Anda di halaman 1dari 16

JURNAL PSIKOLOGI

VOLUME 41, NO. 2, DESEMBER 2014: 149 – 164

Motif dan Proses Psikologis Korupsi


Nadiatus Salama1
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, IAIN Walisongo Semarang

Abstract. A qualitative phenomenological study was conducted to identify and describe the
phenomenon of corruption psychology. Two corruptors were interviewed to explore their
perceptions on corrupt practices in Central Java. The interview conducted to explore
informant perceptions on a real process. Interview data collected resulted in five themes: (1)
Corruption is an act of abuse the authority, identical with theft, something that not run
correctly, and using public money for personal and group interest intentionally; (2) The
motives of the informants in doing corruption are solidarity with the friends’ doer, system
that enables to corrupt, to earn much more money, and make friends; (3) Process of
corruption; budget-making has been done by legislative and executive institution; marking-up
the budget, facilities and allowances; reporting the administrative data manipulatively; inter-
relating chain in corruption process; and distributing the aspiration fund without a proof of
receipts; (4) The impact of corruption is making someone’s wiser in life, putting the corruptors
in to the jail, humiliating their big family, and also, having a more debt, and (5) The settlement
of problems that they employ is by using emotion-focused coping.
Keywords: corruption, phenomenology, motive, impact, coping

Abstrak. Penelitian kualitatif fenomenologi ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan


menggambarkan fenomena psikologi korupsi. Dua pelaku korupsi diwawancarai untuk
menggali persepsi makna pengalamannya dalam melakukan proses korupsi yang terjadi di
Jawa Tengah. Data penelitian menghasilkan lima tema, yaitu: (1) Definisi korupsi, yaitu
penyalahgunaan jabatan, identik dengan pencurian, tidak berjalan sesuai dengan aturan yang
sesungguhnya, dan penggunakan uang negara secara sengaja untuk kepentingan pribadi
maupun kelompok; (2) Motif melakukan korupsi, yaitu karena faktor solidaritas dengan
teman-temannya, adanya sistem yang memungkinkan terjadinya korupsi, untuk
mendapatkan uang dan pekerjaan; (3) Proses terjadinya korupsi, yaitu pembuatan anggaran
yang dilakukan oleh lembaga legislatif bersama dengan lembaga eksekutif, memperbesar
anggaran, fasilitas maupun tunjangan untuk kepentingan mereka, laporan administratif
dimanipulasi, mata rantai korupsi yang saling berkaitan, dan penyaluran dana aspirasi tanpa
memakai bukti kuitansi; (4) Dampak terhadap pelaku korupsi, yaitu mendapatkan hikmah
hidup yang berharga; masuk penjara; berdampak pada keluarga dan memiliki hutang baru
yang lebih besar; serta (5) Cara mengatasi masalah (coping) akibat korupsi, yaitu
menggunakan emotion focused coping.
Kata kunci: korupsi, fenomenologi, motif, dampak, koping

Korupsi merupakan fenomena yang


1 kajian karena terkait dengan banyaknya
selalu menarik perhatian dan mengun- penelitian yang menunjukkan adanya
dang opini publik. Korupsi menjadi tema dampak negatif dari korupsi. Menurut
yang penting untuk dijadikan bahan estimasi lembaga Bank Dunia, jumlah
uang yang nilainya lebih dari US$ 1 triliun
1 Korespondensi mengenai isi artikel ini dapat dila- telah dipergunakan untuk menyuap setiap
kukan melalui: salama_nadia@yahoo.com tahunnya. Sementara itu, jumlah kerugian

JURNAL PSIKOLOGI 149


MOTIF, PSIKOLOGIS KORUPSI

akibat korupsi yang terjadi di negara ber- menyatakan bahwa tujuan dari kebijakan
kembang telah mencapai hampir US$ 80 anti-korupsi adalah:
miliar pertahunnya. “Membasmi korupsi tidak bertujuan un-
Praktik korupsi tidak lagi hanya seba- tuk mengakhiri korupsi semata, tapi lebih
tas kejahatan struktural dan pelanggaran pada suatu cara untuk membuat pemerin-
moral, tapi lebih dari itu, korupsi telah tah menjadi lebih efektif, efisien, dan adil
menciptakan banalitas korupsi. Banal, sama (Pope, 1999).”
artinya menjadikan korupsi sebagai sesua-
Meski korupsi merupakan suatu tin-
tu yang lumrah, biasa, wajar, bahkan men-
dakan yang ilegal, namun tidak berarti
jadi prinsip penggerak kehidupan sehari-
korupsi akan dianggap sebagai tindakan
hari (Purwantari, 2010). Korupsi telah
yang melawan hukum, bahkan oleh mere-
mengakar dan cenderung diterima oleh
ka yang berwenang dalam mengambil
masyarakat banyak. Saat ini telah muncul
keputusan dibidang hukum sekalipun.
situasi tidak adanya lagi budaya malu
Korupsi, terkadang, bisa ditoleransi meski
untuk melakukan korupsi, serta salah per-
kenyataannya semua orang tahu bahwa
sepsi dan salah pengertian akan dampak
tindakan tersebut ilegal dan melanggar
negatif korupsi terhadap perkembangan
norma masyarakat/publik. Di beberapa
politik, ekonomi dan sosial.
negara, perilaku yang melawan hukum ini
Kesejahteraan masyarakat tidak akan bisa diterima, meski di negara lain yang
tercapai manakala praktik korupsi masih telah memiliki aturan yang tegas, hal ini
tetap berjalan aman dan terpelihara. Nega- bisa mengundang reaksi keras
ra yang korup akan memiliki tingkat (Schweitzer, 2005).
pencurian dan penggelapan pajak yang
Meningkatnya perhatian dunia terha-
tinggi. Korupsi juga sering membuat atur-
dap isu korupsi telah membuka jalan
an bisnis yang dipermudah; atau aturan
diadakannya banyak penyelidikan tentang
yang bisa menghambat pasar dan memak-
hal ini. Namun, korupsi seringkali dilihat
sa para investor untuk membayar lebih
sebagai sesuatu yang terkait dengan faktor
mahal. Korupsi bisa menurunkan jumlah
ekonomi, hukum, politik, dan kekuasaan,
anggaran yang disediakan untuk berbagai
dan sangat jarang dikaitkan segi yang lain,
program pemerintah, termasuk Gross
yaitu suatu dimensi yang melekat pada
Domestic Product (GDP = Produk Domestik
manusia, khususnya dimensi perilaku
Kasar) dan pembiayaan untuk sektor
(behavior).
publik, seperti pendidikan serta program
pemerataan ekonomi. Negara yang korup Huntington (1968) mendefinisikan
juga cenderung kurang efisien dan kurang korupsi sebagai “behavior of public officials
stabil dalam menjalankan pemerintahan- which deviates from accepted norms in order to
nya serta kurang responsif terhadap serve private ends”. Korupsi merupakan
keinginan masyarakat (Graeff, dalam perilaku yang menyimpang dari norma-
Lambsdorff & Schramm-ed., 2005). norma yang diterima dan dianut masya-
rakat dengan tujuan untuk mendapatkan
Membasmi korupsi merupakan sarana
keuntungan pribadi yang dilakukan oleh
korupsi untuk memperbaiki ekonomi di
para pegawai publik. Korupsi ibarat
negara-negara berkembang, khususnya di
bayangan yang akan selalu mengikuti
Indonesia. Salah seorang pendiri lembaga
kemanapun subjek kekuasaan berada,
Transparansi Internasional, Jeremy Pope,
dimana ada wewenang dan kekuasaan,

