Anda di halaman 1dari 65

13

BAB II

PEMAHAMAN KERANGKA TEORITIK

A. TINJAUAN PUSAT BUDAYA

A.1. Pemahaman Pusat Budaya

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berbudaya. Kebudayaan bisa


didefinisikan sebagai sistem terintegrasi di masyarakat yang berkaitan dengan
nilai, kepercayaan, perilaku, dan artefak. Dalam perjalanan sejarah manusia,
kebudayaan inilah yang membedakan antara manusia atau komunitas yang satu
dengan lainnya1. Oleh sebab itu, kebudayaan perlu dilestarikan untuk mencegah
terjadinya kehilangan identitas pada diri seseorang maupun suatu komunitas
sebagai akibat dari perkembangan zaman.

Kata ‘kebudayaan’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘buddhayah’ yang berarti


‘budi/ akal’. Dari pengertian tersebut kemudian dibedakan antara budaya yang
berarti daya dari budi, yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Dalam disiplin ilmu
antropologi budaya, kebudayaan dan budaya mempunyai arti yang sama.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka berkehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia
dengan cara belajar2.

Dalam usaha untuk melestarikan kebudayaan, diperlukan sarana dan


prasarana yang dapat mewadahi kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
apresiasi, pendidikan, maupun rekreasi budaya secara terarah dan terpadu. Untuk
mewujudkan suatu kesatuan arah dan keterpaduan, kegiatan-kegiatan tersebut
dipusatkan pada satu wadah, pada satu lokasi. Dengan demikian, pusat budaya
dapat diartikan sebagai suatu wadah berbagai macam aktifitas dalam usaha untuk
melestarikan budaya dari suatu wilayah secara terarah dan terpadu.

A.2. Tugas dan Fungsi Pusat Budaya


Tugas dan fungsi pusat budaya dalam usaha untuk melestarikan kebudayaan
suatu wilayah berkaitan dengan pengadaan kegiatan-kegiatan apresiasi,
pendidikan, maupun rekreasi budaya, antara lain:

1
www.melayuOnline.com/budayamelayu, 20 Februari 2009
2
Koentjaraningrat, 1985/ TGA Hazni Syafrina, 2001
14

A.2.1. Tugas
§ Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan suatu wilayah, baik
lokal maupun regional.
§ mewadahi kreatifitas seniman dan budayawan serta memfasilitasi
kalangan masyarakat yang berpotensi dan ingin mempelajari lebih jauh
tentang kebudayaan.

§ meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan.

A.2.2. Fungsi

§ Mengadakan pagelaran dan pameran budaya.

§ Mengadakan pelatihan/ pendidikan budaya, termasuk kegiatan


eksperimentasi, diskusi, seminar, dsb.

§ Menghasilkan produk budaya yang berkualitas baik.

A.3. Jenis Kegiatan yang Diwadahi

Sesuai dengan tugas dan fungsinya, jenis kegiatan yang diwadahi oleh pusat
budaya meliputi kegiatan apresiasi, pendidikan, dan rekreasi sebagai berikut:

§ Pagelaran dan pameran

§ Pendidikan seni dan budaya

§ Eksperimentasi dan pengembangan budaya

§ Seminar budaya

§ Lokakarya

§ Publikasi, dokumentasi, dan informasi budaya

§ Penjualan produk budaya

A.4. Pelaku Kegiatan yang Diwadahi


15

Pelaku kegiatan yang diwadahi pusat budaya merupakan orang-orang yang


berkaitan dengan kegiatan pelestarian budaya sebagai berikut:

§ Masyarakat umum

Pelaku kegiatan yang mempunyai berbagai latar belakang yang bertindak


sebagai pengunjung pameran, pagelaran, dan perpustakaan, peserta seminar
dan pendidikan budaya, serta konsumen produk budaya.

§ Seniman dan budayawan

Pelaku kegiatan yang bertindak sebagai peneliti dan pembicara pada seminar
dan diskusi, pengguna workshop seni, tutor pada kursus, serta peserta pada
kegiatan pertunjukan dan pameran.

§ Pengelola

Pelaku kegiatan yang mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan pelayanan


informasi dan perpustakaan, serta pengatur masalah intern kelembagaan
yang bersifat administratif.

A.5. Contoh Pusat Budaya

Dikarenakan Indonesia belum memiliki pusat budaya (umumnya masih berupa


taman budaya), maka diambil preseden dari luar sebagai berikut:

A.5.1. Hong Kong Cultural Centre

The Hong Kong Cultural Centre (Chinese: 香港文化中心) adalah sebuah


fasilitas pertunjukan serbaguna di Tsim Sha Tsui, Hong Kong. Berlokasi di
Salisbury Road, didirikan oleh Dewan Kota terdahulu dan setelah tahun
2000 diadministrasi oleh Departemen Kebudayaan pemerintah Hong Kong.
Bangunan ini merupakan sebuah tempat untuk beragam pertunjukan
kebudayaan yang berskala besar.
16

Gambar II.1 Perspektif Hong Kong Cultural Centre


[www.en.wikipedia.org]

Fasilitas yang ada pada bangunan ini antara lain sebagai berikut:

§ The Grand Theatre

Grand Theatre dirancang untuk


opera, balet, musikal, tari, dan
semua jenis teater spektakuler
lainnya yang berskala besar.
Auditorium terdiri dari 1.734
Gambar II.2 The Grand Theatre
[www.lcsd.gov.hk] tempat duduk dalam tiga tingkat.
Teknik permukaan meliputi
sebuah panggung terbuka yang dapat berputar, sebuah area orkestra
yang dioperasikan dengan listrik untuk 110 musisi dan sistem
penerjemah infra-merah untuk 5 bahasa.

§ The Concert Hall

Aula konser yang berbentuk oval


ini dirancang untuk pertunjukan
musik. Terdiri atas 2019 tempat
duduk dalam dua tingkat
auditorium. Aula difinishing

Gambar II.3 The Concert Hall dengan oak berkulitas tinggi dan
[www.lcsd.gov.hk] dilengkapi dengan kanopi dan
17

langit-langit akustik yang dapat disetel untuk memastikan kualitas efek


akustik.

§ The Studio Theatre

Teater studio kecil namun


serbaguna ini dirancang
dengan beragam format tempat
duduk. Memiliki kapasitas
tempat duduk antara 303 – 496

Gambar II.4 The Studio Theatre


tergantung format yang dipilih.
[www.lcsd.gov.hk] Ruangan ini cocok untuk
pertunjukan tarian inovatif berskala kecil dan produksi teater.

§ Exhibition Gallery

Ditempatkan di lantai 4
bangunan administrasi, dengan
ruang seluas 287 m2 dengan
pola partisi fleksibel untuk
kebutuhan lay-out berbeda.
Gambar II.5 Exhibition Gallery Terlepas dari lampu dan panel
[www.lcsd.gov.hk]
pameran, galeri juga dilengkapi
dengan peralatan proyeksi dan
bunyi serta furnitur untuk resepsi, meeting, dan kelas.

§ Foyer Exhibition Areas


18

Terdiri atas 4 lokasi pameran


pada selasar utama dengan
lampu sorot dan tampilan
panel yang dapat disetel untuk
pameran seni berskala kecil.
Gambar II.6 Exhibition Areas
[www.lcsd.gov.hk]

§ Practice Room

Pada tingkat atas dari sayap


Concert Hall dan Grand
Theatre dari bangunan
Auditoria adalah 11 ruang
latihan dan praktek. Tiap
Gambar II.7 Practice Rooms
ruang memiliki ukuran
[www.lcsd.gov.hk]
bervariasi dari 16 m2 sampai
lebih dari 300 m2. Beberapa ruang diperlakukan akustik dan beberapa
lainnya dilengkapi dengan bar tari dan/atau piano.

§ Function Rooms

Terdapat 2 buah function


room pada tingkat 4 dari
bangunan administrasi yang
digunakan untuk pertemuan,
konferensi, seminar, dan
Gambar II.8 Function Rooms
kelas. Disediakan kursi dan
[www.lcsd.gov.hk]
meja. Sound system dan
peralatan proyeksi (slide, overhead, video projector) juga tersedia untuk
disewakan.

§ Catering Facilities

Berlokasi di selasar utama


dari pusat kebudayaan,
menyajikan masakan

Gambar II.9 Catering Facilities


[www.lcsd.gov.hk]
19

tradisional Cina dan masakan modern.

§ Arts Shop

Art shop pada selasar utama dari pusat


kebudayaan ini menawarkan hadiah
dan materi baru seperti kotak musik,
alat musik, aksesoris, score musik dan
publikasi, CD, serta souvenir dari pusat
Gambar II.10 Arts Shop
[www.lcsd.gov.hk] kebudayaan.

A.5.2. Chinese Cultural Centre in Toronto


The Chinese Cultural Centre of
Greater Toronto (CCC) adalah
sebuah bagian integral dari
kompleks komunitas Scarborough
yang terletak di Sheppard dan
Progress Avenues. Yang termasuk
Gambar II.11 Perspektif CCC in Toronto
di dalamnya adalah gedung utama
[www.cccgt.org]
di Phase I dan ruang serbaguna/
teater seni di Phase II. Sebuah taman Cina klasik, hasil kerjasama dengan
Kota Toronto, akan dibangun kemudian.
23.000 m2 Chinese Cultural Centre terdiri dari sebuah pusat sumber
daya, sebuah hall resepsi, sebuah galeri seni, sejumlah studio seni dan
ketrampilan, ruang konferensi, dan fasilitas pendukung lainnya. Sebagai
tambahan terhadap fokus budaya, didirikan sebuah Pusat Budaya Asia dan
Pengembangan Budaya yang diarahkan untuk membantu dan
mempromosikan perdagangan Asia Pasifik.
Tujuan dari pembangunan Pusat Kebudayaan Cina ini adalah:
§ Untuk membantu warga Kanada keturunan Cina menghargai setiap segi
dari budaya mereka sendiri.
§ Secara aktif melibatkan dan berbagi dengan semua warga Kanada
tentang keunikan dari budaya Cina.
20

§ Membantu pemeliharaan rasa saling menghargai dan saling pengertian


antara warga Kanada keturunan Cina dengan warga Kanada keturunan
lain, yang akhirnya akan menciptakan kesatuan dan kemakmuran.
§ Membantu masyarakat dalam memahami dan memandang warisan
budaya Kanada.
§ Mempromosikan Kanada dan peluangnya kepada komunitas Cina
lainnya secara umum.
§ Menciptakan sebuah forum untuk pertukaran perdagangan dan bisnis
melalui budaya.
§ Menetapkan keunggulan reputasi internasional.
CCC terdiri atas dua Phase. Phase I adalah bangunan CCC dengan
sebuah galeri seni, pusat sumber daya, ruang baca, boardroom, studio, dan
kelas. Phase kedua meliputi 600 kursi teater seni dan 8500 m2 ruang
serbaguna untuk olahraga dan kegiatan rekreasi, konvensi, pertunjukan
dagang, dan perjamuan.
Phase II:
§ P.C. Ho Theatre
P.C. Ho Theatre memiliki kapasitas
390 tempat duduk pada lantai utama
(orchestra level) dan 236 tempat
duduk pada balcony level.
Panggung dapat diatur ke dalam
Gambar II.12 P.C. Ho Theatre model konser khusus, dari teater
[www.cccgt.org]
menjadi aula konser yang sesuai
dengan pertunjukan musik. Ruangan ini juga bisa diatur ke dalam
model teater untuk tujuan lainnya, meliputi drama, opera, bioskop, dan
tarian.
§ Multi-Purpose Hall
Sesuai untuk berbagai variasi
fungsi, meliputi olahraga indoor,
pertunjukan dagang, pameran, dan
perjamuan.

Gambar II.13 Multi-Purpose Hall


[www.cccgt.org]
§ Lo Sham Yuet
Kuen Hall
21

Merupakan lobby dari lantai utama


P.C. Ho Theatre. Terkadang
digunakan untuk pameran dan
tujuan lainnya.

Gambar II.14 Lo Sham Yuet Kuen Hall


[www.cccgt.org]
§ P.C. Ho Theatre
Upper Lobby
Merupakan lobby dari balcony level
P.C. Ho Theatre. Terkadang
digunakan untuk pameran dan
tujuan lainnya.

Gambar II.15 P.C. Ho Theatre Upper Lobby


[www.cccgt.org]

Phase I:
§ Hin-Shiu Hung Art Gallery
Merupakan ruang pameran dengan
ukuran 26’ x 44’.

Gambar II.16 Hin-Shiu Hung Art Gallery


[www.cccgt.org]

§ Richard Charles Lee Resource Centre


Richard Charles Lee Resource
Centre/Library berada di sayap
timur lantai dua CCC. Dibuka

Gambar II.17 Richard Charles Lee pertama kali kepada publik pada 6
Resource Centre/Library Oktober 1998. Resource Centre
[www.cccgt.org]
mempunyai mesin cetak seperti
halnya material elektronik yang mencakup suatu cakupan luas pokok
dalam kebudayaan dan peradaban Cina. Saat ini koleksi buku yang ada
mendekati angka 5000 judul dalam bahasa Cina, baik tradisional
maupun skrip sederhana, dan dalam bahasa Inggris. Kesemuanya
merupakan pencarian on-line melalui internet. Pada koleksi periodik .
22

terdapat 30 judul Cina. Terdapat pula koleksi majalah dalam bahasa


Cina maupun Inggris. Sejumlah kaset video, CD-ROM, VCD, dan DVD
juga tersedia di sini. Resource Centre telah ditetapkan sebagai sebuah
referensi pokok khusus dan pusat riset. Saat ini sejumlah besar koleksi
perpustakaan telah tersedia untuk peredaran.
Dalam membangun koleksinya, perpustakaan memfokuskan pada tiga
area:
1. Semua jenis tulisan tentang Chinese Canadian.
2. Semua aspek kebudayaan regional Cina atau minoritas etnik.
3. Semua aspek kebudayaan dan peradaban Cina, termasuk ekonomi
dan perkembangan politik dan hokum.
Kontribusi ditempatkan pada area fokus keempat:
4. Tesis para master dan doktor di Cina dan kehidupan Chinese-
Canadian yang diselesaikan di Universitas Kanada.
Resource Centre diorganisir oleh tim sukarelawan. Pustakawannya, Mr.
Chuck Wong telah melayani staff perpustakaan Laurentian University,
Ontario, Kanada selama lebih dari tiga dekade. Masyarakat dengan
ramah diundang untuk mengunjungi Resource Centre/Library dan para
pelajar didukung untuk melakukan riset di sini.
§ Executive Meeting Room
Sebagai ruang pertemuan dengan
kapasitas maksimal 75 orang
(tempat duduk tanpa meja), seperti
perkuliahan dan konferensi berskala
kecil. Ruangan ini juga digunakan
Gambar II.18 Executive Meeting Room
[www.cccgt.org] untuk kelas tenis meja dan
pameran.
§ Asian Business and Culture Development Centre (The ABCD Room)
Terdiri dari 3 ruang pertemuan
terpisah, masing-masing berukuran
28.5' × 22.5', yang dapat digabung
menjadi satu aula pertemuan yang
berukuran 2100 m2. Dua ruang yang
Gambar II.19 The ABCD Room
[www.cccgt.org] bersebelahan juga dapat digabung
untuk menciptakan ruang
2
pertemuan dengan luas 1400 m . Kapasitas yang luas menjadikan
23

ABCD sesuai untuk pertemuan dan perkuliahan berskala besar dengan


kapasitas lebih dari 200 orang. Ruangan ini juga digunakan sebagai
kelas kungfu dan kelas tari.
§ Dexter H.C. Man Hall
§ Classrooms

A.5.3. Japanese Cultural Center of Hawai’i

Fasilitas JCCH dibangun pada awal tahun 1990-an dengan biaya total
konstruksi sebesar $15 juta. Dirancang secara profesional untuk
menimbulkan pengaruh Jepang di dalam Hawai’i modern, JCCH bertindak
sebagai tempat pertemuan, menawarkan program pendidikan, pelayanan
dan even kebudayaan kepada semua komunitas. Dua kompleks bangunan
ini berukuran lebih dari 47.000 m2, terdiri dari 4 lantai bangunan kantor
(Phase I, selesai pada tahun 1992) yang berisi kantor utama pusat
kebudayaan dan ruang kantor yang disewakan, Resource Center dan
Seikōan Teahouse dan taman dimana kelas chadō (the way of tea)
diadakan.

