“Oksidentalisme”
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
BULHAJI
B. Rumusan Masalah :
1. Bagaimana Biografi Leonard Binder?
2. Apakah pengertian Islam Liberal?
3. Bagaimana sejarah Islam Liberal ?
4. Bagaimanakah Gagasan Islam Liberal menurut Leonard Binder ?
C. Tujuan Masalah :
1. Untuk mengetahui Biografi Leonard Binder.
2. Untuk mengetahui pengertian Islam Liberal.
3. Untuk mengetahui sejarah Islam Liberal.
4. Untuk mengetahui gagasan Islam Liberal menurut Leonard Binder.
BAB II
PEMBAHASAN
2
www.islamlib.com. Di akses a pada tanggal 17 November 2015 pukul: 22:02
3
Adian Husaini,Islam Liberal : sejarah, konseps,i penyimpangan,dan jawaban, Jakarta, Gema Insani Press,2002,
hal. 2
sekularisasi dan modernisasi Islam yang dibawa oleh Nurkholis Majid, Harun Nasution, Mukti
Ali, dan kawan- kawannya.
Gerakan liberalisme ini sebenarnya adalah pengaruh daripada falsafah liberalisme yang
berkembang di negara Barat yang telah masuk ke dalam seluruh bidang kehidupan seperti
liberalisme ekonomi, liberalism budaya, liberalisme politik, dan liberalisme agama. Gerakan
Liberalisme di Barat bermula dengan gerakan reformasi yang bertujuan menentang kekuasaan
Gereja, menghadkan kekuasaan politik, mempertahankan pemilikan serta menetapkan hak asasi
manusia. Gerakan liberalism tersebut masuk ke dalam bidang agama, sebagai contoh gerakan
reformasi Inggeris bertujuan untuk menghapuskan ketuanan dan kekuasaan golongan agama
(papal jurisdiction) dan menghapuskan cukai terhadap gereja (clerical taxation). Oleh sebab itu
gerakan liberalisme berkait rapat dengan penentangan terhadap agama dan sistem pemerintahan
yang dilakukan oleh golongan agama (gereja) atau raja-raja yang memerintah atas nama Tuhan.
Gerakan liberalisasi agama ini telah lama meresap ke dalam agama Yahudi dan Kristian.
Contohnya, Gerakan Yahudi Liberal (Liberal Judaism) telah muncul pada abad ke-19 sebagai
usaha menyesuaikan dasar-dasar agama yahudi dengan nilai-nilai zaman pencerahan
(Enlightenment) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Organisasi Yahudi Liberal
diasaskan pada tahun 1902 oleh orang yahudi yang memiliki komitmen terhadap falsafah liberal
dengan tujuan mempercayai kepercayaan dan tradisi Yahudi dalam dunia kontemporer.
Akibatnya daripada pemahaman liberal tersebut maka daripada 31 pemimpin agama yang
tergabung dalam persatuan Rabbi Yahudi Liberal (Liberal Judaism’s Rabbinic Conference)
terdapat empat orang rabbi lesbian dan dua orang rabbi gay. Dalam agama Kristian juga terdapat
golongan Kristian Liberal, di mana mereka melakukan rekonstruksi keimanan dan hukum
dengan menggunakan metode sosio-historis dalam agama (mengubah prinsip iman dan hukum
agama sesuai dengan perkembangan masyarakat), sehingga Charles A.Briggs, seorang Kristian
Liberal menyatakan: “It is sufficient that Bibel gives us the material for all ages, and leaves to an
the noble task of shaping the material so as to suit the wants of his own time” (Alister E.