150 JURNAL PSIKOLOGI


SALAMA

maka korupsi akan berada tidak jauh dari keuntungan finansial atau meningkatkan
situ. status. Selain itu, juga bisa diperoleh keun-
Secara umum, pengertian korupsi tungan secara material, emosional, atau-
harus melekat dengan ranah publik pun simbol.
(Muluk, 2008). Korupsi berasal dari bahasa Berkaitan dengan definisi di atas,
Latin ‘corruptus’ (merusak habis-habisan). korupsi tidak hanya menyangkut aspek
Sehingga, bisa diartikan bahwa korupsi hukum, ekonomi dan politik saja tetapi
merupakan tindakan yang merusak secara juga menyangkut aspek perilaku manusia
keseluruhan kepercayaan masyarakat yang menjadi bahasan utama dari ilmu
kepada pelaku korupsi, yang bahkan juga psikologi. Korupsi juga perlu diteliti
bisa menghancurkan seluruh sendi kehi- dengan pendekatan psikologi karena
dupan bermasyarakat dan bernegara problem korupsi di Indonesia merupakan
(Wignjosubroto, 2004). Sementara itu, di persoalan besar yang berbeda dengan
sisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, tindak kriminal biasa, bahkan sering pula
corruptio) juga bisa bermakna kebusukan, disebut sebagai extraordinary crime (keja-
keburukan, dan kebejatan. Definisi ini juga hatan luar biasa) dan crimes against
didukung oleh Acham yang mengartikan humanity (kejahatan terhadap kemanusia-
korupsi sebagai suatu tindakan yang an). Banyak rakyat yang terbelit kemis-
menyimpang dari norma masyarakat de- kinan karena uang yang seharusnya me-
ngan cara memperoleh keuntungan untuk ngalir kepada mereka telah habis dikorup-
diri sendiri serta merugikan kepentingan si oleh para koruptor.
umum (Acham, dalam Brünner (ed.), Jajak pendapat yang dilakukan oleh
1981). Intinya, korupsi adalah menyalah- Litbang Harian Kompas menunjukkan
gunakan kepercayaan yang diberikan bahwa penyebab perilaku korupsi, yaitu:
publik atau pemilik untuk kepentingan (1) Didorong oleh motif-motif ekonomi,
pribadi (Alatas, 1987). Sehingga korupsi yakni ingin memiliki banyak uang secara
menunjukkan fungsi ganda yang kontra- cepat meski memiliki etos kerja yang
diktif, yaitu memiliki kewenangan yang rendah, (2) Rendahnya moral, dan (3)
diberikan publik yang seharusnya untuk Penegakan hukum yang lemah
kesejahteraan publik, namun digunakan (Purwantari, 2010). Sementara itu,
untuk keuntungan diri sendiri (Darsono, menurut Rudel dan Xin (2004), korupsi
2001). terjadi karena adanya monopoli kekuasa-
Korupsi merupakan kejahatan yang an, lemahnya akuntabilitas suatu institusi,
dilakukan dengan penuh perhitungan oleh serta besarnya wewenang yang diberikan
mereka yang justru merasa sebagai kaum pada seseorang. Adanya ketidakadilan
terdidik dan terpelajar (Masduki, 2010). dan perlakuan yang tidak sama juga turut
Korupsi juga bisa dimungkinkan terjadi memunculkan terjadinya korupsi (Alesina
pada situasi dimana seseorang memegang & Angeletos, 2005).
suatu jabatan yang melibatkan pembagian Korupsi seringkali terjadi dengan
sumber-sumber dana dan memiliki kesem- mengalahkan suatu hubungan persaha-
patan untuk menyalahgunakannya guna batan yang sebelumnya terjalin baik dan
kepentingan pribadi. Nye (1967) mendefi- tulus. Proses korupsi bisa terjadi secara
nisikan korupsi sebagai perilaku yang samar, licin, dan sangat licik. Motif seseo-
menyimpang dari tugas formal sebagai rang dalam melakukan korupsi tidak
pegawai publik untuk mendapatkan hanya untuk memperoleh keuntungan

JURNAL PSIKOLOGI 151


MOTIF, PSIKOLOGIS KORUPSI

secara materi, tapi juga agar bisa mening- biasanya berlindung dibalik pembenaran
katkan hubungan pertemanan, percintaan, hukum, (5) Pelaku adalah orang yang
status, dan pencitraan, serta membuat berpengaruh dalam mengambil keputu-
orang lain jadi terkesan, terpesona, dan san, (6) Mengandung penipuan kepada
mudah terpengaruh (Graaf & Huberts, badan publik atau masyarakat umum, (7)
2008). Pengkhianatan kepercayaan, (8) Melibat-
Modus operandi korupsi, menurut kan fungsi ganda yang kontradiktif, (9)
Regar (1998), bisa dengan cara: (1) menaik- Melanggar norma-norma tugas dan
kan harga pembelian/pengeluaran; (2) pertanggungjawaban, (10) Kepentingan
menurunkan harga penjualan/penerimaan; umum dibawah kepentingan pribadi/
(3) memanipulasi catatan; (4) memalsukan golongan.
dokumen; (5) menghilangkan dokumen; Dampak korupsi yang lain bisa beru-
(6) mencuri; (7) memalsukan kualitas pa: (1) Runtuhnya akhlak, moral, integri-
barang; serta (8) membuat peraturan yang tas, dan religiusitas bangsa, (2) Adanya
hanya membela atau menguntungkan efek buruk bagi perekonomian negara, (3)
pihak tertentu saja. Korupsi memberikan kontribusi bagi
Korupsi bisa terjadi melalui berbagai matinya etos kerja masyarakat, (4) Terja-
jenis dan metode. Berikut ini empat klasi- dinya eksploitasi sumber daya alam oleh
fikasi korupsi menurut Morgan (1998), sekelompok orang, serta (5) Memiliki
yaitu: (1) suap, (2) nepotisme dan kliente- dampak sosial dengan merosotnya human
lisme, (3) penggelapan dan penipuan, dan capital (Na’im dkk., 2006). Di samping itu,
(4) penyalahgunaan kekuasaan. menurut Fleming (2004), korupsi dalam
berbagai organisasi telah menyebabkan
Jenis-jenis korupsi, menurut Schacter
kerusakan ekonomi yang sangat besar dan
dan Shah (2000), meliputi hal-hal berikut:
hilangnya kepercayaan para stakeholders
(1) Korupsi birokrasi atau pejabat yang
(pemangku kepentingan).
melibatkan sejumlah besar pejabat peme-
rintah (birokrat dan politisi), termasuk Upaya pemberantasan korupsi tidak
suap skala kecil dan pemberian bantuan. hanya dilakukan oleh pemerintah dengan
(2) Korupsi besar-besaran yang merupa- membuat Undang-Undang (UU) Nomor 3
kan pencurian atau penyelewengan sejum- Tahun 1971 yang diperbarui dengan UU
lah besar dana masyarakat tapi dilakukan Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberan-
oleh beberapa pejabat yang jumlahnya tasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor
relatif kecil, dan (3) Penyalahgunaan 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
kekuasaan yang diberikan negara atau Negara yang Bersih dan Bebas dari Korup-
penyimpangan peraturan yang melibatkan si, Kolusi dan Nepotisme, dan yang
kolusi antara perusahaan swasta dengan terbaru UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
instansi-instansi pemerintah untuk kepen- Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999
tingan pribadi. tentang Pemberantasan Tindak Korupsi,
dan juga dengan membentuk lembaga
Alatas (1975) menyebutkan ciri-ciri
khusus seperti Komisi Pemberantasan
korupsi, antara lain: (1) Biasanya melibat-
Korupsi (KPK). Di samping itu, peme-
kan lebih dari satu orang, (2) Terkait
rintah melalui Peraturan Presiden RI
dengan sesuatu yang serba rahasia kecuali
Nomor 55 Tahun 2012 telah mengeluarkan
yang telah berakar, (3) Melibatkan elemen
Strategi Nasional Pencegahan dan Pembe-
kewajiban dan keuntungan timbal balik
rantasan Korupsi (Stranas PPK) jangka
(tidak selalu materi/uang), (4) Pelaku