Bangunan kedua yang terdiri atas 5 lantai (Phase II, selesai pada tahun
1994) meliputi Historical Gallery exhibit, community Gallery, Gift Shop,
banquet hall, meeting rooms dan martial arts dōjō dimana pelatihan Kendō,
karate, aikidō dan naginata diadakan. Bangunan Phase II juga meliputi 270
stall parkir. Kedua bangunan dihubungkan oleh halaman serbaguna dan
selasar/ jembatan layang. Pusat kebudayaan berdiri di jantung Kota
Mō‘ili‘ili.

Fasilitas yang diwadahinya antara lain sebagai berikut:

§ Kenshikan Dojo

Gambar II.20 Kenshikan Dojo


[www.jcch.com]
24

The JCCH Kenshikan Dōjō awalnya diciptakan untuk mempromosikan


pelatihan kendō (the way of the sword). Fokus dōjō, bagaimanapun,
sejak saat itu telah diperluas untuk mengakomodasi banyak jenis lain
dari budō (seni bela diri) mencakup karate, aikido, naginata, dan tari.
Dengan lebih dari 2.500 m2 lantai kayu keras, sebuah kamiza (pentas)
yang dilapisi tatami, gudang penyimpanan peralatan dan fasilitas
shower untuk pria dan wanita yang dilengkapi loker, Kenshikan Dōjō
JCCH menjadi salah satu area latihan perdana pulau untuk mendalami
bela diri.

§ Manoa Grand Ballroom

Manoa Grand Ballroom adalah sebuah aula perjamuan seluas 10.000


m2 dengan kapasitas tempat duduk untuk 600 orang. Tersedia
beberapa ruang untuk fungsi berskala kecil. Sebagai tambahan, lounge
sayap timur menawarkan sebuah ruang makan terpisah berkapasitas 25
orang. Manoa Grand Ballroom digunakan untuk keperluan resepsi,
seminar, konser, pameran kerajinan dan banyak fungsi lainnya.
Ruangan ini terletak di lantai 5 gedung JCCH.

§ Seikoan Teahouse

Gambar II.21 Seikoan Teahouse


[www.jcch.com]

Sebuah rumah teh Jepang asli dengan tiga ruang teh untuk pelatihan
upacara teh Jepang, taman dan rumah teh Seikōan (Shining Star)
dibuat melalui kedermawanan Urasenke Grand Tea Master Soshitsu
Sen XV, Ph.D. Seikōan yang asli dulunya merupakan rumah teh mandiri
yang diperkenalkan kepada kelompok pedagang Jepang Honolulu pada
25

tahun 1960. Bangunan ini kemudian dirancang dan dibangun kembali


pada lokasinya sekarang di lantai keempat bangunan kantor utama
JCCH.
§ Gallery

Gambar II.22 Gallery


[www.jcch.com]

JCCH menyajikan suatu campuran unik tampilan sejarah, pameran seni


kontemporer dan penjualan tahunan dalam Community Gallery-nya
sepanjang tahun. Dari sejarah karate di Hawai’i ke tattoo Jepang, JCCH
membagi pengembangan pengalaman orang Jepang Amerika melalui
seni visual seperti pahatan, fotografi, dan cetakan blok kayu.

§ Resource Center

Resource Center mencoba untuk melayani masyarakat dengan


menyediakan akses publik ke tempat penyimpanan sumber daya
tentang pengembangan pengalaman orang Jepang Amerika di Hawai’i.
Referensi koleksi terdiri dari sekitar 8.000 buku dalam bahasa Inggris
dan Jepang, foto, koleksi manuskrip sejarah, transkrip lisan sejarah,
surat kabar Hawai‘i Herald, pamphlet, dan material audiovisual.
Penggunaan koleksi terbatas pada Resource Center.

§ Classes

JCCH membuat ruangannya tersedia


untuk berbagai kelas budaya yang
mencakup Chadō (The Way of Tea),
kumihimo (Japanese braiding), dan

Gambar II.23 Classes


[www.jcch.com]
26

shodō/ shūji (kaligrafi Jepang). Workshop seni budaya Jepang lain


diadakan pada pusat kebudayaan pada waktu tertentu.

§ Gift Shop

Gambar II.24 Gift Shop


[www.jcch.com]

JCC gift shop berlokasi di ground level. Pelanggan dapat menemukan


koleksi unik dan antik Jepang, mencakup kimono, boneka Jepang, tea
set, dan cetakan blok kayu.
A.6. Korelasi Pusat Budaya dengan Perancangan Pusat Budaya Melayu Riau

Berdasarkan tinjauan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tipologi


bangunan pusat budaya adalah sebagai berikut:

A.6.1. Perencanaan site

§ Pada umumnya memerlukan site yang cukup luas.

§ Site terletak pada lokasi yang strategis dalam suatu kota, mudah
dicapai dari arah manapun, seperti di jantung kota.

A.6.2. Fasilitas yang diwadahi

Pada umumnya fasilitas utama yang diwadahi bangunan pusat budaya


adalah: gedung pertunjukan/ teater, ruang pameran (besar dan kecil), ruang
praktek/ latihan, ruang meeting/ diskusi/ seminar, galeri seni, resource
center, dan ruang studi/ kelas. Sedangkan fasilitas penunjang berupa: art
shop dan restoran/ catering facilities.

B. TINJAUAN BUDAYA MELAYU RIAU

B.1. Pemahaman Budaya Melayu Secara Umum


27

Pendukung kebudayaan Melayu tidak hanya berasal dari orang-orang yang


berdarah Melayu tetapi juga berasal dari suku bangsa dan etnis lain yang
kemudian menetap dan bermukim di kawasan budaya Melayu berada. Oleh
karena itu, Melayu bukanlah suatu konsep Ethnicity (kesukuan) melainkan suatu
konsep budaya Melayu (Cultural Malay). Kebudayaan Melayu dipererat oleh
bahasa Melayu dan agama Islam. Hal ini dapat menjadi pemersatu dalam
meningkatkan kekerabatan antar bangsa terutama bangsa serumpun.

Sejarah melayu mencakup dimensi yang luas, dengan rentang masa yang
panjang. Jika Kerajaan Kutai dianggap sebagai kerajaan tertua dalam
kebudayaan Melayu, maka awal fase sejarah Melayu adalah sekitar abad ke-4
atau 5 SM. Bukti-bukti arkeologis dan sejarah menunjukan adanya penyebaran
budaya Melayu yang cukup luas di kawasan Asia Tenggara. Kebudayaan ini hidup
dan berkembang pada masa lampau melewati proses akulturasi serta mempunyai
ciri-ciri persamaan maupun perbedaan antara daerah Melayu yang satu dengan
yang lain. Hal ini dapat dijumpai pada kebudayaan Melayu yang berkembang di
Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Srilanka, Philipina, Madagaskar, dan
Indonesia. Di Indonesia sendiri perkembangan kebudayaan Melayu meliputi
wilayah yang cukup luas. Karena itulah dikenal adanya Melayu Pasai (Aceh),
Melayu Deli Serdang, Binjai, dan Langkat (Sumatera Utara), Melayu di
Minangkabau (Sumatera Barat), Melayu Riau (di Riau dan Kepulauan Riau),
Melayu Jambi, Melayu Lampung, Melayu Palembang (Sumatera Selatan), Melayu
Bengkulu, Melayu Betawi (Jakarta), Melayu Sasak (Nusa Tenggara Barat),
Melayu Palu (di Sulawesi Tengah dan Utara), Melayu Kutai (Kalimantan Timur),
Melayu Banjar (Kalimantan Selatan), serta Melayu Sambas dan Pontianak
(Kalimantan Barat).

B.2. Pemahaman Budaya Melayu Riau

Keadaan geografis Propinsi Riau yang berada di tengah pulau Sumatera serta
berbatasan dengan bangsa lain memberi peluang besar terjadinya kontak budaya
dengan pihak luar, baik sesama rumpun Melayu ataupun bangsa asing. Hal ini
menyebabkan terjadinya pengaruh budaya secara langsung maupun tidak
28

langsung yang kemudian menghasilkan kebudayaan Melayu Riau yang majemuk


dengan masyarakat yang majemuk pula.

Budaya Melayu Riau meliputi daerah yang berbatasan dengan Propinsi


Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jambi yang terdiri atas daerah Kotamadya
Pekanbaru, Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kampar, dan Bengkalis,
termasuk pulau-pulau di daerah pesisir.

B.3. Sejarah Budaya Melayu Riau

Propinsi Riau menurut perkembangan sejarah didiami oleh penduduk


mayoritas yang berkebudayaan Melayu. Secara adat, orang Melayu Riau diakui
sebagai penduduk asli setempat. Karena yang tampak dominan adalah orang
Melayu dan kebudayaan Melayu dalam kehidupan sehari-hari, maka masyarakat
Riau dikenal sebagai masyarakat Melayu. Jejak-jejak sejarah budaya Melayu Riau
dapat dilacak melalui peninggalan sejarah, baik berupa manuskrip, prasasti,
sejarah lisan, maupun artefak. Sejarah Melayu tersebut dibagi dalam tiga kategori,
yaitu sejarah tentang kerajaan, naskah sejarah, dan peninggalan sejarah di situs
sejarah, seperti candi, masjid, istana, maupun makam.

B.3.1. Naskah Sejarah

Sejauh ini belum ada prasasti yang ditemukan di daerah Riau, tetapi
ada beberapa prasasti yang ditemukan di daerah yang dulunya merupakan
bagian dari kesatuan propinsi Riau, yaitu di daerah Kepulauan Riau, yang
berhubungan langsung dengan sejarah Melayu di Riau. Prasasti tersebut
ditemukan di Pasir Panjang, ujung utara Pulau Karimun, Kabupaten
Karimun, Kepulauan Riau, dinamakan dengan Prasasti Pasir Panjang,
sesuai dengan nama tempat prasasti ini ditemukan. Prasasti ini
menggunakan huruf Pranagi dan bahasa Sansekerta, teks tulisannya
berbunyi “Mahayunika Galagantricacri”. Kandungan isi prasasti
menunjukkan bahwa daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut telah
memiliki pemerintahan dan tata tertib yang teratur. Dengan kata lain,
prasasti ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat telah hidup di bawah
payung hukum.

Prasasti ini juga menunjukkan bahwa daerah Karimun merupakan pos


terdepan Sriwijaya untuk mengawasi jalur pelayaran di Selat Malaka. Di
atas prasasti juga ditemukan tiga telapak kaki kiri raksasa. Telapak kaki
29

kanannya dalam ukuran yang sama ditemukan di suatu tempat di


Singapura.

Telapak kaki tersebut melukiskan Sang Budha yang menguasai dunia


sedang berdiri menghadap ke utara, dengan kaki kiri berpijak di Pasir
Panjang dan kaki kanan di Singapura. Artinya, kapal-kapal yang melintasi
Selat Malaka berarti berada di bawah kakinya. Ini merupakan simbol dari
besar dan kuatnya kekuasaan Sriwijaya pada waktu itu, yang diperkirakan
berpusat di Muara Takus, Riau.

B.3.2. Kerajaan Melayu Riau

Terdapat 15 Kerajaan Melayu yang tersebar di berbagai daerah di


Propinsi Riau. Walaupun kesemuanya merupakan satu rumpun
kebudayaan Melayu Riau, masing-masing tetap memiliki ciri khas
tersendiri. Kerajaan-kerajaan Melayu tersebut antara lain: Kerajaan Cerenti,
Kerajaan Empat Koto Rokan, Kerajaan Gassib, Kerajaan Gunung Sahilan,
Kerajaan Indragiri, Kerajaan Kandis-Kuantan, Kerajaan Kepenuhan,
Kerajaan Koto Kampar, Kerajaan Kunto Darussalam, Kerajaan Pelalawan,
Kerajaan Rambah, Kerajaan Rokan, Kerajaan Segati, Kerajaan Siak, dan
Kerajaan Tambusai.

Gambar II.25 Istana Kerajaan Rokan Gambar II.26 Istana Kerajaan Siak
[dokumen pribadi] [dokumen pribadi]

B.3.3. Situs Sejarah

a. Candi

Satu-satunya situs peninggalan sejarah berbentuk candi di Riau


adalah Candi Muara Takus. Candi Budhis ini merupakan bukti historis
bahwa agama Budha pernah berkembang di kawasan ini beberapa
abad silam. Kendati demikian, para pakar purbakala belum dapat
30

menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Sebagian


mengatakan abad ke-11, sebagian lagi mengatakan abad ke-4, ke-7,
ke-9, dan sebagainya.

Kompleks candi ini terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII


Koto Kampar, Kabupaten Kampar, kurang lebih 135 km dari Kota
Pekanbaru. Jarak antara kompleks candi dengan pusat desa Muara
Takus sekitar 2,5 km, tidak jauh dari sungai Kampar Kanan. Candi ini
ditemukan oleh Yzerman pada tahun 1893, ketika ia berkelana di hutan-
hutan Sumatera. Ia tertegun ketika melihat sebuah gundukan tembok
yang berlapis-lapis. Pada tahun 1935, seorang arkeolog berkebangsaan
Belanda, Dr. F.M. Schnitger datang dan meneliti candi ini. Saat itu ia
sempat heran melihat kedatangan segerombol gajah ke candi tersebut
pada malam bulan purnama, seperti hendak berziarah. Ada yang
menghubungkan kejadian ini dengan aspek mistik. Tetapi sebenarnya
hal ini tidak lebih dari kenyataan bahwa posisi Candi Muara Takus yang
memang berada di daerah lintasan dan permainan gajah.

