Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH POLITIK DAN HUKUM DI INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pancasila


Dengan dosen pengampu : Faizal Mulia Z, M.A

Di susun oleh :

AGITYA NUR PRYAL

NIM : 2030811017

PRODI ADMINISTRASI BISNIS


FAKULTAS
LLMU ADMINISTRASI DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Politik merupakan “legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum
yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggatian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Menurut patmo
dalam Mahfud (2009:1) mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.
Politik hukum di Indonesia ada yang bersifat permanen atau jangka panjang
dan ada yang bersifat pemberlakuan prinsip perjanjian yudisial, ekonomi,
kerakyatan, kemanfaatan, penggantian hukum-hukum kolonial dengan hukum-
hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara. Kemerdekaan
kekuasaan kehakiman dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang
dianut dalam UUD 1945 sekaligus berlaku sebagai politik hukum.
Hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah
situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan
dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. Dengan
demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk
mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan
larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan
menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Hukum sebagai salah satu kaidah
yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara adalah sebuah produk dari
kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan
hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama
yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan
kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan,
kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada
tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran
berdasarkan keputusan politik.
Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-
produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa
dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk
dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum
itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung
prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan. Dalam konteks
Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan masih belum dapat
bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang fair dan berkadilan
sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan praktek-praktek
hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia bahkan dapat dikatakan
berada pada situasi lawlessness, misalnya, sekelompok orang bersenjata dapat bergerak
bebas dan melakukan tindak kekerasan tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat
kepolisian, massa dapat mengadili pencuri kelas teri dan membakarnya, sementara
pengadilan membebaskan koruptor kelas kakap. Dunia hukum Indonesia berada dalam
kuasa “demoralisasi, disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”. Hukum adalah perintah
dari penguasa, dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau
yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili
Rasyidi.
Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah
panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti
John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain,
pandangan berbeda dzatang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang
melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari
kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa
hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok
menciptakan hukum yang hidup.
Soekanto & dan Abdullah (1987) menambahkan bahwa ketimpangan-
ketimpangan yang terjadi dalam proses penegakan hukum terutama di sebabkan karena,
secara konsepsionil di anut pendapat yang sempit mengenai hal itu. Hukum tidak hanya
terdiri dari “law enforcement” (yang dewasa ini tidak begitu gencar terdengar dalam
pembicaraan sehari-hari; berbeda dengan beberapa yang lampau, di mana hapir setiap
hari hal itu di degung- dengungkan); penegkan hukum juga mencakup pencipta
kedamaian.
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat
adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari
penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-
beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang
berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian
besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum
tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda
menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu
berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi
kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda).
Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan
hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan
hukum adat.
Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari
kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini
terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat
Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai
persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang
dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini
ialah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Politik ?
2. Apa yang dimaksud dengan Hukum ?
3. Bagaimana peranan politik dalam pembuatan perundang-undangan di Indonesia ?
4. Bagaimana peranan Hukum sebagai sarana mewujudkan tujuan negara ?
5. Bagaimana peranan politik dalam pembentukan hukum di Indonesia ?
6. Bagaimana pengaruh kepentingan dalam pembentukan hukum ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini
ialah sebagai berikut :
1. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui apa yang dimaksud dengan Politik ?
2. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum ?
3. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui peranan politik dalam pembuatan
perundang-undangan di Indonesia ?
4. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui apa peranan Hukum sebagai sarana
mewujudkan tujuan negara ?
5. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui apa peranan politik dalam pembentukan
hukum di Indonesia ?
6. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui apa pengaruh kepentingan dalam
pembentukan hukum ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik
Untuk memberikan definisi politik, ada beberapa ahli mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut:
Menurut Noer (1983) “politik adalah segala aktivitas atau sikap yang
berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan
jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat”.
Melihat definisi ini, maka hakekat politik menunjukkan perilaku atau tingkah
laku manusia, baik berupa kegiatan, aktivitas, ataupun sikap, yang tentunya bertujuan
akan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan kelompok masyarakat dengan
menggunakan kekuasaan. Ini berarti kekuasaan bukanlah hakekat politik, meskipun
harus diakui tidak dapat dipisahkan dari politik, justru politik memerlukannya agar
suatu kebijaksanaan dapat berjalan dalam kehidupan masyarakat.
Politik sebagai kegiatan dikemukakan Budiardjo (1982) sebagai berikut: “pada
umumnya dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan
dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu”.
Dengan adanya definisi dari Noer (1983) maupun Budiardjo(1982), pada
prinsipnya mengandung persamaan, di mana kedua pakar ini melihat politik sebagai
suatu kegiatan, namun ada perbedaan dalam hal bentuk kegiatan yang dilaksanakan.
Lebih lanjut Deliar Noer mengemukakan bahwa konsep politik tidak saja dilihat
dari sudut perilaku, tapi melihat aspek sejarah yakni melihat dari perspektif sejarah
bangsa Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan sampai sesudah kemerdekaan, di
mana mempunyai konsep yang lebih luas.
Kesimpulan yang dikemukakan Noer (1983) bahwa politik tidak terbatas pada
suatu kegiatan yang berkaitan dengan “decision making” (pengambilan keputusan) dan
kebijaksanaan umum (public politicies) seperti inti daripada konsep Budiardjo(1982),
akan tetapi mencakup tentang kegiatan-kegiatan yang bertujuan adanya perubahan-
perubahan struktur masyarakat seperti adanya pergeseran kekuasaan politik dari
penguasa atau rezim ke rezim lainnya.
Jika persoalan ini dikaitkan dengan definisi yang dikutip dari Soltou,
perbedaannya lebih jelas lagi, di mana politik terbatas pada penanganan masalah-
masalah umum oleh negara dan untuk masyarakat. Politik dihubungkan dengan lembaga
yang biasa disebut negara, maka konsep politik yang tersirat di dalamnya lebih sempit
lagi.
Perbedaan lain yang terkandung dalam definisi di atas adalah adanya gagasan
sistem politik dalam batasan Miriam Budiardjo yang tidak didapat secara eksplisit pada
definisi lainnya. Seperti sistem politik yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl (dalam
Noer, 1983) adalah “… any persisten of human relationship that involves, to
signivicant extent, control, influence, power or authority”.
Berdasarkan definisi ini bahwa pengertian sistem politik sebagai hubungan
manusia yang meliputi bentuk-bentuk kekuasaan, pengawasan, pengaruh, maka
pengertian politik tidak lagi terbatas pada negara, tapi juga mencakup bentuk-bentuk
persekutuan lainnya, seperti: perkumpulan sosial, organisasi keagamaan, dan lain-lain.
Sebagai organisasi negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap
kekuasaan lainnya yang ada dalam masyarakat dengan melalui penerapan hukum-
hukum. Karena itu semua kekuatan sosial dalam lingkungan negara harus menempatkan
dan menyesuaikan diri dengan kerangka kekuasaan negara.
Tentu dari macam-macam definisi mengenai politik itu mengandung konotasi
kebijakan, kekuasaan, negara, konflik, pembagian, dan keadilan. Sedang pendefinisian
dilihat dari aspek ciri hakikinya: metode pembahasanya, aspek kemungkinan yang ada
dan secara ilmiah dapat dipertanggugjawabkan. Sehubungan dengan hal di atas, Kartono
(1989: 5) melihat definisi politik dari dua aspek yaitu: dari struktur dan kelembagaan,
politik dapat diartikan sebagai berikut: (1) segala sesuatu yang ada relasinya dengan
pemerintahan (peraturan, tindakan pemerintah, undang- undang, hukum, kebijakan
(policy), beleid dan lain-lain; (2) pengaturan dan penguasaan oleh negara; (3) cara
memerintah suatu toritorium tertentu; (4) organisasi, pengaturan, dan tindakan negara
atau pemerintah untuk mengendalikan negara secara konstitusional dan yuridis formal.