152 JURNAL PSIKOLOGI


SALAMA

menengah tahun 2012-2014 dan jangka studi yang fokus pada masalah ini, yaitu:
panjang tahun 2012-2025. (1) Psikologi penegakan hukum, (2)
Semakin tinggi tingkat korupsi sebuah Psikologi untuk menangani narapidana
negara maka dibutuhkan sebuah upaya baru, (3) Psikologi forensik, dan (4) Psiko-
yang keras untuk membangun sistem logi hukum (Lianawati, 2009).
pengawasan dan penegakan hukum. Selama ini, hasil penelitian dari psiko-
Korupsi yang berakar kuat memerlukan logi hukum lebih banyak yang didasarkan
pengawasan dari pihak legislatif, serta pada penelitian eksperimental, bukan
memiliki peradilan yang baik, mandiri dan penelitian lapangan (Lianawati, 2009).
sumber daya manusia yang kompeten Bidang yang akan dikaji ini adalah pene-
pula untuk mengaudit kinerja pemerintah. litian lapangan yang berpijak pada proses
Di samping itu, diperlukan juga ruang hukum yang secara nyata dialami oleh
bagi media independen dan masyarakat informan. Beranjak dari fenomena korupsi
sipil untuk mengawasi pemerintah agar di atas, maka peneliti mengajukan rumus-
lebih transparan dalam mengalirkan dana an masalah: Bagaimana makna pengalaman
kepada publik. melakukan korupsi?
Jadi, korupsi bukan saja persoalan
individual, tetapi merupakan persoalan Metode
sistemik karena hal ini bisa terjadi pada
berbagai lini kehidupan yang menjangkiti Terbatasnya kajian penelitian yang
siapa saja yang berada di dekatnya tanpa bertemakan tentang makna pengalaman
pandang bulu. Korupsi, sebagai sebuah hidup pelaku korupsi mendorong peneliti
perilaku, dipengaruhi oleh berbagai fak- untuk menyajikan suatu studi kualitatif-
tor, baik faktor sosial maupun faktor fenomenologi guna lebih memahami
individual. Namun demikian, pendekatan fenomena yang terjadi dalam korupsi ini.
individual terhadap perilaku korupsi ku- Peneliti memilih pendekatan fenomenolo-
rang mendapat perhatian. Oleh karenanya, gi dalam memaparkan makna pengalaman
penelitian ini mencoba untuk menggali hidup individu saat melakukan korupsi
dan menganalisis dari sisi psikologis karena penelitian ini; (1) menjelaskan
pelaku korupsi. pengalaman hidup informan yang dimak-
nai secara subjektif oleh mereka sendiri
Kajian tentang korupsi ini bertujuan
(Taylor, 1993), serta (2) mencari inti dari
untuk memberikan gambaran tentang pe-
makna pengalaman yang dialami oleh
rilaku korupsi yang nantinya diharapkan
individu (Drew, 1989).
bisa menjadi data bagi pemerintah, aka-
demisi, LSM aktivis antikorupsi serta Informan dipilih dengan mengguna-
institusi terkait untuk menyusun perenca- kan prosedur pengambilan sampel teoretis
naan kebijakan dalam meningkatkan upa- (theoretical sampling), dalam hal ini infor-
ya pendidikan dan budaya anti korupsi. man yang dipilih adalah mereka yang
mampu memberikan informasi sesuai
Sejak awal tahun 1900-an, psikologi
dengan fokus dan tujuan dari penelitian
telah dijajagi untuk masuk ke wilayah
ini (Creswell, 1998). Penelitian ini dilaku-
hukum guna membantu terwujudnya
kan untuk mengungkap kasus-kasus
keadilan. Psikologi yang terkait dengan
dugaan korupsi, yang terjadi di tingkat
wilayah hukum bernaung dalam suatu
lokal. Lokasi penelitian yang terpilih
studi yang disebut dengan ”psikologi dan
adalah di Surakarta, Jawa Tengah. Data
hukum”. Secara garis besar, ada sejumlah

JURNAL PSIKOLOGI 153


MOTIF, PSIKOLOGIS KORUPSI

dalam penelitian ini diperoleh dari: (1) Hasil


Sumber data primer, yaitu mereka yang
menjadi pelaku korupsi, yang telah selesai Proses penelitian untuk mengungkap
menjalani hukuman pidana di Lembaga kasus ini banyak menemui hambatan
Pemasyarakatan Surakarta (X, mantan dalam perjalanannya. Tema mengenai
anggota DPRD Surakarta, ditahan karena psikologi korupsi merupakan hal yang
adanya tuduhan korupsi dengan melaku- personal, sensitif, dan cenderung ditutupi
kan mark up anggaran dana APBD Sura- oleh mereka yang melakukannya. Hal
karta tahun 2003) dan yang sedang mendasar yang menghambat penyusunan
menjalani hukuman pidana di Lembaga penelitian ini terletak pada sulitnya untuk
Pemasyarakatan Surakarta (Y ditahan menemui mereka agar mau ’bicara’, dan
karena dituduh melakukan korupsi dana ini bukanlah perkara yang mudah.
aspirasi senilai Rp 250 juta), serta melalui Penelitian ini memfokuskan pada
penggalian dokumen yang terkait, seperti penggalian makna pengalaman melaku-
media massa dan hasil penelitian; dan (2) kan korupsi. Guna menggali makna pe-
Sumber data sekunder diperoleh dari LSM ngalaman dari informan seputar korupsi
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia maka peneliti merasa perlu mengetahui
(MAKI), serta berbagai literatur yang terlebih dulu alasan, dinamika penga-
mendukung penelitian ini. laman, serta dampak melakukan korupsi
Wawancara dilakukan selama kurang terhadap informan ini. Berdasarkan hasil
lebih 45 menit dengan melibatkan dua wawancara, tampak bahwa pengalaman
orang (Polkinghorne; dalam Creswell, melakukan korupsi ini bersifat sangat
1998). Jumlah informan yang berkisar personal dan berbeda-beda antara infor-
antara 2 sampai 10 ini dirasa sudah cukup man satu dengan yang lain.
karena telah memenuhi persyaratan meto- Ada dua bentuk/tipe korupsi yang
dologi untuk sebuah penelitian fenome- bisa dilihat dari hasil penelitian ini, yaitu
nologi (Dukes; dalam Creswell, 1998). korupsi dengan tipe sistemik dan siste-
Penelitian dilakukan dengan wawan- matik (Tempo, 19/2/2001). Korupsi siste-
cara secara intensif dan mendalam (in- mik merupakan kombinasi antara politik
depth-interview) yang memfokuskan pada dan korupsi yang dilaksanakan secara
bagaimana pikiran, perasaan, dan tindak- teratur, tersistem dan terstruktur. Semen-
an informan saat melakukan korupsi, tara, pada korupsi sistematik yang terjadi
dampak yang terjadi, serta strategi coping- dalam penelitian ini adalah para pelaku
nya (Moustakas, 1994). Pertanyaan terbuka korupsi membeli loyalitas dengan cara
(open-ended questions) yang diajukan bertu- membagikan sejumlah uang kepada para
juan untuk memberikan kebebasan kepada pemilihnya (konstituen). Para konstituen
informan dalam menjawab secara terbuka harus disuap terus-menerus karena jika
dan terinci tentang apa yang mereka ingin jumlah suapan yang diberikan pihak
sampaikan tanpa diatur ketat oleh peneliti. kompetitor lebih besar, maka konstituen
Analisis dalam penelitian ini bersifat in- kemungkinan akan menyeberang dan ber-
duktif dan berkelanjutan yang tujuan pindah untuk memilih pihak lawan pada
akhirnya adalah menghasilkan gambaran pemilu periode yang akan datang.
tentang makna pengalaman hidup pelaku Mengingat penelitian ini mengguna-
berkenaan dengan fenomena korupsi. kan pendekatan kualitatif serta terbatas-
nya jumlah informan dan jumlah kasus