McGrath, The Balckwell Encyclopedia of Modern Christian Thought, Oxford, 1993). Akhir-
akhir ini pengaruh liberalisme yang telah terjadi dalam agama Yahudi dan Kristian mulai diikuti
oleh sekumpulan sarjana dan pemikir muslim seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd
(Mesir), Muhammad Arkoun (Al Jazair), Abdulah Ahmed Naim (Sudan), Asghar Ali Enginer
(India), Aminah Wadud (Amerika), Noorkholis Madjid, Syafii Maarif, Abdurrahman Wahid,
Ulil Absar Abdalla (Indonesia), Muhamad Shahrour (Syria), Fetima Mernisi (Marocco) Abdul
Karim Soroush (Iran), Khaled Abou Fadl (Kuwait) dan lain-lain. Di samping itu terdapat banyak
kelompok diskusi, dan institusi seperti Jaringan Islam Liberal (JIL-Indonesia), Sister in Islam
(Malaysia) hampir di seluruh negara Islam.4
Golongan Islam Liberal tidak menzahirkan diri mereka sebagai orang yang menolak agama,
tetapi berselindung di sebalik gagasan mengkaji semula agama, mentafsir semula al-Quran,
menilai semula syariat dan hukum-hukum fikah. Mereka menolak segala tafsiran yang dianggap
lama dan kolot mengenai agama termasuk hal yang telah menjadi ijmak ulama, termasuk tafsiran
daripada Rasulullah dan sahabat serta ulama mujtahid. Bagi mereka agama hendaklah
disesuaikan kepada realiti semasa , sekalipun terpaksa menafikan hukum-hakam dan peraturan
agama yang telah sabit dengan nas-nas Syarak secara putus (qat’ie). Jika terdapat hukum yang
tidak menepati zaman, kemodernan, hak-hak manusia, dan tamadun global, maka hukum itu
hendaklah ditakwilkan atau sebolehnya digugurkan. Gerakan Islam Liberal sebenarnya adalah
lanjutan daripada gerakan modernisme Islam yang muncul pada awal abad ke-19 di dunia Islam
sebagai suatu konsekuensi interaksi dunia Islam dengan tamadun barat.
4
web.unc.edu/~kurzman/LiberalIslamLink, di akses pada tgl 08 November 2015, pukul : 22:12
mengkritik pemikiran Al-Maududi dan Sayid Quthb. Disamping ia juga mengkritik pendapat
Dhiyauddin Rais yang mengkritik buku Ali Abdul Roziq. Binder menyebut kritikan ke Abdul
Roziq sebagai kritik yang penuh kegusaran.
Menurut Binder, untuk mencapai kondisi politik yang liberal mau tidak mau harus
didahului oleh berkembangnya pemikiran liberal (liberal thought) di Negara bersangkutan.
“Political liberalism can exist only where and when its social and intellectual prerequisites
exist,” demikian ungkap Binder. Kondisi yang dimaksudnya adalah kondisi sosial yang liberal
dan pemikiran yang liberal.
Untuk menjelaskan apa yang dimaksudkan sebagai pemikiran liberal, ia
mengkontraskannya dengan pemikiran tradisional yang juga disebutnya sebagai pemikiran
fundamentalis. Menurut Binder, pemikiran tradisional adalah pemikiran yang berbasis pada
kepercayaan dan opini, selain pada apa yang disebutnya sebagai pengetahuan (knowledge).
Pengetahuan sendiri dirumuskannya sebagai “the correct representation of the world, free of
error and without the distortion of perspective, intentionality, or physical frailty.”Sementara bagi
kalangan tradisionalis, diakui oleh Binder, bahwa pengetahuan bagi mereka adalah apa yang
juga berbasis pada kepercayaan dan opini yang bias jadi mengabaikan rasionalitas. Sebab,
rasionalitas lebih banyak diwadahi oleh pemikiran yang berdasar pada knowledge (ilmu
pengetahuan) murni. Rasionalitas itu sendiri merupakan ciri utama dari pemikiran liberal. Oleh
sebab itu, pemikiran tradisionalis yang berbasis kepercayaan dan opini itu berseberangan dengan
pemikiran liberal. Jelas dalam hal ini, Binder mengkontraskan antara rasionalitas dan opini—
yang di dalamnya juga termasuk kepercayaan.
Dalam konteks Islam, Binder pun membedakan pola pemikiran Islam menjadi
tradisionalis (fundamentalis) dan liberal. Pemikiran tradisional dalam Islam didefinisikannya
sebagai pemikiran yang menjadikan “bahasa” al-Quran sebagai dasar yang absolute untuk
membentuk pengetahuan tentang dunia. Pengetahuan tentang berbagai hal dikonstruksi oleh teks
al-Quran. Istilah lain yang sepadan dengan istilah “tradisionalis” yang juga disebutkannya dalam
buku tersebut adalah “fundamentalisme Islam” (Islamic fundamentalism). Islam fundamentalis
ini secara umum terkategori sebagai tradisionalis dalam pengertian di atas, namun muncul
sebagai suatu gerakan di era modern; sering juga dikategorikan sebagai gerakan Islam modernis.
