Anda di halaman 1dari 14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi dan Fungsi Normal Sel Darah Putih


Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh, yaitu
berfungsi melawan infeksi dan penyakit lainnya. Batas normal jumlah sel darah
putih berkisar dari 4.000 sampai 10.000/mm 3. Dalam kasus leukemia, jumlahnya
dapat meningkat hingga 50000 sel per tetes.  Berdasarkan jenis granula dalam
sitoplasma dan bentuk intinya, sel darah putih digolongkan menjadi 2 yaitu :
granulosit (leukosit polimorfonuklear) dan agranulosit (leukosit mononuklear).
1.1.1 Granulosit
Granulosit merupakan golongan leukosit yang terdiri dari neutrofil,eosinofil,
dan basofil. Tiga jenis sel ini dinamakan granulosit karena adanya granula dalam
sitoplasma.
a. Neutrofil

Neutrofil adalah garis pertahanan pertama tubuh terhadap invasi


oleh bakteri, sangat fagositik dan sangat aktif. Sel-sel ini sampai di
jaringan terinfeksi untuk menyerang dan menghancurkan bakteri, virus
atau agen penyebab infeksi lainnya. Neutrofil mempunyai inti sel yang
berangkai dan kadang-kadang seperti terpisah- pisah, protoplasmanya
banyak bintik-bintik halus (granula). Granula neutrofil mempunyai afinitas
sedikit terhadap zat warna basa dan memberi warna biru atau merah muda
pucat yang dikelilingi oleh sitoplasma yang berwarna merah muda.
Neutrofil merupakan leukosit granular yang paling banyak, mencapai 60%
dari jumlah sel darah putih. Neutrofil merupakan sel berumur pendek
dengan waktu paruh dalam darah 6-7 jam dan jangka hidup antara 1-4 hari
dalam jaringan ikat, setelah itu neutrofil mati.
b. Eosinofil

Eosinofil merupakan fagositik yang lemah. Jumlahnya akan


meningkat saat terjadi alergi atau penyakit parasit. Eosinofil memiliki
granula sitoplasma yang kasar dan besar. Sel granulanya berwarna merah

1
sampai merah jingga.
Eosinofil memasuki darah dari sumsum tulang dan beredar hanya
6-10 jam sebelum bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil
menghabiskan sisa 8-12 hari dari jangka hidupnya. Dalam darah normal,
eosinofil jauh lebih sedikit dari neutrofil, hanya 2-4% dari jumlah sel
darah putih.
c. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu
kurang dari 1% dari jumlah sel darah putih. Basofil memiliki sejumlah
granula sitoplasma yang bentuknya tidak beraturan dan berwarna
keunguan sampai hitam. Basofil memiliki fungsi menyerupai sel mast,
mengandung histamin untuk meningkatkan aliran darah ke jaringan yang
cedera dan heparin untuk membantu mencegah pembekuan darah
intravaskular.
1.1.2 Agranulosit
Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplasma. Agranulosit terdiri dari
limfosit dan monosit.
a. Limfosit
Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah
neutrofil, berkisar 20-35% dari sel darah putih, memiliki fungsi dalam
reaksi imunitas.Limfosit memiliki inti yang bulat atau oval yang
dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma yang sempit berwarna biru. Terdapat
dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T bergantung
timus, berumur panjang, dibentuk dalam timus.Limfosit B tidak
bergantung timus, tersebar dalam folikel-folikel kelenjar getah bening.
Limfosit T bertanggung jawab atas respons kekebalan selular melalui
pembentukan sel yang reaktif antigen sedangkan limfosit B, jika
dirangsang dengan semestinya, berdiferesiansi menjadi sel-sel plasma
yang menghasilkan imunoglobulin, sel-sel ini bertanggung jawab atas
respons kekebalan hormonal.
b. Monosit
Monosit merupakan leukosit terbesar. Monosit mencapai 3-8% dari