154 JURNAL PSIKOLOGI


SALAMA

korupsi yang dijadikan sebagai sumber bersama secara ”berjamaah” oleh seluruh
data dalam penelitian ini maka hasil pene- anggota dewan.
litian ini tentu saja tidak bisa digeneralisir Kasus korupsi dana Anggaran Penda-
atau dijadikan acuan untuk menjelaskan patan dan Belanja Daerah (APBD) 2003
banyaknya kasus yang sama yang juga yang dilakukan oleh 13 anggota DPRD
terjadi di wilayah lain di Indonesia. Kota Surakarta periode 1999-2004 ini
Sebagai gambaran singkat tentang kasus merupakan kasus pemberantasan korupsi
korupsi yang diangkat, peneliti memapar- di lembaga legislatif yang pertama kali
kan sekilas tentang kasus korupsi yang diangkat ke pengadilan di Indonesia. Yang
terjadi. menjadi fokus permasalahan dalam
korupsi ini khususnya pada pos belanja
Kasus Korupsi Sistemik oleh X lain-lain dalam APBD 2003 senilai Rp 9,8
X berusia 37 tahun, pendidikan sarja- miliar. Pos yang diyakini telah terjadi
na, mantan anggota DPRD Surakarta, penyimpangan adalah pos dana asuransi
anggota panitia anggaran rumah tangga, yang masuk ke rekening pribadi setiap
dihukum tiga tahun penjara karena mela- anggota dewan.
kukan korupsi APBD DPRD Kota Surakar- Menurut UU Nomor 4 Tahun 1999
ta periode 1999-2004. dan UU Nomor 22 Tahun 1999, DPRD
X adalah orang yang aktif di berbagai memang memiliki kewenangan untuk
organisasi masyarakat dan kegiatan sosial. menentukan jumlah kenaikan anggaran
Melalui berbagai lembaga yang digeluti- fasilitas anggota dewan. Dengan wewe-
nya tersebut, X mendapatkan banyak nang ini, mereka menetapkan kenaikan
dukungan suara sehingga akhirnya terpi- biaya, fasilitas, maupun tunjangan untuk
lih menjadi anggota DPRD. Untuk menjadi anggota DPRD periode 1999-2004 yang
anggota dewan ini, X sama sekali tidak menjadikan penghasilan anggota DPRD
mengeluarkan uang. Masyarakat sekitar- bertambah dan terbukti untuk memper-
nya mengetahui reputasinya selama ini kaya diri sendiri. Mark-up anggaran terjadi
sebagai orang yang baik dan amanah. Dia hingga mencapai 100%. Para terdakwa
menantu seorang tokoh agama yang dianggap melanggar UU Nomor 20 Tahun
cukup dikenal di kota ini. Menurut banyak 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pida-
rekannya, X termasuk orang yang jujur na Korupsi. Pasal ini berfokus pada tin-
dan lurus. dakan yang merugikan keuangan negara,
memperkaya diri pribadi, dan penyalah-
Saat menjalankan tugas sebagai ang-
gunaan wewenang yang mengakibatkan
gota dewan, di tengah perjalanannya,
terjadinya kerugian keuangan negara.
sebenarnya X sudah ingin mundur dan
digantikan oleh temannya melalui sistem Kasus Korupsi Sistematik oleh Y
pergantian antar waktu (PAW), namun
temannya tidak bersedia. Ketika menjalani Y berusia 30 tahun, pendidikan sar-
sidang korupsi di DPRD ini, X memang jana hukum, menjadi penyalur dana aspi-
terlihat yang paling siap dalam menjalani rasi dari salah satu anggota DPRD Jawa
pemeriksaan pengadilan dibanding ter- Tengah, dihukum 2 tahun subsider 4
dakwa-terdakwa lainnya. Anggota dewan bulan penjara. Y melakukan korupsi aliran
yang dikenal vokal ini siap menanggung dana aspirasi dari salah satu anggota
risiko atas segala keputusan yang diambil DPRD Jawa Tengah.

JURNAL PSIKOLOGI 155


MOTIF, PSIKOLOGIS KORUPSI

Y mengaku sebagai orang yang keras aturan yang sesungguhnya; dan (4)
kepala, tidak mau mendengar nasihat dari Korupsi berarti menggunakan uang nega-
orang lain dan keluarganya, serta semua ra secara sengaja dan direncanakan untuk
urusan dia ingin kerjakan sendiri. Terma- kepentingan pribadi maupun kelompok.
suk ketika Y dekat dengan Z (salah se-
orang anggota DPRD Jawa Tengah yang Motif melakukan Korupsi
memiliki kewenangan untuk membagikan
Motif melakukan korupsi yang dila-
dana aspirasi), seluruh anggota keluarga
kukan oleh informan: (1) Melakukan ko-
dan istrinya telah menasihatinya agar ja-
rupsi karena faktor solidaritas; (2) Adanya
ngan terlalu dekat dengan anggota dewan,
sistem yang memungkinkan terjadinya
namun Y tidak memedulikannya.
korupsi (karena adanya UU Nomor 4/1999
Y, ketua suatu perkumpulan petani dan Nomor UU 22/1999 yang menyatakan
buah di kabupaten W, mengenal Z melalui bahwa DPRD mempunyai kewenangan
sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk mengatur anggaran sendiri serta
(LSM), di mana Z juga terlibat di dalam- karena informan ikut masuk menjadi
nya. Y, yang menjadi penyalur dana terse- panitia anggaran); (3) Mendapatkan uang;
but, dianggap telah melakukan penyele- dan (4) Mendapatkan pekerjaan.
wengan dana aspirasi senilai Rp 250 juta.
Seperti yang disampaikan oleh X,
Sebenarnya, tuduhan korupsi ini terja- bahwa:
di karena Z tidak mau membuatkan kui-
“Saya melakukan ini karena faktor soli-
tansi untuk pengeluaran dana itu sehingga
daritas saja, saya enggak enak sama
publik menduga bahwa Y-lah yang
teman-teman yang sudah menyetujui
melakukan korupsi tersebut. Selama ini, di
anggaran ini. Sehingga, untuk kasus saya
Indonesia, hukum berjalan berdasarkan
secara pribadi, saya tidak tahu di mana
bukti, dan Y tidak memiliki bukti yang sah
korupsinya, karena DPRD memang diberi
tentang penyaluran dana itu. Sementara
wewenang untuk mengatur sendiri ang-
itu, Z yang menjadi penggagas penyaluran
garannya. Jadi, aturan mana yang kita
dana aspirasi, justru, tidak mau bertang-
langgar? Semua aturan itu kan dari pu-
gung jawab atas kasus yang menimpa Y.
sat. Saya terjebak dalam sistem. Tapi
Hasil penelitian ini merupakan anali- karena saya masuk sebagai panitia ang-
sis dari dua kasus korupsi (sistemik dan garan, maka jelas saya bisa dihukum. Dan
sistematik), yang diarahkan pada lima ini tidak adil menurut saya. Jadi, kalau
kajian utama, yaitu: (1) definisi korupsi; (2) memang saya terbukti, saya rela dihukum
motif melakukan korupsi; (3) proses terja- seberat-beratnya, saya rela dipotong
dinya korupsi; (4) dampak melakukan tangan. Andaikan hasil rapat itu diang-
korupsi; dan (5) cara mengatasi masalah gap sebagai konspirasi dalam pengam-
(coping) akibat korupsi. bilan kebijakan, toh, saya juga tidak ada di
situ.Tapi kalau untuk teman-teman yang
Definisi korupsi
lain, motifnya jelas, uang itu menjadi
Definisi korupsi menurut informan: faktor utama, untuk memperkaya diri
(1) Korupsi merupakan penyalahgunaan sendiri.”(Wawancara dengan X, pada
jabatan untuk kepentingan sendiri; (2) 3/5/2010).
Korupsi identik dengan pencurian, (3)
Sesuatu yang tidak berjalan sesuai dengan

