Anda di halaman 1dari 11

Al-ahkam

JURNAL ILMU SYARI’AH DAN HUKUM


Fakultas Syari’ah IAIN SURAKARTA

SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Fanida Khoirotullatifah

Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said

fanidakhoirotullatifah8@gmail.com

Abstracts

Religious Courts in the form they are known today are an unbroken link in the history of the
entry of Islam. The history of religious courts in Indonesia has existed since the days of the
Islamic kingdoms. Then during the Dutch and Japanese colonial times. After independence
until finally the religious court lemang further emphasized the position of the Religious
Courts in Indonesia, this judicial interaction process has been going on for a very long time
since the Islamic community had political power during the Islamic sultanate until now. So
when we mention religious courts, we mean Islam in Indonesia.

Keywords: History, Religious Courts, Indonesia

Pendahuluan

Peradilan Agama di Indonesia adalah salah satu institusi Islam di Indonesia yang sangat
tua,ia merupakan salah satu mata rantai yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah
sampai sekarang. Menurut Kelly, (2020) Dalam perjalanannya yang panjang, peradilan
agama tetap eksis sebagai peradilan bagi masyarakat Islam Walaupun mengalami pasang
surut peradilan agama tetap berkembang sesuai situasi dan kondisi pada masanya
Pembangunan dan pembinaan peradilan agama di Indonesia tidak mungkin lepas dari
kekuasaan negara karena memberlakukan peradilan apapun tanpa landasan yuridis yang
diberikan negara bukannya mendatangkan ketertiban tetapi akan menimbulkan kekacauan
Dasar negara dan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada cukup akomodatif bagi
kemungkinan berkembanganya Peradilan Agama Khususnya di negara Indonesia.

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan peradilan agama telah ada di
berbagai nusantara jauh sejak zaman masa penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar
sejarah peradilan, peradilan agama sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia, yaitu melalui
2
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia
tahkim, dan akhirnya pasang surut perkembanganya hingga sekarang. Peradilan agama
sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
Pertama, secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum
dan keadilan; Kedua, secara yuridis hukum Islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf dan sodaqoh) berlaku dalam pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
Membicarakan sejarah peradilan Agama di Indonesia hubungannya erat dengan hukum Islam
dan umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama didasarkan pada hukum Islam, sedangkan
dalam perkembangannya hukum Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan telah lama
dianut oleh pemeluk agama Islam di Indonesia; Ketiga, secara historis peradilan agama
merupakan salah satu mata rantai peradilan agama yang berkesinambungan sejak masa
Rasulullah; Keempat, secara sosiologis peradilan agama didukung dan dikembangkan oleh
masyarakat Islam.

Pembahasan

Peradilan Agama Sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda

Sejarah pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada masa penjajahan


(Portugis, Belanda dan Jepang) harus dikaji berdasarkan sejarah masuknya Islam ke
Indonesia pada abad XIII. Penyebaran agama Islam ke Indonesia melalui saudagar Arab dan
Gujarat yang pada saat itu membuat kelompok masyarakat yang akhirnya berkembang
menjadi Kerajaan Islam. Meskipun sudah ada hukum Islam, akan tetapi secara kelembagaan
belum dikenal dengan istilah Pengadilan Agama. Lambat laun proses konkordasi hukum
Islam mempengaruhi adat kebiasaan setempat yang pada akhirnya meresipir hukum Islam
sebagai Hukum Adat yang sulit dan kompleks untuk dikaji. Untuk menemukan istilah atau
nama Pengadilan Agama di Indonesia pada masa Pra-Penjajahan. Pada abad ke-7, penerapan
hukum Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu saja melainkan juga
diterapkan pada masalah-masalah mu’amalah, munakahat, dan ‘uqubat. Dalam hal
penyelesaian masalah muamalah, munakahat, dan uqubat diselesaikan melalui Peradilan
Agama. Walaupun secara Yuridis lembaga Peradilan Agama belum ada, tetapi dalam
praktiknya telah ada penerapan Peradilan Agama dalam proses penyelesaian perkara-perkara
tersebut.