B. Pengertian Hukum
Di bawah ini akan dikutip beberapa pendapat para ahli hukum ten- tang definisi
hukum sebagai berikut:
1. Plato, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik
yang mengikat masyarakat.
2. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat
masyarakat tetapi juga hakim.
3. Austin, hukum adalah peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan
kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya.
4. Bellfroid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib
masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
5. E.M. Meyers, hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan
kesusilaan ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi
pedoman penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
6. Duguit, hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang
daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
7. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat yang dengan ini kehendak
bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang
lain memenuhi peraturan hukum tentang kemerdekaan.
8. Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan
untuk mengatur dan melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
9. Van Apeldoorn, hukum adalah suatu gejala sosial; tidak ada masya- rakat yang
tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek dari kebudayaan
seperti agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan.
10. S.M. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri atas norma dan
sanksi-sanksi.
11. Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk
hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
12. M.H. Tirtaamidjata, hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut
dalam tingkah laku dan tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti
mengganti kerugian jika melanggar aturan itu yang akan membahayakan diri
sendiri atau harta, um- pamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya,
didenda, dan sebagainya.
13. J.T.C. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum ialah peraturan yang
bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana
terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
(syarifin, 1998)
Dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap sarjana hukum melihat hukum
sebagai sejumlah peraturan, atau kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai isi yang
bersifat umum dan normatif. Dalam hal ini umum karena berlaku bagi setiap orang dan
normatif karena menentukan apa yang seyogianya dilakukan, apa yang tidak boleh
dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan
kepatuhan pada kaidah tersebut.
Kaitannya dengan pengertian hukum itu, Zinsheimer dalam (syarifin, 1998)
membedakan hukum normatif, hukum ideal, dan hukum wajar, sebagai berikut.
1. Hukum normatif ialah hukum yang tampak dan hukum yang tidak tertulis dalam
peraturan perundang-undangan tetapi diindahkan oleh masyarakat karena keyakinan,
peraturan hidup itu sudah sewajarnya wajib ditaati.
2. Hukum ideal ialah hukum yang dicita-citakan. Hukum ini pada hakikatnya berakar
pada perasaan murni manusia dari segala bangsa. Hukum inilah yang dapat
memenuhi perasaan keadilan semua bangsa di seluruh dunia. Hukum ini yang
benar-benar objektif.
3. Hukum wajar, ialah hukum seperti yang terjadi dan tampak sehari- hari. Tidak
jarang hukum yang tampak sehari-hari menyimpang dari hukum normatif (tercantum
dalam perundang-undangan) karena tidak diambil oleh alat-alat kekuasaan
pemerintah, pelanggaran tersebut oleh masyarakat yang bersangkutan lambat laun
dianggap biasa (misalnya, kendaraan pada malam hari tanpa lampu, mengen-
darai sepeda motor tanpa memakai helm pada malam hari).
Pengertian dan asas itu penting dipelajari karena masing-masing mempunyai
makna yang berbeda sebagaimana tampak dalam unsur- unsur hukum (gegevens van het
recht) yang terdiri atas unsur ideal dan unsur riil.
Unsur ideal, karena sifatnya yang sangat abstrak yang tidak dapat diraba dengan
pancaindra, tetapi kehadirannya dapat dirasakan. Unsur ini bersumber pada diri manusia
itu sendiri yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Unsur cipta harus diasah, yang dilandasi
logika dari aspek kognitif, yakni mempunyai metodik, sistematik, dan pengertian.
Unsur ini menghasilkan ilmu tentang pengertian. Unsur karsa harus diasuh, yang
dilandasi etika dan beraspek konatif. Adapun unsur rasa harus diasih, yang dilandasi
estetika dan beraspek efektif. Karsa (etika) dan rasa (estetika) menghasilkan nilai, asas,
dan kaidah. Nilai dan asas menjadi objek kajian filsafat hukum, sedangkan kaidah
menjadi objek kajian ilmu tentang kaidah.
Di samping itu, unsur riil karena sifatnya yang konkret, bersumber pada manusia,
alam, dan kebudayaan yang akan melahirkan ilmu tentang kenyataan. Unsur ini
mencakup aspek ekstern sosial dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.
C. Peranan Politik Dalam Pembuatan Perundang-undangan di Indonesia
Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang sekarang telah berubah
menjadi pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 amandemen telah mengisyaratkan kepada
pembentuk undang-undang di Indonesia agar dapat mewujudkan cita-cita hukum