Kompleks candi dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 m. Sementara


candi itu sendiri berukuran 7 x 7 m. Di luar areal kompleks, terdapat
pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 km yang mengelilingi kompleks
ini sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini juga
terdapat Candi Tua, Candi Bungsu, dan Mahligai Stupa serta Palangka.
Bahan bangunan candi-candi tersebut terdiri dari batu pasir, batu
sungai, dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk
bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di
sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk bahan batu bata
itu sampai saat ini sangat dihormati oleh penduduk. Untuk membawa
batu bata ke tempat pembangunan candi, dilakukan secara beranting
dari tangan ke tangan. Walaupun belum pasti kebenarannya, cerita ini
memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu dilakukan secara
gotong royong.

Selain Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa, dan Palangka, di


dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan
sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks ini
terdapat bangunan-bangunan bekas yang terbuat dari batu bata, yang
31

belum dapat dipastikan jenis bangunannya. Secara umum, ciri-ciri candi


ini menunjukkan beberapa persamaan dengan Candi Kalasan di
Jogjakarta.

Gambar II.27 Candi Muara Takus


[www.wisatamelayu.com]

b. Istana Melayu

Terdapat 7 Istana Melayu


yang berlokasi di Propinsi Riau,
antara lain: Istana Kerajaan Siak,
Istana Pelalawan, Istana Indragiri,
Istana Rokan, Istana Tambusai,
Gambar II.28 Istana Kerajaan Siak
dan Istana Koto Kampar. Berikut
[dokumen pribadi]
akan dipaparkan salah satu di
antaranya, yaitu:

Istana Kerajaan Siak

Istana Kerajaan Siak terletak di Kabupaten Siak Sri indrapura,


berjarak lebih kurang 125 km dari Kotamadya Pekanbaru. Istana ini
berdiri di atas areal tanah seluas ± 28.030 .

Istana Siak merupakan bukti sejarah kebesaran Melayu Islam di


Riau. Istana ini dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul
Jalil Syaifuddin pada tahun 1889, dengan nama Asserayah Hasyimiah
lengkap dengan peralatan kerajaan. Sebelum pembangunan istana
dilakukan, Sultan melakukan lawatan ke negeri Belanda dan Jerman.
Kemungkinan pengalaman selama di Eropa ikut mempengaruhi corak
arsitektur Istana Siak.

Corak arsitektur Istana Siak


menunjukkan adanya perpaduan
gaya arsitektur Melayu, Arab, dan

Gambar II.29 Gerbang Masuk


[dokumen pribadi]
32

Eropa. Istana ini berdiri megah hingga saat ini setelah dilakukan
beberapa kali renovasi. Pada pintu gerbang masuk, terdapat hiasan
berupa sepasang burung elang menyambar dengan sorot mata tajam,
seolah-olah mengawasi semua orang yang akan masuk ke areal istana.

Istana Siak terdiri atas dua lantai, lantai bawah dan lantai atas .
Pada setiap sudut bangunan terdapat pilar berbentuk bulat. Sedangkan
pada bagian ujung puncak terdapat hiasan burung garuda. Semua pintu
dan jendela berbentuk kubah dengan hiasan mozaik kaca. Lantai
bawah terdiri dari 6 ruangan yang berfungsi untuk menerima tamu dan
ruang sidang. Di dalamnya terdapat ruang besar utama yang terbagi
atas ruang depan istana, ruang sisi kanan, ruang sisi kiri, dan ruang
belakang. Sedangkan lantai atas terdiri dari 9 ruangan yang berfungsi
sebagai tempat istirahat sultan, keluarga, atau kerabat sultan dan para
tamu kerajaan.

c. Masjid Bersejarah

Masjid bersejarah di Riau tersebar di 11 wilayah, antara lain di


Kotamadya Pekanbaru, serta Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu,
Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kuantan Singingi, Kampar, Dumai, Siak,
Pelalawan, dan Bengkalis.

Gambar II.30 Masjid Raya Gambar II.31 Masjid An-Nur Gambar II.32 Masjid
Senapelan di Pekanbaru di Pekanbaru Kerajaan Siak
[www.wisatamelayu.com] [www.wisatamelayu.com] [dokumen pribadi]

d. Makam Bersejarah

Makam bersejarah di Riau tersebar di 11 wilayah, antara lain di


Kotamadya Pekanbaru, serta Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu,
33

Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kuantan Singingi, Kampar, Dumai, Siak,


Pelalawan, dan Bengkalis.

Gambar II.33 Makam Putri Gambar II.34 Makam Gambar II.35 Makam Koto
Tujuh di Dumai Sultan Mahmud Syah I di Tinggi di Siak
[dokumen pribadi] Pelalawan [dokumen pribadi]
[dokumen pribadi]

e. Benteng Bersejarah

Satu-satunya benteng
bersejarah di Riau adalah
Benteng Tujuh Lapis yang terletak
di desa Dalu-dalu, Kecamatan
Tambusai, Kabupaten Kampar.
Gambar II.36 Benteng Tujuh Lapis
Benteng ini dibangun pada tahun
[dokumen pribadi]
1835 oleh Tuanku Tambusai, sebagai basis pertahanan dalam melawan
penjajah Belanda. Pada awalnya, benteng ini diberi nama Kubu Aur
Duri. Pada saat itu juga dibangun Kubu Baling-baling, Kubu Gedung,
dan Kubu Talikemain. Semua kubu ini dipersiapkan sebagai benteng
untuk melawan Belanda.

Benteng Tujuh Lapis memiliki luas menyamai sebuah kampung,


bertembok tebal, kokoh tujuh lapis, diperkuat dengan tanaman aur duri
(bambu berduri) dan parit sedalam 10 m. benteng ini telah berkali-kali
diserang Belanda, namun selalu gagal untuk ditaklukkan. Barulah pada
bulan Desember 1939, benteng ini berhasil direbut dan dihancurkan
oleh Belanda. Namun Tuanku Tambusai berhasil menyelamatkan diri.

B.4. Aspek-aspek yang Terkandung di dalam Budaya Melayu Riau

B.4.1. Aspek Bahasa


34

Bahasa Melayu sudah sejak lama menjadi bahasa antara (linguafranca)


di kepulauan nusantara. Hal ini disebabkan karena bahasa Melayu
mempunyai ciri-ciri demokratif. Berdasarkan atas bukti-bukti dapat
dikatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu nusantara
yang telah dikembangkan sebagai bahasa Melayu baku sejak masa
kerajaan Raja Ali Haji di Kesultanan Melayu Riau.

Secara sosiolinguistik, bahasa Melayu, khususnya bahasa Melayu Riau,


lebih menekankan kegunaannya bagi hubungan sosial yang serasi, sopan
santun, serta budi pekerti luhur di antara mereka. Sedangkan secara
struktural, bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Nusantara mempunyai
fonem yang tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam bahasa
Indonesia. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa bahasa Melayu Riau dan
bahasa Indonesia tidak banyak berbeda, kecuali dalam penggunaannya,
karena bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, sedangkan bahasa Melayu
Riau adalah bahasa pergaulan sehari-hari.

B.4.2. Aspek Nilai Budaya

Kesenian Melayu adalah perihal keahlian orang Melayu dalam


mengekspresikan ide-ide estetika, sehingga menghasilkan benda, suasana,
atau karya lainnya yang menimbulkan rasa indah dan decak kagum.
Kesenian ini diciptakan sendiri oleh masyarakat Melayu dan menjadi milik
mereka secara bersama. Oleh sebab itu, kesenian Melayu merupakan
representasi budaya Melayu. Bisa dikatakan pula bahwa kesenian Melayu
ini merupakan bagian dari usaha orang Melayu untuk merespons,
memahami, menafsirkan, dan menjawab permasalahan yang mereka
hadapi.

Yang membedakan kesenian Melayu dengan kesenian lainnya adalah


latar belakang tradisi dan sistem budaya yang melahirkan kesenian
tersebut. Latar belakang tradisi dan sistem budaya berkaitan dengan
pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai, norma, dan lain-lain. Karena
tradisi dan sistem budaya Melayu berbeda dengan sistem budaya lain,
misalnya Jawa, maka pola ekspresi, tujuan, dan falsafah nilai dalam
kesenian Melayu juga berbeda dengan kesenian Jawa. Dalam pengertian
35

ini, kesenian tidak hanya sebagai ekspresi keindahan, tapi juga sebagai
media penyampai pesan. Ide-ide estetika dan pesan budaya di atas
terwujud dalam seni tari, seni musik, seni tenun, seni ukir, seni lukis, seni
bela diri, seni teater, dan permainan rakyat. Masing-masing bagian
dikategorisasi lagi berdasarkan fase historis dan profanitas. Berdasarkan
fase historis, kesenian Melayu terbagi dua: tradisional dan kontemporer;
berdasarkan profanitas, kesenian ini juga terbagi dua: sakral dan profan.

a. Seni Sastra

Sastra Melayu atau kesusastraan Melayu adalah sastra yang hidup


dan berkembang di kawasan Melayu. Sastra Melayu mengalami
perkembangan dan penciptaan yang saling mempengaruhi antara satu
periode dengan periode yang lain. Situasi masyarakat pada zaman
sebelum Hindu, jaman Hindu, zaman peralihan dari Hindu ke Islam, dan
zaman Islam, berpengaruh kuat pada hasil-hasil karya sastra Melayu.
Terjadi hubungan yang erat antara tahap perkembangan, kehadiran
genre, dan faktor lain di luar karya sastra.

Sastra Melayu berkembang pesat pada jaman Islam dan


sesudahnya, karena tema-tema yang diangkat seputar kehidupan
masyarakat Melayu, meskipun beberapa ada pengaruh asing. Sebelum
zaman Islam, konteks penceritaannya lebih berorientasi ke wilayah di
luar Melayu, yaitu India dengan latar belakang kebudayaan Hindu.

Kehidupan dan perkembangan sastra Melayu dari dulu hingga saat


ini masih terus berlangsung. Untuk memudahkan uraian yang berkaitan
dengan sastra Melayu, melayuonline.com mengklasifikasikannya
menjadi dua kategori, yaitu Sastra Melayu Klasik dan Melayu Modern.
Secara garis besar, Sastra Melayu Klasik dimulai dari adanya hasil
karya sastra lisan maupun tulis yang sangat terbatas, penulisannya
kebanyakan terpusat di kerajaan, vihara, dan pondok-pondok oleh
orang-orang tertentu dan dibaca oleh kalangan tertentu. Masyarakat
awam hanya menikmati dalam wujud penceritaan atau pertunjukan
secara lisan.

Untuk Sastra Melayu Modern, ditandai dengan pengumpulan cerita-


cerita rakyat dari berbagai wilayah oleh Belanda. Cerita-cerita rakyat
36

tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, kemudian


diterbitkan oleh Balai Pustaka sejak tahun 1920. Dari sinilah masyarakat
luas mulai bisa dengan bebas menikmati dan berpartisipasi dalam
menghasilkan karya sastra.

1) Melayu Klasik

Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Klasik adalah sastra


yang hidup dan berkembang di daerah Melayu pada masa sebelum
dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa Balai
Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra
Melayu berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak
tokoh Islam yang mengembangkan sastra Melayu.

Kesusastraan Melayu sebelum Islam tidak ada nuansa Islam


sama sekali dan bentuknya adalah sastra lisan. Isi dan bentuk
sastranya lebih banyak bernuansa animisme, dinamisme, dan
Hindu-Budha, dan semua hasil karya tersebut dituangkan dalam
bentuk prosa dan puisi. Untuk puisi, tampak tertuang ke dalam
wujud pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, dan mantra. Bentuk
yang terakhir, mantra, sering dikenal dengan jampi serapah,
sembur, dan seru. Sedangkan bentuk prosa, tampak tertuang dalam
wujud cerita rakyat yang berisi cerita-cerita sederhana dan berwujud
memorat (legenda alam gaib yang merupakan pengetahuan pribadi
seseorang), fantasi yang berhubungan dengan makhluk-makhluk
halus, hantu, dan jembalang.

Perkembangan kesusastraan Melayu sesudah kedatangan Islam


ditandai dengan penggunaan huruf Arab yang kemudian disebut
Tulisan Jawi atau huruf Jawi, yang dalam perkembangannya dikenal
dengan istilah Arab Melayu. Hal ini dikarenakan masyarakat Melayu
merasa bahwa tulisan tersebut telah menjadi milik dan identitasnya.
Huruf Jawi ini diperkenalkan oleh para pendakwah Islam untuk
membaca al-Qur’an dan menelaah berbagai jenis kitab dari
berbagai disiplin ilmu. Perkembangan penulisan ini sangat pesat
karena Islam memperbolehkan semua orang untuk menulis dalam
berbagai bidang.
37

§ Sastra Lisan

Sastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di


tengah rakyat jelata yang menggunakan bahasa sebagai media
utama. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkembang di
masyarakat daripada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari,
jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada
anaknya, seorang tukang cerita pada para pendengarnya, guru
pada muridnya, ataupun antar sesame anggota masyarakat.
Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat
mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat, karena
muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa.

Sastra lisan ini dituturkan, didengarkan, dan dihayati secara


bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan
tujuan tertentu pula. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain
berkaitan dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan
menuai padi, kelahiran bayi, dan upacara yang bertujuan magis.
Sastra lisan snagt digemari oleh warga masyarakat dan
biasanya didengarkan bersama-sama karena mengandung
gagasan, pikiran, ajaran, dan harapan masyarakat. Suasana
kebersamaan yang dihasilkan dari sastra lisan berdampak positif
pada menguatnya ikatan batin di antara anggota masyarakat.
Dalam konteks ini, dapat dilihat bahwa sastra lisan juga memiliki
fungsi sosial, disamping fungsi individual. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa memudarnya tradisi lisan di masyarakat
merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan social
di antara mereka, dan sebaliknya.

Secara historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih


banyak dibanding dengan sastra tulis. Di antara jenis sastra
lisan tersebut adalah pantun, peribahasa, nyanyi panjang, dodoi,
koba, dan lain-lain. Gurindam, dongeng, legenda, dan syair pada
awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. Namun,
perkembangannya mengalami perubahan ketika jenis sastra ini
menjadi bagian dari kehidupan di istana-istana Melayu yang
38

telah terbiasa dengan tradisi tulis. Sehingga gurindam, dongeng,


legenda, dan syair berkembang menjadi bagian dari tradisi tulis.
Tampaknya, ini adalah bagian dari wujud interaksi positif antara
sastra lisan dan tulisan.

§ Sastra Tulisan

Menurut Sulastin Sutrisno (1985), awal sejarah sastra tulis


Melayu di Nusantara bisa dirunut sejak abad ke-7 M,
berdasarkan penemuan prasasti berhuruf Pallawa peninggalan
kerajaan Sriwijaya di Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684
M), Kota Kapur (686 M), dan Karang Berahi (686 M). walaupun
tulisan pada prasasti-prasasti tersebut sangat pendek, namun
sudah bisa dianggap sebagai cikal bakal perkembangan tradisi
sastra tulis. Jika merujuk pada kerajaan Kutai di Kalimantan
Timur, maka tradisi sastra tulis sebenarnya muncul lebih awal,
sekitar abad ke-5 M. dari jejak awal perkembangan sastra tulis
ini, dapat dilihat bahwa sebenarnya perkembangan sastra tulis
berkaitan erat dengan masuknya agama Hindu-Budha ke
Nusantara. Setidaknya, bahasa Sansekerta yang digunakan
menunjukkan adanya pengaruh Hindu-Budha tersebut.

