Anda di halaman 1dari 37

TUGAS

EPIDEMOLOGI PENYAKIT DAN KESMAVET

Oleh:

NAMA : KHAIRUNNISAH
NIM : I2D020003
SEMESTER : 1 (SATU)

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2020-2021
HASIL REVIEW JURNAL

1. Judul artikel : Isolasi dab Uji Sensitivitas Bakteri Saluran Pernafasan


Kambing PE Penderita Pneumonia.
2. Pengarang : Yuriadi dan Ida Tjahajati
3. Nama jurnal : jurnal Sain veterine
4. Volume, issue,tahun,halaman: Jurnal sain veterine 2002 VOL. XX No.2,
5. Tujuan Penelitian:
Untuk mengetahui Sensitivitas bakteri pada saluran pernafasan kambing PE
penderita pneumonia.
 Materi : 12 ekor kambing PE yang menderita Pneumonia dengan
kriteria kambing PE yang memiliki gejala klinis pneumonia yaitu
seperti nafsu makan dan minum turun, demam dan kesulitan bernafas.
 Bahan: kapas, alcohol, NaCl Fisiologis steril, dan Macam-macam
media untuk pertumbuhan bakteri dan untuk uji sensitivitas serta
resistensi bakteri.
 Alat : Sonde kerongkongan untuk kambing, swab steril, tabung
reaksi, cawan petri dan incubator untuk penanaman kuman dan uji
sensitivitas serta resistensi.
6. Pendahuluan:
Pneumonia (radang paru-paru) merupakan penyakit penting pada kambing
PE, karena keterlambatan penanganan, akan dapat berakibat fatal yang dapat
merugikan peternak. Gejala klinis pneumonia sangat bervariasi dari yang
ringan sampe yang berat. Stadium awal radang paru-paru berupa hyperemia
pulmonum yang selanjutnya diikuti gejala dispnoe atau sesak nafas dan
pernafasan frekuen dengan tipe abdominal dan masih banyak gejala klinis
lainnya yang sudah tertera pada literature. pneumonia akibat infeksi bakteri
ditandai dengan meningkatnya frekuensi nafas dan pulsus, batuk, dipnoe,
tipe pernafasan abdominal, suhu tubuh meningkat atau normal, auskultasi
daerah paru-paru terdengar suara abnormal dan pada pemeriksaan darah
menunjukkan gambaran lekositosis dengan netrofilia. Pneumonia yang
disebabkan selain infeksi bakteri pada umumnya mempunyai gejala yang
sama, hanya ada spesifik tertentu seperti pneumonia karena infeksi fungi dan
virus.
7. Metode :
 Sampel cairan di ambil dengan swab steril dari trakea kambing PE
penderita pneumonia sebanyak 12 ekor.
 Sampel diambil dengan cara memasang sonde lewat saluran
pernafasan
 Sampel di ambil dengan swab steril melalui sonde
 Sampel yang peroleh ditanam pada media perumbuhan bakteri
 Melakukan uji sensitivitas dan resistensi kuman terhadap 5 macam
antibiotika yaitu penisilin, streptomisin, ampisilin, tetrasiklin dan
neomisin.
8. Hasil dan pembahasan:
 Hasil isolasi bakteri dari cairan trakea kambing PE penderita
pneumonia milik kelompok peternak kambing PE Mirikebo dan
Giikerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta yaitu pada tabel 1.
bakteri yang terisolasi dari kambing PE penderita pneumonia yang
diteliti diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya pneumonia
pada kambing tersebut.