Periodisasi peradilan Islam di Indonesia sebelum datangnya pemerintahan kolonial Belanda


yang disepakati para ahli terbagi menjadi tiga periode, yaitu :

1. Periode Tahkim

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020


3
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia
Pada masa awal Islam datang ke Nusantara, komunitas Islam sangat sedikit dan
pemeluk Islam masih belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan
Islam. Bila timbul permasalahan, mereka menunjuk seseorang yang di pandang ahli
untuk menyelesaikannya. Apa pun keputusan yang akan dijatuhkan oleh orang yang
ditunjuk itu keduannya harus taat untuk mematuhinya. Cara seperti inilah yang
disebut “tahkim”. Bertahkim seperti ini dapat juga dilaksanakan dalam hal lain
sengketa, seperti penyerahan pelaksanaan akad nikah dari wanita yang tidak
mempunyai wali.
2. Periode Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi
Setelah kelompok-kelompok masyarakat Islam terbentuk dan mampu mengatur tata
kehidupan sendiri, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan cara
mengangkat Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Yaitu orangorang yang terpercaya dan luas
pengetahuannya untuk menjadi sesepuh masyarakat, selanjutnya Ahl al-Hali wa
al-‘Aqd mengangkat para hakim untuk menyelesaikan segala sengketa yang ada di
masyarakat. Penunjukkan ini dilakukan atas dasar musyawarah dan kesepakatan.
3. Periode Tauliyah
Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pengangkatan hakim
dilaksanakan dengan cara Tauliyah dari Imam, atau pelimpahan wewenang dari
Sultan selaku kepala Negara, kepala Negara selaku Waliy al-Amri mempunyai
wewenang mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk
menjadi hakim di wilayah kerajaan yang ditentukan oleh kepala Negara atau sultan.
Bersamaan dan perkembangan masyarakat Islam, ketika kedatangan orang-orang
Belanda pada 1605 M, Nusantara sudah terdiri dari sejumlah kerajaan Islam. Pada
periode ini kerajaan-kerajaan Islam Nusantara sudah mempunyai pembantu jabatan
agama dalam sistem pemerintahannya. Misalnya di tingkat desa ada jabatan agama
yang disebut kaum, kayim, modin, dan amil. Di tingkat kecamatan di sebut Penghulu
Naib. Di tingkat Kabupaten ada Penghulu Seda dan di tingkat kerajaan disebut
Penghulu Agung yang berfungsi sebagai hakim atau (qadhi) yang dibantu beberapa
penasihat yang kemudian disebut dengan pengadilan Serambi.
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa kesultanan Islam
bercorak majemuk. Kemajemukan itu sangat bergantung kepada proses Islamisasi
yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan
bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020


4
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia
sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan
perkembangannya, yang berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing. Selain
itu, terlihat dalam susunan pengadilan dan hierarkinya, kekuasaan pengadilan dalam
kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan secara umum, dan sumber pengambilan
hukum dalam penerimaan dan penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya.1
Sebenarnya sebelum Islam datang ke Nusantara, di negeri ini telah dijumpai dua
macam peradilan, yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. 2 Peradilan Pradata
mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangkan Peradilan
Padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja. Pengadilan pradata
apabila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber hukum Hindu yang
terdapat dalam pepakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis,
sementara Pengadilan Padu berdasarkan pada hukum Nusantara asli yang tidak
tertulis.
Menurut Ismanto & Suparman, (2020), dengan masuknya agama Islam di Nusantara,
maka tata hukum di Nusantara mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya
menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga
memasukan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada
umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukan keberadaannya, tetapi hukum
Islam telah merembes di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal
itu mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan pengembangan Pengadilan
Agama di Indonesia.
Hukum Islam di Nusantara sebenarnya telah lama hidup di antara masyarakat Islam
itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama
Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudaya
kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang
masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut mereka, misalkan Hindu,
Budha dan disusul dengan kerajaan/kesultanan Islam yang didukung para wali
pembawa dan penyiar agama Islam.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah
dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Sebagai
gerbang masuk ke dalam kawasan Nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah
yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara
1
Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2003, Cet; 4, hlm. 113.
2
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 34

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020


5
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia
perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di
Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian
diikuti dengan berdirinya kerajaan Islam pertama sekitar abad ke-13 yang dikenal
dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah Aceh Utara.
Dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin
menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak
jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di Jawa antara lain kesulatanan
Demak, Mataram, dan Cirebon. Kemudian di daerah Sulawesi dan Maluku yang ada
kerajaan Gowa dan kesultanan Ternate serta Tidore.
Hukum Islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum
Islam di Nusantara. Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan
Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di Nusantara
sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dan adanya literatur-
literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada abad ke-16 dan 17-an.
Dimana para penguasa ketika itu memposisikan hukum Islam sebagi hukum Negara.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan
keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela
dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi
kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya
kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik
bahkan sampai misi kristenisasi.3

Peradilan Agama Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia ini Pengadilan Agama telah tumbuh dan
berkembang di tengah kehidupan masyarakat muslim.Peradilan Agama Di Indonesia by
Prof. Dr. H. Pagar, M.Ag. (z-Lib.Org).Pdf, n.d.)

