ialam Imam Malik, Ar Razi, Hanafiyyah, Syafi’I (qaul qadim), Ahmad bin
Hanbal (pendapat terkuat). Landasan dalam menjadikan qaul shahaby sebagai
hujjah antara lain:
a) QS: An-Nisa:110
“ Kamu adalah umat umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasil”.
b) QS: At-Taubah:100
“ Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di
antara orang-orang muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikutinya
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada
Allah. Allah menyediakan bagi mereka surge-surga yang mengalir di
5
bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang agung”.
c) HR. Al-Bukhari:
“ Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi
berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.10
d) HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majag:
“ Adalah kewajiabanmu untuk mengikuti sunnahku dan Sunnah khulafa al-
Rasyidin yang datang sesudahku”.
e) Hadis Ibnu Umar
“ Sahabatku adalah bagikan bintang, maka siapapun di antara mereka yang
kalian jadikan panutan, maka kalian akan mendapatkan petunjuk”.11
f) Ijma’
Keputusan pengangkatan khilafah Utsman oleh Abdurrahman ibn Auf dengan
salah satu pertimbangannya yaitu mau mengikuti Khilafah sebelumnya yakni
Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab.12
10
Al Bukhari, Al Jami’ as Sahih, Juz 4, (Beirut: Dar Thauq an Najah, 1422
11
Ibnu Hajar, Fath al Bari, Juz 4, (Beirut: Dar al Ma’rifah, 1389), 57.
12
Musthafa Said al Khin, Ushul Al Fikh Al Islami Tarihuhu wa Tathowwuruhu, (Beirut: Dar al kalam
at Thayyib, 2000).
6
1) Pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa
pendapat mereka berasal dari Rasulullah.
4) Mereka adalah generasi terbaik yang memiliki sifat ‘adalah dan lebih jauh
dari kemungkinan melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan.
7
dipastikan adanya kewajiban mengikuti bagi para sahabat lain. Akan tetapi,
hal itu tidak terjadi.13
3) Dalil aqli (logika)
Shahabat juga termasuk golongan mujtahid yang juga memiliki peluang salah
atau lupa. Sama halnya dengan para tabi’in yang juga masuk golongan
mujtahid. Oleh karena itu, mujtahid generasi tabi’in dan sesudahnya tidak
wajib mengikuti qaul shahabat.
4) Fakta Historis
Pengakuan beberapa shahabat yang berbeda pendapat dengan pendapat tabi’in
menunjukkan bahwa qaul shahabat bukan hujjah. Salah satunya ialah ketika
Anas bin Malik (golongan shahabat) ditanya tentang suatu masalah. Beliau
berkata: “ Tanyakan permasalahan ini pada pemimpin kita, Al Hasan”.
Padahal Al Hasan dari golongan Tabi’in.
13
Wahbah Az Zuhaili, Ushul al Fikh, 854.
14
Al Ghazali, Al Mustashfa, (Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyyah, 2010).
8
masing madzhab. Berikut sikap masing-masing madzhab terhadap qaul
shahaby dalam kekuatannya sebagai hujjah syar’iyyah:
1. Madzhab Hanafi
Qaul shahabi dalam madzhab Hanafi menjadi hujjah ketiga setelah al qur’an
dan as-sunnah di posisi pertama dan kedua. Menurut madzhab Hanafi, Qaul
Shahaby menjadi hujjah ketika menjangkau perkara-perkara yang tidak dapat
dijangkau oleh qiyas. Dalam hal ini, mereka mendahulukan qaul shahabi dari
pada qiyas. Sedangkan qaul shahabi yang menyangkut perkara-perkara yang
dapat dijangkau oleh qiyas, mereka berselisih pendapat. Ada yang tetap
memprioritaskannya menjadi hujjah atas qiyas. Adapula yang memandang
bukan sebagai hujjah.15
2. Madzhab Maliki
Meletakan qaul shahaby sama seperti madzhab Hanafi, yaitu menjadi hujjah
syar’iyyah ketiga setelah al qur’an dan as-sunnah. Mereka secara mutlak lebih
mengedepankan qaul shahaby dari pada ijma’ dan qiyas.