156 JURNAL PSIKOLOGI


SALAMA

Proses Terjadinya Korupsi tersangka. Saya tidak tahu, apa ada


permainan di balik itu semua.” (Wawan-
Proses terjadinya korupsi menurut
cara dengan Y, pada 15/5/2010).
informan disebabkan: (1) Proses pembuat-
an anggaran dilakukan oleh lembaga legis-
Dampak terhadap Pelaku Korupsi
latif bersama dengan lembaga eksekutif;
(2) Dengan cara memperbesar anggaran, Dampak terhadap pelaku korupsi: (1)
fasilitas maupun tunjangan untuk anggota Mendapatkan hikmah berharga karena
dewan melalui celah-celah hukum yang masuk penjara yang merupakan ”suatu
ada; (3) Semua laporan administratif lembaga pendidikan” yang tidak ternilai
dimanipulasi, dijadikan sedemikian rupa, harganya serta bisa belajar banyak hal
dan dibuat ‘terlihat’ rapi serta seakan-akan tentang kehidupan dan perilaku manusia
sesuai prosedur; (4) Terjadi mata rantai di dalamnya, sehingga membuatnya jadi
korupsi yang saling berkaitan, baik pada lebih bijak dalam menjalani kehidupan di
tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, masa mendatang; (2) Masuk penjara (de-
kepolisian, bahkan pada LSM yang tadi- ngan masuk ke penjara, secara otomatis,
nya bermaksud untuk membongkar kasus memang telah menyengsarakannya, studi
korupsi (terjadi tindak korupsi yang diiku- pascasarjana di suatu perguruan tinggi
ti dengan tindak korupsi yang lain); dan yang sedang dijalani mengalami ketertun-
(5) Penyaluran dana aspirasi tanpa mema- daan, kebebasan sebagai manusia normal
kai bukti kuitansi. menjadi jadi terbatas, serta nama dan har-
“Saya melihat kasus korupsi diwarnai de- ga diri jadi buruk, selain itu, ijazah sarjana
ngan kasus-kasus korupsi yang lain. Saya yang sudah dimiliki juga tidak bisa dipa-
mohon maaf, berkata apa adanya, tapi ini kai untuk mendapatkan pekerjaan di sek-
mungkin bisa terjadi juga kepada orang tor formal); (3) Dampak terhadap keluarga
yang tersandung masalah ini, yakni ke- (keluarga besar harus menanggung malu
mudian munculnya korupsi di kejaksaan, akibat adanya keluarga yang masuk penja-
di pengadilan, dan lain sebagainya. Ada ra akibat didakwa melakukan korupsi,
bergaining-bergaining yang harus kita istri harus mencari nafkah sendiri karena
tempuh, dan itu ditawarkan secara te- suami sebagai kepala keluarga sudah tidak
rang-terangan.” (Wawancara dengan bisa diandalkan untuk menjadi sumber
X, pada 3/5/2010). pencari nafkah bagi keluarga, namun di
sisi lain, istri tidak bisa mendapatkan
“Dia memberikan bantuan ke teman-te- kredit/hutang ke bank, karena suaminya
man saya, melalui saya. Saya diminta jadi ditahan sehingga dia masuk dalam kelom-
perantaranya. Tapi waktu saya menyerah- pok daftar hitam (black list), selain itu juga,
kan uang, tidak pakai kuitansi, karena timbul kekhawatiran akan munculnya
memang proses penyalurannya melalui 3 efek psikologis yang kurang baik pada
cara, yaitu lewat rekening, secara lang- keluarga nantinya, khususnya pada anak-
sung, dan ada yang sebagian untuk mem- nya); dan (4) Memiliki hutang baru yang
bayarkan hutangnya si Z. Nah, yang lebih besar, untuk menutup hutang lama
ditransfer lewat rekening itu kan tidak yang sebelumnya dimiliki.
saya simpan (buktinya). Dan Z juga tidak
”Saya berterima kasih karena dimasukkan
mau membuatkan kuitansi untuk penge-
ke sebuah institusi pendidikan yang ma-
luaran dana itu. Jadi, teman-teman me-
hal harganya karena itu merupakan
ngira saya telah melakukan korupsi. Tapi,
pembelajaran dan hikmah terbesar dalam
malah Z tidak dijadikan saksi apalagi

JURNAL PSIKOLOGI 157


MOTIF, PSIKOLOGIS KORUPSI

hidup saya. Saya justru pernah mendapat dan pengadilan, yang ujung-ujungnya di-
penghargaan dari LP tingkat Kanwil tentukan oleh uang.
karena menggiatkan aktivitas keagamaan Hal yang akan ditarik dari fenomena
di sana, sampai sekarang hampir setiap ini bukanlah untuk menjawab apakah
hari selalu ada pengajian.” (Wawancara korupsi semakin tinggi atau semakin ren-
dengan X, pada 3/5/2010). dah, siapa pelakunya, seberapa sering,
”Dampaknya banyak yang negatif, wa- atau dimana letak korupsinya, namun
laupun saya yang nanggung tapi nama penelitian ini lebih memfokuskan pada
keluarga besar saya juga jadi ikut jatuh di motif, proses, dan dampak korupsi bagi
masyarakat. Saya juga khawatir nanti pelaku korupsi.
anak saya kalau dibilang: ”Oh, itu bapak- Berdasarkan kasus yang terjadi pada
nya kan mantan tahanan”.” (Wawan- X, sebagai pelaku korupsi sistemik, bisa
cara dengan Y, pada 15/5/2010). dilihat bahwa kendati orang Indonesia
tidak setuju dengan korupsi dan merasa-
Cara Mengatasi Masalah (Coping) Akibat kannya sebagai hal yang merugikan
Korupsi masyarakat, namun ketika mereka berada
Informan cenderung menggunakan dalam suatu sistem, mereka justru terlibat
emotion focused coping dibandingkan de- di dalamnya, tidak mampu untuk
ngan problem focused coping dalam mengha- menolak, muncul perasaan tidak berdaya
dapi masalahnya. Informan cenderung un- untuk “berbeda” dari kelompoknya, serta
tuk melakukan, seperti: (1) Self-control; kurangnya “bantuan” dari luar untuk me-
berusaha untuk mengatur perasaannya, nolak korupsi. Ketidakberdayaan untuk,
tidak terlalu memedulikan masalahnya akhirnya, meniru lingkungan inilah yang
agar tidak semakin tertekan; (2) Positive kemudian menyebabkan timbulnya ko-
reappraisal; dengan melakukan spiritual rupsi di masyarakat. Alasan X melakukan
coping, seperti berserah diri pada Tuhan, solidaritas terhadap teman-teman kerjanya
ikhlas dan pasrah, banyak ber-istighfar, di DPRD lebih dikedepankan daripada
serta beribadah shalat malam; dan (3) memikirkan kepentingan masyarakat luas.
Accepting responsibility (mencoba ”meneri- Memang, dalam kultur Indonesia, struktur
manya” untuk membuat semuanya men- sosial organisasi, kepemimpinan, norma-
jadi lebih baik); seperti memasrahkan diri norma budaya dan sistem insentif me-
agar hati dan pikiran menjadi lebih mainkan peran penting (Darley, Messick,
tenang. & Tyler, 2001). Demikian pula dengan
budaya kebersamaan atau budaya kolektif.
Budaya kolektif lebih diutamakan dan
Diskusi lebih diterima agar seseorang tidak dicap
sebagai orang yang individualis, meski
Secara umum, dari kasus korupsi
kadang kolektivisme ini juga dilakukan
sistemik maupun sistematik yang terjadi
dalam hal-hal yang tidak baik serta
di atas, selalu saja masyarakat belum me-
bertentangan dengan norma hukum dan
rasakan reformasi hukum. Masih banyak
agama. Fenomena ini mendukung banyak-
kasus yang tidak diproses dengan sebenar-
nya penelitian yang telah dilakukan
nya dan seadil-adilnya. Banyak faktor
sebelumnya bahwa individu-individu
yang melingkupi di dalamnya, antara lain
dalam budaya kolektivis bisa lebih korup
melibatkan unsur kepolisian, kejaksaan,

