Anda di halaman 1dari 4

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Resolusi Konflik Dalam Kasus Kekerasan pada Kelompok Ahmadiyah di Jawa Barat
Menurut Wirawan (dalam Suhardono, 2015) Penyelesaian sengketa dapat dicapai dengan
dua cara: pengaturan sendiri oleh para pihak yang bersengketa (self-regulation) dan intervensi
oleh pihak ketiga. Dalam pengaturan diri, pemangku kepentingan mengembangkan strategi
konflik untuk mencapai tujuan mereka. Di sisi lain, dalam opsi pengaturan sengketa oleh pihak
ketiga, terdiri dari penyelesaian pengadilan, prosedur administrasi, dan alternatif penyelesaian
sengketa.

Menurut penulis, penting sekali untuk mempertimbangkan beberapa upaya resolusi


konflik yang dibuat dan dirumuskan, dibeberapa daerah dengan konflik yang serupa yakni
konflik yang terjadi pada Kelompok Ahmadiyah. Tetapi, yang perlu diperhatikan adalah setiap
konflik yang berkembang disetiap daerah, memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga resolusi
konflik yang ditulis dalam paper ini belum menjadi rujukan dalam kasus kekerasan pada
kelompok ahmadiyah. Namun, tetap dapat menjadi bahan pembahasan penyelesaian dalam
kasus tersebut.

Pertama, dalam ( Amrulloh dkk, 2010) ada beberapa langkah dalam mengupayakan
resolusi konflik pada konflik ahamdiyah di Lombok yakni diantaranya conflict prevention
(pencegahan terjadina konflik), rekonstruksi konflik, peacebuilding (upaya menciptakan
perdamaian) & rekonsiliasi. Conflict prevention atau upaya pencegahan terjadinya konflik,
ditunjukkan untuk mengubah pola hubungan sosial yang menjunjung keadilan, kesetaraan dan
non-diskrimintif. Selanjutnya, rekonstruksi konflik ditunjukkan untuk terciptanya penegakakan
hukum kepada kedua belah pihak atau yang berkonflik, serta penegakkan kesepakatan diantara
kedua belah pihak. Selanjutnya, peacebuilding dan rekonsiliasi ditunjukkan untuk menciptakan
perdamaian dengan melibatkan pihak=pihak yang berkonflik sebagai aktor utama, dengan
membuat kesepakatan bersama diantara pihak yang berkonflik.

Kedua, dalam (Rosyid, 2013) upaya resolusi konflik ini berasal dari kelompok
ahmadiyah itu sendiri. Mereka memberikan pemahaman kepada masyarakat umum, bahwa aliran
yang mereka anut tidak sesat. Hal ini dilakukan dengan beberapa langkah seperti, membuat
selembaran yang bertuliskan tuhannya sama, nabinya sama, pemberian kalimat Laailaha illallah
Muhammadurrosulullah, mencoba berbaur dengan masyarakat dan menjadi bagian dari
masyarakat, proaktif tehradap kebijakan pemeirntah dan taa terhadap aturannya, lingkungan
perumahan kelompok ahmdiyah tidak dibuat eksklusif, melakukan interaksi sosial saat
pembagian kurban antara warga ahmadi dengan non-ahmadi.

Ketiga, dalam (Zuldin, 2013) Upaya resolusi konflik di kabupaten Tasikmalaya,


dilakukan dengan dua cara yakni resolusi konflik non-litigasi dan resolusi konflik litigasi.
Resolusi konflik non-litigasi dilakukan dengan proses mediasi dengan pihak ketiga yakni aparat
pemerintah yang berasal dari RT, RW, Muspika, Muspida dan kepolisian. Lalu, selanjutnya
resolusi konflik litigasi dilaksanakan dengan proses peradilan. Dalam konflik di kabupaten
Tasikmalaya, SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 menjadi bagian dari resolusi
konflik sementara. Hal ini, dibuktikan dengan kecendrungan penurunan angka konflik.
Sedangkan, dala (Utami, 2016) upaya resolusi konflik di Tasikmalaya dilakukan dengan upaya
komunikasi yang ditengahi oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Beberapa langkah
komunikasi dilakukan dengan mendengarkan aspirasi pihak yang berkonflik, melakukan
silaturahmi sebagai survei kepada kelompok ahmadiyah,1 dan pemberdayaan ekonomi.
Komunikasi yang dilakukan oleh FKUB dilakukan dengan persuasif dengan mengakomodasi
keinginan para pihak yang berkonflik.