Keterangan: 1. Infeksi tunggal 8 pasien


2. infeksi gabungan 4 pasien

 Pada pemeriksaan klinis kambing tersebut dijumpai adanya frekuensi


nafas meningkat dari normal, frekuensi denyut nadi meningkat
sampai 1,5 kali dari frekuensi denyut nadi normal, conjunctiva
berwarna lebih merah dari normal dan tampak vasa darah conjunctiva
berwarna kearah kebiruan atau sianosis.
 Hasil pemeriksaan darah mengalami leokositosis dan netrofilia.
 Pemeriksaan tinja menunjukkan hasil negative ( tidak terinfeksi oleh
cacing atau parasit lain) dan didukung oleh pemeriksaan lingkungan
pasien sedang tidak ada wabah penyakit karena virus.
 Hasil isolasi bateri (tabel 1). Menunjukkan bahwa 8 dari 12 (66,67%)
ekor kambing yang diteliti kejadian pneumonia disebabkan oleh satu
macam bakteri (monoinefe ksi) dan 4 ekor lainnya (33,33%)
disebabkan lebih dari satu macam bakteri (poliinfeksi).
 Sebanyak 12 sampel cairan trakea kambing PE penderita pneumonia
ternyata menunjukkan pertumbuhan bakteri dan diperoleh 16 isolat
yaitu streptococcus spp, 6 isolat (25%), staphylococcus spp 4 isolat
(37,5%), Corynebacterium sp 2 isolat (12,5%), Proteus sp 2 isolat
(12,5%), Micoplasma sp 1 isolat (6,25%), Haemphylus sp 1 isolat
(6,25%).
 Dari 16 isolat bakteri diuji sensitivitas bakteri terhadap penisilin
ternyata 62,5% telah resisten dan yang sensitive tinggal 37,5%. Pada
ujia sensitivitas bakteri terhadap streptomisin, yang resisten 68,75%
yang sensitive hanya 31,25%. Pada uji bakteri terhadap ampisilin
yang resisten 56,25% dan yang sensitive tinggal 43,75%. Pada uji
sensitivitas bakteri terhadap tetrasiklin yang resisten hanya 18,75%.
Uji sensitivitas bakteri terhadap neomisin tenyataa masih peka
terhadap neomisin sampai 100% sensitive.
9. Kesimpulan:
Dapat ditarik kesimpulan bahwa dari hasil uji sensitivitas bakteri dapat
memberikan gambaran secara umum bahwa bakteri yang ada pada kambing
PE telah resisten terhadap beberapa macam antibiotika yang ada. Antibiotika
yang efektif untuk pengobatan radang pada batang trakea atau penderita
pneumonia kambing PE adalh neomisin dan tetrasiklin.
10. Kelebihan :
 Keaslian jurnal terjamin karna diterbitkan oleh penerbit jurnal
veterine
 Langkah kerja sangat sederhana dan menjawab tujuan dari penelitian
ini
 Alah dan bahan penelitian mudah didapat dan harga terjangkau.
 Permasalahan yang diambil relevan dengan kebutuhan peternak
kambing pada umumnya.
11. Kekurangan:
 Pada metode tidak dijelaskan secara rinci mengenai cara pengerjaan uji
sensitivitas dan resistensi kuman terhadap 5 macam antibiotika.
 Secara penjelasan terlalu singkat.
 Rincian dosin bahan yang digunakan kurang lengkap.
Review jurnal
Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Pewarnaan
Sellers’ dan Fluorescent Antibody Tecnique (FAT) dalam
Mendiagnosa Penyakit Rabies pada Anjing di Bali.

1. Judul artikel : Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Pewarnaan Sellers’ dan
Fluorescent Antibody Tecnique (FAT) dalam Mendiagnosa Penyakit Rabies pada Anjing
di Bali.
2. Pengarang : Steven Yohanes Bogia, I Made Kardena, I Made Sukada, Ketut Eli
Supartika
3. Nama jurnal : jurnal Indonesia Medicus Veterinus
4. Volume, issue,tahun,halaman: Jurnal Medicus veterinus 2012 (1): 12-21 ISSN :
2301-7848
5. Tujuan Penelitian:

Untuk menbandingkan tingkat sensitivitas dan spesifisitas dari uji sellers’


dan Fluorescent Antibody Tecnique (FAT) dengan menghitung tingkat sensitivitas
dan spesifisitas dari kedua uji tersebut yang digunakan dalam mendiagnosa
penyakit rabies padaa anjing di Bali.