Islam fundamentalis ini dijelaskan Binder sebagai berikut:
“Islamic fundamentalism, thought relatively modern movement, has its doctrinal roots in the
earliest period of Muslim history. It shares many historical Islamic movements the recurring
impulse to renew the faith, to return to pristine origins, to shed the accretions of time and clime,
and to recapture the vigor and simplicity of prophetic times. At the core of the ideology of this
movement there is a strong component of emotional faith, but the distinctive characteristic of
the most recent fundamentalist movement has been a special sort of scripturalism.”
Berdasarkan definisi itu dapat disimpulkan bahwa Islam liberal yang dimaksud Binder
adalah mereka yang menganut paham penafsiran yang tidak tekstual terhadap al-Qur’an,
melainkan penafsiran yang didasarkan pada pencarian esensi makna ayat, bukan apa yang
tersurat dalam teksnya. Pencarian makna esensial, bukan tekstual itulah yang dianggap dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Walaupun demikian, Binder tidak menjelaskan
lebih lanjut bagaimana metode dan model pencarian makna “esensial” ayat itu, sekalipun
sepanjang bukunya ia menunjukkan contoh-contoh pemikir dan pemikirannya yang ia sebut
liberal secara luas terutama Ali Abd Al-Raziq dan Thariq al-Bishri. Selain itu, Binder juga
menyinggung Zaki Naquib Mahmud dari Mesir, Tarif Khalidi dari Libanon, dan Abdallah
Laroui dari Maroko. Semua yang dikutipnya adalah para pemikir liberal yang menulis secara
khusus tentang hubungan Islam dan politik yang dalam pandangan Binder akan menjadi salah
satu prasyarat terciptanya suatu politik liberal di negara-negara Islam, terutama Timur Tengah
yang menjadi fokus analisisnya.
Dalam konteks ini, Donald Eugene Smith (1970: 85-6) menyatakan bahwa sekularisasi
politik dicirikan oleh: (a) pemisahan politik dari ideologi agama dan struktur eklesiastikal; (b)
ekspansi politik (pemerintahan) untuk menjalankan fungsi-fungsi dalam wilayah sosial ekonomi
yang sebelumnya dijalankan oleh struktur keagamaan; (c) transvaluasi kultur politik untuk
menekankan tujuan-tujuan temporal non-transenden dan cara rasional pragmatis, yakni nilai-
nilai politik sekular; (d) dominasi politik atas keyakinan agama, praktik agama dan struktur
eklesistikal.
Hal ini menyiratkan bahwa sekularisasi politik dan meminggirkan agama dari politik
merupakan prasyarat bagi suatu negara-bangsa untuk bisa memasuki dunia modern dan
mencapai kemajuan di bidang ekonomi. Hanya saja, tesis ini tidak sepenuhnya mendapatkan
justifikasi otentik secara empiris, karena terdapat banyak Negara yang mencapai tingkat
kemajuan ekonomi dan teknologi dengan tepat setia pada tradisi keagamaan yang mereka anut.
Karena itu, kita mesti sependapat bahwa perubahan politik dan sosial yang signifikan tidak akan
pernah terjadi dalam masyarakat yang regim penguasanya mengklaim mendapatkan legitimasi
oleh simbol-simbol keagamaan, di mana penguasanya diyakini sebagai Ilahiyah atau ekspresi
ilahiyah. Karena itu, perubahan atau modernisasi politik sangat tergantung pada desakralisasi
atau sekularisasi politik.
Secara kategorial, paling tidak ada tiga paradigma pemikiran politik Islam dalam melihat
relasi agama dan negara :
1. Paradigma Integralistik
Paradigma ini memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya
agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga
meliputi politik atau negara. Oleh karena itu, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga
politik dan keagamaan sekaligus. Kelompok ini, memandang syari’ah sebagai totalitas yang
kaffah kamilah bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Sementara negara
berfungsi untuk menjalankan syari‟ah.