2
sel darah putih, memiliki waktu paruh 12-100 jam di dalam darah. Intinya
terlipat atau berlekuk dan terlihat berlobus, protoplasmanya melebar,
warna biru keabuan yang mempunyai bintik-bintik sedikit kemerahan.
Monosit memiliki fungsi fagositik dan sangat aktif, membuang sel-
sel cedera dan mati, fragmen-fragmen sel, dan mikroorganisme.
2.2 Leukemia Limfositik Akut (ALL)
2.2.1 Definisi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang yang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih secara tidak
teratur dan tidak terkendali dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam
darah tepi (Permono dan Ugrasena, 2010).
Leukimia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan hematologi
yang disebabkan oleh proliferasi prekursor sel limfoid yang menyebabkan
akumulasi sel blas di darah tepi dan sumsum tulang (Adilistya, 2017). Leukimia
limfoblastik akut merupakan leukemia yang berasal dari sel induk limfoid
dimana terjadi proliferasi monoklonal dan ekspansi progresif dari progenitor
limfosit B dan T yang imatur dalam sumsum tulang dan beredar secara sistemik.
Proliferasi dan akumulasi dari sel leukemia menyebabkan penekanan dari
hematopoesis normal (Piatkowska dan Styczynski, 2010).
2.2.2 Etiologi
Etiologi terjadinya leukemia belum diketahui hingga saat ini, namun ada
beberapa faktor risiko yang berperan dalam patogenesis leukemia. Beberapa
faktor risiko tersebut antara lain faktor lingkungan seperti radiasi ion, radiasi
non-ion, hidrokarbon, zat-zat kimia, alkohol, rokok maupun obat-obatan (Belson
dkk., 2007). Faktor lain yang diduga berperan adalah faktor genetik yaitu riwayat
keluarga, kelainan gen, dan translokasi kromosom. Leukemia juga dipengaruhi
Human T-cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1), etnis, jenis kelamin, usia, usia ibu
saat melahirkan, serta karakteristik saat lahir seperti berat lahir dan urutan lahir
(Ross dkk., 1994). Pemakaian insektisida selama periode kehamilan dan masa
anak-anak, pestisida, fungisida serta sampo insektisida juga merupakan faktor
risiko terjadinya LLA (Menegaux dkk., 2006). Gangguan regulasi sitem imun
sebagai respon dari infeksi saat beberapa bulan pertama kehidupan juga dapat

3
menginduksi terjadinya LLA pada masa anak-anak (Roman dkk., 2007).
Beberapa faktor lain yang juga memengaruhi terjadinya leukemia yaitu medan
magnet, pemakaian marijuana, dan diet (Belson dkk., 2007; Lanzcowsky, 2011).
2.2.3 Patofisiologi
Pada leukemia terjadi kelainan pada gugus sel (klonal), kelainan
proliferasi, kelainan sitogenetik, kelainan morfologi dan kegagalan diferensiasi.
Sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas
dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu
berasal dari sel tunggal yang berproliferasi hingga mencapai jumlah populasi sel
yang dapat terdeteksi. Etiologi leukemia pada manusia belum diketahui, namun
pada penelitian mengenai proses leukemiogenesis pada binatang percobaan
ditemukan bahwa penyebabnya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi
nukleus DNA. Kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi atau suatu
kelainan genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen
seluler. Hal ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi
somatik yang mengakibatkan terbentuknya suatu klonal yang abnormal (Permono
dan Ugrasena, 2010; Lanzcowsky, 2011). Populasi sel leukima yang semakin
lama semakin banyak akan menyebabkan dampak buruk bagi produksi sel normal
dan mengganggu fungsi organ tubuh akibat infiltasi sel leukemia. Kegagalan
hematopoiesis normal merupakan akibat yang sering terjadi pada leukemia akut.
Kematian pada leukemia akut umumnya terjadi akibat penekanan sumsum tulang
atau akibat infiltasi sel leukemia ke organ tubuh pasien (Permono dan Ugrasena,
2010; Lanzcowsky, 2011).

2.2.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis yang dialami oleh pasien ALL biasanya bervariasi.
Adanya akumulasi dari sel limfoblas abnormal yang berlebihan pada sumsum
tulang menyebabkan supresi pada sel darah normal sehingga tanda-tanda
klinisnya akan menunjukkan kondisi dari sumsum tulang, seperti anemia
(pucat, lemah, takikardi, dispnoe, dan terkadang gagal jantung kongestif),
trombositopenia ( peteki, purpura, perdarahan dari membran mukosa, mudah
lebam), dan neutropenia (demam, infeksi, ulserasi dari membran mukosa).