 Materi : Spesimen otak anjing bagian hipokamus sebanyak 109 anjing yang
terdiri dari 39 ekor yang telah menunjukkan gejala klinis rabies yang tidak
dan 70 ekor yang tidak menunjukkan gejala klinis.
6. Pendahuluan:
Diagnosa Rabies secara laboratorium didasarkan atas penemuan badan negri pada
pengamatan histopatologi specimen otak penderita ataupun penemuan antigen
virus dari isolasi (soeharsono 2005). Badan negri merupakan temuan yang bersifat
patognomonis pada kasus rabies. Akan tetapi, keberadaan badan negri pada kasus
positif hanya sekitar 71%.pewarnaan sellers’ merupakan metode yang tergolong
sederhana dan ekonomis dalam mendiagnosa penyakit rabies sedangkan pada uji
FAT memiliki tingakt keakuratan yang lebih tinggi dalam mendiagnosa penyakit
rabies.
7. Metode :
 Pengambilan sampel berupa specimen otak anjing bagian hipokalamus
sebanyak 109 anjing dengan 39 ekor yang menunjukkan gejala klinis dan
70 ekor yang tidak menujukkan gejala klinis
 Melakukan retrospektif data dari sampel yang di pakai yaitu anjing yang
menunjukkan gejala klinis di anggap positif rabies dan anjing-anjing yang
tidak memiliki gejala klinis rabies yaitu negatif.
 Sebelum melakukan uji pewarnaan sellers’ dan FAT anjing-anjing tersebut
sudah sieliminasi terlebih dahulu untuk di nekropsi dan diambil otaknya.
 Setelah eliminasi dan nekropsi pada setiap specimen otak dibuat preparat
sentuh dan diwarnai dengan pewarnaan sellers’.
 Melakukan pengujian keberadaan antigen dengan uji FAT yang ditandai
dengan warna hijau berpendar.
 Melakukan analisis dengan metode tabel 2 X 2 untuk menghitung
presentase tingkat sensitivitas dan spesifisitas dari masing-masing uji yang
di adaptasi dari formulasi menurut Robertson (2008)
8. Hasil dan pembahasan:
 Hasil pemeriksaan 109 sampel otak anjing yang dicurigai rabies setelah
dilakukan uji sellers’ diperoleh hasil 25 sampel yang menunjukkan positif
sedangkan 69 yang negative. Tetapi dari seluruh sampel yang diuji sellers’
tersebut 14 sampel yang menunjukkan negative palsu sedangkan 1 sampel
yang menunjukkan positif palsu (tabel 1).
 Pada penelitin ini didapatkan sensitivitas uji sellers sebesar 64,10% dan
spesifisitas sebesar 98,57%.
 Pada uji FAT didapatkan sensitivitas sebesar 97,43% dan spesifisitas
sebesar 100%.
 Dari 109 sampel yng diuji dengan FAT tidak terdapat hasil yang
menyatakan positif palsu dan hanya 1 sampel yang dinyataan dengan hasil
negative palsu.

9. Kesimpulan:
Dapat ditarik kesimpulan bahwa dari tingkat sensitivitas dan spesifisitas dari uji
FAT yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit rabies pada anjing di Bali lebih
besar dibandingkan dengan tingkat sensitivitas dn spesifisitas dari perwanaan
sellers’.
10. Kelebihan :
 Keaslian jurnal terjamin karna diterbitkan oleh penerbit jurnal Indonesia
medicus veterinus
 Metode uji perwarnaan sellers’ tergolong sederhana dan ekonomis dan
tidak terlalu membutuhkan peralatan laboratorium yang cukup mahal.
 Uji FAT memiliki tingkat keakuratan yang relative tinggi dan sudah
direkomendasikan oleh WHO dan OIE menjadi gold standart untuk uji
diagnosa rabies.
 Pada uji FAT pemeriksaan dapat dilakukan secara cepat dimna hasil uji
dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 2 jam.
 Langkah kerja sangat sederhana dan menjawab tujuan dari penelitian ini
 Permasalahan yang diambil relevan dengan kebutuhan masyarakat pada
umumnya.
11. Kekurangan:
 Pada uji pewarnaan sellers’ memiliki sensitivitas yang relative rendah
 Tidak dijelaskan secara rinci alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
 Pada pengujian sellers masih tetap dilakukan peneguhan diagnosa ke
laboratorium rujukan dengan metode yang baku.
 Uji FAT juga memberikan kesalahan dalam interpretasi hasil uji ketika sampel
yang diujikan merupakan sampel yang telah lama.
 Dari metode atau cara pengerjaan uji pewarnaan sellers’ dan uji FAT tidak
dijelaskan secara detail.
Review jurnal
Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase
Chain Reaction dalam Mengidentifikasi Genom Avian Influenza
dan Newcastle Diseases.