Dalam perjalanan sejarah, perkembangan sastra tulis ini


jauh lebih semarak seiring dengan masuknya agama Islam di
kawasan Nusantara. Media yang digunakan adalah huruf Arab
dengan bahasa Melayu, yang kemudian lebih dikenal dengan
huruf Arab-Melayu (Jawi). Perkembangan sastra periode Islam
ini bisa dilacak sejak abad ke-15 M, ketika kesultanan Malaka
berdiri di Semenanjung Melayu. Selanjutnya, ketika Malaka
runtuh, perkembangan sastra tulis berpindah ke Aceh dan
kemudian ke Riau-Johor dan Riau-Lingga. Karya sastra tersebut
ada yang berkaitan denagn pengajaran agama ataupun sekedar
cerita dan dongeng. Di antara pengarang-pengarang Melayu
yang terkenal adalah Hamzah al-Fansuri, Nuruddin al-Raniri,
dan Raja Ali Haji. Jenis karya sastra yang paling disukai oleh
orang-orang Melayu pada masa dulu (terutama abad ke-19 dan
perempat abad ke-20) adalah bentuk syair dan hikayat. Hikayat
39

dan syair ini merupakan pembaruan dari bentuk prosa yang


berkembang dalam tradisi lisan. Contoh syair dan hikayat yang
pernah populer adalah Syair Perahu yang dikarang oleh
Hamzah Fansuri pada abad ke-17 M, dan Hikayat Abdul Muluk,
yang ditulis oleh Raja Ali Haji bersama adiknya, Raja Zaleha
pada tahun 1846 M. Bentuk lain dari sastra tulis adalah
gurindam, sajak, dan puisi. Dalam perkembangan selanjutnya,
jenis syair dan hikayat kembali menjadi bentuk sastra lisan,
disebabkan lenyapnya kreatifitas para sastrawan Melayu dalam
dunia kepengarangan. Syair dan hikayat yang ada hanya dihafal
dan diceritakan tanpa menghasilkan karya-karya baru.

2) Melayu Modern

Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Modern adalah sastra


yang hidup dan berkembang di daerah melayu dan di luar daerah
Melayu mulai sekitar tahun 1920-an hingga sekarang ini.
Pembatasan tahun ini karena setelah tahun 1920-an dunia sastra
mengalami perubahan dari sebelumnya. Pada masa sebelum tahun
1920-an karya sastra hanya dibuat oleh orang-orang tertentu,
biasanya dari kalangan istana, vihara, atau dari pondok-pondok
pesantren, sedang masyarakat kebanyakan hanya dapat menikmati
dalam bentuk penceritaan dan pertunjukannya.

Pada tahun 1920-an masyarakat luas mulai bisa menikmati


karya sastra yang diterbitkan secara massal. Pihak belanda
melakukan aktifitas pengumpulan berbagai cerita rakyat yang
berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan kemudian di
terjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Hasil dari terjemahan
tersebut kemudian diproduksi secara massal oleh percetakan
belanda, dalam hal ini Balai Pustaka (sekarang menjadi percetakan
Negara), sehingga dari sinilah masyarakat luas mulai bisa
menikmati karya sastra secara leluasa.

Dampak dari aktifitas tersebut adalah banyaknya pengarang


bumi yang bermunculan dan mulai menulis karya sastra secara
individual. Para pengarang di masa ini sering disebut Angkatan
Balai Pustaka. Hasil-hasil karya sastra yang dihasilkan mulai
40

bervariasi, seperti roman, novel, cerita pendek, dan puisi. Jarang


ditemui bentuk-bentuk karya sastra seperti syair, pantun, gurindam,
dan hikayat. Dalam menerbitkan karya-karyanya, penyair pribumi
menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa
Jawa, dan bahasa Sunda, namun ada beberapa juga sastrawan
yang menggunakan bahasa Bali, Batak, dan Madura.

b. Seni Tari

Seni tari adalah gerak indah


dan berirama yang mengandung
dua unsur penting, yaitu gerak
dan irama. Gerak merupakan
gejala primer dan juga bentuk Gambar II.37 Tari Zapin
spontan dari kehendak yang [dokumen pribadi]
terdapat di dalam jiwa, sementara
irama adalah bunyi teratur yang mengiringi gerak tersebut. Gerak tarian
biasanya diinspirasikan dari pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena
itu, gerak ini memiliki muatan emosional yang tinggi. Selain gerak dan
bunyi, sebuah tarian terkadang diiringi pula dengan nyanyian yang
sesuai dengan makna dan tujuan tarian itu. Tarian yang berkembang
dalam kebudayaan Melayu mengandung aspek gerak, irama, dan
nyanyian ini, biasanya dipertunjukkan dalam upacara adat, upacara
ritual, keberhasilan panen, menyambut tamu-tamu penting ataupun
sekedar untuk mempererat pergaulan dan meramaikan peristiwa
penting, seperti pesta pernikahan.

§ Tari tradisional

Kelompok tari yang masih bersifat magis-religius dimana gerakan


tari dipimpin oleh pawang dengan mengucapkan mantra-mantra.
Jenis tari ini antara lain: tari mayang berasik, tari bardabus, tari alu,
tari lukah, tari topeng, dan lain-lain.

§ Tarian Istana
41

Tari yang dilakukan di hadapan mempelai dan menyambut raja.


Jenis tari ini antara lain: tari air mawar, tari menjunjung duli, tari
persembahan, tari inai, serta kelompok tarian perang seperti tari
silat dan pedang.

§ Tarian pertunjukan dan pelipur lara

Merupakan tarian yang bersifat semi religius seperti barodah dan


zikir barat, sedangkan yang bersifat hiburan seperti tari zapin, tari
cacah inai, tari olang-olang, joget, tari lenggang mak inang, tari
pulau sari, dan lain-lain.

§ Tari kreasi

Tari yang telah diramu dari gerak zapin, joget, dan silat yang
menghasilkan jenis tari yang berbeda.

c. Seni Teater Rakyat

Teater Rakyat merupakan seni pertunjukan yang biasanya


mengekspresikan dan menggambarkan kehidupan suatu masyarakat.
Wujud pertunjukan rakyat ini adalah seni tari, nyanyi, teater, dan
sebagainya. Pertunjukan rakyat diselenggarakan pada tempat dan
waktu tertentu untuk menyalurkan hasrat rasa keindahan, hiburan,
emosi, dan keresahan yang tidak dapat dikatakan secara terus terang.
Dalam tataran ini, seni pertunjukan rakyat juga merupakan sarana
pelepasan emosi. Seni pertunjukan rakyat ini biasanya bersifat
sederhana, spontan, dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, dalam pertunjukan randai, terjadi hubungan yang erat
antara pemain dan penonton. Bahkan, seringkali penonton menyela
pembicaraan para pemain. Dengan eratnya relasi emosional antara
pemain dan penonton, maka pesan-pesan yang dikandung oleh
pertunjukan jadi semakin mudah ditangkap dan dipahami oleh para
penonton. Berkaitan dengan ide cerita, biasanya, diangkat dari kisah-
kisah teladan dan kepahlawanan orang-orang terdahulu, kemudian
dikemas sesuai dengan konteks tempat dan waktu seni itu
dipertunjukkan.

§ Wayang Bangsawan
42

Cerita bangsawan mengambil kisah sejarah Melayu, cerita raja-raja


dan dewa-dewa yang dimainkan seperti tonil dan sandiwara yang
dilakonkan sambil bernyanyi.

§ Makyong

Merupakan seni lakon yang dapat digolongkan ke dalam seni lakon


dan seni tari. Makyong dimainkan dengan mempergunakan topeng.

§ Mamanda

Merupakan suatu seni lakon yang terdapat di wilayah Indragiri Hulu.


Teater Mamanda ini bermula dari Kalimantan dan berkembang di
Tembilahan.

§ Mendu

Mendu adalah kesenian lakon atau drama yang diambil dari kitab
yang bernama Dewa Mendu yang menurut beberapa peneliti
mempunyai kesamaan dengan cerita Ramayana.

§ Randai Kuantan

Teater rakyat yang merupakan perpaduan dengan silat yang


mendapat pengaruh dari daerah Minangkabau.

d. Seni Musik

Seni musik adalah cetusan


ekspresi perasaan atau pikiran
yang dikeluarkan secara teratur
dalam bentuk bunyi. Dapat
dikatakan bahwa bunyi (suara)
Gambar II.38 Talempong, gendang, dan gong
adalah elemen musik yang paling
[www.wisatamelayu.com]
dasar. Suara musik yang baik
adalah hasil interaksi dari tiga elemen, yaitu irama, melodi, dan
harmoni. Irama adalah pengaturan suara dalam suatu waktu, panjang,
pendek, dan temponya, dan ini memberikan karakter tersendiri pada
setiap musik. Kombinasi beberapa tinggi nada dan irama akan
menhasilkan melodi tertentu. Selanjutnya, kombinasi yang baik antara
irama dan melodi melahirkan bunyi yang harmoni. Musik termasuk seni
43

manusia yang paling tua. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada
sejarah peradaban manusia dilalui tanpa musik, termasuk sejarah
peradaban Melayu. Dalam masyarakat Melayu, seni musik ini terbagi
menjadi musik vokal, instrument, dan gabungan keduanya. Dalam
musik gabungan, suara alat musik berfungsi sebagai pengiring suara
vokal atau tarian. Alat-alat musik yang berkembang di kalangan
masyarakat Melayu di antaranya: canang, tetawak, nobat, nafiri,
lengkara, kompang, gambus, marwas, gendang, rebana, serunai, rebab,
beduk, gong, seruling, kecapi, biola, dan akordeon. Alat-alat musik
tersebut menghasilkan irama dan melodi tersendiri yang berbeda
dengan alat musik lainnya.

e. Seni Rupa

1) Seni Tenun

Seni tenun merupakan hasil kerajinan


manusia si atas bahan kain yang terbuat
dari benang, serat kayu, kapas, sutra, dan
lain-lain, dengan cara memasukkan pakan
secara melintang pada lungsin, yakni jajaran
benang yang terpasang membujur. Kualitas
sebuah tenunan biasanya dinilai dari mutu
bahan, keindahan tata warna, motif, dan
ragi hiasannya. Seni tenun ini berkaitan erat
dengan sistem pengetahuan, budaya,
kepercayaan, lingkungan alam, dan sistem
organisasi sosial masyarakat pemilik
budaya pertenunan tersebut. Karena sistem
tersebut berbeda antara masyarakat satu Gambar II.39 Seni Tenun Riau
[dokumen pribadi]
dengan lainnya, maka seni pertenunan
masing-masing daerah juga berbeda.

Sebagai bagian dari sistem budaya di masyarakat, hasil tenun


berkaitan dengan aspek estetis, upacara adat, religi, dan simbol
status. Corak ragi tertentu biasanya mengandung makna tertentu
pula. Oleh sebab itu, seni tenun suatu masyarakat selalu bersifat
particular (khas) dan bagian dari representasi budaya masyarakat
44

tersebut, termasuk masyarakat Melayu. Dalam masyarakat Melayu,


hasil tenun yang berupa pakaian berfungsi untuk menutup malu,
menjemput budi, menjunjung adat, dan menolak bala. Dari sini
dapat dilihat kuatnya muatan adat, agama, etis, dan estetis pada
pakaian. Oleh karena itu, ada ungkapan pantang memakai
memandai-mandai. Kekhasan tenun Melayu terutama tampak dalam
corak dan ragi yang terinspirasi oleh tumbuhan (bunga, kuntum,
pucuk rebung, daun, buah, dan akar), hewan, benda angkasa,
kaligrafi, dan dari bentuk tertentu, seperti lentik bersusun, bintang-
bintang, lengkung anak bulan, dan sebagainya.

2) Seni Ukir

Seni ukir adalah seni membentuk gambar pada kayu,


tempurung, bambu, logam, dan bahan lainnya. Hasilnya berupa
gambar atau hiasan yang indah, dengan bagian-bagian yang
cekung dan cembung yang disebut relief. Di samping berbentuk
relief, ukiran ada juga yang berlubang (tembus). Ukiran biasanya
memiliki berbagai tema, biasanya terinspirasi dari tumbuhan,
hewan, alam, manusia, atau bahkan suatu cerita. Kekhasan seni
ukir Melayu tampak dalam corak dan ragi yang didominasi oleh
unsur tumbuhan dan hewan, walaupun unsur lain seperti alam dan
kaligrafi juga berkembang. Dalam tradisi ukiran Melayu Riau,
terdapat tiga kelompok induk corak dan ragi ukiran dari unsur
tumbuhan (flora), yaitu kaluk pakis, bunga-bungaan, dan pucuk
rebung, sementara dari unsur hewan (fauna), terdapat ukiran semut
beriring, lebah bergantung, itik sekawan, naga, dan burung. Hasil
ukiran ini dapat dilihat pada benda-benda seperti perahu, tembikar,
nisan makam, senjata, ornamen rumah dan
masjid, alat musik, regalia kerajaan,
perhiasan, dan benda lainnya.

3) Seni Lukis

Seni lukis adalah salah satu dari cabang


kesenian Melayu yang berbentuk visual, Gambar II.40 Seni lukis Riau
[dokumen pribadi]
45

diekspresikan pada bidang datar (dua dimensi), dan merupakan


hasil dari pengolahan berbagai unsur seni, seperti bentuk, warna,
bidang, atau garis.

f. Upacara Adat

Wujud lain dari kebudayaan daerah Riau terlihat dalam bentuk


upacara tradisionalnya. Upacara adat dan tradisi adalah suatu upacara
yang berlaku sesuai ketentuan dan tata cara adat dan tradisi yang
berlaku pada masyarakat Melayu. Dapat berbentuk upacara perkawinan
(secara kronologis), sunat rasul/ khitanan, turun tanah, dan lain-lain.
Dapat pula berbentuk upacara pengobatan tradisional, membuka tanah,
turun ke laut, tolak bala, dan sebagainya.
Upacara Perkawinan di Riau ditandai dengan berbagai acara,
seperti : Merisik, Meminang, Menggantung, Malam Berinai, Akad Nikah,
Tepung Tawar, Berinai Lebai, Berandam, Berkhatam Qur'an, Hari
Lansung/Bersanding, Makan Bersuap-suapan, Makan Hadap-hadapan,
Menyembah Mertua, Mandi Damai, Mandi Taman dan Mengantuk atau
Mengasah Gigi.
Berikut beberapa upacara adat yang berkembang di masyarakat
Riau selain upacara perkawinan:
§ Upacara Betobo, adalah kegiatan bergotong royong dalam
mengerjakan sawah, ladang, dan sebagainya.
§ Upacara Menyemah Laut, adalah upacara untuk melestarikan laut dan
isinya, agar mendatangkan manfaat bagi manusia.
§ Upacara Menumbai, adalah upacara untuk mengambil madu lebah di
pohon Sialang.
§ Upacara Belian, adalah pengobatan tradisional.
§ Upacara Bedewo, adalah pengobatan tradisional yang sekaligus
dapat dipergunakan untuk mencari benda-benda yang hilang.
§ Upacara Menetau Tanah, adalah upacara membuka lahan untuk
pertanian atau mendirikan bangunan.
g. Permainan Rakyat
Permainan dalam suatu masyarakat berawal dari rasa
ketidakpuasan mereka terhadap kondisi kehidupan yang monoton.
Manusia senantiasa mendambakan selingan sebagai hiburan yang
dapat menimbulkan kegairahan hidupnya. Untuk itulah, manusia tidak
46

segan-segan berkorban demi memenuhi kebutuhan hiburan, sebagai


pengisi waktu luang di sela-sela rutinitas kesehariannya. Kegiatan apa
pun, dengan berbagai tujuannya, dapat dimanfaatkan untuk mengatasi
kebosanan yang timbul akibat kegiatan yang berulang-ulang sepanjang
hari. Di antara kegiatan yang dapat dilakukan, agar menimbulkan
kegairahan hidup manusia, adalah berbagai bentuk permainan rakyat.
Tumbuh dan berkembangnya suatu permainan tidak lepas dari
lingkungannya dalam arti luas (alam, sosial, budaya). Lingkungan alam,
sosial, dan budaya yang berbeda pada gilirannya akan membuahkan
permainan yang berbeda. Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir
misalnya, mereka akan menumbuhkembangkan permainan yang
berorientasi pada kelautan. Sedangkan masyarakat yang tinggal di
daerah pedalaman akan menumbuhkembangkan permainan yang
berorientasi pada lingkungan alamnya yang berupa daratan tinggi dan
atau pegunungan.