4
Selain itu, anoreksia dan nyeri punggung atau sendi juga merupakan salah satu
tanda klinis ALL (Roganovic, 2013).
Pada pemeriksaan fisik, didapati adanya pembesaran dari kelenjar getah
bening (limfadenopati), pembesaran limpa (splenomegali), dan pembesaran hati
(hepatomegali). Pada pasien dengan ALL prekursor sel-T dapat ditemukan
adanya dispnoe dan pembesaran vena kava karena adanya supresi dari kelenjar
getah bening di mediastinum yang mengalami pembesaran. Sekitar 5% kasus
akan melibatkan sistem saraf pusat dan dapat ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah, papil edema) atau paralisis saraf
kranialis (terutama VI dan VII) (Roganovic, 2013).
2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk menegakkan dan
memastikan diagnosis dari ALL, yaitu :

1. Pemeriksaan Darah Lengkap dan Darah Tepi


Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap digunakan untuk
menegakkan diagnosis dari ALL. Pada pemeriksaan darah lengkap,
dimana akan didapatkan adanya peningkatan sel darah putih/white
blood cell (WBC) mencapai > 10.000/mm3 sedangkan pada 20% kasus
peningkatan mencapai > 50.000/mm3. Selain itu, akan ditemukan
neutropenia, anemia (Hb < 10 mg/dL) normokromik dan normositik
disertai rendahnya retikulosit, trombositopenia (hitung platelet
<100.000/mm3), dan pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya
sel blas.
2. Aspirasi Sumsum Tulang
Untuk memastikan diagnosis dari ALL, harus dilakukan aspirasi
sumsum tulang belakang. Aspirasi sumsum tulang juga dapat
membantu kita mengklasifikasikan ALL. Pasien disuspek menderita
leukemia bila didapatkan lebih dari 5% blas pada sumsum tulang,
tetapi minimum 25% sel blas diperlukan untuk memenuhi standar
kriteria sebelum diagnosis ditegakkan. Biasanya akan dijumpai sel
leukemia yang homogen dan hiperseluler dari sumsum tulang.

5
3. Pemeriksaan Sitogenetik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat
diperlukan dalam diagnosis leukemia karena kelainan kromosom dapat
dihubungkan dengan prognosis.
4. Pemeriksaan Immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan
klasifikasi imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan
untuk pemeriksaan surface marker guna membedakan jenis leukemia.

2.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari leukemia terbagi atas kuratif dan suportif.
Penatalaksanaan suportif hanya berupa terapi penyakit lain yang menyertai
leukemia beserta komplikasinya, seperti tranfusi darah, pemberian antibiotik,
pemberian nutrisi yang baik, dan aspek psikososial (Permono dan Ugrasena,
2010).
Penatalaksanaan kuratif, seperti kemoterapi, bertujuan untuk
menyembuhkan leukemia. Di Indonesia sendiri sudah ada 2 jenis protokol
pengobatan yang umumnya digunakan, yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan
protokol WK-ALL 2010. Selain dengan kemoterapi, terapi transplantasi
sumsum tulang juga memberikan kesempatan untuk sembuh terutama pada
pasien yang terdiagnosis leukemia sel-T (Permono dan Ugrasena, 2010).

1) Tahapan Kemoterapi
a. Terapi Induksi. Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah
untuk mencapai remisi komplit dan menggembalikan fungsi
hematopoesis yang normal. Terapi induksi meningkatkan angka remisi
hingga mencapai 98%. Terapi ini berlangsung sekitar 3-6 minggu
dengan menggunakan 3-4 obat, yaitu glukokortikoid
(prednison/deksametason), vinkristin, L-asparaginase dan atau
antrasiklin. Sekitar 2% kasus pasien anak ALL yang menjalani terapi
induksi mengalami kegagalan (Roganovic, 2013).