1. Judul artikel : Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain


Reaction dalam Mengidentifikasi Genom Avian Influenza dan Newcastle
Diseases.
2. Pengarang : Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI
3. Nama jurnal : jurnal Veteriner
4. Tujuan Penelitian: yaitu menjabarkan ketersediaan teknik molekuler RT-PCR
konvensional dan real time serta perannya dalam mengidentifikasi genom agen
patogen AI dan ND.
5. Pendahuluan:
Beberapa patogen zoonosis yang menyebabkan penyakit pada manusia
(Cleaveland et al. 2001), antara lain virus influenza H5N1 dan H7N7 yang
ditularkan dari unggas (Koopmans et al. 2004). Identifikasi virus dapat dilakukan
dengan berbagai teknik pengujian, baik secara konvensional maupun teknik
molekuler. Penggunaan mikroskop elektron, kultur jaringan, isolasi virus pada
telur ayam bertunas specific pathogen free (SPF) dan serologi sering dilakukan
(Storch 2007). Kemajuan teknologi molekuler yang lain adalah amplifikasi genom
dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) konvensional atau PCR degenerasi
yang menjadi gold standard terbaru untuk mendeteksi beberapa mikroba.
Polymerase Chain Reaction yang dulunya hanya sebagai teknologi untuk
penelitian, sekarang telah dikembangkan sebagai aplikasi diagnostik rutin di
laboratorium mikrobiologi klinik (Cockerill & Smith 2002). sensitivitas dan
spesifitas pengujian RTPCR konvensional dan real time dapat ditingkatkan dengan
modifikasi pengujian tersebut seperti multiplex RT-PCR konvensional maupun
real time dan nested RT-PCR. Modifikasi pengujian ini telah banyak diterapkan
untuk mengidentifikasi genom virus di lapangan seperti Avian Influenza (AI) dan
Newcastle Diseases (ND).
 POLYMERASE CHAIN REACTION
 Polymerase Chain Reaction adalah teknik biologi molekuler untuk
mengamplifikasi sekuen DNA spesifik menjadi ribuan sampai jutaan kopi
sekuen DNA.
 Teknik ini menggunakan metode enzimatis yang diperantarai primer.
 Prinsip dasar PCR adalah sekuen DNA spesifik diamplifikasi menjadi dua
kopi selanjutnya menjadi empat kopi dan seterusnya. Pelipat gandaan ini
membutuhkan enzim spesifik yang dikenal dengan polimerase. Polimerase
adalah enzim yang mampu menggabungkan DNA cetakan tunggal,
membentuk untaian molekul DNA yang panjang.
 Enzim ini membutuhkan primer serta DNA cetakan seperti nukleotida yang
terdiri dari empat basa yaitu Adenine (A), Thymine (T), Cytosine (C) dan
Guanine (G) (Gibbs 1990).
 Reaksi amplifikasi ini dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan
yang berantai ganda menjadi rantai tunggal, kemudian suhu diturunkan
sehingga primer akan menempel (annealing) pada DNA cetakan yang
berantai tunggal.
 Setelah proses annealing, suhu dinaikkan kembali sehingga enzim
polimerase melakukan proses polimerase rantai DNA yang baru.
 Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya sebagai cetakan bagi reaksi
polimerase berikutnya (Yuwono 2006).
 Metode PCR dibedakan menjadi dua yaitu PCR konvensional dan real time.
 Kelebihan, Kelemahan dan Cara Kerja POLYMERASE CHAIN
REACTION KONVENSIONAL:
 Kelebihan reaksi PCR konvensional biasanya menggunakan satu
pasang primer oligonukleotida untuk mengamplifikasi bagian tertentu
dari genom agen infeksi serta dilakukan pada suatu tabung.