Permainan yang ditumbuhkembangkan, baik oleh masyarakat


pesisir maupun mayarakat pedalaman pada dasarnya dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu permainan kelompok dan individual.
Kedua kategori permainan itu sendiri berdasarkan sifatnya dapat
dikategorikan menjadi dua pula, yaitu hiburan dan kompetisi. Permainan
kelompok untuk kategori hiburan contohnya permainan Lu Lu Cina
Buta, Besimbang, dan Canang, sedangkan untuk kategori kompetesi
seperti permainan Galah, Guli, dan Sepak Raga. Untuk permainan
individual yang bersifat hiburan contohnya permainan Ali Oma,
Congkak, dan Ingkling, sedangkan untuk yang bersifat kompetesinya
berupa permainan Layang-layang Bengkalis dan Gasing.

Gambar II.41 Permainan Ingkling


[www.melayuonline.com]
47

h. Seni Bela Diri

Seni bela diri ditandai dengan adanya pencak silat. Di Riau terdapat
beberapa jenis silat, yang dipelajari secara turun temurun menurut tata
cara tertentu. Silat yang terkenal antara lain adalah: Silat Pangean, Silat
Tumbuk, Silat Kampar, dan Silat Cekak. Beberapa jenis silat yang
dibawa pendatang dan dapat berkembang
di Riau antara lain adalah: Kuntau, Silat
Tuo, Silat Lintau, dan sebagainya.
Berdasarkan penggunaannya, silat ini
dibagi menjadi: Gambar II.42 Silat Permainan
[www.melayuonline.com]
§ Silat permainan, yaitu silat yang
digunakan dalam upacara-upacara. Silat
ini umumnya terlihat indah. Contohnya
adalah silat pedang, silat parisai, dan
silat sembah.

§ Silat sebenar silat, adalah silat yang


Gambar II.43 Silat Sebenar Silat
benar-benar digunakan untuk membela
[www.wordpress.com]
diri dalam menghadapi lawan. Silat ini dipelajari dengan persyaratan
tertentu dan dibagi dalam beberapa tingkatan.

B.4.3. Aspek Pola Interaksi

Dalam kehidupan masyarakat Riau yang majemuk terjadi interaksi yang


baik antara orang Melayu dengan non Melayu. Hal ini disebabkan oleh
faktor-faktor berikut:

§ Dalam sejarah kebudayaan Melayu, orang Melayu yang secara adat


diakui sebagai penduduk asli Riau saling berhubungan dan
mengadakan tukar menukar kebudayaan dengan bangsa-bangsa asing
adalah hal yang biasa.

§ Adanya keanekaragaman dalam kehidupan sosial budaya di Riau yang


juga terwujud dalam identitas sosial dan budaya orang Melayu.

§ Sebagai akibatnya kebudayaan Melayu mempunyai corak budaya yang


terbuka dan akomodatif bagi datangnya unsur-unsur budaya dari luar
48

maupun untuk hidup berdampingan dalam keanekaragaman identitas


sosial budaya.

Bahasa dan etika Melayu berfungsi sebagai simbol untuk menjembatani


berbagai etnik dan suku bangsa. Hal ini dikarenakan kebudayaan Melayu
memiliki ciri utama yaitu terbuka dan fungsional dalam mengakomodasi
perbedaan.

Orang Melayu pada mulanya suka hidup sederhana, sopan santun, dan
menjaga kejujuran yang berasal dari ajaran agama. Adanya sifat selalu
merendah dan tidak suka menonjolkan diri, tidak memaksakan kemauan,
tidak berani dan enggan menghadapi konflik dan pemenjaan alam
menimbulkan keterbatasan kreatifitas. Dalam masyarakat selalu dipupuk
sifat gotong royong dan tolong-menolong. Musyawarah yang selalu
diadakan dalam menghadapi setiap pekerjaan merupakan ciri yang telah
mendarah daging dalam kehidupan mereka.

Ketika dunia Melayu mulai bergerak menjauh dari nilai-nilai agama


kearah nilai-nilai teknologi dan ekonomi, dengan sendirinya kajian orientasi
nilai yang tumbuh juga mempengaruhi dunia Melayu, sekalipun nilai agama
dan adat merupakan nilai kontekstual di dunia Melayu. Dalam
perkembangannya, tetap saja nilai ilmu pengetahuan yang lebih
diutamakan, meskipun akibatnya akan membawa kelonggaran tradisi adat
dan agama.

B.5. Korelasi Budaya Melayu Riau dengan Perancangan Pusat Budaya Melayu Riau

B.5.1. Pengaruh Pola Interaksi

Sifat orang Melayu yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat


dalam menghadapi setiap permasalahan serta suka berinteraksi sosial
dengan tetangga menuntut pengadaan tempat khusus untuk berkumpul,
seperti serambi/ teras dan/ atau halaman, untuk skala yang lebih besar
dapat dirancang sebuah ruang komunal outdoor.

B.5.2. Fasilitas yang Diwadahi


49

§ Agar generasi muda dapat mempelajari sejarah dan seni sastra


Melayu, maka dibutuhkan ruang perpustakaan.

§ Berdasarkan beragam kesenian yang ada, maka perlu diadakan


kelas/ kursus sebagai berikut: kelas seni tari, kelas seni teater, kelas
seni musik, kelas seni rupa, serta kelas seni bela diri.

§ Untuk memamerkan hasil karya peserta didikan, diperlukan adanya


ruang pertunjukan bagi seni tari, teater, dan musik, serta ruang
pameran bagi seni rupa.

§ Diperlukan ruang diskusi dan/atau seminar sebagai wadah sharing


informasi mengenai perkembangan kebudayaan Melayu Riau.

C. TINJAUAN ARSITEKTUR TRADISIONAL MELAYU RIAU

C.1. Pemahaman Arsitektur Tradisional Melayu Riau

Arsitektur tradisional merupakan suatu bangunan dan lingkungannya, yang


bentuk, struktur, fungsi, ornamen, dan cara pembuatannya diwariskan secara
turun temurun yang berfungsi sebagai wadah bagi aktifitas kehidupan manusia.
Dalam hal ini, rumah tradisional Melayu merupakan salah satu komponen
kekayaan budaya Melayu dalam konteks arsitektur, dirancang dan dibangun
dengan kreatifitas dan kemampuan estetika oleh masyarakat Melayu sendiri.

Pada bangunan Melayu dapat dilihat beberapa komponen yang menjadikan


bangunan itu sebagai tempat melakukan aktifitas kehidupan. Komponen adalah
materi dasar dari bangunan yang merupakan bagian-bagian dari suatu kesatuan
bangunan yang menyeluruh. Komponen merupakan faktor utama dalam melihat
suatu arsitektur tradisional, yang terdiri dari: nama, bentuk bagian-bagian
bangunan, tipologi, massa bangunan, struktur, susunan dan fungsi ruang,
ornamen, serta cara pembuatan yang diwariskan secara turun temurun.

C.2. Pola Perkampungan Tradisional Melayu Riau


50

Pola perletakan rumah di perkampungan Melayu mendukung pola kehidupan


masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, atau pedagang.
Pola perkampungan berbentuk linear atau cluster. Bentuk linear digunakan pada
perkampungan nelayan yang terletak di sepanjang sungai/ pantai, sedangkan
bentuk cluster terdapat pada daerah pertanian.

Pola perkampungan di daerah Riau sendiri umumnya berbentuk cluster


karena didominasi oleh areal pertanian dan perdagangan, pola perkampungan
linear hanya dapat ditemui di sepanjang sungai. Dominasi pola perkampungan
linear terdapat di Propinsi Kepulauan Riau, yang dulunya merupakan satu
kesatuan dengan Propinsi Riau, karena daerahnya di kelilingi oleh lautan
sehingga dominasi mata pencahariannya adalah sebagai nelayan.

Pola perkampungan terlihat sederhana dan menyatu dengan alam serta


kurangnya pembatas-pembatas fisik. Tidak terdapat pembentukan secara
geometris dengan jelas. Pola perletakan ditentukan oleh hubungan sosial budaya
dan pola kehidupan masyarakat. Susunan pola perkampungan yang natural dan
acak memungkinkan penggunaan ruang secara fleksibel sesuai dengan
perkembangan kegiatan sosial budaya dan kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Terdapat space atau ruang bersama sebagai tempat interaksi sosial masyarakat
dan interaksi budaya seperti upacara-upacara adat/ agama.

Dengan lay out bangunan yang acak, menyatu dengan alam, banyaknya
ruang bersama, serta suasana kampung yang non formal dengan minimnya batas
fisik, menciptakan keintiman hubungan sosial pada masyarakat Melayu.

Gambar II.44 Pola Perkampungan Cluster Gambar II.45 Pola Perkampungan Linear
[TA Hazni Syafrina, 2001] [TA Hazni Syafrina, 2001]
51

C.3. Komponen Bangunan Tradisional Melayu Riau

C.3.1. Jenis Bangunan

a. Bangunan Rumah

Rumah tradisional Melayu berbentuk rumah panggung dengan


material dasar kayu. Memiliki banyak jendela dengan ventilasi yang baik
dan ruang dalam luas dengan sedikit sekat ruang/ partisi.

Bangunan tradisional Melayu Riau berbentuk rumah panggung


dikarenakan beberapa hal berikut:

§ Rumah panggung digunakan untuk


menjaga kemungkinan bahaya
binatang buas dan banjir. Wilayah
Riau merupakan daerah dataran
rendah/ rawa yang rawan
Gambar II.46 Rumah Panggung
terhadap banjir, apalagi dengan [www.melayuonline.com]
kebiasaan penduduk yang tinggal
di sepanjang aliran sungai. Tinggi rumah panggung di Propinsi Riau
lebih rendah dari rumah panggung di Propinsi Kepulauan Riau, yang
mana fungsi dari rumah panggung di daerah ini lebih kepada
menghindari pasang air laut.

§ Kolong rumah dapat dipergunakan sebagai kandang ternak, tempat


bermain anak, bertukang, dan tempat penyimpanan perahu dan
peralatan rumah tangga.

Terdapat beberapa tipe bangunan berdasarkan bentuk atap. Tipe


bangunan di Riau memiliki banyak persamaan dengan tipe bangunan di
Kepulauan Riau, begitu juga dengan tipe bangunan di daerah Malaysia
52

dengan budaya Melayu yang sama. Bangunan Melayu memiliki 4


bentuk dasar atap, yaitu: rumah belah bumbung/ rumah bumbung
Melayu, rumah atap limas, rumah tebar layar, dan rumah atap lontik.

Rumah belah bumbung dan atap limas adalah bentuk yang paling
umum dan paling tua. Rumah belah bumbung memiliki persamaan
dengan rumah-rumah di Kalimantan dan Malaysia. Rumah tebar layar
muncul pada perkembangan selanjutnya. Sedangkan rumah atap lontik
hanya terdapat pada sebagian kecil wilayah Melayu Riau dengan
pengaruh budaya Sumatera Barat. Kesamaan itu menunjukkan adanya
hubungan dan pengaruh kebudayaan yang masuk ke Riau,
penambahan besaran ruang menimbulkan variasi-variasi bentuk.

Gambar II.47 Rumah Atap Lontik Gambar II.48 Balai Adat Melayu Riau
[dokumen pribadi] dengan Atap Tebar Layar
[www.wisatamelayu.com]
b. Bangunan Rumah Ibadah

Di daerah Riau, setiap kampung memiliki rumah ibadah, terutama


Masjid. Selain itu, penduduk juga banyak membangun surau yang
berfungsi sebagai tempat pengajian. Tempat ibadah lain selain Masjid
adalah rumah suluk, yakni rumah khusus untuk melakukan kegiatan
suluk atau berkhalwat. Bentuknya bebas dan dapat pula
mempergunakan rumah biasa.

C.3.2. Tipologi dan Massa Bangunan

a. Bangunan Rumah

Tipologi bangunan rumah tradisional Melayu Riau umumnya


merupakan bangunan persegi panjang berbentuk rumah panggung
yang berdiri di atas tiang. Besar kecilnya ukuran bangunan tergantung
kemampuan pemiliknya. Dari beberapa bentuk rumah ini hampir serupa,
baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama saja, Kecuali
53

rumah lontik. Rumah lontik yang dapat juga disebut rumah lancang
karena rumah ini bentuk atapnya melengkung ke atas dan agak runcing
sedangkan dindingnya miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip
perahu atau lancang. Hal ini melambangkan penghormatan kepada
Tuhan dan terhadap sesama. Rumah lontik diperkirakan mendapat
pengaruh dari kebudayaan Minangkabau karena kabanyakan terdapat
di daerah yang berbatasan dengan Sumatera Barat.

Tangga rumah biasanya ganjil, bahkan rumah lontik beranak tangga


lima, Hal ini ada kaitannya dengan ajaran islam yakni rukun islam lima.
Bentuk tiangnya bermacam-macam, ada yang persegi empat, segi
enam, segi tujuh, segi delapan, dan segi sembilan. Segi empat
melambangkan empat penjuru mata angin, sama dengan segi delapan.
Maksudnya rumah itu akan mendatangkan rezeki dari segala penjuru.
Tiang segi enam melambangkan rukun Iman dalam ajaran Islam,
maksudnya diharapkan pemilik rumah tetap taat dan beriman kepada
Tuhannya. Tiang segi tujuh melambangkan tujuh tingkatan surga dan
neraka. Jika pemilik rumah baik dan sholeh akan masuk ke salah satu
tujuh tingkat surga, sebaliknya jika jahat akan masuk salah satu tujuh
tingkat neraka. Tiang persegi sembilan melambangkan bahwa pemilik
rumah adalah orang yang mampu.