158 JURNAL PSIKOLOGI


SALAMA

dibandingkan dengan budaya individualis hukuman penjara jika ketahuan. Kalau


(Rethi, 2012). tidak ketahuan, maka tidak apa-apa mela-
Meski demikian, menurut X bahwa kukan korupsi. Sehingga perlu dibuat
yang paling bertanggung jawab terhadap terapi kejut (shock therapy) agar pelaku
kasus ini, sebenarnya, bukanlah dirinya korupsi tidak mengulanginya lagi.
sendiri atau pun anggota dewan yang lain, Fenomena seperti inilah yang dikata-
namun penanggung jawab utama adalah kan oleh Muhammad Hatta -Wakil Presi-
pemerintah pusat, karena pemerintah den pertama Republik Indonesia- bahwa
telah mendesain sebuah sistem kebijakan “korupsi yang terjadi di Indonesia sudah
(dalam hal ini adalah PP 110/2000) yang menjadi bagian dari kebudayaan….” (Tempo,
memberikan kebebasan pada anggota 2001). Sehingga, ketika diketahui bahwa
dewan untuk menentukan jenis-jenis pen- sistem pemberlakuan hukum di Indonesia
dapatan yang dapat diterima oleh mereka sudah sangat rusak maka masyarakat luas
dengan besar tunjangan/pendapatan dan akan pesimis dan merasa tidak perlu lagi
biaya kegiatan yang sudah ditetapkan, terus berharap agar sistem ini bisa
namun sebenarnya PP 110/2000 ini ber- berfungsi dengan baik.
tentangan dengan UU 4/1999 dan UU Perasaan pesimis masyarakat terha-
22/1999 yang menyatakan bahwa DPRD dap penyelesaian korupsi mungkin akan
memiki kewenangan untuk mengatur ang- lebih bertambah lagi ketika mengetahui
garannya sendiri. Meski demikian, pada bahwa dari ke-13 terdakwa korupsi APBD
pelaksanaannya, wewenang untuk menga- ini, pada kasus korupsi yang terjadi pada
tur anggaran DPRD ini terkesan “jor-joran” X, ada empat orang yang berasal dari
dari segi besaran anggarannya di banyak fraksi TNI (ketika itu, fraksi TNI belum
daerah. Hal ini yang kemudian menjadi dihapus), yang akhirnya diputus bebas
sorotan publik. Jadi, dari kasus ini bisa oleh pengadilan militer.
dilihat, jika persepsi masyarakat tentang
Para aktivis antikorupsi (termasuk
korupsi saja belum sama, sehingga korup-
MAKI) mungkin akan merasa puas ketika
si menjadi sulit untuk diberantas.
tahu laporannya ditindaklajuti oleh penga-
Sementara itu, selama ini, pejabat dilan dan kemudian para pelaku korupsi
(baik eksekutif maupun legislatif) umum- mendapatkan hukuman yang setimpal,
nya akan mencampuradukkan antara namun ketika sistem hukum justru mem-
peran publik mereka dengan kepentingan bebaskan sebagian dari mereka, maka
(baca: keinginan) pribadi. Sumber pengha- aktivis antikorupsi dan masyarakat luas
silan mereka tidak diatur secara jelas dan akan menjadi putus asa, dan akhirnya
sering ditentukan secara sewenang- menjadi apatis terhadap keseluruhan isu
wenang melalui sistem perlindungan yang tentang korupsi. Proses hukum di Indone-
terkait dengan budaya diam, sehingga sia terasa mahal, membutuhkan waktu
mendukung adanya perlindungan terse- yang lama, dan penuh dengan ketidak-
but. Situasi ini mendorong dan mendu- pastian. Padahal, masyarakat luas hendak-
kung terjadinya praktik korupsi. Korupsi nya mau turut serta memerangi korupsi
itu sudah mendarah daging sehingga agar terwujudnya masyarakat yang sejah-
perlu dibuat terminologi dan undang- tera, makmur, dan beradab akan bisa
undang hukum baru tentang korupsi tercapai.
karena orang sudah tidak malu lagi untuk
Berdasarkan data yang diperoleh,
melakukan korupsi. Mereka takut dengan
tampak bahwa korupsi yang terjadi secara

JURNAL PSIKOLOGI 159


MOTIF, PSIKOLOGIS KORUPSI

sistemik mempunyai beberapa ciri, yaitu: lembaga yang tidak tertata dengan baik,
(1) inklusif dengan lingkungan psikologis, maka dia juga akan mengikuti jejak lang-
sosial, dan budaya; (2) cenderung menjadi kah “teman-teman dan para pendahu-
monopolistik; dan (3) terorganisir dan sulit lunya”. Tanpa menjadi seorang pribadi
untuk dihindari karena sudah menjadi yang rakus pun, ketika seseorang sudah
proses yang rutin dan terbiasa dalam masuk ke dalam sistem, maka akan sulit
berbagai segi kehidupan sehari-hari, baik untuk keluar dari mental dan budaya ko-
disadari maupun tidak disadari. Korupsi rupsi yang sudah lama mengakar tersebut.
sistemik ini tumbuh subur pada sistem Ditambah pula, jika ada beberapa faktor
kemasyarakatan yang memiliki kompetisi yang tergabung, yaitu memiliki mental
politik yang rendah, pertumbuhan ekono- yang serakah, sistem yang buruk, serta
mi yang tidak merata, civil society yang pelaku penegak hukum yang lemah, maka
lemah, dan tidak adanya mekanisme sempurnalah sudah koalisi praktik korup-
kelembagaan yang kuat dalam menangani si di negara Indonesia ini.
masalah korupsi. Sementara itu, berkaca pada kasus Y,
Terminologi ”sistem” ini bermakna tampak bahwa dia kurang kuat dalam
komprehensif, bahkan dapat dikatakan melakukan penolakan untuk tidak bekerja
sebagai proses signifikan. ”Korupsi sudah sama dengan Z. Padahal, untuk tidak
menjadi bagian dari sistem” yang ada, pernah melakukan korupsi dibutuhkan
sehingga cukup sulit untuk menentukan komitmen, semangat, konsistensi dan
awal dimulainya antisipasi pemberantasan pendirian yang teguh. Meskipun Y tahu
tindak pidana korupsi, jika dilakukan bahwa yang paling dipersalahkan dalam
dengan pendekatan psikologis. kasusnya adalah si penggagas penyaluran
Berdasarkan pada kasus X, tampak dana aspirasi itu, yaitu Z.
bahwa teori belajar sosial (social learning) Masih banyak muncul anggapan dari
berlaku dalam hal ini. X melakukannya masyarakat arus bawah bahwa jika ada
karena lingkungan sekitarnya juga berbuat pejabat yang melakukan korupsi itu sudah
hal yang sama, demikian pula, yang dila- wajar karena memang sedang memiliki
kukan oleh kejaksaan, pengadilan, kepoli- kewenangan untuk mengatur masalah itu.
sian, dan lembaga swadaya masyarakat. Yang penting, hasil dari korupsi itu harus
Korupsi sudah menjadi mata rantai yang dibagi-bagi, tidak untuk diri sendiri.
saling berkaitan. Korupsi di Indonesia Rakyat (konstituen) perlu didatangi, diberi
sudah sangat terstruktur dan masif, yang oleh-oleh, dan diberi sedikit proyek. Maka
terjadi dari tingkat hulu sampai hilir, dari mereka akan senang sekali. Hal inilah
pejabat di pusat hingga ke pelosok desa. yang terjadi pada kasus Y.
Baik bentuk korupsi sistematik maupun Tampaknya, pemerintah perlu memi-
sistemik dapat diminimalkan jika terdapat kirkan lebih lanjut tentang fenomena dana
kemauan politik dari para elit politik, aspirasi ini, dengan meminta pendapat
sebuah resolusi yang ditunjukkan secara dari pakar hukum atau pakar keuangan,
meyakinkan, untuk menghilangkan sebab tentang bagaimana sebenarnya status dan
dan akibat korupsi pada tingkatan legalitas dana aspirasi ini? Apakah benar
sistemik. seorang anggota dewan bisa memiliki
X, meskipun bukan merupakan priba- wewenang untuk memberikan dana kepa-
di yang tamak dan haus akan harta namun da rakyat? Bukankah anggota dewan
ketika dia ikut terlibat dalam sistem atau memiliki fungsi sebagai legislatif, mem-