 Primer yang di gunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida
yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA
cetakan pada ujung 5’-fosfat dan oligonukleotida yang kedua identik
dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain.
 Proses amplifikasi RNA didahului dengan siklus reverse transcriptase
(RT) yang berlangsung pada suhu 42-55 0C. Proses PCR dibagi
menjadi tiga tahap. Pertama, denaturasi cetakan DNA beruntai ganda
pada suhu di atas 90 0C sehingga menjadi DNA cetakan berantai
tunggal. Kedua, penempelan (annealing) primer oligonukleotida ke
DNA cetakan beruntai tunggal biasanya pada suhu 50-60 0C sehingga
primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada
daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu
dimana primer annaeling biasanya diistilahkan dengan Tm. Ketiga,
perpanjangan atau ekstensi fragmen DNA dengan enzim polimerase
dan primer untuk menghasilkan kopi DNA yang dapat berfungsi
sebagai DNA cetakan untuk siklus selanjutnya yang berlangsung
pada suhu 70-78 0c.
 Enzim DNA polimerase idealnya harus tahan panas, mempunyai laju
polimerisasi dan prosesivitas yang tinggi. Prosesivitas adalah
kemampuan suatu enzim polimerase untuk menggabungkan
nukleotida dengan suatu primer secara terus menerus tanpa
terdisosiasi dari kompleks primerDNA cetakan.
 DNA polimerase ini mempunyai kelemahan harus didenaturasi pada
suhu yang sesuai untuk DNA cetakan dan harus ditambahkan di
setiap siklus PCR. Beberapa kelemahan lain yang dimiliki DNA
polimerase ini adalah tidak tahan panas serta mempunyai laju
polimerisasi dan prosesivitas rendah (Yuwono 2006).
 Keberhasilan proses PCR juga ditentukan oleh jenis enzim DNA
polimerase yang digunakan
 Prosedur kerja ekstraksi DNA atau RNA yang sangat panjang, rumit
dan membutuhkan waktu lama yang diterapkan pada tahun 1990an
telah diganti dengan prosedur kerja yang cepat dan sederhana atau
dengan kit ekstraksi DNA atau RNA yang tersedia secara komersial.
 Kelebihan, kelemahan dan Cara Kerja POLYMERASE CHAIN
REACTION REAL TIME
 Teknik ini sangat sensitif yang memungkinkan amplifikasi terjadi secara
bersamasama serta kuantitas sekuens asam nukleat dapat diketahui.
 memiliki sensitivitas lebih tinggi, kelebihan pengujian PCR real time jika
dibandingkan dengan PCR konvensional adalah lebih dinamis, risiko
kontaminasi silang lebih sedikit, kemampuan aplikasi penggunaannya
untuk pengujian lebih banyak (Black et al. 2002).
 Polymerase Chain Reaction (PCR) real time tepat untuk berbagai aplikasi
seperti analisis ekspresi gen, penentuan jumlah virus, deteksi organisme
yang mengalami mutasi genetik, diskriminasi alel dan genotipe single
nucleotide polymorphisms (SNP).
 Penggunaan probe yang spesifik membantu peningkatan spesifisitas pada
pengujian PCR real time jika dibandingkan dengan pengujian PCR
konvensional (Chantratita et al. 2008)
 Tahapan-tahapan umum yang dilakukan selama pengujian PCR real time
dimulai dari isolasi RNA atau DNA sampai analisis data
 Prinsip kerja PCR real time adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi
reporter fluoresen. Sinyal fluoresen akan meningkat seiring dengan
bertambahnya amplifikasi DNA PCR dalam reaksi
 Siklus Ct adalah prinsip dasar dari PCR real time dan sebagai bagian yang
sangat penting untuk memperoleh data yang akurat. Nilai Ct PCR real time