3. Madzhab Syafi’i
Menjadikan qaul shahaby sebagai hujjah syar’iyyah. Akan tetapi peletakannya
secara jierarkis berada di bawah al qur’an, Sunnah, ijma’, Qiyas, dan Istishab.
Sedangkan sikap Imam Asy Syafi’I sendiri ialah, meski dalam qaul qadim
mengakui qaul shahaby sebagai hujjah, akan tetapi dalam qaul jaded beliau
hanya menerima qaul shahaby sebagai hujjah ketika dalam qaul shahaby
tersebut mengandung unsur qiyas.16
15
Asmawi, Perbandingan Ushul Fikh, (Jakarta: Amzah, 2011), 168..
16
Wahbah Az Zuhaili, Ushul al Fikh, 853.
9
4. Madzhab Hanbali
Menerima qaul shahaby sebagai hujjah ketiga setelah al qur’an dan Sunnah.
Bahkan Imam Ahmad lebih mendahulukan qaul shahaby dari pada hadis
dalam tingkatan mursal atau dhaif.
5. Madzhab Syiah
Qaul shahaby dalam menjadi hujjah syar’iyyah. Akan tetapi bagi golongan
syiah Zaidiyyah dan Imamiyyah, mereka menganggap qaul shahabat yang
termasuk dalam ahl bait merupakan hujjah yang wajib diikuti.17
6. Madzhab Dzahiri
Qaul shahaby ialah menolak secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa tidak
boleh bertaqlid kepada seseorang, termasuk shahabat.
7. Mu,tazilah
Menolak qaul shahaby secara mutlak. Zakariya Al Anshari menyebutkan
tentang beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan qaul
shahaby salah satunya ialah dapatkah qaul shahaby yang keluar dari salah
seorang sahabat menjadi hujjah bagi sahabat lain. Dalam hal ini, ulama’
sepakat mengingkari kehujjahan qaul shahaby bagi sahabat lain. Sedangkan
ketika qaul shahaby dijadikan hujjah bagi umat setelah masa sahabat, maka
ulama’ berbeda pendapat mengenai hal ini.18
17
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 210.
18
Zakariya Al Anshari, Ghayah Al Wushul Syarh Lubb al Ushul, (Kairo, Dar al Kutub al Arabiyyah,
1306 H.), 147.
10
1. Qaul shahaby bukan merupak hujjah syar’iyyah bagi siapapun dari
kalangan mujtahid baik dari kalangan tabi’in maupun setelahnya. Pendapat ini
merupakan qaul ashah.19
2. Qaul shahaby merupakan hujjah syar’iyyah bagi selain sahabat dan
memiliki derajat di atas qiyas.
3. Qaul shahaby merupakan hujjah syar’iyyah bagi selain sahabat yang
derajatnya dibawah qiyas.
4. Qaul shahabt menjadi hujjah bagi generasi tabi’in dan setelahnya manakala
qaul tersebut telah tersebar dan tidak mendapat pertentangan dengan pendapat
lain.
5. Qaul shahaby dapat menjadi hujjah bagi selain sahabat ketika menyalahi
qiyas.
6. Qaul shahaby yang dapat menjadi hujjah bagi selain sahabat hanya qaul
Abu Bakar Ash Shidiq dengan Umar bin Khattab saja.
Dari ikhtilaf yang terjadi, Wahbah Zuhaili mengambil suatu tarjih dengan
menyatakan bahwa qaul shahaby yang merupakan pendapat perorangan bukan
merupakan hujjah syar’iyyah yang berdiri sendiri. Sebab memiliki peluang
benar dan salah. Qaul shahaby tersebut dapat menjadi hujjah yang diikuti
ketika memiliki sandaran dalam bentuk nash baik al qur’an maupun Sunnah.20
19
20
Wahbah Az Zuhaili, Ushul al Fikh, 857.