160 JURNAL PSIKOLOGI


SALAMA

buat anggaran, serta mengawasi kerja daya manusia (SDM) internal yang mum-
eksekutif? Bolehkah lembaga legislatif ber- puni, adanya teknik yang proaktif dalam
peran ganda sekaligus, di luar wewenang melakukan investigasi, dan upaya yang
kerjanya, dengan menjadi eksekutif? gigih untuk meningkatkan standar profesi
Ketika seorang anggota DPRD mem- kerja. Dengan kata lain, fokus pada
perjuangkan daerah pemilihannya (dapil), pengejaran terhadap para pelaku korupsi
sebenarnya, adalah hal yang biasa bahkan tetapi mengabaikan pencarian terhadap
malah wajib, sebab mereka (rakyat) pula akar penyebab bisa memberikan hasil
yang telah menghantarkan beliau sehing- yang negatif dalam menurunkan angka
ga akhirnya bisa duduk di jajaran anggota korupsi.
dewan yang terhormat. Meski, hal yang
dipersoalkan kemudian adalah anggota Kesimpulan
DPRD tersebut memiliki motif untuk men-
cari kepopuleran dan keuntungan pribadi, Hasil penelitian ini merupakan anali-
baik yang berupa uang, dukungan suara sis dari dua kasus pengalaman informan
untuk periode Pemilihan Umum (Pemilu) dalam melakukan korupsi (sistemik dan
yang akan datang, atau agar partainya sistematik). Makna pengalaman informan
dianggap bersungguh-sungguh berjuang ini dikelompokkan menjadi lima kajian
untuk rakyat. Padahal dana aspirasi itu utama, yaitu: (1) Definisi korupsi, yaitu
sebenarnya berasal dari rakyat juga yang penyalahgunaan jabatan, identik dengan
diwujudkan dalam bentuk APBN/APBD. pencurian, tidak berjalan sesuai dengan
aturan yang sesungguhnya, dan penggu-
Selama ini, masih banyak masyarakat
nakan uang negara secara sengaja untuk
yang berperilaku meniru tindakan/model
kepentingan pribadi maupun kelompok;
dari orang lain (yang mungkin dianggap
(2) Motif melakukan korupsi, yaitu karena
lebih senior, lebih kaya, pintar, mapan,
faktor solidaritas dengan teman-teman-
dan sebagainya). Tanpa melihat bagaima-
nya, adanya sistem yang memungkinkan
na sebenarnya hakikat perilaku tersebut,
terjadinya korupsi, untuk mendapatkan
terpuji ataukah tercela. Perilaku ini bisa
uang dan pekerjaan; (3) Proses terjadinya
terjadi tanpa disadari oleh masyarakat.
korupsi, yaitu pembuatan anggaran yang
Seseorang perlu diingatkan terus akan
dilakukan oleh lembaga legislatif bersama
bahaya dari korupsi ini karena dalam
dengan lembaga eksekutif, memperbesar
kehidupan sehari-hari mereka melihat,
anggaran, fasilitas maupun tunjangan un-
mengalami, dan terbiasa dengan sistem
tuk kepentingan mereka, laporan admi-
dan budaya korupsi yang sudah mapan
nistratif dimanipulasi, mata rantai korupsi
berakar dan, bahkan, menghunjam jauh ke
yang saling berkaitan, dan penyaluran
bumi. Oleh karena itu, seperti yang disa-
dana aspirasi tanpa memakai bukti kui-
rankan oleh Maurice Punch (2000) dalam
tansi; (4) Dampak terhadap pelaku korup-
penelitiannya, bahwa: (1) korupsi tidak
si, yaitu mendapatkan hikmah hidup yang
bisa dihilangkan secara temporer, tapi per-
berharga; masuk penjara; berdampak pada
lu dibasmi secara terus-menerus, konstan,
keluarga dan memiliki hutang baru yang
dan represif, serta (2) perlu tindakan efek-
lebih besar; serta (5) Cara mengatasi
tif untuk menghilangkan korupsi, antara
masalah (coping) akibat korupsi, yaitu
lain, memiliki kepemimpinan yang kuat,
menggunakan emotion focused coping.
memiliki strategi organisasi yang multi-
faceted (melihat dari berbagai segi), sumber

JURNAL PSIKOLOGI 161


MOTIF, PSIKOLOGIS KORUPSI

Melihat fenomena korupsi di atas, Alatas, S. H. (1975). Sosiologi Korupsi.


maka penulis memberikan saran kepada: Jakarta: LP3ES
(1) Negara/pemerintah; untuk melakukan Alatas, S. H. 1987. Korupsi: Sifat, Sebab, dan
reformasi hukum yang menitikberatkan Fungsi. Jakarta: LP3ES.
pada rasa keadilan, keamanan dan kenya-
Alesina, A., & Angeletos, G. M. (2005).
manan rakyat, serta memperkuat institusi
Corruption, Inequelity, and Fairness.
dan substansi hukum yang terkait dengan
Journal of Monetary Economics, 52(7),
masalah korupsi dan memberikan sanksi
1227-1244.
yang tegas kepada mereka yang terlibat
dalam tindak korupsi, (2) Lembaga legis- Bauhr, M., Nasiritousi, N., Oscarsson, H.,
latif; untuk menjadikan posisi anggota & Persson, A. (2010). Perceptions of
dewan sebagai sarana pengabdian kepada Corruption in Sweden. QoG Working
rakyat, serta turut serta menjalankan Paper Series, 8, 1-17.
reformasi di dalam lembaga legislatif sen- Baswir, R. (1993). Ekonomika, Manusia, dan
diri dan memperkuat strategi pemberan- Etika, Kumpulan Esai-Esai Terpilih. Yog-
tasan korupsi, (3) Media massa dan ma- yakarta: BPFE.
syarakat; perlu menyebarkan informasi Burhan, A. S., Waidl, A., & Ismail, B.
tentang perlunya melawan korupsi dan (2004). Korupsi di Negeri Kaum Beraga-
berani menyuarakan rasa keadilan, dan (4) ma – Ikhtiyar Membangun Fiqh Anti
Tokoh agama, untuk lebih sensitif terha- Korupsi. Jakarta: P3M dan Kemitraan.
dap kasus korupsi.
Carver, C., Scheier, M., & Weintraub, J.
Sementara, bagi para peminat peneli- (1989). Assessing Coping Strategies: A
tian kualitatif, khususnya yang mengguna- Theoretically Based Approach, Journal
kan pendekatan fenomenologi, penulis of Personality and Social Psychology, 56,
perlu menggarisbawahi bahwa sebagai 267-283.
penelitian yang bersifat investigative report-
Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry
ing, penelitian ini memerlukan waktu
and Research Design: Choosing Among
pelaksanaan penelitian yang lebih lama,
Five Traditions. Thousand Oaks, Cali-
sehingga memerlukan keuletan serta kesa-
fornia: Sage Publications.
baran dalam melakukan analisis.
Darley, J. M., Messick, D. M. & Tyler, T. R.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
(Eds.) (2001). Social Influences on Ethical
menambah referensi dan mendorong pe-
Behavior in Organizations. Mahwah, NJ:
nelitian tentang korupsi di masa menda-
Lawrence Erlbaum Associates.
tang. Kajian ini perlu diperdalam dengan
menambah jumlah responden dan mem- Darsono. (2001). Korupsi sebagai Kom-
perluas daerah yang diteliti agar memberi- pensasi Underpayment: Suatu Tinjauan
kan informasi yang lebih komprehensif, Teori Equity. Jurnal Bisnis dan Akun-
objektif dan berimbang. tansi, 3(2), 477-487.
Drew, N. (1989). The Interviewer’s
Kepustakaan Experience As Data in Phenomeno-
logical Research. Western Journal of
Acham, K. (1981). ‘Formen und Folgen der Nursing Research, 11, 431-439.
Korruption’, in C. Brünner (ed.) Fleming, J. E. (2004). The Need for Ethics
Korruption und Kontrolle, Wien. in Business. The Academy of Manage-
ment News, 35(2), 5.