6
b. Intensifikasi awal. Target pengobatan adalah anak-anak yang sudah
mencapai remisi dan fungsi hematopoesis-nya kembali normal. Tujuan
dari tahapan intensifikasi adalah untuk eradikasi sel leukemia yang
tersisa dan meningkatkan angka kesembuhan (Roganovic, 2013).
c. Konsolidasi/Terapi Profilaksis SSP. Tujuan dari tahapan ini adalah
untuk melanjutkan peningkatan kualitas remisi di sumsum tulang dan
sebagai profilaksis susunan saraf pusat. Profilaksis SSP dilakukan
mengacu pada fakta bahwa SSP merupakan pusat dari sel leukemia dan
dilindungi oleh sawar darah otak sehingga obat tidak bisa menembusnya
(Roganovic, 2013).
d. Intensifikasi Akhir. Penambahan dari tahap intensifikasi akhir ini
setelah terapi induksi ataupun konsolidasi ternyata meningkatkan
prognosis pasien anak dengan ALL. Tahap ini merupakan tahap
pengulangan dari tahap induksi dan intensifikasi awal dan untuk
menghindari terjadinya resistensi obat maka dilakukan pergantian obat
(Roganovic, 2013).
e. Terapi rumatan. Setelah pengobatan dengan dosis tinggi dijalankan
selama 6 sampai 12 bulan, obat sitotoksis dosis rendah digunakan untuk
mencegah terjadinya kondisi relaps. Tujuan dari tahap ini adalah untuk
mengurangi sel leukemia sisa yang tidak terdeteksi. Terapi rumatan
dilaksanakan selama 2 atau 3 tahun setelah diagnosis atau setelah
tercapainya kondisi remisi morfologik. Keberhasilan ini dipantau
dengan melihat hitung leukosit (2.000-3.000/mm3) (Roganovic, 2013).

7
Faktor Intrinsik :
Faktor Ekstrinsik :
- Genetik
- Virus/bakteri - Alkohol
- Kelainan kromosom - Zat Kimia - Rokok
- Radiasi

Translokasi kromosom Invasi ke dalam tubuh manusia

Mutasi somatik stem cell Pembentukan sel yang


reaktif antigen oleh
limfosit
Proliferasi sel darah putih tanpa
batas Kerusakan mekanisme
proliferasi limfosit
Pembentukan sel darah putih
imatur dan non fungsional (ganas)

ALL (Acute Limphocytic


Leukimia

20
Infiltrasi pada sumsum tulang

Hematopoesis sumsum tulang


terganggu

Penurunan WBC meningkat Trombositopenia


pembentukan sel darah
merah MK : Resiko
Pembekuan
Imunitas menurun Infeksi
terganggu
Anemia (D.0142)

Proses inflamasi
Akral dingin, MK : Risiko
Suplai oksigen di
pucat, CRT 4 perdarahan
jaringan menurun
detik (D.0149)
Suhu tubuh
Dispnea meningkat

MK : Pola nafas tidak MK : Hipertermia


efektif (D.0005) Mual, muntah
(D.0130)

MK : Perfusi perifer Anoreksia


tidak efektif (D.0009)
MK: defisit nutrisi
(D.0019)

20

Kelemahan otot
21
Terjadi dampak
hospitalisasi

Anak Orang tua

Gelisah, menangis, Sering bertanya


pendiam, takut terkait kondisi
anaknya

MK : ansietas
(D.0080)

22

MK : hipovolemi
Kelemahan otot
(D.0023)
American Cancer Society. (2013). Leukemia- Acute Lymphocytic. Atlanta:
American Cancer Society.
Brown, M. & Tracey J. Culter. 2011. Haematology Nursing. UK: Wiley-
Blackwell.
Fianza P. I. (2009). Leukemia Limfoblastik Akut Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.
Gamal, Abdul-Hamid.(2011). Classification of Acute Leukemia. Dalam: Antica,
Prof. Mariastefania (ed.), Acute Leukemia-The Scientst’s Perspective
and Challenge, Rijeka:InTech.
Howard, M. R., & Hamilton, P. J. (2008). Haematology an illustrated colut text.
Edisi III. USA: Saunders Elsevier.
Kaushansky, K.et al. 2010. Williams Hematology Eighth Edition. United States:
Mc. Graw Hill. 
Kiswari, R. 2014. Hematologi & Transfusi. Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2012). Buku ajar keperawatan medical bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta : EGC.
Wong, D. L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik, volume 2 edisi 6. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran: EGC
Permono, Bambang. (2010). Buku Ajar Hematologi – Onkologi Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI
Roganovic, J., 2013. Acute Lymphoblastic Leukemia in Children, Leukemia

1
2
3

Anda mungkin juga menyukai