sangat berkorelasi dengan kuantitas urutan DNA target (Giglio et al.
2003).
 Kelebihan Reaksi PCR real time dapat dilakukan satu tahap (one step real
time PCR) maupun dua tahap (two step real time PCR).
 Polymerase Chain Reaction (PCR) multiplek adalah amplifikasi secara
berkelanjutan dua atau lebih DNA atau cDNA target dalam satu reaksi
tabung dan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan probe berlabel
spesifik pada setiap urutan DNA target.
 Kelebihan dari PCR multiplek adalah jumlah sampel yang dibutuhkan
lebih sedikit sehingga berguna apabila jumlah sampel yang tersedia dalam
jumlah terbatas dan kemampuannya untuk menggabungkan pengujian
dalam satu sistem internal control
 Meskipun demikian, pengujian ini harus dioptimasi terlebih dahulu untuk
meminimalkan adanya interaksi kompetitif yang akan sangat berpengaruh
terhadap sensitivitas pengujia
 PCR real time juga mempunyai kelemahan yaitu memerlukan peralatan
dan reagen yang mahal serta pemahaman teknik yang benar untuk hasil
yang akurat
 Meskipun RT-PCR real time (rRT-PCR) merupakan suatu pengujian
diagnostik yang sensitif dan spesifik serta banyak digunakan untuk deteksi
penyakit secara cepat, tetapi adanya kemungkinan reaksi negatif palsu
dapat terjadi
 Resiko kontaminasi pada PCR real time masih dapat terjadi meskipun
resiko kontaminasi yang terjadi pada PCR real time sangat kecil, karena
amplifikasi PCR real time dilakukan dalam sistem yang tertutup dan tidak
memerlukan tahapan-tahapan yang panjang seperti yang dilakukan seperti
di PCR konvensional
 VALIDASI POLYMERASE CHAIN REACTION KONVENSIONAL
DAN REAL TIME
 Analisis terhadap sampel lapang sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan kualitas data yang bagus.
 Penerapan sistem quality assurance (QA) dan quality control (QC)
sangat diperlukan seperti prosedur yang benar serta penggunaan
sampel kontrol untuk memastikan bahwa sistem bekerja dengan
benar sehingga data yang diperoleh reproduktivitas dan berkualitas.
 Faktor lain yang juga sangat penting adalah validasi untuk
memberikan jaminan mutu bahwa hasil uji berasal dari sampel yang
benar. Validasi adalah suatu proses untuk menentukan ketepatan
pengujian tertentu yang dikembangkan, dioptimasi dan distandarisasi
dengan tepat (Burkardt 2000)
 Umumnya ada beberapa kriteria validasi yaitu, penentuan tujuan,
optimasi, standarisasi, repeatability, analitik sensitivitas, analitik
spesifitas, threshold (cutoffs), sensitivitas pengujian, spesifitas
pengujian, reproducibility, pemantapan dan aplikasi tujuan (OIE
2013).
 Jenis sampel pengujian sangat mempengaruhi ketepatan metode PCR
baik konvensional dan real time.
 metode ekstraksi DNA dan RNA yang tersedia secara komersial
seperti robotic, spin column dan kimia sebelumnya divalidasi terlebih
dahulu untuk menentukan efisiensinya termasuk dalam
meminimalkan kontaminasi silang antara sampel positif dan negatif
yang diekstraksi secara bersama-sama. Apabila metode ekstraksi ini
mengalami perubahan, validasi harus diulang lagi.
 Repeatability pengujian PCR minimal memerlukan replikasi tiga kali
di setiap sampel pengujian setelah itu diekstraksi kemudian
diamplifikasi dengan menggunakan kontrol yang sama.
 Evaluasi repeatability ini juga diperlukan untuk menjamin bahwa
