Anda di halaman 1dari 4

REVIEW JURNAL

Model Strategi Kebudayaan Dalam

Pemberantasan Korupsi di Indonesia

NAMA : Annisa Chairani Hasymi

NIM : 120105131

PRODI : Hubungan Internasional

MATA KULIAH : Antikorupsi

DOSEN PENGAMPU : Dr. Aan Rukmana MA


Model Strategi Kebudayaan Dalam
Judul
Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Jurnal Jurnal Review Politik

Volume
dan Volume 05, Nomor 01, Juni 2015 Halaman 22-45
Halaman

Tahun 2015

Penulis Listiyono Santoso dan Dewi Meyrasyawati

Reviewer Annisa Chairani Hasymi

Tanggal 31 Maret 2021

Tujuan Penelitian ini bertujuan membuat strategi kebudayaan untuk memberantas


Penelitian korupsi di Indonesia Fokus

Subjek
Masyarakat
Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik atau metode analisis


deskriptif untuk mengungkapkan perilaku korupsi, serta menemukan berbagai
Metode
masalah budaya.
penelitian

Hasil Menelusuri Akar Sejarah Korupsi di Indonesia:


Penelitian
Onghokham dalam Mochtar Lubis dan James C. Scot (1985:115-116)
mengatakan bahwa korupsi adalah satu gejala sosial dan politik dalam sejarah
dan masa kini. Onghokham mengungkapkan tentang sumber-sumber
tradisional dari gejala korupsi di Indonesia yang bermula dari ketika adanya
pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik.

Menurut Said dan Nizar Suhendra sebagaimana dikutip Siswanto. korupsi


masih dipandang sebagai masalah mikro yang dampaknya dianggap kurang
signifikan bagi tumbuhnya suatu bangsa.

Korupsi seolah hanya berkaitan dengan problema ekonomi yang kemudian


masuk dalam wilayah hukum, padahal perilaku korupsi adalah mewujudkan
cacat moral yang dialami oleh pelakunya. Artinya, warga masyarakat dalam
kultur pembiaran memiliki kecenderungan untuk membiarkan berbagai
praktek ketidakjujuran dalam memperoleh harta benda, karena menghindari
disharmonisasi sosial dan agar terlepas dari anggapan perusak tatanan.
Korupsi dikatakan sebagai warisan budaya dan buah dari budaya patrimonial
akar-akarnya sudah ditemukan dalam kerajaan dan masyarakat tradisional
Indonesia. Tampaknya benar jika disebutkan bahwa meskipun sistem dalam
birokrasi sudah menjadi modern, tetapi kalau cara berpikir dan sistem
sosialnya masih kental dengan nuansa patrimonial, niscaya pemberantasan
korupsi selalu terkendala pada mentalitas kebudayaan yang ada.

Korupsi dalam Persepsi Publik dan Moralitas Kekuasaan:

Perspektif yang salah terkait dengan kekuasaan, sering mendorong subjek


kuasa mudah melakukan praktik korupsi, baik yang disadari maupun tidak.
Menjadi wajar ketika praktik korupsi dalam kenyataannya selalu melibatkan
kekuasaan. Menguatnya birokrasi dan parpol sebagai pelaku korupsi, seolah
mengasumsikan bahwa reformasi birokrasi ternyata tidak berbanding dengan
reformasi di bidang pemberantasan korupsi. Seolah selalu saja ada modus
baru dari setiap bentuk pemberantasan korupsi dilakukan, Hal ini menguatkan
suatu indikasi bahwa watak korupsi di Indonesia mudah dilakukan oleh
birokrasi yang masih menunjukkan wajah patrimonialnya. Watak korupsi
dalam birokrasi patrimonial yang kemudian didukung oleh perilaku elit politik
mendukung kian masifnya praktik korupsi yang melibatkan oknum birokrasi
dan oknum partai politik.

Korupsi kemudian menjadi sebuah fenomena yang sifatnya massal, yang


dalam perspektif Bourdieu disebut sebagai banalitas korupsi. Dimana korupsi
tidak lakukan oleh sendiri, termasuk juga tidak dinikmati sendiri. Korupsi
selalu meli- batkan suatu lingkaran struktural di dalamnya.

Pendidikan Anti Korupsi sebagai Strategi Kebudayaan:

Pertama, internalisasi pendidikan anti korupsi ke dalam sistem pembelajaran.


Setidaknya sebagai salah satu pengkondisian agar masyarakat, memiliki
kemampuan untuk mencegah terjadinya korupsi. Kedua, peningkatan
wawasan masyarakat melalui pembentukan simpul-simpul anti korupsi.
Pendidikan anti korupsi dalam konteks ini meliputi internalisasi ke dalam
mata pelajaran atau kuliah untuk siswa/mahasiswa dan internalisasi dalam
dunia kehidupan untuk masyarakat. Siswa/mahasiswa dan masyarakat (non
akademik) harus dilibatkan sebagai komponen sosial utama dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia. Ada tiga (3) hal upaya yang dilakukan
dalam rangka keberhasilan menciptakan masyarakat anti korupsi, yakni: 1)
pembiasaan dan penciptaan peri- laku; 2) internalisasi melalui pendidikan; 3)
komitmen bersama yang ditegakkan melalui public policy (kebijakan publik)
yang mengarusutamakan kepentingan bersama. Ketiga model pendekatan
ini dianggap representatif dalam rangka menciptakan masyarakat anti korupsi.
Hal ini karena perilaku korupsi sesuungguhnya menyangkut juga persoalan
(nilai) karakter yang terbentuk dalam kebiasaan hidup sehari-hari.

Kelebihan pada penelitian ini adalah

Kekuatan - Penggunaan teori dan referensi yang sangat gamblang sehingga sangat
Penelitian mudah dipahami secara runtut.
- Penulis menggunakan metode wawancara dengan ahli di bidang
antikorupsi sehingga data yang dihasilkan berdasarkan ahli.

Kelemahan dari penelitian ini karena hanya mewawancara beberapa warga


Kelemahan
masyarakat maka hasil yang didapatkan hanya sebatas persepektif warga itu
Penelitian
saja.

Meskipun sistem dalam birokrasi sudah menjadi modern, tetapi kalau cara
berpikir dan sistem sosialnya masih kental dengan nuansa patrimonial, niscaya
pemberantasan korupsi selalu terkendala pada mentalitas kebudayaan yang
ada. Menguatnya birokrasi dan parpol sebagai pelaku korupsi, seolah
mengasumsikan bahwa reformasi birokrasi ternyata tidak berbanding dengan
reformasi di bidang pemberantasan korupsi. Seolah selalu saja ada modus
Kesimpulan baru dari setiap bentuk pemberantasan korupsi dilakukan.

Ada tiga (3) hal upaya yang dilakukan dalam rangka keberhasilan menciptakan
masyarakat anti korupsi, yakni: 1) pembiasaan dan penciptaan peri- laku; 2)
internalisasi melalui pendidikan; 3) komitmen bersama yang ditegakkan melalui
public policy (kebijakan publik) yang mengarusutamakan kepentingan
bersama. Ketiga model pendekatan ini dianggap representatif dalam rangka
menciptakan masyarakat anti korupsi.

Anda mungkin juga menyukai