Sejak masa VOC di Indonesia, Belanda mengakui bahwa di Indonesia ini dihuni oleh raja-
raja Islam yang menerapkan hukum Islam, sekaligus menegakkan Peradilan Agama. Hal ini
dapat dilihat;

Pada tanggal 25 Mei 1760 Freijer telah membuat kumpulan aturan hukum perkawinan dan
kewarisan, yang dibuat dalam bentuk peraturan, dan hal ini terkenal namanya dengan
"Compendium Freijer". Compen dium Freijer ini dihimpun dari kenyataan hukum keluarga

3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Gafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 37.

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020


6
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia
Islam yang secara realitas dijumpai dan diterapkan berlakunya di Nusantara ini sejak
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam secara resmi (Resolutie der Indische regeering)."4

Sejalan dengan bukti yang ada bahwa Peradilan Agama telah diterapkan dalam kerajaan-
kerajaan yang dipimpin oleh Sultan, maka pemerintah Belanda pada awalnya mengambil
sikap membiarkan hal itu berjalan terus dengan apa adanya tanpa campur tangan mereka.

Kemudian ada peralihan sikap para pembuat dan penentu kebijakan hukum dan penjajahan di
negeri Belanda terhadap jajahannya, Hindia alam hal ini mengenai hukum perdata/hukum
kekeluargaan. Perubahan sikap ini antara lain dianjurkan oleh Cornelis van Vollenhoven
(1874-1933) yang mulai mengkriuk dan menyerang pasal 75 dan 109 RR Stb. 1855: 2 itu.
Cornelis van Vollenhoven sebenarnya adalah ahli hukum adat, disebut sebagai orang yang
memperkenalkan Het Indische Adatrecht (hukum adat di Indonesia). Yang terkenal lagi
dalam golongan ini ialah Christian Snouck Hurgronye (1857-1936). Dia adalah penasihat
pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam anak negeri ini.

Secara umum kewenangan Pengadilan Agama di Indonesia dalam menentukan kasus apa saja
yang diselesaikannya, yang erat kaitannya dengan adanya pengakuan hukum islam yang
berlaku bagi Indonesia pada waktu itu, seseorang penulis Belanda Van De Berg
mengemukakan sebuah teori dengan mengemukakan bahwa “ Bagi orang isllam berlaku
hukum islam walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan “. Teori ini dikenal dengan
teori Receptio in Complexu.5 Selanjutnya juga ada teori Receptie yang dikembangkan oleh
Christian Snouck Hurgronje, yang maksudnya berlaku di Indonesia ini adalah hukum adat,
hukum Islam masuk ke dalam hukum adat, maka hukum Islam yang mempunyai kekuatan
adalah sepanjang telah diterima oleh hukum adat. Teori ini lahir, berkembang dan diterapkan
di Pengadilan Agama setelah tahun 1937 pada saat mulai dibatasinya wewenang absolut
Pengadilan Agama hanya dalam masalah perkawinan saja, sedang masalah waris, wakaf,
hibah, sadaqoh, baitul mal, dan yang lainnya sudah menjadi wewenang Pengadilan Negeri.

Teori Receptie ini bertujuan untuk mengurangi peranan hukum islam dengan mengedepankan
Hukum Adat atau bahkan mengganti hukum islam dengan hukum adat. Selain itu bertujuan
untuk memperkuat pemerintahan colonial dan adanya kepentingan pemerintahan colonial
dalam penyebaran agama Kristen di wilayah hindia.6

4
Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. Ke-1, Gema Insani Press,
Jakarta, 1996 M., hlm. 131.
5
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Ind-Hill, 1991, hlm. 66.
6
Wahyudi, Abdullah Tri, Peradilan Agama di Indonesia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 ) hlm. 10.

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020


7
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia
Sejalan dengan hal ini Hazairin mengecam dengan sangat pedas teori resepsi Snouck
Hurgronje tersebut, dengan menamakannya teori setan atau teori iblis. Dia mengatakan
bagaimana mungkin umat Islam Indonesia menempatkan hukum adat di atas Al-Qur'an dan
Al-Hadis, sehingga ditempatkan posisi hukum adat di atas sekaligus memfilter hukum Islam
untuk dapat dinyatakan sebagai hukum yang diterapkan di Indonesia ini.