kontrol yang digunakan dalam pengujian PCR tidak mengandung
penghambat PCR. Setidaknya diperlukan tiga laboratorium yang
berbeda untuk melakukan reproducibility. Reproducibility diharapkan
mampu menciptakan harmonisasi pengujian PCR di antara
laboratorium-laboratoium (OIE 2008).
 Penggunaan data mentah merupakan cara yang tepat untuk
menentukan efisiensi amplifikasi PCR di setiap reaksi (Freeman et al.
1999).
 APLIKASI DAN MODIFIKASI REVERSE TRANSCRIPTASE-
POLYMERASE CHAIN REACTION UNTUK DETEKSI GENOM
AVIAN INFLUENZA.
 Deteksi secara tepat dan cepat untuk menentukan keberadaan virus
AI dalam sampel merupakan kunci dalam pengendalian penyakit AI.
Uji diagnostik yang direkomendasikan untuk pengendalian penyakit
ini adalah uji patogenitas secara in vivo dan molekuler.
 Sensitivitas dan spesifikasi pengujian AI dengan metode molekuler
dipengaruhi oleh ekstraksi RNA, enzim yang digunakan untuk
amplifikasi, sekuen primer dan probe
 Amplifikasi RT-PCR akan berjalan sukses tergantung pada desain
primer yang spesifik.
 Desain primer yang spesifik untuk identifikasi subtipe virus AI
berdasarkan pada sekuen gen HA yang konsisten diperoleh dengan
menggunakan informasi sekuen asam amino dari gen HA dengan
variasi antara 20-74% untuk subtipe yang berbeda dan variasi hanya
0-9% untuk subtipe yang sama.
 Pengembangan dan validasi metode RT-PCR pan HA satu tahap
sebagai alat diagnostik baru telah dilakukan sebagai alternatif
pengujian. Metode ini dapat mengamplifikasi fragmen cleavage site
HA0 dari 16 subtipe virus AI sehingga dapat mendeteksi strain baru
subtipe H. Produk PCR yang dihasilkan dapat digunakan untuk
sekuensing dan karakterisasi molekuler sekuen cleavage site HA0 dan
patotipe serta semua subtipe virus influenza A. Sekuensing relatif
membutuhkan waktu yang lama dan keahlian khusus sehingga tidak
tepat diterapkan di laboratorium diagnostik yang mempunyai jumlah
sampel yang besar dan mempunyai laporan kasus subtipe H5N1
HPAI dan LPAI.
 Aplikasi lebih lanjut dari rRT-PCR adalah mengetahui jumlah virus
AI untuk kepentingan penelitian
 Metode rutin yang sering dilakukan untuk mengetahui jumlah virus
AI adalah dengan penumbuhan virus dalam sampel menggunakan
telur ayam bertunas dan dinyatakan dengan dosis infeksi telur 50%
(EID50). Pengujian ini bersifat akurat dan merupakan acuan
pengujian untuk titrasi infeksi virus.
 qRT-PCR merupakan metode yang mudah dilakukan dan penanganan
materi infeksius dapat dikurangi sehingga mengurangi resiko
kontaminasi silang dan meningkatkan reproduktivitas. Metode ini
dapat dilakukan dengan cepat dalam satu hari, sedangkan metode
titrasi virus TAB membutuhkan sekitar satu minggu. Ketiga, qRT-
PCR adalah pengujian yang sensitif dan dapat mendeteksi RNA yang
mempunyai konsentrasi rendah dengan menggunakan probe spesifik
terhadap tiga gen (M, H5, H7) virus AI.
 Metode SYBR green adalah suatu tipe prosedur qRT-PCR yang
menggunakan interkalator. Prosedur qRT-PCR yang menggunakan
probe oligonukleotida dan interkalator bersifat sensitif. Metode ini
merupakan salah satu metode terbaik untuk diagnosis dan surveilans
AI.
 Metode lain yang juga umum digunakan untuk diagnosis dan
surveilans AI adalah dengan pendekatan TaqMan karena mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi.