Terakhir, menurut penulis penting untuk menyajikan resolusi konflik dari perspektif
Agama islam dengan pendekatan Siyâsah Syar’iyyah.2 Yang pertama, dalam konsep amal ma’ruf
penting untuk melakukan kontrol sosial keagaamaan dengan melihat faktor budaya dan
pluralitas. Upaya dakwah atau diksusi agama yang terbuka dan bijaksana, sehingga institusi
agama dapat melahirkan perdamaian dan cinta kasih. Lalu, yang kedua dalam konsep nahi
munkar dengan mengambil langkah penyelesaian konflik dari para pemangku kebijakan atau
pemeirntah, dengan mempertimbangkan kedua belah pihak yang sedang berkonflik. Tidak hanya
itu, dalam (Surwandono, 2012) dikatakan, bahwa terdapat resolusi konflik didalam al-Qur’an
yakni dalam surat al-Hujurat yang berisi tentang bagaiamana menghadapi konflik dan melakukan
sikap pencegahan terjadinya konflik. Surah tersebut juga membicarakan tentang informasi yang
1
Survei dilakukan untuk mengetahui alasan warga masuk ahmadiyah, potensi komditas desa, keterampilan yan
dimiliki warga dan aktivitas warga sehari-hari (Utami, 2016).
2
Menurut Yusuf Qardhawi ( dalam, Siri) siayasah syar’iyyah merupakan sebuah langkah menjadikan syariat
sebagai pinjakan dalam membuat sebuha kebijkana dalam sistem politik dan ketatanegaraan.
bias, mempersaudarakan, tidak saling memperolok-olok, mencari kesalahan dan komunikasi
antar kelompok (AL-Qur’an, Surat 49;7-13).

Melihat dari penjabaran diatas, bisa ditarik garis besar bahwa upaya-upaya yang bisa
dijadikan resolusi konflik pada konflik kekerasan di Jawa barat yakni Pemerintah membuat
pengambilan keputusan yang inklusif dan non-diskriminatif degan memberikan rasa aman
dengan kepastian penegakkan hukum yang adil serta melibatkan pihak yang berkonflik untuk
membuat dan menandatangani kesepakatan. Lalu, kelompok ahmadiyah perlu menyesuaikan diri
dengan karakter dan budaya dilingkungan sekitarnya, sehingga narasi eksklusifitas dapat
dihindarkan dan memberikan pemahaman bagi warga bahwa aliran yang diyakininya selaras
dengan ajaran islam mainstream. Melakukan kegiatan dialog keagaaman yang intensif dan masif
dengan pelibatan kedua belah pihak yang berkonflik, dengan melakukan komunikas yang
persuasif serta mengakomodasi berbagai kepentingan maisng-maisng kelompok. Terakhir,
penting untuk memberikan pandangan bagi sebagian kelompok islam mainstream, bahwa
tindakan kekerasan tidak pernah dibenarkan dalam islam. Dalam penyelesaian sebuah konflik,
penting untuk melihat kembali sejarah konflik pada masa Rasullulah. Oleh karenanya, penting
untuk menanamkan kembali nilai-nilai keagamaan islam yang inklusif dan islam yang damai
dalam menyikapi permasalahn yang muncul di masyarakat, dengan berlandaskan Al-Qur’an
sebagai pedoman utamanya.

REFERENSI

Rosyid, M. (2013). Resolusi Konflik Berlatar Agama: Studi Kasus Ahmadiyah Di


Kudus. Fikrah, 1(2).

Sirin, Khaeron. Resolusi Konflik Kasus Ahmadiyah di Indonesia : Suatu Pendekatan Siyasah
Syar’iyyah.

Suhardono, W. (2015). Konflik dan Resolusi. Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, 2.

Utami, N. W. (2016). Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam
Resolusi Konfl ik Ahmadiyah.
Zuldin, M. (2016). Konflik Agama dan Penyelesaiaannya: Kasus Ahmadiyah di Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 37(2).

Anda mungkin juga menyukai