Dan Hukum Islami sama sekali tidak mempunyai kedudukan yang mandiri setelah Pasal 78
RR dirubah dengan Staatsblad Tahun 1929 No. 221 Pasal 134 ayat (2) IS yang bunyinya:
"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim
agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh Hukum Adat mereka dan sejauh
tidak ditentukan lain oleh ordonansi. Menurut Soepomo, dari bunyi pasal tersebut 29 ada dua
kriteria perkara yang bisa diajukan ke Hakim Agama, yaitu semua pihak dalam perkara
adalah orang Islam, hukum yang digunakan dalam mengadilinya menggunakan Hukum
Adat.7

Peradilan Agama Masa Pendudukan Jepang

Pendudukan Jepang di Indonesia ini hanya berlangsung tiga setengah tahun. Sesuai dengan
kesulitan yang dialami oleh pemerintah Jepang atas ancaman yang sedang bertubi-tubi dari
pihak Sekutu, maka mereka memanfaatkan aspek politik hukum Islam, yaitu mengambil hati
penduduk umat Islam Indonesia. Sejalan dengan ini seperti yang dikutip dari UUD, (1945)
pemerintah Jepang membentuk semacam bagian urusan agama (shuumubu) sebagai
pengganti urusan agama di Departemen Pengajaran dan Urusan Agama (Departement Van
Onderwijs En Eeredienst). Bagian urusan agama ini mempunyai cabang cabang di Koci Zimu
Kyoku (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan mungkin di beberapa propinsi lain yang banyak
pemeluk Islamnya. Di dalam kemiliteran dibentuk barisan Hizbullah (tentara Allah) yang
terdiri dari pada pemuda Islam. Kemudian tentara Pembela Tanah Air (PETA), di dalamnya
termasuk pihak ulama dan pemimpin Islam sebagai daidancho (komandan batalyon) dan
cunudancho (perwira menengah). Dengan ini jelas terlihat bahwa dalam aspek
politik/pengelolaan kekuasaan, hukum Islam dilibatkan, para ulama dan pemimpin Islam
mendapat berbagai ujian di bidang politik ini.

Sejalan dengan suasana politik simpatik Islam yang diterapkan oleh pemerintah Jepang ini
dapat dipahami oleh golongan Islam, karenanya ada upaya untuk menciptakan pembaharuan

7
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia ( Sebelum Perang Dunia II ), Noordhoff-Kolff N. V., Jakarta, 1967, hlm.
74.

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020


8
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia
dan memulihkan Pengadilan Agama, di mana pada masa Belanda telah mengalami konflik.
Upaya ini ternyata tidak berjalan mulus karena terdapat perbedaan pandangan dari umat
Islam yang nasionalis. Perbedaan pandangan ini terfokus dalam menentukan hubungan
agama dan negara, di satu sisi kelompok Islam menghendaki agar terciptanya negara Islam,
sedang di sisi lain kelompok nasionalis menghendaki lahirnya negara netral dari intres
agama.

Sebegitu jauh, pendudukan jepang di Indonesia tidak membawa banyak pengaruh terhadap
lembaga-lembaga islam, termasuk didalamya peradilan agama. Sedikit membawa kemajuan
Islam di satu atau beberapa daerah saja, yang ternyata hanya sebagai dalih saja, demi
kepentingan Jepang.8 Para pemimpin Islam pada waktu itu melihat adanya kesempatan untuk
memulihkan hak-hak Islam, termasuk didalamya peradilan agama, yang selama penjajahan
Belanda dibatasi perkembangannya.

Kesempatan yang diharap-harapkan ternyata tidak muncul. Ini disebabkan karena penasehat
hukum untuk Jepang, Supomo, seorang ahli hukum Adat, menyampaikan laporannya tentang
peradilan Agama dan masalah warisan. Laporan itu memuat sejarah yang panjang-panjang
tentang peradilan agama di Indonesia, terutama di Jawa, yang dibuat sedemikian rupa
sehingga merupakan sebuah saran yang menentang kembali pemulihan kewenangan
peradilan agama yang telah dikurung semasa penjajahan Belanda.9 Dikutip dari perkataan
Muhyidin, (2020) bahwa didalam dokumen yang bersifat rahasia tanggal 10 Pebruari 1945,
supomo mengajukan berbagai pertanyaan antara lain apakah peradilan agama dalam negara
Indonesia dikemudian hari tidak sebaiknya dihapuskan. Memang pertanyaan Supomo
tersebut didukung oleh pemikiran yang sekuler, bahwa negara modern tidak perlu
mendasarkan pada agama.