162 JURNAL PSIKOLOGI


SALAMA

Folkman, S. (1984). Personal Control and Alto, CA: Consulting Psychologists


Stress and Coping Processes: A Theo- Press.
ritical Analysis. Journal of Personality Lianawati, E. (2009). Konflik Dalam Rumah
and Social Psychology, 46, 839-852. Tangga – Keadilan Tanpa Kepedulian
Graaf, G. D., & Huberts, L. W. J. C. (2008). Proses Hukum KDRT – Perspektif
Portraying the Nature of Corruption Psikologi Feminis. Yogyakarta: Paradig-
Using an Explorative - Case Study ma Indonesia.
Design. Jurnal Public Administration Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (1985).
Review, July-August, 640-653. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA:
Graeff, P. (2005). Why Should One Trust in Sage.
Corruption? The Linkage between Corrup- Masduki, T. Sengsarakan Koruptor. Kompas,
tion, Norms, and Social Capital, dalam 24/8/2010.
The New Institutional Economics of
Moustakas, C. (1994). Phenomenological
Corruption. J.G. Lambsdorff, M.
Research Methods. Thousand Oaks, CA:
Taube, & M. Schramm (ed.),
Sage.
Routledge: Abingdon, Oxon RN.
Morgan, A. L. (1998). Corruption: Causes,
Holmberg, S. (2009) Perceptions of Cor-
Consequences, and Policy Implications.
ruption in Mass Publics, QoG Working
San Fransisco: Asia Foundation
Paper Series, 24, The Quality of
working paper series, 9.
Government Institute, Gothenburg.
Muluk, H. (2008). Psikologi Korupsi. Seputar
Huntington S. P. (1968). Political Order in
Indonesia, 2/5/2008.
Changing Societies. New Haven: Yale
University Press Na’im, M. M., Rofi’ah, N., & Rahmat, I.
(2006). NU Melawan Korupsi: Kajian
Irwan, A. (2003). Jurnal Wacana: Pemberan-
Tafsir dan Fiqh. Jakarta: Tim Kerja
tasan Korupsi sebagai Gerakan Budaya.
Gerakan Nasional Pemberantasan
Yogyakarta: Insist Press.
Korupsi PBNU.
Jarvis, M. (2000). Theoretical Approaches in
Nye, C. J. (1967). Corruption and Political
Psychology (terj.), London: Routledge.
Development: A Cost–benefit Analy-
Jones, P. C., & Bates, J. G. (1990). Public sis. American Political Science Review,
Sector Auditing: Practical Techniques for 61(2), 417–427.
an Integrated Approach. First Ed.
Oiler, C. (1982). The Phenomenological
London: Chapman and Hall.
Approach in Nursing Research.
Jurnal Aksara, Tempo, 19/2/2001. Nursing Research, 31, 178-181.
Lambsdorff, J. G. (1999). Corruption in Paldam, M. (2001). Corruption and
Empirical Research - A Review, Trans- Religion – Adding to the Economic
parency International Working Paper. Model. KYKLOS, 54, Fasc. 2/3, 384-414.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation
Appraisal and Coping. New York: and Research Methods. 2nd Edition.
Springer Publishing Company London: Sage.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1988). Ways Pope, J. (1999). Elements of a Successful
of Coping Questionnaire. Permission set, Anticorruption Strategy dalam Rick
manual, test booklet and scoring key. Palo Stapenhurst, Sahr John Kpundeh,

JURNAL PSIKOLOGI 163


MOTIF, PSIKOLOGIS KORUPSI

Curbing Corruption: Toward A Model Leap. Kertas kerja yang dipresentasi-


For Building National Integrity, kan untuk Konferensi Internasional
Washington DC: The World Bank tentang Korupsi yang diadakan di
Pei, M. (1999). Apakah Cina akan Menjadi Seoul, Korea Selatan.
Indonesia yang Lain? Washington: Schweitzer, H. (2005). Corruption – Its
Foreign Policy. Spread and Decline, dalam J.G.
Punch, M. (2004). Police Corruption and Lambsdorff, M. Taube, & M. Schramm
Prevention. European Journal on Crimi- (ed.), The New Institutional Econo-
nal Policy and Research, 8(3), 301-324. mics of Corruption, Routledge:
Abingdon, Oxon RN.
Purwantari, B. I. Mempertanyakan Banalitas
Korupsi. Kompas, 30/8/2010. Sulistiyowati, F. (2007). Pengaruh Kepuas-
an Gaji dan Kultur Organisasi terha-
Regar, M, H. (1998). Peranan Forensic
dap Persepsi Aparatur Pemerintah
Accountant Menemukan Tindak Korupsi.
Daerah tentang Tindak Korupsi, JAAI,
Makalah, disajikan dalam seminar
11(1), 47–66
yang dilaksanakan oleh Fakultas Eko-
nomi Universitas Riau, Pekanbaru, 4-5 Sweitzer, M., & Bicchieri, C. (2006).
Desember. Diunduh dari: www.csis.org/files/
media/csis/pubs/060303_
Rethi, G. (2012). Cultural Perspectives of
whartonwork-shop.pdf tanggal 21/7/
Corrupt Behaviour – Application of
2010.
Trompenaars Model for Corruption.
Club of Economics in Miskol' TMP Vol. Taylor, B. (1993). Phenomenology: One
8, 1, 76-82. Way to Understand Nursing Practice.
International Journal of Nursing Studies,
Roldan, A. (1989). A Brief Psychology of
30, 171-179.
Corruption. A Journal of Human Beha-
vior, 26(4), 53-55. Tavris, C., & Wade, C. (1997). Psychology in
Perspective, New York: Addison-Wes-
Rudel, T. K., & Xin, X. (2004). The Context
ley Longman.
for Political Corruption: A Cross-
National Analysis. Social Science Transparency International Indonesia
Quarterly, 85(2), 294-309. (2010). Diunduh dari: www.ti.or.id,
tanggal 20/6/2010.
Schacter, M., & Shah, A. (2000). Anti-
corruption Programs: Look Before You

164 JURNAL PSIKOLOGI

Anda mungkin juga menyukai