Massa bangunan utama


biasanya berbentuk tunggal
dengan pengembangannya yang
bervariasi. Bagian depan atau
samping rumah diberi serambi
yang berfungsi sebagai area
terbuka tempat interaksi sosial
dengan tetangga. Halaman rumah Gambar II.49 Tipologi dan Massa Bangunan
Rumah tradisional Melayu Riau
menyatu satu sama lain, hanya [www.traditional-malay-house.blogspot.com]
dibatasi oleh batas fisik berupa
pohon kelapa. Definisi ruang publik dan privat tidak terlihat jelas dan
saling overlap. Halaman yang luas berfungsi sebagai tempat interaksi
sosial ataupun tempat bermain anak-anak, sebagai area privat dan
publik. Ciri khas kampung Melayu adalah keteduhan yang diberikan
oleh pepohonan yang memungkinkan ruang-ruang terbuka, yang
54

digunakan pada siang dan sore hari. Batas pepohonan juga digunakan
sebagai barrier bagi privacy.

b. Bangunan Rumah Ibadah

Tipologi Masjid dan Surau


adalah bangunan bujur sangkar
dan bertiang. Terciptanya tipologi
ini disebabkan oleh bentuk
Gambar II.50 Masjid Darul Ihsan,
atapnya yang khas, yakni kubah SMU Plus Propinsi Riau, Pekanbaru
dan bentuk limas di bawahnya. [dokumen pribadi]

Dalam membangun masjid, kubah diletakkan di atas tengah ruangan


induk, yang sama jaraknya ke segala penjuru dinding. Bidang segi
empat juga dipercaya melambangkan 4 Mahzab dalam Islam (Mahzab
Syafe’i, Maliki, Hamdani, dan Hanafi), karena itulah dibuat bujur sangkar
sesuai dengan kedudukan keempat Imam Mahzab tersebut yang
dianggap sejajar.

Massa Masjid sebagai rumah ibadah dibuat dalam ukuran yang


lebih besar dari rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya yang
ada di lingkungan kampung. Hal ini dimaksudkan karena di samping
sebagai lambang agama, juga berkaitan dengan fungsi bangunan ini
sebagai tempat ibadah penduduk secara bersama-sama sehingga
memerlukan tempat yang luas. Karena itulah tidak mengherankan jika
dilakukan pelebaran pada masjid hingga beberapa kali seiring dengan
perkembangan jumlah penduduk setempat.

C.3.3. Susunan dan Fungsi Ruang

Seperti halnya bangunan tradisional Jawa, bangunan tradisional Melayu


juga memiliki susunan ruang tetap. Setiap ruang memiliki fungsi masing-
masing, namun pembatasan ruangan yang berarti juga pembatasan fungsi
tidak terlihat jelas karena tidak terdapat batas massive seperti dinding.
Yang menjadi pembatas adalah perbedaan tinggi permukaan lantai pada
setiap ruangan. Semakin tinggi permukaan, semakin privat fungsi ruang
yang bersangkutan. Susunan dan fungsi ruang dalam bangunan tradisional
Melayu adalah sebagai berikut.
55

a. Bangunan Rumah

Bangunan rumah Melayu Riau umumnya terdiri dari:

Rumah induk
Selasar dalam

Penanggah
Selasar luar

Gambar II.51 Susunan Ruangan Rumah


Melayu Limas trengganu, Malaysia
[www.buildingconservation.blogspot.com]
§ Selasar Luar

Merupakan bagian rumah paling depan yang memiliki permukaan


lantai yang lebih rendah daripada selasar dalam dan bagian rumah
induk. Selasar luar dalam kehidupan sehari-hari dipergunakan untuk
anak-anak bermain, sedangkan dalam upacara tertentu seperti
perkaawinan dan kenduri dipergunakan sebagai tempat tamu-tamu
dan para pemuda.

§ Selasar Dalam

Selasar dalam berfungsi sebagai


tempat menerima tamu yang dihormati.
Permukaan lantainya lebih rendah dari
rumah induk.

§ Rumah Induk

Walaupun tidak memakai sekat atau


dinding-dinding pemisah, tetapi area ini
Gambar II.52 Selasar Dalam
dibagi ke dalam tiga ruangan, yakni ruang [www.travel.webshots.com]
muka,ruang tengah dan
56

ruang dalam. ruang muka berfungsi sebagai ruang tamu keluarga


serta tempat tidur bila ada tamu yang menginap. Ruang tengah
berfungsi sebagai tempat menerima tamu orang-orang tua atau
keluarga dekat, yaitu keluarga yang mukhrim (tidak boleh
mengadakan hubungan perkawinan oleh agama Islam). Sedangkan
ruangan dalam digunakan untuk tempat kaum ibu serta keluarga
perempuan. Anak -anak juga tidur di ruangan ini kecuali anak laki-
laki yang berumur 7 tahun keatas, tidurnya di ruang tengah. Anak
gadis tidur bersama orang perempuan tua di ruangan dalam atau
tidur di loteng yang terdapat di atas ruangan ini. Pada bagian muka
dan belakang rumah induk terdapat jendela-jendela.

§ Telo

Telo, atau disebut juga Sulopandan pada rumah atap Lontik,


merupakan ruang penghubung antara rumah induk/ ibu dan
penanggah/ dapur. Area ini berfungsi sebagai ruang transisi dan
meletakkan alat-alat kerja serta barang-barang keperluan sehari-
hari. Selain sebagai area sirkulasi, ruang ini juga digunakan untuk
beristirahat bagi orang tua nenek, kakek, ibu/ ayah mertua bila
mereka tinggal di rumah tersebut, juga untuk meletakkan sebagian
alat pertanian.

§ Penanggah

Penanggah, atau disebut juga Palapuan pada rumah atap Lontik,


merupakan ruang dapur yang berfungsi sebagai tempat memasak
dan ruang makan keluarga. Pada rumah atap Lontik terdapat fungsi
tambahan, yaitu sebagai tempat menerima tamu kaum ibu. Di ujung
dapur dibuat semacam pelatar untuk tempat mencuci.

Di samping itu,
selalu dibuat
tempat untuk
menyimpan
peralatan rumah
yang dibuat dari
dinding dapur
57

menjorok keluar yang disebut ceruk dapur. Loteng, selain sebagai


kamar anak perempuan, juga digunakan untuk tempat bertenun.

Gambar II.53 Susunan Ruang Rumah Tradisional


Melayu Riau
[www.traditional-malay-house.blogspot.com]

Susunan ruangan pada rumah lontik terdiri atas 3 ruangan saja


karena sesuai dengan alam nartigo, yakni tata pergaulan dalam
kehidupan masyarakat. Pertama alam berkawan, yakni pergaulan
sesama warga kampung digambarkan dalam ruangan muka. Kedua,
alam bersanak yakni kaum kerabat dan keluarga dilambangkan dengan
ruangan tengah. Ketiga alam semalui yakni kehidupan pribadi dan
rumah tangga, tempat menyimpan segala rahasia dilambangkan
dengan ruang belakang, yakni tempat memasak. Pembagian ruangan
ini dalam beberapa pembatasan bukanlah oleh adat tertentu, melainkan
karena fungsinya. Lantai ruangan bawah lebih rendah dari lantai rumah
induk dan dipisahkan oleh dinding dan bendul. Ruangan bawah ini
terletak di sebelah kanan, di sebut dengan ujung bawah, berfungsi
sebagai tempat duduk ninik mamak dan undangan upacara tertentu .
Dalam kehidupan sehari-hari di gunakan sebagai tempat sembahyang,
karena itu selalu disediakan tikar sembahyang. Ruangan bawah
sebelah kiri di sebut pangkal rumah, fungsinya sebagai tempat duduk
ninik mamak pemilik rumah atau disebut ninik mamak nan punyo soko.
58

Sehari-harinya ruangan ini dipergunakan untuk tempat tidur ninik


mamak tersebut. Oleh sebab itu, di ruangan ini disediakan lapik/ tikar
untuk tidur. Ruangan tengah juga dibagi menjadi dua, yakni ujung
tengah di sebelah kanan masuk dan Poserek di sebelah kiri. Ujung
tengah dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk tempat tidur
pemilik rumah, sedangkan pada upacara perkawinan dipergunakan
untuk tempat gerai pelaminan. Sesuai dengan fungsinya, ruangan ini
disediakan tempat tidur berupa gerai maupun katik. Poserek, dalam
kehidupan sehari-hari digunakan untuk tempat tidur anak perempuan,
atau tempat berkumpul orang tua perempuan dan anak-anak. Seperti
halnya pada rumah Melayu atap limas, pada rumah Melayu atap lontik
juga terdapat loteng yang dipergunakan untuk tempat memingit anak-
anak gadis. Di loteng ini, gadis-gadis tersebut membuat kerajinan
tangan seperti memekat, menyulam, menganyam, dan mengaji.

Ruangan di rumah Melayu bersifat multifungsi. Kegunaan ruang


berubah sesuai dengan waktu kegiatan. Terdapat sedikit perabotan dan
sedikit partisi/ sekat mengikuti fleksibilitas ruang. Aktifitas banyak
dilakukan di lantai.

b. Bangunan Rumah Ibadah

Umumnya bangunan rumah ibadah hanya terdiri atas dua ruangan


saja, yaitu ruangan induk dan mihrab.

§ Ruangan Induk

Ruangan ini merupakan ruangan tempat penduduk melakukan


sembahyang berjemaah dan tempat berkumpul. Ruangan induk di
surau dipergunakan juga sebagai tempat belajar dan tempat tidur
anak laki-laki.

§ Mihrab

Ruangan ini terletak di sebelah kiblat, yaitu di arah barat (khusus


untuk Indonesia) dari bangunan induk. Ruang mihrab tempat imam
sembahyang dan tempat Mimbar dimana Khatib membaca Khotbah.
Mihrab juga diperuntukkan sebagai tempat menyimpan harta benda
masjid dan surau.
59

§ Menara

Pada masjid ada kalanya dibuat menara, tetapi ruangan ini sangat
kecil karena hanya diperuntukkan bagi Bilal untuk menyuarakan
azan. Menara dapat diletakkan dimana saja, namun umumnya di
arah muka dan belakang atau keempat sudut bangunan.

§ Ruangan Loteng

Biasanya ruangan ini hanya terdapat pada masjid. Bangunan surau


jarang yang memiliki ruangan loteng. Ruangan ini diperuntukkan
bagi pengurus masjid beristirahat dan mengaji.

C.3.4. Struktur Bangunan

Bangunan tradisional Melayu Riau, seperti halnya bangunan-bangunan


lama pada umumnya, memiliki sistem struktur yang sedikit berbeda dengan
sistem struktur bangunan saat ini. Material struktur yang sebagian besar
berasal dari kayu hingga tidak mengenal adanya penggunaan paku sebagai
penguat penyatuan antar elemen struktur. Setiap elemen struktur, dari
bentuk, jumlah, hingga perletakannya, memiliki makna tersendiri berkaitan
dengan kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat Melayu Riau.
Elemen-elemen struktur tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Bangunan Rumah

Rumah tradisional Melayu Riau berbentuk rumah panggung dengan


tonggak kayu sebagai tiang. Bentuk tiang bermacam-macam, ada yang
persegi empat, segi enam, segi tujuh, segi delapan, dan segi Sembilan,
namun ada pula yang berbentuk bulat. Tiang didasari oleh pondasi
batu/ beton. Pada tiang yang terletak di bagian luar diberi khiasan
khusus yang disebut tiang penggantung yang berfungsi sebagai
penopang kerangka dinding sebelah bawah. Tiang ini dipahatkan dan
dipasakkan ke tiang tempat ia menempel. Tiang utama adalah tiang tuo,
yang terletak pada pintu masuk sebelah kiri dan kanan. Tiang ini tidak
boleh disambung karena merupakan lambang rasa hormat kepada
60

orang tua. Di daerah lain, yakni pada suku Melayu di kepulauan, tiang
yang dianggap penting adalah tiang Seri yang terdapat di keempat
sudut rumah. Baik tiang tuo maupun tiang seri tak boleh bersambung
dan terbuat dari kayu yang besar.

Jumlah anak tangga rumah biasanya ganjil, bahkan rumah lontik


beranak tangga lima, hal ini ada kaitannya dengan ajaran islam, yakni
Rukun Islam yang berjumlah lima. Berbeda halnya untuk rumah di
Kepulauan Riau, jumlah anak tangga tidak ditentukan, tergantung pada
tinggi rumah tersebut. Tiang tangga berbentuk segi empat atau bulat,
dipasang miring ke tepi rumah namun tidak mencapai dinding. Kaki
tangga terhujam ke dalam tanah atau diberi alas benda keras (kayu
atau batu). Material tangga berasal dari kayu keras, tiang dan anak
tangganya yang pipih terbuat dari papan tebal. Tangga diberi ukiran di
bagian kali dan anak tangganya. Khusus untuk kepala tiang tangga,
ukiran dibuat lebih detail.

Tempat untuk meletakkan papan lantai disebut dengan Geleger.


Bentuknya persegi empat atau bulat yang dibuat dari bahan kayu keras.
Geleger disusun melintang di atas balok persegi empat yang disebut
dengan Rusuk. Umumnya rusuk dibuat dua lapis atau ganda, namun
ada pula yang satu lapis. Untuk rusuk ganda bagian bawahnya disebut
rusuk induk dan bagian atasnya disebut rusuk anak. Rusuk dibuat dari
bahan kayu keras seperti tembesu, resak, dan kulim.

Lantai dibuat dari papan yang disusun rapat. Pemasangannya


sejajar dengan rusuk dan melintang di atas geleger. Bahan lantai yang
terbaik adalah kayu punak dan medang. Untuk merapatkannya, lantai
diberi pion/ lidah dan purus. Sebagai pembatas ruangan dan lantai
diberi Bendul. Bendul umumnya berbentuk segi empat dan merupakan
balok yang tidak boleh disambung.

Pengunci bagian atas tiang disebut Tutup tiang. Bentuknya balok


persegi empat, ukurannya tergantung pada besar tiang. Tutup tiang
yang menghubungkan tiang-tiang sudut bangunan disebut tutup tiang
panjang, sedangkan yang menghubungkan antara tiang satu dengan
tiang lainnya disebut tutup tiang pendek. Tutup tiang berasal dari bahan
yang sama dengan bahan tiang. Kayu yang dipasang di atas tutup tiang
61

disebut Alang. Bentuknya persegi panjang atau bulat dan berbahan


sama dengan tutup tiang. Fungsinya dapat disamakan dengan geleger
loteng, yaitu sebagai balok tarik di bawah kuda-kuda. Ukurannya bisa
sama atau sedikit lebih kecil dari tutup tiang.