nasional. Untuk dapat memenuhi cita-cita hukum diperlukan pembangunan hukum dan
pembinaan hukum. Dalam merumuskan dan menetapkan politik hukum yang telah dan
akan dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara
negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Arah
dari itu semua adalah dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
William Zevenbergen dalam (Latif & Hasbi, 2011) mengutarakan bahwa politik
hukum mencoba menjawab pertanyaan, peraturan-peraturan hukum mana yang patut
untuk dijadikan hukum.
Perundang-undangan itu sendiri merupakan bentuk dari politik hukum (legal
policy). Pengertian legal policy, mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum
yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum akan dibangun. Politik hukum
memberikan landasan terhadap proses pembentukan hukum yang lebih sesuai, situasi
dan kondisi, kultur serta nilai yang berkembang di masyarakat dengan memperhatikan
kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.(Mahfud, 2009)
Dengan kata lain, politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu
pertama, politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan
perundang-undangan. Kedua, tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan
suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum memiliki
peranan sangat penting, yakni sebagai berikut:
1. Sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-
undangan.
2. Untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan
menjadi perumusan pasal.
Dua hal ini penting karena keberadaan peraturan perundang-undangan dan
perumusan pasal merupakan jembatan antara politik hukum tersebut dalam tahap
implementasi peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat antara pelaksanaan
peraturan perundang-undangan harus ada konsistensi dan korelasi yang erat dengan apa
yang ditetapkan sebagai politik.
D. Peranan Hukum Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Negara
Rahardjo (1991) mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan
cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat. Rahardjo (1991) menambahkan bahwa terdapat beberapa pertanyaan
mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu: (1) tujuan apa yang hendak
dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa
paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu
perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan
(4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut
secara baik.
Politik hukum merupakan legal policy atau garis (kebijakan) yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi :
1. pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-
materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga
dan pembinaan para penegak hukum.
Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan
pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan
dibangun dan ditegakkan. (Hakim, 1985)
Politik Hukum dapat dijabarkan sebagai kemauan atau kehendak negara
terhadap hukum. Artinya, untuk apa hukum itu diciptakan, apa tujuan penciptaannya
dan kemana arah yang hendak dituju. Politik Hukum adalah kebijakan pemerintah
mengenai hukum mana yang akan dipertahankan, hukum mana yang akan diganti,
hukum mana yang akan direvisi dan hukum mana yang akan dihilangkan. Dengan
demikian melalui politik hukum negara membuat suatu rancangan dan rencana
pembangunan hukum nasional di Indonesia. Pencapaian pembangunan hukum akan
mendorong pencapaian tujuan hukum yang selanjutnya mengarah pada terciptanya
tujuan negara. Tujuan hukum untuk menciptakan suatu keadilan, kemanfaatan,
ketertiban dan kepastian hukum tidaklah dengan mudah dapat dipenuhi apabila di dalam
setiap hukum yang ada terkandung tujuan negara. Pencapaian tujuan hukum akan
mengarah atau menuju pada pencapaian tujuan negara. Sebagai sarana tercapainya
tujuan negara, maka tujuan hukum harus tercapai terlebih dahulu sehingga tujuan negara
akan terwujud dengan baik.
Berdasarkan penjabaran diatas sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtstaat) dan bukan atas dasar kekuasaan (machstaat) Indonesia menuangkan cita-cita
ataupun tujuan negara melalui hukum sebagai sarananya dengan kata lain hukum adalah
sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan negara yang sudah di cita-citakan.
Melalui perspektif politik, hukum dipandang sebagai produk atau output dari
proses politik atau hasil pertimbangan dan perumusan kebijakan publik. Namun
disamping hukum sebagai produk pertimbangan politik, terdapat politik hukum yang
merupakan garis atau dasar kebijakan untuk menentukan hukum yang seharusnya
berlaku dalam negara. Di negara demokrasi, masukan (inputs) yang menjadi bahan
pertimbangan untuk penentuan hukum bersumber dari dan merupakan aspirasi
masyarakat yang disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang kemudian diproses
sehingga muncul sebagai outputs dalam bentuk peraturan hukum.
Mahfud (2010) mengemukakan pendapatnya bahwa sistem hukum nasional
merupakan kesatuan hukum dan perundang-undangan yang terdiri dari banyak
komponen yang saling bergantung, yang dibangun untuk mencapai tujuan negara
dengan berpijak pada dasar dan cita hukum negara yang terkandung di dalam
Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.