Implikasinya jelas, dimana aturan kenegaraan harus dijalankan menurut hukum-hukum
Tuhan (syari‟ah). Implikasinya jelas, dimana aturan kenegaraan harus dijalankan menurut
hukum-hukum Tuhan (syari‟ah). Ayat-ayat alQur‟an yang sering dikumandangkan sebagai
legitimasi bagi penerapan hukum Tuhan. Paradigma ini dianut kelompok syi‟ah, yang pemikiran
politiknya memandang bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi
kenabian.hubungan legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis
keturunan Nabi Muhammad, legitimasi garis berdasarkan pada hukum Allah, dan hal itu hanya
dimiliki oleh para keturunan Nabi.5
2. Paradigma Simbiotik
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu
berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan
negara karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama,
karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Aliran pemikiran ini menyadari, istilah negara (dawlah) tidak dapat ditemukan dalam al-
Qur'an. Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam al-Qur'an yang merujuk atau seolah-olah
merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya
5
M. Din Syamsudin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam(Bandung: Pustaka
Hidayah, Cet. ke-1, 1999), h. 46
bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka, jelas bahwa "al-
Qur'an bukanlah buku tentang ilmu politik.6
3. Paradigma Sekularistik
Paradigma ketiga ini bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak hubungan integralistik
dan simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak
pendasaran agama pada negara atau menolak determinasi Islam terhadap bentuk tertentu negara.
Menurut paradigma ini, Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan
hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara pengaturannya
diserahkan sepenuhnya kepada umat manusia. Masing-masing entitas dari keduanya mempunyai
garapan dalam bidangnya sendiri. Sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu
sama lain melakukan intervensi.
Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku
adalah hukum yang benar-benar berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan
tidak ada kaitannya dengan hukum agama (syari‟ah).7
Salah satu orang yang memprakarsai paradigma ini adalah Ali Abdur Raziq pada tahun
1925 ia menerbitkan sebuah risalah yang berjudul Al-Islam wa Ushul Al-Hukm. Menurutnya
pembentukan negara tidak disarankan oleh agama (syari‟at) melainkan berdasarkan akal umat.
Pada zaman Nabi di Madinah dilihat dari sudut apa pun, menurutnya bukanlah persatuan politik.
Disana tidak terkandung makna daulah atau pemerintahan, tetap murni persatuan agama yang
tidak dicampuri noda-noda politik. Persatuan iman dan pandangan agama bukanlah persatuan
daulah dan pandangan kekuasaan.8
BAB III
6
Din Syamsuddin, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 60
7
Dede Rosyada, et. al., Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HakAsasi Manusia dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), h. 63-64
8
Ali Abdul Raziq, Al-Islam wa Usul al-Ahkam, Mesir: 1925, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan, (Yogyakarta: Jendela, 2000), h. 85
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa beberapa paparan diawal, dapat disimpulkan bahwa islam liberal Islam
liberal merupakan satu aliran berpikir baru di kalangan umat Islam. Pemikiran Islam liberal
berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme
yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti
kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi
atas definisi Islam sehingga orang non-Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al Qur`an
sebagai kitab suci, dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari
radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-segan mengambil
hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain, ajaran HAM versi humanisme Barat,
falsafah sekularisme, dan paham lain yang berlawanan dengan Islam.
Ciri-ciri pemikiran islam liberal Kebergantungan semata-mata kepada akal manusia bagi
memandu kehidupan dunia, dualisme dalam memahami pelbagai realiti dan kebenaran.
Contohnya dualisme antara akal dan jasad, dan pemisahan antara kaedah rasionalisme dan
empirisisme, penekanan kepada unsur-unsur perubahan dalam kewujudan yang mempamerkan
pandangan alam (worldview) yang sekuler, Doktrin humanisme yaitu jelmaan ideologi
sekuralisme yang memusatkan penilaian segala-galanya kepada fikiran manusia.
Leonard binder mengkritik terhadap ideologi-ideologi pembangunan seperti yang
dikembangkan oleh marx dan lain-lain yang berfokus pada pembahasan korelasi antara
liberalism Islam dengan liberalisme politik, Dikotomi antara agama dan politik. Dan lain
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Binder, Leonard. Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Chicago:
Mc Gill Universty Press, 1988.
Leonard binder, Islam Liberal; Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2001
Adian Husaini, Islam Liberal; Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawaban (Jakarta,
Gema Insani, 2001)
web.unc.edu/~kurzman/LiberalIslamLink, di akses pada tgl 08 November 2015, pukul :
22:12 http://en.wikipedia.org/wiki/Leonard_Binder
Syamsudin, M. Din. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik
Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. ke-1, 1999
Syamsuddin, Din. Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2000
Rosyada, Dede. et. al., Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HakAsasi
Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000
Raziq, Ali Abdul. Al-Islam wa Usul al-Ahkam, Mesir: 1925, dan telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan, Yogyakarta: Jendela, 2000