 APLIKASI DAN MODIFIKASI REVERSE TRANSCRIPTASE-


POLYMERASE CHAIN REACTION UNTUK DETEKSI GENOM
NEWCASTLE DISEASES
 Penyakit ND adalah salah satu penyakit infeksius yang disebabkan
virus avian paramyxovirus serotipe 1 (APMV 1) dan sangat
berbahaya di unggas. Untuk itu, deteksi dan identifikasi virus secara
cepat sangat penting untuk pengendalian penyakit secara efektif.
 Diagnosis penyakit secara cepat dapat dilakukan dengan
menggunakan metode molekuler yaitu RTPCR
 Modifikasi pengembangan RTPCR telah berhasil dilakukan dengan
menggunakanprimer umum untuk mendeteksi semua tipe virus ND
(Creelan et al. 2002) dan primer spesifik patotipe yang
memungkinkan untuk membedakan patotipe secara cepat serta RT-
PCR nested yang mempunyai sensitivitas lebih tinggi daripada RT-
PCR satu tahap (Kho et al. 2000
 Penggabungan pengujian RT-PCR satu tahap dan restriction
endonuclease analysis (REA) dapat diterapkan untuk deteksi dan
identifikasi tipe virus APMV dari sampel lapangan karena pengujian
ini bersifat sensitif untuk mengamplifikasi secara langsung asam
amino dari strain lentogenik, mesogenik dan velogenik termasuk
pigeon PVM-1 yang menginfeksi inang secara bersama-sama
(Creelan et al. 2002).
 Pemilihan sampel lapang harus diperhatikan karena beberapa sampel
seperti organ feses kurang sensitif untuk deteksi virus ND karena
mengandung materi penghambat PCR (Abu Al-Soud & Rådström
2000).
 Selain pemilihan sampel yang tepat, penerapan metode RT-PCR yang
mempunyai sensitivitas tinggi seperti metode RT-PCR nested juga
perlu dilakukan
 Sensitivitas RT-PCR dapat ditingkatkan dengan pengembangan
modifikasi RT-PCR nested. Pada RTPCR nested, PCR tahap kedua
(second-round) dilakukan dengan menggunakan primer yang berbeda
untuk mengamplifikasi sekuen nukleotida pada bagian gen tertentu
yang sulit teramplifikasi pada saat RTPCR tahap pertama (first-
round).
 Deteksi asam nukleat virus ND akan lebih sensitif dengan metode
RT-PCR real time (rRT-PCR) jika dibandingkan dengan RT-PCR
konvensional.
 Hal ini membuktikan bahwa rRT-PCR membutuhkan konsentrasi
RNA virus ND yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan RTPCR
 Dalam pengujian rRT-PCR untuk deteksi dan diferensiasi virus ND,
probe yang digunakan secara intensif adalah TaqMan. Probe TaqMan
dan enzim polimerase digunakan dalam pengujian rRT-PCR untuk
mendeteksi gen M dan F virus ND.
 Aplikasi pengujian rRT-PCR dengan target gen F biasanya digunakan
untuk membedakan antara virus dari unggas yang divaksin dan virus
virulen lapangan, sedangkan rRT-PCR dengan target gen M yang
mempunyai daerah sangat konsisten difokuskan untuk mendeteksi
virus ND dari unggas yang tidak divaksinasi, misalnya unggas liar
(Kim et al. 2006).
 Pengujian rRT-PCR dengan target gen M dan F tidak selalu
menunjukkan keberhasilan dalam mendeteksi semua strain virus ND
6. KESIMPULAN
RT-PCR konvensional maupun real time telah menjadi metode pengujian utama
untuk deteksi genom virus AI dan ND di laboratorium selama lebih dari beberapa
dekade yang lalu. Metode RT-PCR ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang
tinggi, resiko kontaminasi silang rendah, serta mampu mendeteksi sampel dalam
jumlah banyak dan waktu singkat sehingga pengujian ini akan menjadi alat
pengujian utama untuk pemberantasan dan pengendalian penyakit AI dan ND di
masa yang akan datang. Pengembangan dan modifikasi teknologi RTPCR telah
banyak dilakukan untuk meningkatkan spesifikasi dan sensitivitas deteksi genom
virus AI dan ND. Validasi dan standarisasi pengembangan dan modifikasi
teknologi RT-PCR harus dilakukan untuk harmonisasi pengujian di seluruh dunia
dengan tujuan untuk menghindari intepretasi yang salah dari hasil pengujian
tersebut sehingga penentuan tindakan pemberantasan serta pengendalian penyakit
AI dan ND di lapangan tidak terjadi kesalahan.

7. KRITIK
1. Jurnal tersebut sudah sangat lengkap secara pembahasan sudah dijelaskan
secara terperinci.
2. Kekurangan dan kelebihan pada setiap metode sudah sangat jelas
3. Memerlukan biaya yang mahal untuk melakukan penelitian ini
4. Dari segi pengerjaan sangat rumit untuk dilakukan karna ada sebagian metode
yang memerlukan waktunya lama.
5. pada tahapan-tahapan prosedur PCR membutuhkan ruangan kerja yang
terpisah di laboratorium.
6. semua teknik molekuler baru tersebut harus divalidasi terlebih dahulu sebelum
diterapkan karena validasi ini menjadi kunci utama untuk faktor penerimaan
metode baru yang akan diterapkan.
7. analisis data hasil kedua prosedur tersebut baik PCR konvensional maupun
real time memerlukan normalisasi data terhadap acuan yang diketahui untuk
menentukan kualitas awal ekspresi target gen.

Anda mungkin juga menyukai