Yang menjadi komponen kuda-kuda disebut Kasau. Kasau yang


besar disebut kasau jantan yang berfungsi sebagai kaki kuda-kuda,
sedangkan kasau yang lebih kecil disebut kasau betina yang berfungsi
sebagai tempat meletakkan atap. Kasau jantan terletak di atas Gulung-
gulung yang berbentuk bulat atau persegi. Bahan kasau berasal dari
kayu keras, terutama untuk kasau jantan, sedangkan kasau betina
dapat menggunakan nibung/ bambu. Di puncak pertemuan atap, sejajar
dengan gulung-gulung, diletakkan kayu keras berbentuk bulat/ persegi
yang disebut dengan Tulang bubung. Tulang bubung ini merupakan
tempat pertemuan ujung kasau. Di atasnya dipasang perabung, yaitu
atap yang menutup pertemuan puncak atap.

Tiang tempat tulang bubung dan kuda-kuda disebut dengan Tunjuk


langit. Bentuknya balok bersegi empat atau bulat berbahan kayu keras.
Tunjuk langit dipasang di atas tutup tiang pada kedua ujung
perabungan, sedangkan di bagian tengahnya dipasang di atas alang.
Jumlahnya tidak ditentukan dengan pasti, tetapi sekurang-kurangnya
berjumlah tiga buah, dua di ujung dan satu di tengah. Pada tunjuk langit
dipasang kuda-kuda dan kaki kuda-kuda.

Atap terbuat dari daun nipah dan daun rumbia, namun belakangan
lebih sering digunakan atap seng. Atap daun nipah/ rumbia dibuat
dengan cara menjalinnya pada sebatang kayu yang disebut Bengkawan
yang biasanya terbuat dari nibung/ bambu. Pada bengkawan itulah atap
diletakkan dan dijalin dengan rotan atau kulit kayu/ kulit pelepah rumbia.
Atap yang dibuat satu lapis disebut Kelarai, sedangkan dua lapis
disebut Ketam. Atap ketam lebih rapat, lebih tebal, serta lebih tahan
lama daripada atap kelarai.

Kerangka dinding, pintu, dan jendela (kusen) disebut dengan Sento.


Jumlah sento tergantung pada tinggi dinding serta jumlah pintu, jendela,
dan lobang angin. Sento ini dipahatkan ke jenang yang berbetuk
persegi empat. Fungsi jenang sebenarnya adalah sebagai kerangka
62

pintu dan jendela. Ujung atas dan bawahnya dipahatkan ke dalam balok
kaki dinding dan tutup dinding. Dinding yang terbuat dari papan
dipasang tegak lurus, kalaupun ada yang dipasang miring atau
bersilangan, hanya untuk variasi. Umumnya dinding dipasang dengan
cara merapatkannya dengan lidah pion atau dengan susunan bertindih
yang disebut Tindih kasih. Cara lainnya adalah dengan pasangan
melintang dan saling menindih yang disebut dengan Susun sirih, namun
cara ini jarang digunakan. Untuk variasi, sering pula dipasang miring
searah atau berlawanan, dengan kemiringan rata-rata 45 derajat.

Pintu disebut juga ambang atau lawang. Bentuk pintu persegi empat
panjang dengan ukuran lebar antara 60 - 100 cm dan tinggi 150 – 200
cm. pada mulanya, pintu tidak menggunakan engsel, untuk engsel
digunakan semacam puting. Kuncinya dibuat dari kayu yang disebut
Pengkelang. Daun pintu berbentuk panel dan ram-ram (krepyak), atau
separuh panel separuh ram-ram. Umumnya daun pintu terdiri atas dua
lembar berbahan kayu pilihan seperti surian/ punak/ tembesu. Pada
bagian atas pintu diberi hiasan sebagai ventilasi dengan ukiran.

Jendela memiliki bentuk yang sama dengan pintu, namun


ukurannya lebih kecil. Daun jendela berjumlah satu atau dua lembar.
Hiasannya senada dengan hiasan pintu. Ketinggian letak jendela tidak
selalu sama. Ventilasi ada yang dibuat khusus, yaitu yang disebut
dengan Lobang angin. Biasanya dibuat segi empat, enam, hingga
delapan, ada pula yang bulat. Segi empat melambangkan empat
sahabat Nabi Muhammad SAW dan empat penjuru mata angin, segi
enam melambangkan rukun Iman, segi delapan melambangkan
pancaran kekuasaan atau wibawa pemilik rumah yang berpencar ke
segala penjuru, sedangkan yang bulat melambangkan bulan purnama
yang memberikan sinar ke rumah yang
bersangkutan.

Loteng, yang disebut juga dengan


Salang/ Langa, memiliki tinggi 150 – 200 cm.
Lantainya terbuat dari papan dan dipasang
menutupi seluruh bagian atas ruangan
dalam rumah induk, kecuali ruangan

Gambar II.54 Loteng


[www.travel.webshots.com]
63

belakangnya. Untuk naik ke loteng, dibuat tangga melalui lubang


berukuran 1 x 1 atau 1 x 1,5 meter. Di atas loteng tidak diberi plafon.

b. Bangunan Rumah Ibadah

Berbeda dengan bangunan rumah, tangga rumah ibadah tidak


diukir, tidak jarang pula yang terbuat dari batu. Bentuk tiang umumnya
sama, yakni balok persegi empat, enam, delapan, atau kombinasi dari
segi-segi tersebut. Tiang Macu berfungsi sebagai penyanggah utama
bangunan dari tanah sampai ke loteng dan kerangka atap. Tiang Macu
sebagai tiang pokok yang menahan beban dan bobot bangunan, tidak
boleh bersambung dan dibuat dari bahan pilihan, karena itulah tiang
Macu menjadi tiang-tiang utama yang diprioritaskan dalam membuat
bangunan rumah ibadah. Tiang Macu melambangkan sikap tegak lurus
dari bumi menuju ke atas. Tiang Macu ditempatkan sebagai penyangga
kubah, atap, dan keliling bangunan. Jumlahnya tergantung pada besar
kecilnya ukuran Masjid. Umumnya berjumlah 16 – 36 batang. Tiang-
tiang lainnya yang berfungsi sebagai penguat tambahan disebut Tiang
Tungkat.

Dinding terbuat dari papan yang dipasang tegak lurus atau seperti
dinding rumah yang agak miring keluar. Variasi dan cara
pemasangannya sama seperti pada rumah tinggal. Begitu pula halnya
dengan pintu dan jendelanya, ukuran, hiasan, dan cara
pemasangannya sama dengan rumah tinggal, namun ada kalanya pada
masjid pintunya dilebarkan sedikit. Elemen struktur lain seperti
pekayuan dan loteng juga sama dengan rumah tinggal. Ukuran
pekayuan disesuaikan dengan ukuran bangunan itu sendiri.

Atap bangunan rumah ibadah menggunakan kubah. Puncak kubah


diberi hiasan yang mengandung makna tertentu. Atap di bawah kubah
berbentuk limas atau piramid yang terpotong oleh kubah, sedangkan
atap mihrab ada yang berbentuk setengah limas dan ada pula yang
berbentuk belah bumbung.

C.3.5. Ornamen Bangunan

Motif dasar ornamen Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yaitu
terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Benda-benda tersebut
64

kemudian diolah menjadi bentuk-bentuk tertentu, baik menurut bentuk


asalnya seperti bunga kundur dan bunga hutan, maupun dalam bentuk
yang telah dimodifikasi sehingga tidak lagi memperlihatkan wujud asalnya,
tetapi hanya menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut
beriring, dan lebah bergantung.

Di antara motif-motif yang telah disebutkan di atas, motif yang paling


banyak digunakan adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora).
Hal ini dikarenakan orang Melayu yang umumnya beragama Islam
sehingga motif hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus kepada hal-hal yang
berbau keberhalaan. Motif hewan yang dipilih umumnya yang mengandung
sifat tertentu atau yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan
setempat. Contohnya motif semut, walaupun tidak dalam bentuk
sesungguhnya, disebut dengan motif semut beriring dikarenakan sifat
semut yang rukun dan tolong-menolong, yang mana sifat inilah yang
menjadi dasar sifat orang-orang Melayu. Begitu pula halnya dengan motif
lebah yang disebut dengan motif lebah bergantung, karena sifat lebah yang
selalu memakan sesuatu (bunga) yang bersih, kemudian mengeluarkannya
untuk dimanfaatkan oleh orang banyak (madu). Motif naga digunakan
karena berkaitan dengan mitos tentang keperkasaan naga sebagai
penguasa lautan. Sedangkan benda-benda angkasa, seperti bulan, bintang,
matahari, dan awan, digunakan karena mengandung nilai falsafah tertentu.
Ada pula motif yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu, seperti wajik,
lingkaran, kubus, segi, dan sebagainya. Di samping itu, ada juga motif
kaligrafi yang diambil dari kitab Al-Qur’an. Pengembangan motif-motif
dasar, selain memperkaya bentuk hiasan, juga memperkaya nilai falsafah
yang terkandung di dalamnya.

a. Motif dari Tumbuh-tumbuhan

Motif yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan (flora), antara lain


sebagai berikut.

§ Bunga

Motif bunga jumlahnya relative banyak, di antaranya adalah bunga


bakung, bunga melati, bunga kundur, bunga mentimun, bunga
hutan, bunga kiambang, bunga cengkih, bunga setaman, bunga
65

serangkai, bunga berseluk, bunga bersanggit, bunga sejurai, bunga


kembar, bunga tunggal, kembang selari, bunga-bungaan, dan
sebagainya.

§ Kuntum

Motif kuntum antara lain: kuntum tak jadi, kuntum merekah, kuntum
serangkai, kuntum bersanding, kuntum kembar, kuntum berjurai,
kuntum jeruju, kuntum setanding, kuntum tak sudah, kuntum sejurai,
dan sebagainya.

§ Daun

Motif daun antara lain: daun bersusun, daun sirih, daun keladi, daun
bersanggit bunga, daun sirih pengantin, daun sirih sekawan, daun
berseluk, dan sebagainya.

§ Buah

Motif yang bersumber dari buah juga banyak terdapat dalam ragam
hias Melayu Riau, di antaranya adalah tampuk manggis, buah
hutan, buah delima, buah anggur, buah setangkai, pisang-pisang,
pinang-pinang, buah kasenak, buah mengkudu, delima mereka, dan
sebagainya.

§ Akar-akaran

Motif yang berasal dari akar-akaran antara lain: kaluk pakis atau
kaluk paku, akar bergelut, akar melilit, akar berpilin, akar berjuntai,
akar-akaran, belah rotan, pucuk rebung, dan sebagainya.

Motif-motif tersebut di atas dikelompokkan ke dalam tiga kelompok


induk yang menjadi dasar ukiran.

1) Kelompok Kelok Pakis


66

Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah semua bentuk


ukiran bermotif daun-daunan dan akar-akaran yang
mengandung arti kesuburan dan kemakmuran.

§ Ukiran daun susun,


melambangkan kasih sayang
antara sesama suami istri,
kerukunan rumah tangga dan
keluarga, serta kepribadian
yang kuat.

§ Ukiran daun bersanggit,


melambangkan kehidupan
bermasyarakat, keakraban, Gambar II.55 Ukiran Akar Pakis
[Riau Doeloe-Kini dan
dan persaudaraan.
Bayangan Masa Depan, 2002]

§ Ukiran akar pakis, melambangkan kehidupan yang akhirnya


kembali kepada Yang Satu, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa,
Tuhan sekalian alam.

§ Ukiran akar rotan, melambangkan kehidupan yang harus


dapat berkembang.

§ Ukiran akar tunjang, melambangkan tempat berpijak, yakni


dasar hidup manusia.

2) Kelompok Bunga-bungaan

Kelompok ini melambangkan keserasian dan kedamaian di


rumah tangga. Yang termasuk ke dalamnya antara lain:

§ Bunga melati melambangkan kesucian.

§ Bunga kundur melambangkan ketabahan dalam hidup.

§ Bunga manggis melambangkan kemegahan.

§ Bunga cengkeh melambangkan kemegahan.

§ Bunga melur melambangkan kesucian.

§ Bunga cina melambangkan keikhlasan hati.


67

§ Bunga hutan melambangkan keanekaragaman dalam


kehidupan bermasyarakat.

Gambar II.56 Kelompok Bunga-bungaan


[Riau Doeloe-Kini dan Bayangan Masa
Depan, 2002]
3) Kelompok Pucuk Rebung

Kelompok ini melambangkan kesuburan


dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia.

Gambar II.57 Kelompok Pucuk Rebung


[Riau Doeloe-Kini dan Bayangan Masa Depan, 2002]

b. Motif dari Hewan

Di daerah Riau tidak banyak ragam hias yang menggunakan motif


dari hewan. Beberapa bentuk yang menggunakan hewan di antaranya
sebagai berikut:

§ Semut beriring, melambangkan hewan yang


baik, rukun, dan menjunjung sifat gotong-
royong. Selain itu, ada pula semacam
kepercayaan yang berkembang di
masyarakat bahwa semut mendatangkan
Gambar II.58 Lebah Bergantung
rezeki. Semakin banyak semut semakin
[Riau Doeloe-Kini dan Bayangan
bertambah pula rezeki bagi pemilik rumah. Masa Depan, 2002]

§ Lebah, melambangkan hewan yang


mendatangkan manfaat bagi manusia.
Madunya sangat berguna bagi kesehatan
tubuh. Lebah dianggap sebagai putri yang
sangat cantik dan baik hati, serta

Gambar II.59 Itik Sekawan


[Riau Doeloe-Kini dan Bayangan
Masa Depan, 2002]
68

mendatangkan kebahagiaan bagi penduduk.

§ Itik, melambangkan kerukunan dan ketertiban. Hal ini merupakan


teladan yang baik bagi manusia agar selalu disiplin dalam menjalani
kehidupannya.

§ Ikan-ikanan, melambangkan kesuburan dan kemakmuran.

§ Ular-ularan, melambangkan kecerdikan dan kekuasaan.

c. Motif dari Alam

Motif dari alam tidak banyak digunakan, beberapa di antaranya


sebagai berikut:

§ Bintang-bintang, mengandung arti tentang keaslian kekuasaan Tuhan


dan sumber sinar dalam kehidupan manusia. Ukiran ini biasanya
ditempatkan di loteng sebagi tempat gantungan lampu.

§ Awan larat, melambangkan kelemah-lembutan dalam pergaulan.


Ukiran ini dapat ditempatkan di mana saja.

§ Tanduk buang sebagai lambang bulan sabit yang berkaitan dengan


lambang masjid.

§ Larik, melambangkan kesuburan dan kebahagiaan.