ujuan politik hukum nasional meliputi dua aspek yang saling berkaitan:
1. Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki; dan
2. Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia
yang lebih besar.
Dalam upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan
negara, politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut :
1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara yakni,
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3. Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
negara, yakni: berbasis moral agama, menghargai dan melindungi hak-hak asasi
manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua
ikatan promordialnya, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat,
membangun keadilan sosial.
4. Politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk : melindungi semua
unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan
teritori, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan,
mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum),
menciptakan toleransi hidup beragama berdasarkan keadaban dan kemanusiaan.
5. Sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni
sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai
sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan
mengambil unsur-unsur baiknya.
Sistem hukum yang demikian, mempertemukan unsur-unsur baik dari tiga
sistem nilai dan meletakkannya dalam hubungan keseimbangan, yakni: keseimbangan
antara individualisme dan kolektifisme, keseimbangan antara rechtsstaat dan the rule of
law, keseimbangan anatara hukum sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai
cermin nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, keseimbangan antara negara agama
dan negara sekuler (theo-demokratis) atau religius nation state. (Mahfud, 2010)
E. Peranan Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia
Menurut Daniel S. Lev dalam Salam (2015) yang paling menentukan dalam
proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum
sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara,
tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik,
ekonomi, sosial, dan seterusnya.
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak
diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali
proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi
dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat
menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan
antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang
kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara,
dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri. Pengertian hukum yang
memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah
dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula
mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum dalam kenyataan (Komar et.al, 2002 ).
Rahardjo (2010) menambahkan bahwa Indonesia masa kini, banyak masyarakat
yang tidak percaya terhadap lembaga dan penegakan hukum karena di sebabkan
persoalan-persoalan hukum yang tidak kunjung efektif dalam penanganannya. Ketidak
percayaan pada sistem hukum di Indonesia, yang makin hari mangkin memperhatinkan.
Kecenderungan itu tidak saja terjadi di lembaga-lembaga peradilan tetapi juga di
seluruh lapisan sosial. (Manullang, 2007)
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu
proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum.
Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang
pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata
“institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk
politik. Pengaruh itu akan semakin Nampak pada produk peraturan perundang-
undangan oleh suatu institusi politik yang sangat dpengarhi oleh kekuata-kekuatan
politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam
Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-
akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan. (Kusnadi, 2000)
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan
kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan.
Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah
sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu.
karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki
oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam
struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan
lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik
adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang
geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances,
seperti yang dianut Undang- Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika
diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan
negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-
lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan
menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang
tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi- fungsi
masing-masing. Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap
warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari
instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara
tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-
undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal
segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan
kepada Mahkamah Agung. Selain itu, pemerintah berhak dan berkewajiban menjaga
kepastian hukum. (Ali, 2011)
F. Pengaruh Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik,
terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi
produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut
berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya
menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti
kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No.
10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X
menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 :
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan
Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam
mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas.
Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang
berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan
Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala
bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang- undang yang memberi apresiasi yang
begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan
oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan
diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang
dipertaruhkan adalah soal hidup mati.
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat
terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi
jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu
karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini
yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak
mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang
memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Satu catatan penting yang
perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang
menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalau opini umum sampai
mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang
mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai
kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah.
Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting
memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses
untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan
politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi
yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan
mayoritas rakyat, dan memahami betul norma- norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan
kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
Politik hukum atau konfigurasi politik yang demokrasi sangat di harapkan dalam
tatanan politik di Indonesia sehingga dengan demikian akan menciptakan produk hukum
yang responsip.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Dari pemaparan materi diatas, maka simpulan dari makalah ini yaitu sebagai
berikut :
1. Melihat definisi politik dari dua aspek yaitu: dari struktur dan kelembagaan, politik
dapat diartikan sebagai berikut: (1) segala sesuatu yang ada relasinya dengan
pemerintahan (peraturan, tindakan pemerintah, undang- undang, hukum, kebijakan
(policy), beleid dan lain-lain; (2) pengaturan dan penguasaan oleh negara; (3) cara
memerintah suatu toritorium tertentu; (4) organisasi, pengaturan, dan tindakan
negara atau pemerintah untuk mengendalikan negara secara konstitusional dan
yuridis formal.
2. Dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap sarjana hukum melihat hukum sebagai
sejumlah peraturan, atau kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai isi yang bersifat
umum dan normatif. Dalam hal ini umum karena berlaku bagi setiap orang dan
normatif karena menentukan apa yang seyogianya dilakukan, apa yang tidak boleh
dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan
kepatuhan pada kaidah tersebut.
3. Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum memiliki peranan
sangat penting, yakni sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan. Dan untuk menentukan apa yang hendak
diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal.
4. Dalam kenyataannya negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya
untuk mewujudkan tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai
alatnya melalui pemberlakuan atau pencabutan hukum-hukum sesuai dengan
tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.
5. Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang
dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai
hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari
uraian pada bagian terdahulu, dapat dilihat bahwa apa yang dipahami sebagai
hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh politik
dalam pembentukannya
B. Saran
Demikian penulis memaparkan makalah dengan materi peran pemuda dalam
demokrasi. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan penulis semoga tulisan ini bisa
berkontribusi pada kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bisa bermanfaat bagi
penulis khususnya umumnya untuk pembaca sekalian.
Dalam penulisan ini masih banyak kekurangan baik dari teknis penulisan
maupun substansi materi makalh. Kritik konstruktif sangat penulis harapkan demi
kelancaran materi dalam tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Kartono, Kartini. 1989. Pendidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang
Dewasa. Bandung : Penerbit Mandar Maju.

Latif, Abdul dan Hasbi Ali,. 2011. Politik Hukum, Cetakan kedua, Jakarta: Sinar
Grafika.

Manullang, Efernando M. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum


Kodrat dan Antinomi Nilai, Cetakan kedua, Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara.

MD, Mahfud. 2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawalia Pers.

MD, Mahfud. 2010, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta:


Rajawali Pers.

Noer, Deliar. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta : Rajawali.

Pipin, Syarifin. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia.

Rahardjo, Satjipto. 1991, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah.1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,


Cetakan ketiga Jakarta: Rajawali

Wahyono, Padmo. 1986, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai