Anda di halaman 1dari 7

MANAGEMEN RISET

“HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TETANG TERAPI INFUS


DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS EMC
SENTUL”

Nama Kelompok:

Erna Setiawati 11212037

Ida Anyes Citra Dewi 11212057

Ruth Despitaria Duha 11212116

Waahyudi Kurniawan 11212153

Kelas NR EMC Sentul

STIKES PERTAMEDIKA

2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah sakit merupakan isntitusi pelayanan Kesehatan yang
menyelenggarkan pelayanan Kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan Kesehatan
yang aman dan efektif dilaksanakan paling sedikit sesuai dengan keselamatan
pasien antar lain pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan Kesehatan
(Kemenkes RI, 2014). Infeksi terkait layanan Kesehatan atau yang kebih
dikenal dengan healthcare associated infection (HAIs) adalah infeksi yang
diperoleh saat di rumah sakit dimana infeksi ini tidak ditemukan pada saat
pasien masuk ke rumah sakit (Kenimak, 2019).
Salah satu infeksi yang sering ditemukan dirumah sakit adalah infeksi
nosocomial atau HAIs. Infeksi nosokomial tersebut daapt diakibatkan oleh
prosedur untuk mengobati berbagai kondisi penderita atau pasien salah satu nya
pemasangan atau pemberian terapi intravena. Terapi intravena bermanfaat
untuk memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dalam tubuh manusia. Terapi intravena perifer digunakan untuk memberikan
terapi cairan pada klien sakit akut atau kronis ( Potter & Perry, 2006 ).
World Health Organization (WHO) tahun 2017, menyatakan bahwa di 55
rumah sakit dari 14 negara yang mewakili 4 Kawasan Eropa,
Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menunjukkan rata-rata 8,7%
pasien rumah sakit mengalami phlebitis yaitu 1,4 juta orang di
seluruh dunia yang diperoleh di rumah sakit, frekuensi tertinggi phlebitis
dilaporkan dari rumah sakit di kawasan Timur Tengah dan Asia
Tenggara memiliki 11,8% dari 59 orang dengan prevalensi 7,7% dari 385 orang
masing-masing di Kawasan Eropa dan Pasifik Barat (Cahyadi, La Ode.dkk.
2020).
Menurut dataWHO, prevalensi Infeksi Terkait Layanan Kesehatandi negara
majubervariasi antara 3,5% dan 12%, sedangkan di negara berkembang antara
5,7% dan 19,1%. Data Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI)
tahun 2016, menyatakan bahwa angka phlebitis di Indonesia untuk Rumah Sakit
Pemerintah memiliki prevelensi 50,11%, yaitu 2.5 juta orang sementara untuk
rumah sakit swasta memiliki prevelensi 32,70% dari 1.6 juta orang.
Berdasarkan penelitian Infection Prevention and Control Nurse (IPCN)
tahun 2013, di Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru ditemukan kasus phlebitis
sebanyak 435 orang dari 15705 pasien yang terpasang infus atau sekitar 2,76%,
sedangkan tahun 2014 ditemukan 381 kasus dari 5656 pasien yang terpasang
infus atau sekitar 6,7% (Cahyadi, La Ode.dkk. 2020).
Plebitis didefinisikan sebagai peradangan pada dinding pembuluh darah
balik atau vena (Hingawati Setio & Rohani, 2010). Plebitis merupakan
inflamasi vena yang disebabkan baik dari iritasi kimia maupun mekanik yang
sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. Plebitis
dikarakteristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan,
bengkak, indurasi, dan teraba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter
intravena, (Darmawan, 2008).
Faktor risiko terjadinya flebitis adalah jenis materi kanula, iritasi kimia yang
berasal dari substansi tambahan dan obat-obatan yang diberikan secara
intravena (misalnya antibiotik) dan posisi anatomis kanula (Potter &Perry,
2010).
Penelitian Agustini (2013) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian flebitis, menyimpulkan bahwa 85% responden yang rentan mengalami
flebitis adalah usia lansia, (b) 65% responden yang menggunakan cairan
hipertonis lebih besar resikonya mengalami flebitis. Selanjutnya pada penelitian
Pujasari (2002) menyimpulkan bahwa : (a) 10,1% (11 dari 109 responden),
dengan presentase berdasarkan lokasi yang lebih banyak menimbulkan flebitis
adalah vena metacarpal (72,7%) dan kemudian vena sefalika (27,3%).
Menurut O’Grady et al. (2011) dalam Nobre & Martins (2019), kontak
langsung dengan tenaga professional, perpindahan mikroorganisme kulit di
tempat pemasangan kateter intravena, melalui tangan, cairan dan instrumen
yang terkontaminasi merupakan rute kontaminasi patogen terkait kateter
intravena. (Nobre, 2018 dalam Sohilait, Hana 2020).
Dijelaskan bahwa jenis dan ukuran kateter intravena, implementasi perawat
dalam pencegahan flebitis seperti halnya tidak menerapkan atau mengutamakan
prinsip aseptik, dan lama waktu kateter yang terpasang lebih dari 72 jam
merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya flebitis (Saryono &
Anggriyana, 2011 dalam Komaling, et al., 2014, dalam Sohilait, Hana 2020).
Didapatkan bahwa kejadian flebitis meningkat seiring dengan waktu
kanulasi dan lama perawatan, dibuktikan dengan peningkatan dari 12% menjadi
34% pada 24 jam pertama dan meningkat dari 35% menjadi 65% setelah 48 jam
pemasangan (Wayunah, et al. 2013 dalam Sohilait, Hana 2020).
Penelitian yang dilakukan sebuah Rumah Sakit Swasta di Jakarta,
didapatkan ada hubungan antara pengetahuan tentang terapi Intravena dengan
perilaku perawat dalam pencegahan flebitis (Riris, et.al.,2014 dalam Sohilait,
Hana 2020)
Kejadian phlebitis dalam pengetahuan dan sikap perawat pada saat
melaksanakan pemasangan infus tidak melaksanakan tindakan
sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Penyebab perawat tidak
melakukan standar pemasangan infus diantaranya jumlah pasien yang masuk
banyak sehingga menyebabkan tindakan utama dari pasien kurang begitu
diperhatikan (Cahyadi, La Ode.dkk. 2020).
Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur
intravena, komposisi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan
tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula yang dimasukkan, pemasangan jalur
IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Flebitis dapat berdampak bagi pasien, maupun bagi Rumah
Sakit. Flebitis dapat menjadi berbahaya karena bekuan darah
(tromboflebitis)dapat terbentukdan pada beberapa kasus dapat
menyebabkan emboli. (Potter&Perry, 2010). Sedangkan bagi Rumah Sakit, hal
ini akan menambah beban kerja petugas kesehatan. Infeksi meningkatkan
morbiditas dan mortalitas, memperpanjang rawat inap, menyebabkan hilangnya
waktu kerja dan meningkatkan biaya perawatan (Sjamsuhidajat, 2013).
Menurut penelitian Yuniati (2018), membuktikan adanya keterkaitan
antara jenis cairan dan lokasi pemasangan kateter intravena dengan kejadian
flebitis. Demikian juga hasil penelitian Wahyu (2016) menyebutkan adanya
hubungan jenis cairan intravena dengan kejadian flebitis.
Perawat harus memiliki pengetahuan dan kompetensi mengenai
palaksanaan dan implementasi untuk mencegah terjadinya phlebitis pada
pasien.
Dari studi pendahuluan dan data di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang hubungan jenis cairan dan lokasi pemasangan
infus dengan kejadian flebitis pada pasien rawat inap di RS Emc Sentul.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apasaja factor yang menyebabkan terjadinya Flebitis?
2. Bagaimana pemberian cairan dan lokasi pemasangan infus menyebabkan
flebitis?
3. Bagaimana tingkat pengetahuan perawat RS EMC Sentul terkait kejadian
flebitis?
4. Bagaimana tingkat pengetahuan perawat dalam pemberian terapi cairan
intravena dengan lokasi pemasangan infus di ruang rawat Inap RS EMC
Sentul?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Untuk mengathui hubungan pengetahuan perawat tetang terapi infus
dengan kejadian flebitis pada pasien diruang rawat inap RS EMC Sentul

2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan perawat tentang terapi infus
pada pasien rawat inap di RS EMC Sentul
b. Menngidentifikasi terjadi atau tidak terjadi kejadian plebitis pada
pasien rawat ianp di RS EMC Sentul
c. Menganalisa hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang terapi
infus dengan kejadian phlebitis pada pasien di RS EMC Sentul
d. Menganalisa faktor potensial (Faktor Mekanik, faktor kimia, dan factor
infeksi) sebagai confounding hubungan pengetahuan perawat tentang
terapi infus dengan kejadian phlebitis di RS EMC Sentul

1.4 Manfaat Penelitian


a. Hasil penelitian dapat sebagai bahan masukan bagi rumah sakit untuk
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kreatifitas dan pengembangan
potensi diri semua staf dalam penyelesaian di lingkungan kerjanya yang
secara umum adalah mengatasi masalah rumah sakit.
b. Sebagai bahan masukan bagi managemen rumah sakit untuk menyusun
suatu kebijakan khususnya terkait kejadian phlebitis yang mempengaruhi
mutu pelayanan RS EMC Sentul
Refrensi:

Cahyadi ,La Ode Rahmat. dkk. 2020. Gambaran Pengetahuan Perawat mengenai
resiko kejadian Phlebitis di Kabupaten Konawe Selatam: Jurnal
Keperawatan, Vol 4

Beatrix S, Joan GA, Ricky D. Penggunaan Antiseptik Alkohol 70% Dan Octenidine
Dihydrochloride 0,1% Pada Prosedur Pemasangan Infus Untuk Mencegah
Phlebitis. J Sk Keperawatan. 2017;3(1):1–6.

Furtado, L. C. (2011). Incidence and Predisposing Factors of Phlebitis in a Surgery


Department. British Journal of Nursing Vol 20, No 14, S16-S25

Oliveria, Parreira, & Veiga (2010) Incidence of Phlebitis in Patients with Peripheral
Intravenous Catheters : The Influence of Some Risk Faktors. Vol 30. No.2

Rojas-Sanchez, L. Z., Parra, D. I. and Camargo-Figuera, F. A. 2015. Incidence and


Factors Associated with The Development of Phlebitis : Result of A Pilot
Cohort Study, pp. 61-67.

Wayunah., Nurachmah, E., dan Mulyono, S. 2013. Pengetahuan Perawat Tentang


Terapi Infus Memengaruhi Kejadian Plebitis dan Kenyamanan Pasien, Jurnal
Keperawatan Indonesia, vol. 16, no. 2, hal. 128-137.

White, D, and Bhalky, H, H. 2014. Prospective Study of Incidence and Predictors


of Pheripheral Intravenous Catheter-Induced Complications, pp. 993-1001.

Sohilait ,Hana Priscilla Frudence. 2020. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang


Pemberian Terapi Intravena Dengan Kejadian Flebitis Di Rumah Sakit
Umum Sembiring Delitua. Healthy Papua, Oktober 2020, 3 (2) :141-145

Anda mungkin juga menyukai