Gambar II.60 Bintang-bintang


Gambar II.61 Awan Larat
[Riau Doeloe-Kini dan
[Riau Doeloe-Kini dan
Bayangan Masa Depan, 2002] Gambar II.62 Larik
Bayangan Masa Depan, 2002]
[Riau Doeloe-Kini dan
d. Motif Agama dan Kepercayaan Bayangan Masa Depan, 2002]

Di Riau, karena agama Islam paling dominan dianut penduduknya,


maka pengaruh Islam lah yang kelihatan. Sementara kepercayaan yang
merupakan tradisi yang sudah turun temurun umumnya tidak terlalu
menonjol karena telah tergambar dalam bentuk ukiran flora, fauna, dan
69

alam. Ukiran yang bermotif agama dan kepercayaan disebut dengan


kaligrap atau lazimnya kalimah. Kalimah berfungsi sebagai azimat atau
tangkal dan wafak yang digunakan untuk menjauhkan dari segala
kejahatan, karena diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an maka mengandung
arti sesuai dengan ayatnya. Selain itu, kalimah juga berfungsi sebagai
alat pendidikan agama Islam dalam keluarga.
Selain yang telah disebutkan di atas, terdapat pula ukiran yang
dibuat untuk hiasan tertentu dengan bentuk tertentu pula. Motifnya
adalah tumbuh-tumbuhan yang dijalin dengan burung-burungan.
Biasanya ornamen ini ditempatkan pada atap, yaitu:

§ Selembayung

Selembayung disebut juga “selo


bayung” dan “tanduk buang”, adalah
hiasan yang terletak bersilangan pada
kedua ujung perabung bangunan.
Pada bangunan Balai Adat Melayu
setiap pertemuan sudut atap diberi
selambayung yang terbuat dari ukiran
kayu.

Menurut para budayawan Melayu,


selembayung ini mengandung
beberapa makna antara lain:

⁻ Tajuk rumah, yaitu membangkitkan


“cahaya” rumah.

⁻ Pekasih rumah, yaitu lambang


keserasian dalam kehidupan
rumah tangga.
Gambar II.63Selembayung
⁻ Tangga dewa, yaitu sebagai [Riau Doeloe-Kini dan Bayangan
Masa Depan, 2002 dan
lambang tempat turun para dewa,
mattajogja.mutiply.com]
mambang, akuan, soko, keramat, dan sidi yang membawa
keselamatan bagi manusia.
70

⁻ Dalam upacara bedukun, selembayung yang terdapat pada


“balai ancak”nya mengandung makna yang mirip dengan tangan
dewa.

⁻ Rumah beradat, yaitu sebagai tanda bahwa bangunan itu adalah


tempat kediaman bangsawan, balai, atau tempat kediaman
orang yang mampu.

⁻ Tuah ruamah, bermakna sebagai lambang bahwa bangunan itu


mendatangkan tuah kepada pemiliknya.

⁻ Motif ukiran selembayung (daun-daunan dan bunga)


melambangkan perwujudan kasih sayang, tahu adat, dan taat
diri.

§ Sayap layang-layang

Hiasan ini terdapat pada keempat cucuran atap dan memiliki bentuk
yang hampir sama dengan selembayung. Setiap bangunan yang
berselembayung harus menggunakan sayap layangan sebagai
padanannya.

Menurut para budayawan Melayu, sayap


layang-layang mengandung beberapa
makna antara lain:

⁻ Letaknya pada keempat sudut


cucuran atap sebagai lambang
“empat pintu hakiki”.

⁻ Lambang kebebasan. Yang


tergambar dalam sayap layang-layang
Gambar II.64 Sayap Layang-layang
ini adalah kebebasan yang tahu batas
[Riau Doeloe-Kini dan Bayangan
dan tahu diri. Masa Depan, 2002]

Umumnya warna-warna yang dipergunakan untuk ornamen-


ornamen tersebut adalah:

Putih : tanda kesucian


71

Merah : tanda persaudaraan dan keberanian

Kuning : lambang kekuasaan

Biru : lambang kekuasaan di lautan

Hijau : lambang kesuburan dan kemakmuran

Hitam : lambang keperkasaan

Keemasan : lambang kejayaan dan kekuasaan

C.4. Adaptasi Bangunan terhadap Iklim

Bangunan rumah tradisional Melayu


dirancang menyesuaikan dengan keadaan
iklim tropis. Pembangunan didasari oleh
pertimbangan sirkulasi udara, pemanfaatan
cahaya matahari dan angin, perlindungan
dari air hujan, serta penggunaan material
Gambar II.65 Pola Aliran Angin pada
alami seperti kayu. Kayu sebagai bahan Rumah Melayu
alami memiliki kemampuan meredam [www.tslr.net]
panas. Pada saat bangunan terkena panas di siang hari, kayu melepaskan udara
dingin yang disimpan sejak semalam. Di lain pihak, pada saat malam hari dimana
udara luar menjadi dingin, kayu melepaskan panas yang disimpan sejak siang
hari. Material kayu ini digunakan pada hampir seluruh komponen bangunan, di
antaranya untuk struktur seperti tiang (kolom) dan stuktur atap, dinding, hingga
lantai bangunan.

Bentuk bangunan yang segi empat, lurus dari depan hingga ke belakang
bangunan, memudahkan udara untuk terus mengalir melewati setiap ruangan.
Aliran udara secara menerus ini juga terjadi di kolong rumah, kemudian udara ini
masuk ke dalam rumah melalui celah-celah lantai yang terbuat dari kayu,
menyebarkan udara sejuk ke dalam ruangan. Sementara udara panas yang
ringan, yang dihasilkan ruangan, akan bergerak naik ke atas dan keluar melalui
celah yang terdapat di antara lapisan atap. Begitulah yang terjadi seterusnya
sehingga mewujudkan cross ventilation. Teritisan atap rumah dibuat lebar agar
terhindar dari terik matahari dan mencegah air hujan masuk ke dalam rumah.
Lisplanknya yang berhias ukiran lebah bergantung berfungsi untuk mengurangi
glare (silau) matahari. Gentengnya yang terbuat dari tanah liat dimaksudkan agar
72

terhindar dari panas dikarenakan material tanah liat yang bersifat tidak menyerap
panas.

Gambar II.66 Adaptasi Rumah Melayu terhadap Iklim


[www.google.co.id]

C.5. Contoh Aplikasi Arsitektur Tradisional Melayu Riau pada Bangunan Modern

C.5.1. Pada Bangunan Pemerintahan


73

Gambar II.67 Gedung DPRD Riau Gambar II.68 Fakultas Kedokteran


[www.riaufocus.net] Universitas Riau
[www.fosmiavicena.wordpress.com]

Pada bangunan pemerintahan, penerapan Arsitektur Melayu Riau


sebagian besar pada bentuk atap (belah bumbung dan/atau tebar layar)
lengkap dengan penggunaan ornamen pada perabung atap, sudut atap
(sayap layang-layang), dan bidai. Dalam hal ini umumnya terdapat pada
bangunan pendidikan. Sedangkan bangunan pelayanan masyarakat
biasanya menambahkan ornamen pada lisplank dan dinding.

C.5.2. Pada Bangunan Komersial

Gambar II.69 Mall Pekanbaru


[www.mega-
Gambar II.70 Mall Ciputra Seraya
kargo.itrademarket.com]
[www.skyscrapercity.com]

Pada bangunan komersial, penerapan Arsitektur Melayu Riau umumnya


hanya sebagai tempelan/ pelengkap saja, sehingga bebas diletakkan
dimana saja. Pada umumnya hanya menerapkan pada bentuk atap (belah
bumbung) dengan ornamen pada perabung dan bidai.

C.5.3. Pada Bangunan dengan Fungsi Seni dan Budaya

Gambar II.71 Anjungan Seni Idrus Tintin Gambar II.72 Purna MTQ XVII
[www.balitbang.riau.go.id] [dokumen pribadi]

Pada bangunan dengan fungsi seni dan budaya, dikarenakan


tunjuannya untuk pelestarian dan pengembangan budaya Melayu Riau,
maka penerapan karakter Arsitektur Tradisional Melayu Riau diusahakan
mencakup segala aspek, terutama dari segi tampilan luar bangunan, baik
74

bentuk maupun estetika (ornamen). Eksterior menggunakan ornamen yang


lengkap hingga pada jendela, pintu, pagar, serta ventilasi. Bangunan
menerapkan bentuk yang dapat menggambarkan rumah tradisional Melayu
Riau dengan tiang, tangga, dan bentuk segiempatnya.
C.6. Korelasi Arsitektur Tradisional Melayu Riau dengan Perancangan Pusat Budaya
Melayu Riau
C.6.1. Perencanaan site

Site direncanakan memaksimalkan lahan terbuka hijau sebagai ruang


bersama/ komunal.

C.6.2. Tata massa dan tampilan bangunan

§ Tata massa menggunakan bentuk pola perkampungan Cluster dengan


open space sebagai ruang komunal sekaligus pengikat bangunan.
§ Tipologi bangunan persegi panjang berbentuk rumah panggung yang
berdiri di atas tiang yang berbentuk segi empat, segi enam, segi tujuh,
segi delapan, atau segi sembilan.
§ Kolong rumah yang diganti fungsinya menjadi ruang penunjang.
§ Elemen tangga yang berjumlah ganjil.
§ Pemberian level terhadap tingkat privacy dengan perbedaan ketinggian
lantai.
§ Bentuk atap belah bumbung dan/atau tebar layar serta
pengembangannya (selama masih relevan). Hal ini dikarenakan bentuk
atap limas mirip dengan bentuk atap rumah tradisional Jawa dan bentuk
atap lontik mirip dengan bentuk atap rumah tradisional Sumatera Barat.
§ Pemberian ornamen pada perabung atap, lisplank, permukaan atap
(bidai), tiang, dinding, pagar balkon, lubang ventilasi, pintu, dan jendela.
C.6.3. Landscape

Penggunaan vegetasi pohon kelapa sebagai batas fisik bangunan.

D. ESENSI PERANCANGAN PUSAT BUDAYA MELAYU RIAU

D.1. Perencanaan Site

§ Memerlukan site yang cukup luas.


75

Banyaknya jenis kegiatan dalam upaya pelestarian dan pengembangan


budaya mengakibatkan timbulnya kebutuhan ruang yang tidak sedikit.
Kebutuhan akan ruang pertunjukan yang dapat menampung banyak audience
menghasilkan kebutuhan ruang yang sangat besar. Ditambah dengan
kebutuhan ruang pameran dan pendidikan yang memiliki banyak spesifikasi
ruang.

§ Site terletak pada lokasi yang strategis.

Lokasi yang strategis akan memudahkan masyarakat untuk mencapai


bangunan ini. Lokasi yang strategis seperti di jantung sebuah kota, akan
mudah dikenali dan diingat serta sudah pasti akan mendapatkan utilitas kota
yang baik sehingga bangunan nantinya dapat berfungsi dengan baik pula.

§ Site memaksimalkan lahan terbuka hijau sebagai ruang bersama/ komunal.

Sifat orang Melayu yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam


menghadapi setiap permasalahan serta suka berinteraksi sosial dengan
tetangga menuntut pengadaan tempat khusus untuk berkumpul, seperti
halaman/ ruang komunal outdoor. Maka dari itu, site direncanakan akan
memaksimalkan lahan terbuka hijau sebagai ruang bersama.

D.2. Fasilitas yang Diwadahi


Pada umumnya fasilitas utama yang diwadahi bangunan pusat budaya
adalah: gedung pertunjukan/ teater, ruang pameran (besar dan kecil), ruang
meeting/ diskusi/ seminar, galeri seni, resource center, ruang praktek/ latihan dan
ruang studi/ kelas. Sedangkan fasilitas penunjang berupa: art shop dan restoran/
catering facilities.
Ruang pertunjukan berfungsi untuk memamerkan hasil karya peserta didik,
seperti seni tari, teater, dan musik, sedangkan untuk hasil karya seni rupa
dipamerkan di ruang pameran.
Ruang diskusi dan/atau seminar berfungsi sebagai wadah sharing informasi
mengenai perkembangan kebudayaan Melayu Riau.

Resource center yang sekaligus berfungsi sebagai perpustakaan merupakan


tempat pengembangan sumber daya, tempat mempelajari sejarah kebudayaan
Melayu Riau, serta tempat diadakannya riset/ eksperimen budaya.
76

Ruang kelas, yang dalam hal ini lebih tepat disebut sebagai ruang praktek/
latihan karena kesenian tidak hanya berupa teori namun harus dipraktekkan,
merupakan tempat peserta didik mempelajari kesenian Melayu Riau. Kelas-kelas
yang diadakan antara lain: kelas tari, kelas teater, kelas musik, kelas seni rupa,
serta kelas bela diri.

Art shop merupakan tempat penjualan souvenir Pusat Budaya Melayu Riau
yang juga merupakan hasil karya peserta didik. Sedangkan restoran merupakan
tempat dimana pengunjung dapat menyantap kuliner tradisional Melayu Riau yang
saat ini semakin jarang ada di pasaran.

D.3. Tata Massa dan Tampilan Bangunan

D.3.1. Tata Massa

Tata massa menggunakan bentuk pola perkampungan Cluster dengan open


space sebagai ruang komunal sekaligus pengikat bangunan.
Dikarenakan tidak ada wilayah pusat kota Pekanbaru yang dilalui sungai,
maka pola tata massa yang digunakan adalah bentuk pola perkampungan cluster
dengan open space di tengahnya. Open space sendiri juga berfungsi sebagai
penghubung antara massa satu dengan yang lain seperti yang telah dijelaskan
pada poin sebelumnya.
D.3.2. Tampilan Bangunan

§ Tipologi bangunan persegi panjang berbentuk rumah panggung yang


berdiri di atas tiang yang berbentuk segi empat, segi enam, segi tujuh,
segi delapan, atau segi sembilan.
§ Kolong rumah yang diganti fungsinya menjadi ruang penunjang.
Dalam manifestasinya, karena aslinya merupakan kolong rumah, maka
tingginya tidak sama ataupun melebihi tinggi lantai di atasnya yang
mewadahi fungsi utama. Ruang penunjang yang dimaksud di sini
adalah foodcourt dan art shop.
§ Elemen tangga yang berjumlah ganjil.
Seperti halnya pada rumah tradisional Melayu Riau, tangga mengarah
ke lantai yang mewadahi fungsi utama bangunan, dalam hal ini lantai
dua.
§ Pemberian level terhadap tingkat privacy dengan perbedaan ketinggian
lantai.
77

Semakin privat fungsi ruang, semakin tinggi permukaan lantai.


§ Bentuk atap belah bumbung dan/atau tebar layar serta
pengembangannya (selama masih relevan).
Bentuk atap belah bumbung dan/atau tebar layar dipilih atas
pertimbangan bentuknya yang lebih menunjukkan ciri khas Melayu
dibandingkan yang lainnya, seperti bentuk atap limas yang mirip dengan
bentuk atap rumah tradisional Jawa dan bentuk atap lontik yang mirip
dengan bentuk atap rumah tradisional Sumatera Barat.
§ Pemberian ornamen pada perabung atap, lisplank, permukaan atap
(bidai), tiang, dinding, pagar balkon, lubang ventilasi, pintu, dan jendela.
D.4. Landscape

Penggunaan vegetasi pohon kelapa sebagai batas fisik bangunan.

Ciri khas kampung Melayu adalah keteduhan yang diberikan oleh pepohonan
yang memungkinkan ruang-ruang terbuka, yang digunakan pada siang dan sore
hari. Batas pepohonan juga digunakan sebagai barrier bagi privacy. Pada
bangunan tradisional Melayu, yang menjadi batas fisik adalah pohon kelapa.

Anda mungkin juga menyukai