Pendapat yang demikian itu mendapat tantangan yang berat dari Abikusmo, yang tidak saja
menuntut tetap didirikannya peradilan yang menurutnya harus ada, tetapi harus juga
diperkuat dengan disediakan tenaga yang terdidik dan terlatih serta digaji pemerintah. Selain
itu kompetensi masalah waris harus dikembalikan. Begitulah pembahasan dalam sanyo kaigi
(Dewan Pertimbangan) tanggal 16 dan 17 Pebruari 1945.

8
Bandingkan dengan tulisan H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal 30
9
Daniel S Lev, Peradilan Agama Islam Di Indonesia Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga
Hukum ( Islamic Court In Indonesia A Study In The Political Bases oi Legal Institution ), ( Jakarta : Intermassa,
1986 ), hlm. 53.

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020


9
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia
Sejalan dengan singkatnya masa pemerintahan Jepang, dan kesulitan kesulitan yang
dihadapinya dalam melawan pihak sekutu, maka secara umum pemerintah Jepang tidak
banyak berbuat terhadap Peradilan Agama. Pengadilan Agama yang ada pada masa Jepang
sama dengan Peradilan pada masa sebelumnya (Belanda) hanya saja dijumpai perubahan
nama, Pengadilan Agama pada masa Belanda ditukar namanya menjadi Sooryoo Hooin,
sedang Mahkamah Islam Tinggi berubah menjadi Kaikyoo Kooto Hooin. Sementara tugas
penghulu sama seperti sebelumnya.

Kesimpulan

Sebuah peradilan yang merupakan alat kelengkapan bagi umat Islam dalam melaksanakan
Hukum Islam, Peradilan Agama Islam dikhususkan bagi masyarakat yang beragama Islam di
Indonesia, sebagai alat kelengkapan pelaksanaan Hukum Islam itu sendiri. Maka Peradilan
Agama ini tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara yang kemudian disambut dengan
senang dan baik oleh masyarakat penduduk Indonesia. Walaupun disadari sepenuhnya bahwa
Peradilan Agama khususnya dan Ilmu Pengetahuan Hukum Islam pada umumnya belum
pernah berkembang secara menyolok di Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-
negara yang lainnya terutama sekali yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun
demikian konsepsi-konsepsi Hukum Islam telah menyumbangkan suatu potensi pemikiran
yang sangat baik bagi perkembangan dan pembinaan Hukum Islam.

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020


10
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia

Daftar Pustaka

Ismanto, I., & Suparman, S. (2020). Sejarah Peradilan Islam di Nusantara Masa Kesultanan-
Kesultanan Islam Pra-Kolonial. Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah, 3(2), 67–88.
https://doi.org/10.15575/hm.v3i2.9169

Kelly, T. P. M. F. (2020). 済無 No Title No Title No Title. Angewandte Chemie


International Edition, 6(11), 951–952., 24(19).

Muhyidin, M. (2020). Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Gema Keadilan, 7(1),


1–19. https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/7233

Peradilan Agama di Indonesia by Prof. Dr. H. Pagar, M.Ag. (z-lib.org).pdf. (n.d.).

UUD. (1945). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連指標に関す


る共分散構造分析 Title. 105(3), 129–133.
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:BDsuQOHoCi4J:https://media.neliti.com/media/publications/9138-ID-
perlindungan-hukum-terhadap-anak-dari-konten-berbahaya-dalam-media-cetak-dan-
ele.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id

Amrullah, A. d. (1996). Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Cet 1. Gema
Insani Press.

Bisri, C. (2003). Peradilan AAgama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada.

Halim, A. (2000). Peradilan Agamaa Dalam Politik Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada.

Ramulyo, M. (1991). Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Ind-Hill.

Rofiq, A. (1998). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada.

S. Lev, D. (1986). Peradilan Agama Islam di Indonesia Suatu Studi Tentang Landasan Politik
Lembaga-lembaga Hukum. Jakarta: Intermassa.

Soepomo. (1967). Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta.

Suminto, H. (1986). Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.

Wahyudi, A. (2004). Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020


11
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia

Al-Ahkam ~ Vol. 5, Nomor 2,2020

Anda mungkin juga menyukai