11
ketika qaul shahaby menjadi hujjah bagi generasi Tabi’in dan sesudahnya.
Dalam sejarahnya, ekspansi wilayah islam ke berbagai daerah menjadi faktor
yang ikut melatar belakangi timbulnya permasalahan-permasalahan baru yang
kemudian mengharusan para shahabat untuk mengeluarkan fatwa hukum.
Jika melihat klasifikasi metode istinbath atau dalil hukum yang terdapat dalam
ilmu ushul fiqh, qaul shahaby termasuk dalam kategori dalil yang
berorientasikan pada teks, bukan ra’yu. Jika seseorang berpegangan pada qaul
shahaby, artinya dia mengikuti pendapat hasil ijtihad dari salah seorang
shahabat Nabi secara tekstual. Berbeda dengan penggunaan dalil seperti qiyas
atau mashlahah yang cenderung berorientasikan pada teks antara lain al
qur’an, Sunnah dan Ijma’.
12
Dalam rangka mencermati terhadap aplikasi qaul shahaby terhadap
permasalahan fiqh baik klasik maupun kontemporer, nampaknya dapat di
ketahui bahwa penggunaan qaul shahaby dalam permasalah tertentu, menurut
jumhur ulami dinashk ketentuannya oleh metode lain seperti qiyas. Hanya
pada ketentuan jual beli sistem kredit saja yang berbeda, dikarenakan jumhur
lebih memilih mendasarkan pendapatnya pada qaul shahaby. Artinya, jika
kembali merujuk pada pernyataan Zakariya Al Anshari dalam kita Ghayah al
Wushul, qaul shahaby setidaknya ketika dikategorikan sebagai hujjah
syar’iyyah, namun derajatnya ada di bawah qiyas. Konsekuensinya, ketika
terjadi ta’arduh al adillah, maka dimenagkan ketentuan melalui metode qiyas.
Meski begitu, penggunaan qaul shahaby sebagai hujjah yang bertentangan
dengan qaul al ashah. Karena menurut qaul al ashah, qaul shahaby bukanlah
termasuk hujjah syar’iyyah.
Syar’u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa’ilnya
secara Bahasa adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum yang
dilintasi manusia untuk menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga
13
diartikan sebagai jalan yang lurus atau thariqatun mustaqimatun sebagaimana
diisyaratkan dalam al qur’an surat Al-Jatsiyah:18.
Segala apa yang dinukil kan kepada kita dari hukum-hukum “syara” yang
telah di syariatkan Allah SWT. Bagi umat umat dahulu melalui nabi nabinya
yang diutus kepada umat itu seperti nabi Ibrahim, nabi Musa, dan nabi Isa as.
Dalam kaitannya dengan syariat islam, maka dapat dikatakan bahwa syariat
adalah hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Yang didalamnya
terdapat berbagai aturan yang diperuntukan bagi manusia.
1. Qs.Al-Syuura:13
“ Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dana pa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
21
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, revisi 3 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009) hal.
112
14
agama itu orang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (Kepada-Nya).”
15
2. Qs Ali-Imran:84
Syariat terkadang sering disamakan dengan fiqh. Sementara fiqh itu sendiri
bermakna pemahaman, dan secara istilah adalah pemahaman mendalam para
ulama tentang hukum syara’ yang bersifat amaliyah atau praktis yang digali
dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqh diartikan pula sebagian ilmu yang
mengkaji syariat.22
Kajian fiqh lebih luas dibandingkan dengan konsep syariat karena fiqh
melibatkan berbagai metode dan pendekatan dalam memahami semua ajaran
islam. Fiqh dapat berlaku untuk yang sifatnya naqliyah maupun aqliyah.
Hasbi Ash-Shiediqie berpendirian bahwa makna fiqh identik dengan hukum
islam atau syariat islam. Fiqh adalah koleksi daya upaya para fuqaha dalam
menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fiqh
merupakan syari’ah amaliyah.23
Kita mengetahui bahwa ada perubahan hukum yang dibawa oleh para
Rasulullah dalam catatan sejarah perubahan hukum itu dapat dipahami
22
Juhaya S. Pradja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Yayasan Piara, 1997), hal 7.
23
Hasbi Ash-Shiediqie, Falsafah Hukum Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal 44.
16
sebagai penyesuaian atas kondisi fisik dan pemikiran manusia pada zaman
“para utusan” tersebut diutus. Misalnya perbedaan syariat islam dengan
syariat sebelumnya adalah mengenai tata cara bertaubat pada masa Nabi Musa
yaitu dengan membunuh dirinya sendiri, dan pakaian yang terkena najis harus
disucikan dengan cara memotong bagian yang terkena najis. Diantara syariat
itu ada yang masih berlaku meski tidak sama persis tatacara waktu
pelaksanaanya, seperti perintah puasa, qurban, dan sebagainya24. Tata cara
taubat diubah oleh Allah melalui Qs Hud : 3 “ mensucikan pakaian dari najis
diubah caranya melalui Qs Al-Mudatstsir:4.
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum syar’u man qablana ialah
hukum-hukum yang telah di isyaratkan untuk umat sebelum islam yang
dibawa para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk
diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad.
Syariat sebelum kita dalam pengertian di atas, dapat dibagi dalam tiga
kelompok yaitu:
1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al qur’an atau penjelasan Nabi yang
disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam
24
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. xii (Kairo: Dar al-Qalam, 1398 H), hal 93.
17
al qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian telah di naskh dan tidak
berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad.
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al qur’an maupun hadis Nabi disyariatkan
untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi
Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya.
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al qur’an atau hadis Nabi dijelaskan
berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak
dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum
tersebut telah dinaskh.
Dari ketiga kelompok syariat sebelum kita, bentuk pertama sudah jelas
kedudukannya yaitu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad.
Demikian juga dengan bentuk kedua yang disepakati telah menjadi hukum
islam. Bentuk ketiga inilah sebenarnya yang di sebut “syariat sebelum kita”
yang menjadi bahan kajian Ulama Ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil
syara’ atau metode ijtihad.
25
Keempat kaidah itu adalah Syar`u Man Qablana, Qaul al-Shahabi, Istihsan, Istishlah. Lihat
AlGhazali, Al-Mustashfa.
18
1. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanbali dan sebagian Syafi’iyyah dan
Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa
hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk yang ketiga tersebut di atas
tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan
pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa
syariat sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang di
bawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan
menaskh syariat sebelumnya.
2. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian
sahabat Imam Syafi’I dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan
bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al qur’an atau Sunnah Nabi
meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad selama tidak ada
penjelasan tentang naskhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi
Muhammad.
Pembahasan ulama ushul berikutnya berkembang kepada
kemungkinan Nabi Muhammad mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau
menerima risalah. Dalam hal ini timbul beberapa pendapat:
1. Abu Hanifah , Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan sebagian pengikut
syafi’i berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat
sebelumnya yang sah yang diterimanya melalui wahyu, dan tidak melalui
kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang sudah diperbarui Allah atau
diubah oleh para pendetanya, selama syariat tersebut belum di naskh.
Mereka menganjurkan argument dengan beberapa ayat al qur’an dan hadis
yang diantaranya adalah:
a). Surat al-Nahl:123 “ Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti
agama Nabi Ibrahim yang hanif ”.
b). Surat Al-Maidah:44 “ Kami telah menurunkan Taurat yang di dalamnya
terdapat petunjuk dan cahaya yang para nabi berhukum dengannya”.
19
2. Ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi setelah
risalah (wahyu) tidak pernah mengikuti syariat sebelumnya. Mereka
mengemukakan argument sebagai berikut:
a. Dalam dialog yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal
tentang cara Mu’az menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan
jawabannya dalam al qur-an dan Sunnah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan
memnggunakan ijtihad dengan akal pikirnya (ra’yu). Dia tidak menyinggung
untuk mengambil ketentuan dari syariat sebelumnya. Jawaban Mu’az itu
mendapat pujian (persetujuan) Nabi.
b. Kalau Nabi dan umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah,
tentu menpelajari syariat sebelumnya itu menjadi wajib merujuknya, dan Nabi
sendiri wajib kifayah dan Nabi sendirinya wajib merujuknya, dan Nabi sendiri
tidak akan berhenti memberikan jawaban terhadap suatu masalah saat tidak
(belum) menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan bahwa Nabi tidak
pernah berpedoman pada syariat sebelumnya.
c. Ijma’ ulama menetapkan bahwa syariat islam yang dibawa Nabi
Muhammad itu menaskh syariat sebelumnya. Seandainya Nabi pernah
mengikuti syariat sebelumnya, maka tentu syariat islam akan memberikan
pengakuan terhadap syariat-syariat sebelumnya, dan tidak akan menaskhnya.
Untuk ini Abdul Hamid Hakim mengutip perkataan Imam Al-Syaukani, yang
menyebutkan bahwa terdapat beberapa pendapat:
20
2. Bahwa Rasulullah saw. Bersyariat kepada Nabi Nuh a.s berdasarkan
firman Allah : “ Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa
yang telah di wasiatkan-Nya kepada Nuh “ (QS. Al-Syura [42] :
13).26
3. Bahwa Rasulullah saw. Bersyariat kepada syariatnya Nabi Ibrahim a.s
berdasar pada “ Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif “ (QS. Al-
Nahl [16]:123).
4. Ada pula yang menyatakan Rasulullah beribadah dengan syariat Nabi
Musa a.s.
5. Dan yang menyatakan Rasulullah bersyariat kepada syariat Isa a.s
karena Nabi Isa yang paling dekat dengan Rasulullah saw.
6. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Rasulullah saw. Sebelum di utus
tidak beribadah atas syariat. Menurutnya, karena jika berada pada satu
agama tentu Nabi menjelaskannya dan tidak menyembunyikannya.
BAB III
KESIMPULAN
26
Dr. H. Dedeng Rosidin, M.Ag., Rizki Abdurahman, M. Pd., Ilmu Ushul Fiqih Metodologi
Mengungkap Hukum Islam, Insan Rabbani, Bandung, 2014-2015, hal 220.
21
mutlak kepada pertunjuk-petunjuk Nabi saw serta mengetahui situasi-situasi
dimana nas-nas Alquran diturunkan. Pendapat-pendapat yang dikemukakan
para sahabat juga sangat mungkin sebagai bagian dari sunah Nabi dengan
alasan para sahabat sering berkumpul dengan Rasulullah saw baik dalam
keadaan suka maupun duka. Walaupun masih ada perdebatan di kalangan para
ulama, namun perdebatan tersebut hanya berkisar pada pendapat sahabat
mana yang dapat dijadikan sandaran dan dasar dalam penetapan hukum Islam.
Dengan demikian, pada kasus-kasus tertentu di era kini, bisa mengambil
hukum yang didasarkan pada Qaul Shahabi sebagai salah satu dalil syar'I yang
mana tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada zaman modernisasi ini telah
banyak terdapat problema-problema tentang hukum-hukum agama, terutama
kasus-kasus yang belum pernah terjadi dimasa Rasulullah SAW, dan masa
Shahabat. Banyak orang yang memakai sumber-sumber hukum yang belum
jelas kedudukannya terhadap generasi sekarang ini, juga agar kaum muslimin
dan muslima memandang jauh kedepan tentang kedudukan sumber hukum
diatas serta kehujjahannya terhadap generasi sekarang.
22
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai
hukum sutau kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di
antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan
berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu
dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau
memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan
melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa
pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang
tidak ma’sum (tidak terjaa dari dosa).
DAFTAR PUSTAKA
23
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet.xxi. Kairo : Dar al-Qalam,
1398H.
24